Teknologi
4. Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup atau ruang merupakan arena beraktivitas bagi mannusia, baik
secara individu maupun secara dalam sistem sosial. Manusia merupakan agen yang
berkedudukan paling penting jika dibandingkan dengan berbagai makhluk hidup lain
penghuni lingkungan hidup. Kepemilikan teknologi mengakibatkan manusia tidak saja
mampu mengolah dan beradaptasi dengan lingkungan guna mempertahankan
eksistensinya (Soemarwoto, 1989).
Interaksi antara manusia dan lingkungan hidup ada beberapa tipe. Pertama,
environmental determinism (determinisme lingkungan). Lingkungan mutlak berpengaruh
terhadap manusia termasuk kebudayaan mereka ciptakan. Kedua, environmental
possibilism.
Makhluk hidup penghuni lingkungan hidup terjaring dalam suatu hubungan ekologi.
Soemarwoto (1989:19) menunjukkan bahwa ekologi (secara harfiah berarti ilmu tentang
makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat pula diartikan sebagi ilmu tentang rumah
tangga makhluk hidup) memiliki makna yang sama dengan ekonomi. Makhluk hidup
dalam suatu lingkungan alam secara substansial melakukan transaksi materi, energi dan
informasi dalam ekonomi transaksi berbentuk uang. Dalam transaksi ini terjadi hubungan
ekosistem, yakni unsur-unsur yang membentuk suatu rumah tangga (eikos, eko), baik
makhluk hidup maupun lingkungannya terjalin dalam suatu sistem guna mempertukarkan
materi, energi dan informasi secara berkeseimbangan.
Manusia tidak saja hidup dalam suatu lingkungan hidup atau ruang (desa) tetapi
terikat pula waktu (kala). Waktu memberikan makna bagi kehidupan manusia termasuk di
dalmnya kebudayaan yang mereka ciptakan dan/atau yang mereka gunakan pada saat
berinterkasi sosial. Gejala ini dikuatkan dengan simbol-simbol artefaktuan yang mereka
gunakan, misalnya pakaian-ruang dan waktu sembahyang memakai baju dan udeng putih
sebagai simbol kesucian.
Agama berfungsi sebagai teks ideal guna memedomani tindakan manusia dalam
sistem sosio-kultural. Agama wahyu secara historis tidak bisa dimasukkan ke dalam
sistem budaya, sebab dia merupakan teks suci dari Tuhan yang disampaikan kepada
manusia melalui Nabi. Agama bisa dibedakan menjadi dua, yaitu agama sebagai teks suci
berwujud wahyu dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui Nabi dan agama
sebagai tafsir atas teks suci yang dibuat oleh manusia yang mumpuni dalam bidangnya.
Dalam rangka membedakan agama sebagai teks suci karena merupakan wahyu
Tuhan, bukan produk budaya maka, dia disebut Agama (a-huruf besar [A-]). Sebaliknya,
agama sebagi tfsir atas teks suci wahyu karena merupakan produk manusia maka dia
termasuk ke dalam kebudayaan yakni sistem budaya atau superstruktur ideologi. Agama
sebagi tafsirnya disebut agama (a-huruf kecil [a-]). Perbedaan ini bisa terkait pula dengan
kualitas kebenarannya.
Dengan mrngacu terhadap UNESCO (2005) produk industry budaya dalam bentuk
barang disebut barang budaya. Barang budaya ini memberikan informasi atau hiburan,
membantu pembentukan identitas kelompok, dan memengaruhi praktik – praktik budaya
serta jasa budaya. Dengan adanya hal ini maka tidak mengherankan jika kreativitas yang
menghasilkan barang budaya atau jasa budaya disebut industri kreatif, industri budaya
atau industry berorientasi masa depan (UNESCO, 2005).
Sektor pariwisata merupakan arena sosial yang sngat penting bagi pengembangan
industri keatif. Terdapat 12 komponen budaya local yang bias diposisikan sebagai model
kultural bagi pengembangan industri kreatif atau industri budaya guna menunjang industri
pariwista, yaitu : kerajinan, bahasa, tradisi, gastronomi, seni music, sejarah destinasi, jenis
pekerjaan dan teknologi yang digunakan, arsitektur, agama, dan system pendidikan
(Hermantoro, 2011 : 185 - 186).
Dengan demikian pariwisata sebagai bagian yang tidak bias dipisahkan dari
globalisasi. Hal ini ditandai oleh terbentuknya berbagai barang budaya yang bisa
dikonsumsi oleh wisatawan. Apa pun bentung barang budaya yang dihasilkan melalui
kegiatan industry kreatif, tidak dapat dilepaskan dari dua aspek, yaitu :
Dengan demikian apapun bentuk dan jenis barang budaya yang dihasilkan melalui
industri kreatif sebagai modal bagi pengembangan pariwisata berbasis kreatif, tidak hanya
berpatokan pada nilai jual, melainkan perlu pula memperhatikan nilai – nilai luhur pada
tatanan local dan nasional dalam konteks memperkuat identitas local dan identitas nasional
Indonesia pada masyarakat dunia.