Anda di halaman 1dari 11

N

A. PENGERTIAN TOKSISITAS
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Toksisitas adalah pernyataan kemampuan racun menyebabkan timbulnya
gejala keracunan[ CITATION Rah18 \l 1057 ].

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu
zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang
khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi
informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi
pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya
demi keamanan manusia. Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai
model berguna untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan
patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji[ CITATION BPO14 \l
1057 ].

B. METODE ANALISIS TOKSIKOLOGI KONVENSIONAL

Pengujian toksisitas secara konvensional ini bergantung pada


penilaian toksisitas langsung di seluruh di seluruh organisme (ganggang,
udang, bulu babi, ikan, tikus, dll). Organisme tersebut terpapar bahan
kimia dan dipantau adanya tanda-tanda dampak respon negative atau
terjadi tanda-tanda penurunan kualitas kesehatan organisme. Sebagai
contoh, berupa efek morfogi (seperti penurunan berat badan, lesi yang
terlihat, kematian) atau secara biokimia, ini bisa berupa marker biologis
paparan (indikator dosis internal, seperti metabolit dalam urin) atau efek
terhadap biomarker (indikator efek kesehatan) seperti aktivitas
enzim[ CITATION Her19 \l 1057 ].

1. Tes warna (colour test)


Tes warna (kadang-kadang disebut tes kimia) digunakan oleh ahli
toksikologi dan analis obat-obatan sebagai salah satu cara pertama
untuk identifikasi obat-obatan dan racun. Tes warna ini paling banyak
digunakan untuk obat-obatan dan residu, serta cairan biologis seperti
isi perut, dan urin. Tes ini digunakan untuk menempatkan senyawa
yang tidak diketahui ke dalam kelas senyawa tertentu. Tes warna ini
tetap populer karena berbagai alasan, mudah dilakukan, penggunaan
reagen minimal, murah dan memberi hasil yang bisa dilihat dengan
mata telanjang (tidak memerlukan alat khusus). Beberapa tes juga
dapat digunakan sebagai penanda bercak kromatografi lapis tipis
(KLT). Pereaksi diaplikasikan dengan cara menyemprot atau
mencelupkan[ CITATION Rah18 \l 1057 ].
Analisis kualitatif dari sampel biologik akan memberikan
informasi apakah subyek yang bersangkutan menggunakan obat
terlarang atau tidak. Adanya metabolit menunjukkan bahwa zat atau
obat tersebut telah dikonsumsi dan termetabolisme dalam tubuh.
Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat atau metabolitnya
terdapat dalam urin sebanyak atau lebih banyak dari batas deteksi.
Ekskresi dari tubuh dan konsentrasinya dalam urin bergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut: cara pemakaian, lama dan seringnya
penggunaan, fungsi organ, kecepatan metabolisme obat, kondisi fisik
dari subyek, umur, jenis kelamin, waktu pengambilan sampel,
pengenceran[ CITATION Rah18 \l 1057 ].
Pemeriksaan screening hanya untuk mengarahkan kemungkinan
jenis zat yang terdapat dalam sampel, sehingga hasilnya harus
dilanjutkan dengan tes konfirmasi karena zat selain narkoba juga
mempunyai kemungkinan memberikan hasil yang sama (false
positive). Untuk golongan benzodiazepin reaksi warna tidak
dianjurkan untuk dipakai karena jenis zat dalam golongan ini sangat
beragam, pemeriksaan skrining yang dianjurkan adalah kromatografi
lapis tipis (KLT). Zat yang digunakan untuk pereaksi harus dijaga
mutunya untuk menjamin bahwa zat yang digunakan tidak
mengalami dekomposisi, yang dapat merubah warnanya dan
mengacaukan hasil pemeriksaan[ CITATION Rah18 \l 1057 ].
Banyak obat-obatan dan racun lainnya memberikan warna khas
dengan pereaksi yang sesuai jika ada dalam jumlah yang cukup, dan
jika tidak ada senyawa yang mengganggu. Beberapa dari tes ini,
untuk tujuan praktis, spesifik, tapi biasanya senyawa yang
mengandung gugus fungsi yang serupa juga akan bereaksi.
Kelemahan lainnya adalah bahwa deskripsi warna sangat subjektif,
bahkan pada orang dengan penglihatan warna normal,
sedangkan.warna yang dihasilkan biasanya bervariasi dalam
intensitas atau rona dan mungkin tidak stabil. Hasil tes sebaiknya
didokumentasikan dengan fotografi[ CITATION Rah18 \l 1057 ].

Tes warna memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:


 Sangat cepat dan murah, hanya menambahkan reagen kemudian
amati warna yang terbentuk

 Terutama berguna untuk urine atau cairan lambung atau “residu


kejadian”, misalnya tablet atau serbuk

 Biasanya dilakukan dengan tabung reaksi bening, tetapi plat tetes


putih lebih baik (latar belakang seragam, sedikit menggunakan
reagen).

 Harus selalu menganalisa banko reagen dan kontrol positif dengan


sampel
 Bersifat subjektif, orang berbeda dalam cara mereka memandang
atau mendeskripsikan warna, warna juga bervariasi intensitasnya

 Banyak jenis tes yang tersedia, namun sebagian besar memiliki


selektivitas yang buruk

[ CITATION Rah18 \l 1057 ]

Reagen untuk uji warna ini biasanya mengandung asam


kuat atau alkali atau menggunakan bahan kimia organik yang
berpotensi berbahaya. Tindakan pencegahan keselamatan yang
tepat harus diperhatikan. Banyak tes dapat dilakukan dengan
memuaskan dalam tabung reaksi kaca bening. Namun,
penggunaan plat tetes (plat porselen putih mengkilap dengan
sejumlah sumur dangkal di permukaannya) memberi latar
belakang seragam untuk menilai setiap warna yang dihasilkan dan
juga meminimalkan volume reagen dan sampel yang
digunakan[ CITATION Rah18 \l 1057 ].

Saat melakukan tes warna, penting untuk selalu melakukan


analisis secara bersamaan dengan sampel uji, yaitu:

1) Tes blanko sampel, adalah sampel yang diketahui tidak


mengandung senyawa yang diuji. Jika tes dilakukan pada urin
maka blanko urin (bebas analit) harus digunakan, atau dapat
digunakan akuades.

2) Sampel positif yang mengandung analit dengan konsentrasi


yang diketahui. Jika tes dilakukan pada urine, idealnya urin
dari pasien atau sukarelawan yang diketahui telah
menggunakan senyawa yang bersangkutan harus digunakan.
Namun, hal ini tidak selalu praktis dan kemudian urin 'spiked'
(blanko urin yang telah ditambahkan sejumlah senyawa yang
diketahui dalam analisis) harus digunakan.

[ CITATION Rah18 \l 1057 ]


Tes warna berguna karena minimal peralatan dan keahlian
yang diperlukan, tetapi reagen harus stabil. Tes ini sensitivitasnya
terbatas dan biasanya hanya berlaku untuk urin dan atau sampel
lain yang mengandung jumlah racun dalam jumlah relatif besar,
seperti isi perut. Adalah mungkin untuk mengekstrak racun dan
menerapkan tes warna pada residu, meskipun hal ini jarang
dilakukan untuk cairan biologis. Negatif palsu adalah risiko bahkan
ketika tes digunakan untuk tujuan yang dimaksudkan dalam sampel
yang sesuai. Hasil positif racun seperti parasetamol atau paraquat
berfungsi untuk menunjukkan perlunya pengukuran kuantitatif
dalam plasma. Reagen yang sama ini dapat digunakan sebagai
pereaksi warna untuk penentu bercak pada KLT dan beberapa telah
dikembangkan untuk digunakan dalam pengukuran
kuantitatif[ CITATION Rah18 \l 1057 ].

C. EKSTRAPOLASI SPESIES ANTAR SPESIES


Uji toksisitas in vivo dilakukan pada seluruh organisme dari
spesies selain manusia, dan hasilnya kemudian di ekstrapolasi untuk
prediksi kesehatan manusia. Semakin besar perbedaan spesises uji dengan
manusia, ekstrapolasi ini menjadi semakin renggang . misalnya, herbisisda
yang menargetkan fotosintesis akan sangat beracun bagi alga tetapi lebih
sedikit bagi organisme non fotosintesis seperti manusia. Demikian juga
akan sulit untuk memperkirakan efek pada udang kepada manusia, karena
perbedaan yang sangat signifikan dalam toxicokinetics ( mis. Penyerapan,
distribusi, metabolisme dan ekskresi) antara kedua organisme. Bahkan
spesises yang banyak digunakan untuk penilaian resiko kesehatan manusia
seperti tikus, anjing atau monyet menunjukan perbedaan yang signifikan
dalam enzim metabolisme dibandingkan dnegan manusia (artignoni et al
2006), yang dapat menghasilkan perbedaan toksisitas yang signifikan
antara spesises yang berbeda. Oleh karena itu penting untuk memahami
mekanisme toksisitas untuk memperkirakan secara baik dan benar
toksisitas invivo pada dampak yang berpotensi terhadap kesehatan.
 Sensitivitas
Secara umum, efek in vivo terdeteksi pada konsentrasi
mikrogram/liter. Ketika tujuan pengujian toksisitas adalah hanya
untuk mendeteksi racun, metode lain yang lebih sensitid seperti
pengujian in vitro mungkin diperlukan.
 Faktor lingkungan sebagai pembias
Ketika mengui seluruh sampel air,parameter fisika-kimai seperti
suhu,ph,kekeruhan,warna dan organik terlarut dan anorganik dapat
menyebabkan toksisitas buatan pada organisme uji, yang tidak akan
terjadi dilingkungan (yaitu false positif).
 Kebutuhan pemahaman kode etik
Ada kebutuhan etik untuk mengurangi, memperbaiki dan menganti
metode in vivo dengan alternatif ,seperti metode in vitro dan in silico.
 Biaya
Eksperimen in vivobisa mahal dalam hal keuangan juga, dan
alternatif biaya rendah kadang-kadang diperlukan atas dasar biaya
saja. Terlepas dari keterbatasan ini, tes in vivo umumnya digunakan
dalam menilai resiko berpotensi terhadap senyawa
[ CITATION Her19 \l 1057 ]
D. METODE UJI TOKSISITAS AKUT
Pada awalnya toksistas akut diuji menggunakan metode
konvensional,namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu hewan uji
yang dibutuhkan dalam menentukan parameter akhir cukup banyak,
dimana bertentangan dengan animal welfare Oleh karena itu pada tahun
1984 telah dibuat metode alternatif dimana hewan yang digunakan
jumlahnya lebih sedikit yaitu metode Up and Down Procedure, Fixed
Dose Method dan Toxic Class Method. Metode Alternatif merupakan
revisi metode OECD tahun 1984 disebabkan adanya kesepakatan untuk
mendapatkan jalan pintas dalam mengklasifikasikan senyawa kimia Pada
metode alternatif, hanya menggunakan satu jenis kelamin hewan uji. Hal
ini disebabkan karena dari literatur tidak ada perbedaan nilai LD yang
signifikan akibat perbedaan jenis kelamin, tetapi pada keadaan yang
berbeda nilai LD umumnya jenis kelamin betina lebih sensitif, maka pada
uji alternatif hanya menggunakan hewan betina. Jumlah hewan yang
digunakan pada uji alternatif lebih sedikit d ibandingkan dengan metode
konvensional Dalam pedoman ini hanya dibahas uji toksisitas akut metode
konvensional dan Fixed Dose Method [ CITATION BPO14 \l 1057 ].

a. Metode Konvensional
1) Prosedur
a) Hewan Uji dan Jumlah
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain
Sprague Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau
BALB/c dan lainlainnya). Syarat hewan uji adalah sehat,
umur 5-6 minggu untuk mencit, 8-12 minggu untuk tikus.
Sekurang kurangnya 3 kelompok yang masing - masing
kelompok terdiri atas 5 ekor dengan jenis kelamin sama
(jantan atau betina). Hewan dikelompokkan secara acak
sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan merata
untuk semua kelompok dengan variasi berat badan tidak
melebihi 20% dari rata-rata berat badan. Jika digunakan
hewan uji berkelamin betina, maka hewan uji tersebut harus
nullipara dan tidak sedang bunting.
b) Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 dosis berbeda. Dosis
terendah adalah dosis tertinggi yang sama sekali tidak
menimbulkan kematian, sedangkan dosis tertinggi adalah
dosis terendah yang menimbulkan kematian 100 %. Dengan
interval dosis yang mampu menghasilkan rentang toksisitas
dan angka kematian. Dari data ini akan diperoleh suatu kurva
dosis-respon yang dapat digunakan untuk menghitung nilai
LD50.
c) Batas Uji
Bila hingga dosis 5000 mg/kg BB (pada tikus) tidak
menimbulkan kematian, maka uji tidak perlu dilanjutkan
dengan menggunakan dosis bahan uji yang lebih tinggi.
d) Penyiapan Sediaan uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai
(misalnya aquadestilata, minyak nabati) sesuai dengan dosis
yang dikehendaki.
e) Volume Pemberian Sediaan Uji
Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap
selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan tetapi jika
bahan uji berupa cairan atau campuran cairan, sebaiknya
digunakan dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap).
Jumlah cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada
ukuran hewan uji. Pada rodensia, jumlah normalnya tidak
melampaui 1 mL/ 100 g berat badan, namun bila pelarutnya
air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/ 100 g berat badan.
Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk
suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada
larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak
jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka
karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.
f) Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai
(misalnya aquadestilata, minyak nabati). Tergantung dari
formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi
yang aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan
suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak jagung)
dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka
karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.
g) Pemberian Sediaan uji
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan
(tikus dipuasakan selama 14-18 jam, mencit dipuasakan
selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan). Setelah
dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji.
Sediaan uji diberikan dalam dosis tunggal dengan
menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali
pemberian, sediaan uji dapat diberikan beberapa kali dalam
jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam.
Setelah diberikan perlakuan, akan boleh diberikan kembali
setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila
sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan boleh
diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama periode
pemberian sediaan uji tersebut.
h) Pengamatan
Pengamatan dilakukan tiap hari selama sekurang-kurangnya
14 hari terhadap sistem kardiovaskuler, pernafasan,
somatomotor, kulit dan bulu, mukosa, mata dsb. Perhatian
khusus diberikan akan adanya tremor, kejang, salivasi, diare,
letargi, lemah, tidur dan koma. Pengamatan meliputi wakt
timbul dan hilangnya gejala toksik serta saat terjadinya
kematian. Hewan uji yang sekarat dikorbankan dan
dimasukkan dalam perhitungan sebagai hewan yang mati.
Hewan ditimbang sedikitnya 2 kali dalam 1 minggu.
i) Pengumpulan dan Analisis Data
 Pengumpulan Data
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data
harus diringkas dalam bentuk tabel yang menunjukkan
dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang
menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang
ditemukan mati selama uji dan yang mati karena sekarat
(keadaan moribound).
 Analisis Data
Nilai LD 50 dihitung dengan metode Thompson & Weil,
Litchfield & Wilcoxon, Miller & Tainter, regresi
linear/probit atau metode statistik lainnya. Semua hewan
yang mati, baik yang mati dengan sendirinya atau yang
mati dalam keadaan moribound digabungkan jumlahnya
untuk penghitungan nilai LD50.
[ CITATION BPO14 \l 1057 ]
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai