Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik merupakan suatu fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat. Pada
dasarnya, manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai tujuan dan kepentingan
yang berbeda, dimana dari perbedaan itulah ada kalanya memunculkan suatu pertentangan
atau konflik.

Sebagaimana konflik didefinisikan sebagai kondisi yang ditimbulkan oleh adanya


kekuatan yang saling bertentangan. Konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang melekat
di dalam kehidupan masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin di lenyapkan, sebagai
gejala masyarakat yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, ia akan lenyap
bersama masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu, perlu dipahami baaimana mekanisme dalam menyelesaikan suatu
masalah atau konflik. Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai bagaimana mekanisme
hukum penyelesaian suatu konflik dan kekerasan. Diharapkan setelah in, konflik yang
terjadi di masyarakat dapat segera teratasi walaupun hakekatnya konflik itu tidak akan dapat
dihapuskan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa asas, tujuan, dan ruang lingkup terjadinya konflik?
2. Bagaimana memahami analisis teori subnormal terhadap konflik sosial?
3. Apa hakikat dasar masyarakat multikultural?
4. Apa hakikat dasar konflik?
5. Bagaimanakah kebijakan kriminal terhadap konflik?
6. Bagaimana mekanisme hukum penyelesaian konflik di masa depan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui asas, tujuan, dan ruang lingkup terjadinya konflik.
2. Memahami analisis teori subnormal terhadap konflik sosial.
3. Mengetahui hakikat dasar masyarakat multikultural.
4. Mengetahui hakikat dasar konflik.
5. Memahami kebijakan kriminal terhadap konflik.
6. Memahami mekanisme hukum penyelesaian konflik di masa depan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup Terjadi Konflik

1. Penanganan Konflik dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Kemanusiaan

b. Kebangsaan

c. Kekeluargaan

d. Bhinneka Tunggal Ika

e. Keadilan

f. Ketertiban dan kepastian hukum

g. Keberlanjutan

h. Kearifan lokal

i. Tanggung jawab Negara

j. Partisipatif

k. Imparsialitas. 1

2. Tujuan Penanganan Konflik dan Kekerasan

a. Menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tentram, damai dan sejahtera.

b. Memelihara kondisi damai dan harmonis, dalam hubungan sosial masyarakat.

c. Meningkatkan tenggang rasa, toleransi dalam kehidupan bernegara dan bermasyrakat.

d. Memelihara keberlangsungan fungsi pelayanan pemerintahan.

e. Melindungi jiwa, harta benda dan sarana prasarana umum.

f. Memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.

g. Memulihkan kondisi mental dan fisik serta sarana prasarana umum. 2

3. Ruang Lingkup Penanganan Konflik


1
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 152
2
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 153

2
a. Pencegahan Konflik

b. Penghentian Konflik

c. Pemulihan pasca konflik. 3

4. Pencegahan Terjadinya Konflik dan Kekerasan

Pencegahan konflik dilakukan dengan upaya:

a. Memelihara kondisi damai di masyarakat;

b. Mengutamakan penyelesaian perselisihan secara musyawarah;

c. Meredam potensi konflik;

d. Mengembangkan sistem peringatan dini.

Untuk memelihara kondisi damai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tentang Undang-
Undang No. 07 tahun 2012 Penanganan Konflik Sosial, setiap orang berkewajiban:

a. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai


dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;

b. Menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain;

c. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya;

d. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan
warna kulit;

e. Mengembangkan persatuan dasar Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika;

f. Tidak memaksakan kehendak dan menghargai kelebihan orang lain.

Dalam Undang-undang ini diupayakan mengembangkan Penyelesaian Perselisihan


Secara Damai sebagaimana tertuang dalam Pasal 8. Penyelesaian perselisihan secara damai
sebagaimana dimaksud oleh para pihak yang berselisih melalui mekanisme adat, mekanisme
agama atau penyelesaian berdasarkan musyawarah mufakat. Hasil penyelesaian perselisihan
dengan mekanisme yang dimaksud pada ayat (2) mengikat bagi para pihak.4

5. Penghentian Konflik dan Kekerasan

Penghentian konflik dilakukan melalui:

3
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 153
4
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 154-155

3
a. Penghentian kekerasan fisik.

b. Penetapan status penetapan keadaan konflik.

c. Tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban.

d. Bantuan pengerahan Dana TNI.

Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan di


bawah koordinasi POLRI, dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan / atau tokoh
adat. POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilakukan melalui:

a. Pemisahan para pihak atau kelompok yang berkonflik.

b. Melakukan tindakan penyelamatan dan perlindungan terhadap korban.

c. Pelucutan senjata tajam dan peralatan berbahaya lainnya.

d. Melakukan tindakan pengamanan yang diperlukan sesuai dengan peraturan Perundang-


undangan.

POLRI dalam menghentikan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 berwenang
untuk:

a. Menentukan batas demarkasi wilayah antar kelompok yang terlibat konflik.


b. Menetapkan zona konflik.
c. Melarang berkumpul dalam jumlah tertentu di daerah konflik.
d. Memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan.
e. Mendamaikan dan merekonsiliasi para pihak.

Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila konflik tidak dapat dihentikan oleh POLRI
dan tidak berjalan fungsi Pemerintahan. Status Keadaan Konflik terdiri atas:

a. Konflik Nasional.
b. Konflik Provinsi.
c. Konflik Kabupaten/Kota.

Konflik nasional sebagaimana dimaksud apabila eskalasi konflik mencakup beberapa


provinsi. Konflik provinsi sebagaimana dimaksud apabila eskalasi konflik mencakup beberapa
kabupaten/kota dalam satu provinsi. Konflik kabupaten/kota sebagaimana dimaksud apabila
eskalasi konflik terjadi dalam satu kabupaten/kota.

Status Keadaan Konflik nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (1) huruf a
ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Dalam hal terjadi konflik dalam eskalasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) presiden meminta persetujuan DPR derngan

4
menyampaikan permohonan persetujuan penetapan Status Keadaan konflik Nasional. DPR
memberikan persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan penetapan Status Keadaan
Konflik paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya permohonan. Status keadaan
konflik provinsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b ditetapkan oleh
Gubernur dengan persetujuan DPRD provinsi. Dalam hal terjadi konflik dalam eskalasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (3) gubenur meminta persetujuan DPRD provinsi
dengan menyampaikan permohonan persetujuan penetapan Status Keadaan Konflik provinsi.
DPRD provinsi memberikan persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan penetapan
Status Keadaan Konflik paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak di terimanya permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Status Keadaan konflik Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf c ditetapkan oleh bupati/walikota dengan persetujuan DPRD kabupaten/kota. Dalam hal
terjadi konflik dalam eskalasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 ayat (4)
bupati/walikota meminta persetujuan DPRD Kabupaten/kota dengan menyampaikan
permohonan persetujuan penetapan Status Keadaan Konflik kabupaten/kota. DPRD
kabupaten/kota memberikan persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan penetapan
Status Keadaan konflik paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya permohonan
Penetapan Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berlaku
paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

Dalam hal Status Keadaan Konflik Nasional, Presiden dapat menunjuk pejabat
pemerintahan sebagai pelaksana penyelesaian konflik. Pejabat pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Menteri yang membidangi koordinasi di bidang politik, hukum dan keamanan.


b. Menteri yang membidangi koordinasi di bidang kesejahteraan rakyat.
c. Menteri yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri.
d. Menteri yang membidangi urusan kesehatan.
e. Menteri yang membidangi urusan sosial.
f. Menteri yang membidangi urusan agama.
g. Kepala POLRI
h. Panglima TNI.
i. Jaksa Agung.
j. Kepala daerah yang wilayahnya mengalami konflik.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan para menteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Dalam Status Keadaan Konflik provinsi, gubernur
melaksanakan penyelesaian konflik dibantu oleh:

a. Kepala Kepolisian Daerah.


b. Komandan Satuan TNI yang ditunjuk.

5
c. Kepala Kejaksaan Tinggi.
d. Bupati/Walikota yang wilayahnya mengalami konflik dan
e. Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat.

Dalam melaksanakan penyelesaian konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


gubernur wajib melaporkan perkembangan penanganan konflik kepada Presiden. Dalam status
Keadaan konflik kabupaten/ kota, bupati/walikota melaksanakan penyelesaian konflik dibantu
oleh:

a. Kepala Kepolisian Resort


b. Komandan satuan TNI yang ditunjuk
c. Kepala Kejaksaan Negeri
d. Camat dan kepala Desa/Lurah wilayahnya mengalami konflik; dan
e. Tokoh masyarakat, tokoh agama tokoh adat.

Dalam melaksanakan penyelesaian konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bupati/
walikota wajib melaporkan perkembangan penanganan konflik kepada Presiden melalui
Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dalam Status
Keadaan konflik berwenang melakukan:

a. Pembatasan dan penutupan sementara waktu kawasan konflik.


b. Pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu.
c. Penempatan orang untuk sementara waktu di luar kawasan bahaya.
d. Pelarangan orang sementara waktu untuk memasuki atau meninggalkan kawasan konflik.

Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian keadaan konflik nasional, Presiden


dengan persetujuan DPR dapat memperpanjang jangka waktu Status Keadaan konflik untuk
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari. Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian
keadaan konflik provinsi, gubernur, dengan persetujuan DPRD provinsi dapat memperpanjang
jangka waktu Status Keadaan Konflik untuk waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari.
Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian keadaan konflik kabupaten/kota,
bupati/walikota dengan persetujuan DPRD kabupaten/kota dapat memperpanjang jangka waktu
Status Keadaan Konflik untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Permohonan perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 25 diajukan oleh Presiden, gubenur atau bupati/walikota kepada DPR atau DPRD
sesuai tingkatannya 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu Status Keadaan
Konflik. DPR atau DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan keputusan
persetujuan atau penolakan perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik paling lama 7
(tujuh) hari sejak diajukannya permohonan. Dalam hal DPR atau DPRD sebagaimana dimaksud
maksud pada ayat (2) tidak dapat memberikan persetujuan atau penolakan status Keadaan
konflik diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.

6
Dalam hal keadaan konflik dapat ditanggulangi sebelum batas waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, Presiden, gubernur, bupati/walikota mencabut penetapan
Status Keadaan Konflik. Dalam hal penetapan status keadaan konflik di cabut semua
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak berlaku. 5

6. Pemulihan Pasca Konflik dan Kekerasan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan upaya pemulihan


pasca konflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur. Upaya pemulihan pasca
konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Rekonsiliasi;
b. Rehabilitasi;
c. Rekonstruksi.6
B. Analisis Teori Sobural Terhadap Konflik Sosial

Teori Soburalpada hakikatnya adalah teori kekerasan struktural. Dengan sobural


dimaksudkan suatu akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural
(masyarakat). Dengan “kekerasan struktural” dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang
bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu.
Jadi bila anda berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada
kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali jika ada hambatan yang jelas dan tegas.

Teori mengenai kejahatan dan penjahat merupakan teori yang cenderung kompleks,
karena sikap dan perilaku manusia itu sifatnya kompleks. Oleh karenanya terdapat banyak teori
dalam ilmu kriminologi yang dipakai untuk menjelaskan permasalahan kejahatan. Teori-teori
kriminologi yang mengkaji masalah kejahatan juga dapat digolongkan antara lain:

1) Teori Abstrak / Teori Makro


Teori ini menggambarkan bagaimana kajian antara kejahatan dengan suatu struktur
masyarakat. Teori ini digunakan untuk menjelaskan struktur sosial berikut juga dampaknya.
Contoh : Teori Anomi yang diperkenalkan Emile Durkheim bahwasanya terjadinya kekacauan
dalam suatu negara apabila tidak adanya peraturan yang mengikat.
2) Teori Konkrit / Teori Mikro
Teori ini dibuat untuk menjelaskan mengapa seseorang / sekelompok orang dalam
masyarakat melakukan kejahatan. Dengan kata lain, teori ini dipakai untuk menjelaskan
bagaimana seseorang menjadi jahat (Etiologi)
Contoh: Teori Control yang berusaha mencari jawaban mengapa dari banyaknya seseorang /
sekelompok orang melakukan kejahatan, tidak semua orang melanggar hukum dan masih ada
yang taat hukum. Teori ini menitik beratkan pada pendekatan psikologis atau biologis.

5
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 157-163
6
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 164

7
Adapula teori-teori dalam kriminologi yang menggambarkan kejahatan dan penjahat
menjadi menjadi 2 klasifikasi:

1. Teori Klasik, yang menitikberatkan pada rasionalitas cara berfikir masyarakat dan juga
hedonistik
Contoh: apabila terdapat seseorang yang turut diajak melakukan kejahatan, maka orang yang
diajak tersebut sebelumnya mengkalkulasikan untung, rugi, dan resikonya. Hal ini merupakan
cara berpikir rasional. Sedangkan hedonistik dapat diketahui bahwa banyak manusia cenderung
bertindak demi kepentingan sendiri.
2. Teori Positivistik, Teori ini menitikberatkan pada Patologi (ilmu penyakit) dan perilaku
penjahat. Contoh dari teori ini ada salah satu segmen yang menyampaikan bahwa terdapat
segmen yang bersifat psychologi yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan.
Dalam analisis Teori Sobural, terdapat lagi klasifikasi yakni:
1) Teori Consensus, teori ini didasarkan pada asumsi bahwa terdapat kesepakatan antara
anggota dalam suatu masyarakat. Sekurang-kurangnya diasumsikan bahwa anggota-anggota
suatu masyatakat berpegang pada sesuatu yang berlaku umum. Jadi terdapat kesepakatan dan
keterikatan antara individu pada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Contoh nya yakni
kesepakatan antara satu suku dengan suku lain.
2) Teori Konflik, didasarkan pada kurang adanya kesepakatan terhadap nilai-nilai yang
mengikat dan diakui bersama. Kebanyakan dari teori konflik ini lebih kepada menjelaskan
perbedaan-perbedaan antara kelas-kelas sosial.

Selain daripada teori yang telah dikemukakan diatas, terdapat teori Labeling yang
merupakan identitas yang diberikan oleh kelompok kepada individu berdasarkan ciri-ciri yang di
anggap minoritas oleh suatu kelompok masyarakat. Labeling cenderung diberikan pada orang
yang memiliki penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Seseorang
yang di berikan label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti
label yang diberikan kepadanya . Labeling merupakan proses melabelkan seseorang. Label
adalah sebuah definisi yang ketika di berikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang
tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanahkah dia. Dengan memberikan label pada
diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada
perilakunya satu persatu.

Kajian Terhadap teori label menekankan kepada dua aspek,yaitu :


a) Menjelaskan Tentang Mengapa dan Bagaimana orang - orang tertentu diberi cap atau
label.
b) Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.

Apabila dijabarkan, asumsi dasar teori Labeling meliputi aspek-aspek :

8
a) Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal

b) Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok
berkuasa

c) Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa

d) Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian
oleh penguasa.

e) Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat
dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.

C. Hakekat Dasar Masyarakat Multikultural

Gagasan dasar tentang multikulturalisme berakar pada konsep kebudayaan. Faham ini
tidak hanya pengakuan factual tentang keanekaragaman budaya yang dimiliki suatu masyarakat,
tetapi juga percaya kepada kesetaraan yang membentuk budaya masyarakat tersebut. Dalam
konsep ini, setiap komponen budaya baik yang besar maupun yang kecil memiliki tempat yang
setara dalam membentuk sebuah moazaik kebersamaan dan multikulturalisme tidak
membedakan antara hak mayoritas dan minoritas secara diskriminatif, meskipun untuk mencapai
ke tahap tersebut diperlukan adanya affirmatif action. Bagi kaum minoritas yang
kepentingannya lama terabaikan.

Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, konsep multikulturalisme


yang terkandung dalam lambing negara “Bhineka Tunggal Ika” baru mengakui adanya
keberagaman dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Konsep kesetaraan baru mengemuka
secara kuat pada masa reformasi. Pada saat yang sama, pendalaman serius terhadap konsep
tersebut semakin menemukan urgensinya dalam berbagai aspek kehidupan berbagsa dan
bernegara, termasuk dalam merumuskan berbagai aturan perundang-undangan.

Tantangan yang dihadapi oleh para pendekar hukum di tanah air dalam mewujudkan
mekanisme penanganan konflik social yang efektif melalui aturan perundang-undangan, tidak
saja harus berlandaskan pada pemahaman mendalam mengenai konflik social sebagai salah satu
hakekat kehidupan Bersama, tetapi juga pemahaman mendasar mengenai konsep
multikulturalisme yang menjunjung tinggi kesetaraan non-diskriminatif sebagai konteks dan
sekaligus tujuan dibentuknya aturan perundang-undangan. Dalam konteks ini ada beberawa
wujud konflik social yang perlu mendapat perhatian khusus karena sangat kuat terkonfirmasi
sebagai konflik yang mengakar dan mengemuka secara berulang sepanjang sejarah kehidupan
masyarakat Indonesia. Empat di antaranya adalah :

a. Konflik ideologis
Yang bersumber pada perbenturan nilai tentang bentuk negara yang digunakan sebagai
bingkai bagi bangsa Indonesia yang merdeka

9
b. Konflik horizontal rasial
Yang bersumber pada perbedaan etnis yang cenderung rasial dan dipicu oleh kesenjangan
dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi
c. Konflik vertical
Yang bersumber pada ketidak puasan masyarakat kepada penguasan, yang sering kali
meledak dalam bentuk konflik horizontal karena dua factor yaitu rasa frustasi dan tidak
berdayanya masyarakat dalam menghadapi kuatnya kekuasaan dan pemanfaatan potensi-
potensi konflik horizontal oleh penguasa untuk mempertahankan kelanggengan
kekuasaannya.
d. Konflik politik
e. Yang bersumber pada pertarungan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat local,
pemerintah nasional dan kepentingan-kepentingan masyarakat internasional yang dapat
berakibat pada ancaman yang serius bagi kelanggengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia7
D. Hakikat Dasar Konflik dan Kekerasan Sosial
Konflik sosial mengacu pada sebuah bentuk interaksi sosial yang bersifat antara
dua orang atau kelompok atau lebih, di mana masing-masing pihak berusaha untuk saling
mengalahkan atau bahkan meniadakan pihak lainnya. Sebagai sebuah bentuk interaksi
sosial yang bersifat negatif, konflik sosial dapat dipahami sebagai akibat dari
sempurnanya kontak sosial dan komunikasi sosial yang terjadi di antara pihak-pihak yang
berkonflik. Dengan demikian sebuah interaksi sosial dapat menjadi sebuah kerjasama
atau konflik, secara teoritis dapat diprediksi dari apakah kontak dan komunikasi sosial
antara kedua pihak yang berinteraksi tersebut bersifat positif atau negatif. 8
Sebagai salah satu bentuk interaksi sosial antar individu dan kelompok yang
beraneka, konflik sosial adalah salah satu hakekat alamiah dari interaksi sosial itu sendiri.
Situasi damai, dilihat dari perspektif konflik, bukan sebuah situasi tanpa konflik. Hal itu
dapat dijelaskan dengan dua acara. Pertama, terjadinya keseimbangan kekuatan antara
pihak-pihak yang berinteraksi. Kedua, terjadinya dominasi pihak yang lebih lemah oleh
pihak yang lebih kuat dan berkuasa. Hal ini terjadi karena pada hakekatnya, setiap
individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Ketika
mereka melakukan interaksi sosial, yang sesungguhnya tercipta adalah sebuah battle
ground di mana setiap kepentingan yang berbeda bertemu dan saling memaksakan. Dari

7
Alfitra, Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern, (Jawa Timur: Wade Group, 2017), hal. 181-183
8
Alfitra, “Konflik Sosial Dalam Masyarakat Moderen”, (wade group, Jawa Timur 2017), hlm.183-184

10
pemahaman ini, dapat dibedakan adanya konflik yang tersembunyi (latent conflict) dan
konflik yang terbuka (manifest conflict).9
Sebuah konflik yang tersembunyi, dapat berubah menjadi sebuah konflik terbuka,
ketika struktur-struktur sosial yang terdiri dari kerangka nilai dan norma yang ada, sudah
tidak lagi mampu membingkai kekuatan kepentingan yang terdominasi atau ketika terjadi
perubahan keseimbangan kekuatan di mana ada pihak yang merasa cukup kuat untuk
melakukan aksi perniadaan pihak lawan secara fisik. Dalam kondisi demikian, setiap
peristiwa sosial sehari-hari berpotensi menjadi pemicu bagi meledaknya sebuah konflik
sosial terbuka. Perubahan dari sebuah konflik tersembunyi menjadi konflik terbuka dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; proses globalisasi, pesatnya perkembangan
teknologi informasi, tingkat pendidikan, serta kesenjangan antar generasi. Ketika sebuah
konflik sudah menjadi konflik terbuka, biasanya sudah terlambat untuk ditangani dan
juga sudah menelan korban dan kerugian, tidak saja bagi pihak-pihak yang bertikai, tetapi
juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya.
Bila berpandang dari pengelompokan sosial masyarakat, maka konflik sosial juga
dapat dibedakan berdasarkan dua dimensi utama ialah, dimensi horizontal dan dimensi
vertikal. Konflik sosial horizontal adalah konflik sosial yang melibatkan individu-
individu atau kelompok-kelompok sosial yang memiliki kedudukan yang sama di dalam
sebuah struktur sosial. Contoh pertikaian antara kelompok umat beragama, pertikaian
antar kelompok etnik, pertikaian rasial, serta pertikaian antar kelompok pendukung partai
politik atau suporter sepak bola. Sedangkan konflik sosial vertikal, adalah pertikaian
sosial yang melibatkan antara dua individu atau kelompok yang berada dalam kedudukan
sosial yang berbeda, contoh pertikaian antara pengusaha dan kelompok masyarakat biasa.
Bila dipandang secara empirik, dua dimensi tersebut dapat saja tumpang-tindih
(overlap) dan sulit untuk diindentifikasi. Dilihat dari sisi kebudayaan, konflik sosial dapat
berwujud dalam tiga tingkatan, yaitu konflik pada tataran nilai, konflik pada tataran
norma, dan konflik pada tataran fisik. Bila dipaparkan konflik pada tataran nilai
menyangkut pertikaian yang bersumber pada perbedaan kriteria dasar yang membedakan
antara apa dianggap baik atau buruk, penting atau tidak penting, berharga atau tidak
berharga. Konflik ditataran norma adalah pertikaian yang bersumber pada perbedaan

9
ibid., hlm.184-185

11
mengenai patokan-patokan atau aturan-aturan berperilaku, dari mulai perbedaan
kebiasaan sampai aturan hukum yang melahirkan sanksi keras bagi para pelanggarnya.
Sedangkan konflik pada tataran fisik, adalah pertikaian yang mewujud dalam dan
bersumber pada perbedaan-perbedaan simbol-simbol fisik dan perilaku nyata.
Dalam literatur tentang pengelolaan konflik, dikenal beberapa mekanisme yang
sudah banyak dikenal, yaitu konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), dan detente.
Namun demikian pada umunya hal-hal tersebut baru dilakukan setelah suatu peristiwa
atau konflik sosial mengemukakan secara terbuka, mewujud dalam bentuk kasat secara
pisik serta telah memakan korban, baik harta benda maupun nyawa manusia. Selain itu,
mekanisme penanganan konflik tersebut. Hanya kadang-kadang efektif untuk pertikaian
atau konflik sosial yang berdimensi vertikal. Sedangkan konflik sosial yang vertikal sulit
diselesaikan dengan mekanisme-mekanisme konvensional tersebut di atas.10
E. Kebijakan kriminal terhadap konflik dan kekersan kolektif
1. Pengertian kebijakan kriminal
Kata kebijakan diambil dari bahasa inggris yaitu policy. Kebijakan memiliki arti yang
ganda yang pertama kebijakan bermakna “menerapkan apa yang ditentukan” dan yang kedua
lebih mempunyai watak yang normatif pragmatik. Kebijakan adalah suatu sistem
pengendalian yang bersifat rasional yaitu dimana sistem berorientasi pada penerapan tujuan-
tujuan yang telah diseleksi. Apabila manka kebijakan dikaitkan dengan kriminal maka
kebijakan kriminal adalah suatu rangkaian kebijakan yang terorganisasi secara rasional dari
reaksi masyarakat terhadap kejahatan dengan hukum pidana sebagai salah satu unsurnya.

Sudarto memberikan tiga arti mengenai kebijakan kriminal :

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan atas metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum berupa pidana.
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c. Dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi segala usaha yang dilakukan melalu
pembentukan undang-undang dan tindakan dari badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma pokok dari masyarakat.

10
ibid., hlm.187

12
Marc Ancle merumuskan kebijakan kriminal sebagai pengorganisasian yang rasional dari
reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Menurut Hoefnage lkebijakan kriminal dalam upaya
pencegahan kejahatan dapat ditempuh melalui :

a. Penerapa hukum pidana


b. Pencegahan tanpa pidana
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media
masa.

2. kebiajakan hukum pidana

Kebijakan hukum pidana tidak terlepas dari pengertian kebijakan dan politik hukum,
politik hukum atau kebijakan hukum menurut sudarto adalah

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang belum sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat dipergunakan untuk
mengekspresikan apa yang ada di masyarakat dan untuk mecapai apa yang dicita-citakan.

Sudarto juga mengatakan bahwa melaksanakan hukum pidana berarti berusaha


mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang sehubung dengan penyelesaian
permasalahan konflik kekerasan kolektif yang berwujud perkelahian antar lembaga-
masyarakat, maka apa yang dikemukakan oleh Sudarto dapat dibenarkan.

3. Memahami Damai

Jhon Locke dan Rousseau berpandangan bahwa kehidupan manusia sebelum


terbentuknya negara sebagai suatu suasana yang tentran, aman, dan damai. Johan Galtung
mendefinisikan perdamaian yakni:

a. Perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala jenis kekerasan.


b. Perdamaian adalah transformasi konflik kreatif non kekerasan.

13
Upaya untuk menjami suasana damai dalam suatu masyarakat yaitu dengan cara
penelitian terhadap berbagai sistem pemerintahan yang ada dan serta pengalaman penerapan
sistem-sistem pemerintahan tersebut, telah menentukan bahwa sistem pemerintahan
demokrasi lah yang lebih baik dibandingkan sistem pemerintahan lainnya

Sistem demokrasi menjamin agar:

a. Pembentukan hukum berdasarkan rasa adilnya masyarakat.


b. Tidak akan adanya penyalahgunaan hukum dan hak-hak asasi termasuk didalamnya dan
tidak akan terjadi penyumbatan terhadap penyaluran aspirasi
c. Mekanisme pemerintahan dilakukan secara terbuka untuk berfungsinya lembaga-lembaga
kontrol.
d. Adanya sikap menghargai
e. Penyelesaian masalah bukan berasal dari seorang pimpinan atau atasan
f. Berbagai nilai lebih lainnya.

Beberapa indikator damai sebagai berikut.

a. Pengertian damai atau perdamaian


1. suatu situasi yang aman, tentram, dan damai
2. transformasi konflik kreatif nonkekerasan
b. Wilayah damai, area publik yang terbuka bagi interaksi sosial.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi: struktur, kultur, identitas, kepentingan, perasaan dan
sebagainya.
d. Pelaku atau aktor: individu, kelompok, pemerintahan
e. Akibat, selalu positif karena interaksi sosisal berlangsung tanpa hambatan dan berdampak
pada laju pembangunan bagi keadilan

4. Penguatan mekanisme kultur

Sebagai negara besar dan luas wilayahnya dan derajat popularitas budaya, etnis dan
bahasa, Indonesia memiliki keyakinan khasanah tradisi intelektual termasuk dalam upaya
membangun perdamaian dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik berbasic
kultural. Model dan penyelesaian konflik di indonesia selalu di topang oleh 2 sisi

14
penyelesaian yaitu secara formal yang diperankan oleh aparat pemerintahan dan penegak
hukum dan kultural dijalankan oleh masyarakat melalui adat yang ada.

Dalam model penyelesaiannya bai secara formal ataupun kultural keduanya jangan
sampai memperlemah salah satunya ataupun keduannya. Undang-undang penaganan konflik
sosial menjadi penopang untuk solusi keduanga dan jangan sampai adanya undang-undang
ini menjadi pembentur bagi keduanya bagi model yang telah berjalan selama ini.

F. Mekanisme Hukum Penyelesain Konflik di Masa Depan

Hukum memiliki fungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap


kepentingan masyarakat baik ketika ada konflik maupun tidak ada konflik. Namun, hukum
bukan satu-satunya sarana pengintegrasi konflik-konflik yang berada di kehidupan masyarakat.
Terdapat sarana lain seperti kaedah agama, kaedah moral, dan lainnya.

Masyarakat dalam hal ini harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan ini saling
mempengaruhi dan walaupun hubungan ini atau interaksi sosial tidak tercapai dengan sempurna,
tetapi secara fundamental sistem sosial ini cenderung untuk mengahadapi perubahan-perubahan.
Seperti pada masa orde lama ke masa reformasi, terdapat jangka waktu yang panjang dalam
penyesuaian perubahan.

Hukum dalam mekanisme pengintegrasian mempunyai peran yang sangat penting.


Menurut Thomas Hobbes, hukum itu ditentukan untuk mengatur berbagai konflik yang timbul
sebagai akibat dari adanya interaksi sosial. Inilah fungsi hukum sebagai mekanisme
pengintegrasian menurut Thomas Hobbes.

Hukum baru bisa bertindak jika ada suatu konflik. Dalam hal ini, pengadilanlah yang
mempunyai andil untuk menjatuhi suatu putusan sebagai penyelesai dari konflik. Karena peran
hukum sangat penting dalam penyelesaian konflik, maka dibutuhkan payung hukum yang kuat
mengenai hal ini. Sekarang, dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial, diharapkan dapat mengakomodir berbagai alternatif penyelesain
konflik.

15
Konflik dapat berpengaruh positif dan juga negatif dan selalu ada dalam kehidupan.
Namun, yang menjadi persoalan, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar
konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik berada pada level yang tinggi dan mengarah
pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Sedangkan jika konflik berada pada
level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan.

Berikut, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam menangani konflik sosisal
secara efektif melalui peraturan perundang-undangan:

a. Konflik sosial harus diterima sebagai salah satu realitas sosial yang merupakan salah satu
hakekat kebersamaan.
b. Penanganan konflik sosial, dapat dilakukan secara dini dengan mengidentifikasi berbagai
pola kontak dan komunikasi sosial yang dapat memprediksi bentuk-bentuk interaksi
sosial yang bersifat negatif dari dua orang individu atau kelompok.
c. Penanganan konflik sosial dapat diidentifikasi dengan mempelajari berbagai kepentingan
spesifik yang merupakan konsekuensi dari perbedaan-perbedaan hakiki dan alami dari
setiap individu atau kelompok yang membangun kesatuan sosial tersebut.
d. Penanganan konflik sosial dapat diidentifikasi dengan mencermati bentuk-bentuk konflik
tersembunyi, faktor-faktor yang potensial yang menjadi pemicu.
e. Dalam konteks masyarakat multikultural, aturan perundang-undangan harus mampu
menimbulkan kemampuan setiap individu dan kelompok masyarakat untuk memiliki
kapasitas penting untuk hidup bersama, yaitu kesadaran jati diri dan sadar akan
kepentingannya, kesadaran bertindak yang berlandas pada kemampuan menyadaridan
menerima pentingnya orang lain dan kelompok lain setara dengan kepentingannya.

16
F. Hakikat Dasar Konflik dan Kekerasan Sosial
Konflik sosial mengacu pada sebuah bentuk interaksi sosial yang bersifat antara
dua orang atau kelompok atau lebih, di mana masing-masing pihak berusaha untuk saling
mengalahkan atau bahkan meniadakan pihak lainnya. Sebagai sebuah bentuk interaksi
sosial yang bersifat negatif, konflik sosial dapat dipahami sebagai akibat dari
sempurnanya kontak sosial dan komunikasi sosial yang terjadi di antara pihak-pihak yang
berkonflik. Dengan demikian sebuah interaksi sosial dapat menjadi sebuah kerjasama
atau konflik, secara teoritis dapat diprediksi dari apakah kontak dan komunikasi sosial
antara kedua pihak yang berinteraksi tersebut bersifat positif atau negatif. 11
Sebagai salah satu bentuk interaksi sosial antar individu dan kelompok yang
beraneka, konflik sosial adalah salah satu hakekat alamiah dari interaksi sosial itu sendiri.
Situasi damai, dilihat dari perspektif konflik, bukan sebuah situasi tanpa konflik. Hal itu
dapat dijelaskan dengan dua acara. Pertama, terjadinya keseimbangan kekuatan antara
pihak-pihak yang berinteraksi. Kedua, terjadinya dominasi pihak yang lebih lemah oleh
pihak yang lebih kuat dan berkuasa. Hal ini terjadi karena pada hakekatnya, setiap
individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda. Ketika
mereka melakukan interaksi sosial, yang sesungguhnya tercipta adalah sebuah battle
ground di mana setiap kepentingan yang berbeda bertemu dan saling memaksakan. Dari
pemahaman ini, dapat dibedakan adanya konflik yang tersembunyi (latent conflict) dan
konflik yang terbuka (manifest conflict).12
Sebuah konflik yang tersembunyi, dapat berubah menjadi sebuah konflik terbuka,
ketika struktur-struktur sosial yang terdiri dari kerangka nilai dan norma yang ada, sudah
tidak lagi mampu membingkai kekuatan kepentingan yang terdominasi atau ketika terjadi
perubahan keseimbangan kekuatan di mana ada pihak yang merasa cukup kuat untuk
melakukan aksi perniadaan pihak lawan secara fisik. Dalam kondisi demikian, setiap
peristiwa sosial sehari-hari berpotensi menjadi pemicu bagi meledaknya sebuah konflik
sosial terbuka. Perubahan dari sebuah konflik tersembunyi menjadi konflik terbuka dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti; proses globalisasi, pesatnya perkembangan
teknologi informasi, tingkat pendidikan, serta kesenjangan antar generasi. Ketika sebuah

11
Alfitra, “Konflik Sosial Dalam Masyarakat Moderen”, (wade group, Jawa Timur 2017), hlm.183-184
12
ibid., hlm.184-185

17
konflik sudah menjadi konflik terbuka, biasanya sudah terlambat untuk ditangani dan
juga sudah menelan korban dan kerugian, tidak saja bagi pihak-pihak yang bertikai, tetapi
juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya.
Bila berpandang dari pengelompokan sosial masyarakat, maka konflik sosial juga
dapat dibedakan berdasarkan dua dimensi utama ialah, dimensi horizontal dan dimensi
vertikal. Konflik sosial horizontal adalah konflik sosial yang melibatkan individu-
individu atau kelompok-kelompok sosial yang memiliki kedudukan yang sama di dalam
sebuah struktur sosial. Contoh pertikaian antara kelompok umat beragama, pertikaian
antar kelompok etnik, pertikaian rasial, serta pertikaian antar kelompok pendukung partai
politik atau suporter sepak bola. Sedangkan konflik sosial vertikal, adalah pertikaian
sosial yang melibatkan antara dua individu atau kelompok yang berada dalam kedudukan
sosial yang berbeda, contoh pertikaian antara pengusaha dan kelompok masyarakat biasa.
Bila dipandang secara empirik, dua dimensi tersebut dapat saja tumpang-tindih
(overlap) dan sulit untuk diindentifikasi. Dilihat dari sisi kebudayaan, konflik sosial dapat
berwujud dalam tiga tingkatan, yaitu konflik pada tataran nilai, konflik pada tataran
norma, dan konflik pada tataran fisik. Bila dipaparkan konflik pada tataran nilai
menyangkut pertikaian yang bersumber pada perbedaan kriteria dasar yang membedakan
antara apa dianggap baik atau buruk, penting atau tidak penting, berharga atau tidak
berharga. Konflik ditataran norma adalah pertikaian yang bersumber pada perbedaan
mengenai patokan-patokan atau aturan-aturan berperilaku, dari mulai perbedaan
kebiasaan sampai aturan hukum yang melahirkan sanksi keras bagi para pelanggarnya.
Sedangkan konflik pada tataran fisik, adalah pertikaian yang mewujud dalam dan
bersumber pada perbedaan-perbedaan simbol-simbol fisik dan perilaku nyata.
Dalam literatur tentang pengelolaan konflik, dikenal beberapa mekanisme yang
sudah banyak dikenal, yaitu konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), dan detente.
Namun demikian pada umunya hal-hal tersebut baru dilakukan setelah suatu peristiwa
atau konflik sosial mengemukakan secara terbuka, mewujud dalam bentuk kasat secara
pisik serta telah memakan korban, baik harta benda maupun nyawa manusia. Selain itu,
mekanisme penanganan konflik tersebut. Hanya kadang-kadang efektif untuk pertikaian

18
atau konflik sosial yang berdimensi vertikal. Sedangkan konflik sosial yang vertikal sulit
diselesaikan dengan mekanisme-mekanisme konvensional tersebut di atas.13

13
ibid., hlm.187

19
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Konflik sosial mengacu pada sebuah bentuk interaksi sosial yang bersifat
antara dua orang atau kelompok atau lebih, di mana masing-masing pihak
berusaha untuk saling mengalahkan atau bahkan meniadakan pihak lainnya.
Sebagai sebuah bentuk interaksi sosial yang bersifat negatif, konflik sosial dapat
dipahami sebagai akibat dari sempurnanya kontak sosial dan komunikasi sosial
yang terjadi di antara pihak-pihak yang berkonflik. Dengan demikian sebuah
interaksi sosial dapat menjadi sebuah kerjasama atau konflik, secara teoritis dapat
diprediksi dari apakah kontak dan komunikasi sosial antara kedua pihak yang
berinteraksi tersebut bersifat positif atau negative.

B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis mengharapkan agar pembaca
mendapatkan pengetahuan mengenai tulisan yang penulis tulis, sehingga pembaca
dapat memahami isi kandungan yang ada pada materi makalah ini. Apabila ada
kekurangan pada makalah kali ini pembaca dibolehkan memberi saran atau kritik
yang bersifat membangun, agar penulis tidak mengalami kesalahan yang sama
dalam pembuatan makalah selanjutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra. Konflik Sosial Dalam Masyarakat Modern. 2017. Jawa Timur: WADE
GROUP

21

Anda mungkin juga menyukai