Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH PATOLOGI ANATOMI

“PENYAKIT LARING DAN FARING”

DISUSUN OLEH:

Selvi (1734005)

DOSEN PEMBIMBING:

dr. Philipus Resar Andreano, SpPA

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIV ANALIS KESEHATAN

1
A. FARINGITIS
I. PENGERTIAN
Faringitis adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang
tenggorok atau hulu kerongkongan kadang juga disebut sebagai radang
tenggorokan radang ini bisa disebabkan oleh virus atau bakteri
streptococcus. Infeksi virus biasanya merupakan penyebab selesma (pilek)
atau influenza yang kemudian mengakibatakan terjadinya radang
tenggorokan. Penyakit radang ternggorokan ini biasanya dikenali adanya
dinding tenggorokan menebal atau bengkak, berwarna lebih merah, ada
bintik-bintik putih dan terasa sakit bila menelan makanan.

II. KLASIFIKASI

 FARINGITIS AKUT
infeksi atau inflamasi akut pada mukosa faring, yang biasanya
meluas pada jaringan sekitarnya.20 Sebagian besar kasus faringitis
disebabkan oleh virus dan self limited. Faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus beta hemolitikus grup A (SBHGA) merupakan salah satu
faringitis dengan indikasi terapi antibiotik.21 Terapi yang tepat terhadap
SBHGA dapat menurunkan risiko demam rematik akut, komplikasi
suppuratif, dan penyebaran penyakit ini.

Epidemiologi

Di dunia terdapat 156 juta kasus baru infeksi saluran pernapasan akut
setiap tahun, dimana 151 juta (96,7%) terjadi di negara- negara
berkembang.21 Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah kasus
infeksi saluran pernapasan akut dengan 6 juta kasus baru setiap tahunnya.

2
Etiologi

Etiologi penyakit faringitis di antaranya adalah infeksi (bakteri, virus


dan jamur) atau noninfeksi (bahan iritan, rokok). Sebagian besar infeksi
disebabkan oleh virus, terutama pada bayi dan anak usia prasekolah.22
Faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus jarang terjadi pada anak
usia 2-3 tahun dan mencapai puncak insiden pada usia sekolah antara 5
dan 11 tahun.

3
Patogenesis

Mukosa faring diinvasi oleh bakteri atau virus secara langsung kemudian
menyebabkan proses inflamasi lokal. Inflamasi dapat terjadi pada bagian
nasofaring, uvula, dan palatum molle. Pada faring, agen infeksi akan
berinokulasi lalu memicu proses inflamasi lokal, sehingga mengakibatkan
faring hiperemis dan tonsil membesar.

Manifestasi Klinis

Gejala klasik faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus:

 Onset mendadak demam


 Malaise
 Sakit tenggorokan Nyeri saat menelan
 pembengkakan kelenjar getah bening leher
 Sakit perut dan muntah sering terjadi

Untuk tipe virus sering didapatkan

 Batuk
 Rinorrhea
 Suara serak Iritasi konjungtiva
 Diare

4
Pemeriksaan fisik dapat didapatkan:

Demam (seringkali lebih tinggi dari 39°C) Eritema dan edema tonsil dan
faring posterior, yang dapat ditutupi dengan eksudat putih atau kuning kekuningan
(Gambar 7) Petechiae mungkin hadir di palatum molle. Pada faringitis virus,
kadang muncul ulkus di palatum molle dan dinding faring serta eksudat di
palatum dan tonsil. Hal ini sulit dibedakan dengan faringitis karena Streptococcus.
Gejala faringitis dapat menghilang dalam 24 jam hingga 4-10 hari, Faringitis
biasanya merupakan self limiting disease, jarang terjadi komplikasi, dan prognosis
dari pasien faringitis baik.

Diagnosis

Faringitis didiagnosis pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


Faringitis Streptococcus dan faringitis virus sulit untuk dibedakan jika hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gold standard diagnosis faringitis
bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok.

5
Berkenaan dengan diagnosis, skor klinis yang diusulkan oleh Centor dan
kemudian dimodifikasi, mempertimbangkan kombinasi antara tanda dan gejala
yang menunjukkan faringitis GABHS, dapat membantu dokter untuk mengatasi
diagnosis.

Tatalaksana

Terapi suportif:

• Istirahat cukup

• Pemberian cairan yang sesuai Penggunaan obat kumur dan lozenges

Terapi medikamentosa:

• Analgetik & Antipiretik

6
a. Paracetamol: 10-15 mg/kgBB/pemberian 3-4 kali sehari

b. Ibuprofen: 20mg/kgBB/hari dosis terbagi 3-4

• Antibiotik .

a. Amoxicilin: 10-15mg/kgBB/pemberian 2 kali sehari, jika berat 3 kali


sehari selama 10 hari

b. Klindamisin: 20-30 mg/kgBB/hari selama 10 hari

c. Eritromisin: 30-50mg/kgBB/hari dibagi 2 sampai 4 kali pemberian


selama 10 hari

d. Amoxiclav: 40 mg/K9BB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari

e. Cefadroxil: 30mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian selama 10


hari f. Cefalexin: 25-50mg/KGBB/hari dibagi dalam 2 sampai 4 kali
pemberian selama 10 hari

Untuk faringitis Streptococcus grup A:

a. Benzatin penisilin G intramuskular dengan dosis 600.000 IU (BB < 30 kg)


dan 1.200.000 IU (BB > 30 kg).

b. Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari

Komplikasi

Penyakit ini jarang terjadi komplikasi. Beberapa kasus dapat menyebabkan


otitis media purulen. Ulkus kronis dapat terjadi sebagai komplikasi dari faringitis
bakteri dan virus. Terjadinya komplikasi tersebut akibat penyebaran agen infeksi
baik langsung atau secara hematogen.22 Penyebaran secara langsung,
menyebabkan otitis media rhinosinusitis, mastoiditis, abses retrofaringeal, adenitis
servikal, atau parafaringeal serta pneumonia. Penyebaran hematogen dapat
menyebabkan osteomyelitis, meningitis, atau artritis septik. Komplikasi non
supuratif berupa demam rematik dan glomerulonefritis.

7
 FARINGITIS KRONIK

Sebenarnya bukan suatu bentuk keradangan (itis), tetapi merupakan


penyakit yang kekambuhannya banyak dipengaruhi oleh iritasi bahan
tertentu. Bahan tersebut adalah asap rokok, debu rumah, asap, sekret
hidung (post nasal drip) dari sinusitis maksila atau rinitis kronik. Selain
itu, juga dari makanan misalnya makanan yang digoreng, kacang, lombok,
merica, alkohol, telur, buah-buahan yang bergetah atau asam.

Diagnosis

Keluhan faringitis kronik bersifat individual, dari keluhan ringan


sampai hebat. Pada penderita yang neurotik keluhan terasa lebih hebat,
berupa rasa gatal, panas dan kering di faring, tenggorok terasa sakit,
banyak lendir dan kadang-kadang disertai batuk. Pada pemeriksaan faring
tampak granula membesar dan sering kali hiperemis.

Terapi

Faringitis kronik merupakan penyakit yang sulit disembuhkan. Yang


dapat: dilakukan adalah mengurangi keluhan penderita, dengan cara
menyembuhkan penyakit penyebab (sinusitis, rinitis), menghindari bahan
iritan, dan menghilangkan alergen. Obat antihistamin diberikan guna
mengurangi rasa gatal tenggorok. Tablet isap atau obat kumur tidak
diperlukan sebab kegunaannya tidak banyak. Jika granula terlihat besar
dapat dilakukan kaustik dengan AgNO, 50%.

8
B. TONSILITIS
I. PENGERTIAN
Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang
terletak di kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan belakang
mulut .Radang amandel, dua jaringan kelenjar getah bening yang
terletak di belakang tenggorokan disebut sebagai tonsilitis .Tonsilitis
adalah radang tonsil yang dapat mengenai semua umur tetapi
utamanya terjadi pada anak-anak .Tonsilitis merupakan peradangan
tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer.

II. ETIOLOGI
Radang amandel (tonsilitis) dapat disebabkan oleh bakteri atau
virus . Tonsilitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun hampir
50% kasus tonsilitis disebabkan karena infeksi bakteri
streptokokkus.Radang tersebut merupakan infeksi dari berbagai jenis
bakteri. Penyebab tonsilitis yang penting namun kurang umum
termasuk mononukleosis infeksius (demam kelenjar) sebagai akibat
infeksi oleh virus Epstein-Barr (EB), difteri, yang tidak umum di Barat
karena vaksinasi tetapi dapat dilihat di negara berkembang, dan
infiltrasi tonsil dari leukemia limfoblastik akut . Faktor-faktor berikut
ini mempengaruhi tonsilitis :
1. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu)
2. Cuaca
3. Pengobatan tonsilitis yang tidak memadai
4. Sering memiliki riwayat ISPA dengan pengobatan yang tidak
tuntas.

9
III. TANDA DAN GEJALA
Radang amandel kronis ditandai dengan :
1. Sering batuk-pilek
2. Suara menjadi kurang jelas
3. Tidur dengan mulut yang terbuka
4. Menurunnya aktivitas
5. Lemas
6. Lebih sering tidur dari biasanya
7. Muntah
8. Terjadinya perubahan warna pada daerah tonsil dan sekitarnya
9. Terjadi pembengkakan pada tonsil
10. Demam
11. Lemah
12. Nyeri tenggorokan
13. Gangguan menelan
14. Amandel tampak membesar, merah, dan terdapat bercak-bercak
putih kekuningan
15. Tender
16. Kaku
17. Leher bengkak
18. Sakit kepala
19. Otalgia
20. Panas dingin

IV. KLASIFIKASI
Radang amandel ada dua macam, yaitu tonsilitis akut dan tonsilitis
kronis.
1. Radang amandel (tonsilitis) akut
Tonsilitis akut adalah penyakit infeksi tonsil dengan gejala
demam,lemah,nyeri tenggorokan dan gangguan menelan. Radang
amandel akut ini disebabkan oleh kuman Streptococcus beta

10
hemolyticus, Streptococcus viridians, Streptococcus pyogenes, dan
juga dapat disebabkan oleh virus.

2. Radang amandel (tonsilitis) kronis


Salah satu jenis penyakit tonsilitis yang paling sering terjadi
pada tenggorokan terutama pada usia muda ialah tonsilitis kronis.
Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena
kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
penderita tonsilitis akut. Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil
yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang
berulang.
Tonsillitis kronis dapat disebabkan oleh serangan ulang dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada
tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang sering
adalahstreptococcus β hemolyticus grup A (SBHGA).Selain itu
terdapat streptococcus pyogenes, streptococcus grup B, C,
adenovirus, Epstein barr, bahkan virus herpes.

V. FUNGSI
Tonsil berfungsi untuk :
1. Membantu menyaring bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai
tindakan pencegahan terhadap infeksi.
2. Mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan
cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami
peradangan.
3. Agar kuman-kuman yang masuk lewat mulut, hidung, dan
kerongkongan tidak dapat masuk ke dalam tubuh.

11
Fungsi cincin waldeyer adalah :

Sebagai benteng bagi saluran makanan maupun saluran napas


terhadap serangan kuman-kuman yang ikut masuk bersama makanan/
minuman dan udara pernapasan. Selain itu, anggota-anggota cincin
waldeyer ini dapat menghasilkan antibodi dan limfosit.

VI. PATOFISIOLOGI
Bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau
mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/penyaringan menyelimuti
organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini
akan memicu sistem kekebalan tubuh yang akan membentuk antibodi
terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat
menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul
tonsilitis [16].Tonsilitis akut dapat terjadi berulang kali, terutama pada
mereka yang memiliki resistansi rendah terhadap infeksi.

VII. CARA PENGOBATAN


Perawatan untuk mengurangi ketidaknyamanan dari gejala tonsilitis
meliputi :
1. Rasa sakit, anti-inflamasi, demam mengurangi obat
(acetaminophen,ibuprofen)
2. Sakit tenggorokan lega (obat kumur air garam,belah ketupat, cairan
hangat)

Jika tonsilitis disebabkan oleh A. streptococcus, maka antibiotik


yang berguna dengan penisilin atau amoksisilin baris pertama sedang.
Sebuah macrolide seperti eritromsin digunakan untuk pasien yang
alergi terhadap penisilin. Pasien yang gagal terapi, penisilin mungkin
menanggapi pengobatan yang efektif terhadap lactanse, memproduksi
bakteri beta seperti klindamisin atau amoksisilin-klavulanat. Aerobik

12
dan anaerobik beta penghasil laktamase bakteri yang berada di
jaringan tonsil dapat “perisai” kelompok A.streptococcus dari
penisilin. Bila tonsilitis disebabkan oleh virus, panjang penyakit
tergantung pada virus mana yang terlibat. Biasanya, pemulihan
lengkap dibuat dalam satu minggu, namun dapat berlangsung selama
dua minggu. Kronis, dapat diobati dengan tonslektomi (operasi
pengangkutan tonsil) sebagai pilihan untuk pengobatan .

Jika terjadi pada anak :

1. Periksa kondisi amandel anak sejak dini untuk mengetahui apakah


amandel membengkak
2. Hindari minum es serta makanan yang bersifat asa dan pedas
karena dapat memperparah keadaan amandel
3. Jaga daya tahan tubuh anak dengan memberikan asupan makanan
bergizi yang cukup dan seimbang, seperti buah dan sayur
4. Bila anak menderita amandel kronis, konsultasikan hal ini dengan
dokter THT.

C. LARINGITIS

I. PENGERTIAN

Laringitis merupakan peradangan di pita suara yang bisa


disebabkan oleh virus, penggunaan berlebihan suara. Jika disebabkan oleh
virus akan sembuh dengan sendirinya.

Laringitis yaitu suatu kondisi peradangan peradangan pada


membran mucous laring. Penyakit ini umumnya ditandai dengan rasa
kering dan nyeri pada tenggorokan, batuk, sulit menelan, nyeri saat
berbicara, suara menjadi purau, dan demam.

13
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Laring ( tenggorok) terletak didepan bagian terendah faring yang


memisahkan dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk kedalam trakea dibawahnya.

Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh
ligamen dan membran. Yang terbesar diantaranya ialah tulang rawan tiroid
dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal
sebagai jakun, yaitu disebelah depan leher. Laring terdiri atas dua lempeng
atau lamina yang bersambung digaris tengah. Ditepi atas terdapat lekukan
berupa v. Tulang rawan krikoid terletak dibawah tiroid, bentuknya seperti
cincin mohor denagn mohor cincinnya disebelah belakang ( ini adalah
tulang rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang
rawan lainnya ialah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang
disebelah belakang krikoid kanan dan kiri tulang rawan kuniform dan
tulang rawan kornikulata yang sangat kecil.

Terkait dipuncak tulang rawan tiroid terdapat epiglotis, yang berupa


katup tulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu menelan.
Laring dilapisi jenis selaput lendir yang sama dengan ayng ditrakea
kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi sel epitelium berlapis.
Pita suara terletarik disebelah dalam laring, berjalan dari tulang rawan
tiroid disebelah depan sampai dikedua tulang rawan aritenoid. Dengan
gerakan dari tulang rawan aritenoid yang ditimbulkan oleh berbagai otot
laringeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan. Dengan demikian
lebar sela-sela antara pita-pita atau rima glotidis berubah sewaktu bernapas
dan berbicara.

Laring merupakan jalan masuk dari jalan udara di titik persilangan


berbahaya dengan saluran pencernaan, tempat ludah, makanan dan
minuman dibawah kebelakang, masuk kekerongkongan menuju lambung
dan udara melewati pipa depan (trakea= tenggorok) ke arah bawah menuju

14
paru. Jalan udara tertutup oleh katup laring. Dibawah katup laring terletak
terletak dua pasang lipatan, tali suara yang secara rancu disebut pita suara.
Dengan bantuan pasangan terbawah, pita suara yang sebenarnya,kita
berbicara dan bernyanyi. Untuk menuntun makanan, minuman, dan udara
ke jalur yang benar dan untuk membuat suara kita dapat ditangkap secara
abik, beberapa puuh saraf dapat mengendalikan tujuh puluh otot besar dan
kecil didaerah ini. Dengan cara inilah kita dapat berbicara, makan, minum,
dan tertawa.Kadang ada sedikit kesalahan pada pengaturan ini sehingga
sedikit ludah, makanan atau minuman masuk ke pipa udara. Hal ini
langsung merangsang dan membuat selaput lendir waspada, sehingga
terjadi refleks batuk. Didaerah inilah, pita suara mula-mula ditutup kedap
udara, sesudah tekanan tinggi dibangun diparu, diikuti tekanan dari sekat
rongga badan akibat tekanan kuat dari perut. Membuka pita suara secara
mendadak pada saat tekanan semakin tinggi akan menimbulkan letusan
yang membawa keatas semua kotoran yang tidak dikehendaki itu dari pipa
udara atau peercabangannya. Batuk adalah sesuatu yang sehat ; suatu
pengaman yang efektif.

Laring berperan untuk pembetukan suara dan untuk melindungi


jalan napas terhadap masuknya makanan dan cairan, karena ini dapat
menyebabkan batuk bila terangsang.

III. ETIOLOGI

Laringitis jika disebabkan oleh virus akan sembuh dengan


sendirinya. Jika karena penggunaan berlebihan pita suara seperti berteriak
berlebihan, bersorak, menyanyi, maka istirahatkanlah suara. Penggunaan
suara berlebihan dalam jangka panjang dapat menyebabka terdapat nodul
yang tumbuh ditali suara atau bisa menjadi peradangan yang menetap
(laringitis kronik). Laringitis kronik bisa terjadi karena asap rokok yang
menjadi resiko kemungkinan terjadi kanker laring. Didaerah endemik

15
tuberkolosis (TBC) seperti di indonesia laryngitis dapat disebabkan oleh
kuman TBC.

Faktor- faktor penyebab terjadinya laryngitis :

1. Virus
2. Bakteri
3. Alergi
4. Mengeluarkan suara berlebihan
5. Ganggun keseimbangan elektrolit, terutama rendah kalium yang
menyebabkan lemah pada otot
6. Tumor ( jarang )
7. Resiko meningkat pada : terpapar bahan iritan ( diruang ber AC ),
cuaca sangat dingin, merokok, bronkitis, bronkopneumonia.
8. Makan-makanan yang berminyak

IV. TANDA DAN GEJALA

Laringitis dapat terjadi akibat erupsi membran mucous atau akibat


komplikasi penyakit infeksi lain seperti campak, demam merah, dan
sebagainya.

Tanda dan gejala :

1. Peradangan ringan pita suara dan jaringan sekitar


2. Suara serak sampai hilang
3. Tenggorokan rasa sakit dan tidak enak
4. Terasa benjolan di tenggorokan
5. Kadang-kadang demam
6. Kesulitan menelan

16
V. PATOFIOLOGI

` Biasanya merupakan komplikasi dari koria atau suatu penyakit infeksi


seperti misalnya campak. Ditandai oleh sakit tenggorokan dengan suara serak,
disertai oleh batuk non-produktif dan biasanya sembuh sendiri dengan cepat,
meskipun serangan ulang dapat merupakan predisposisi dari laringitis kronis

Pada laringitis akut, edema pita suara menyeabkan suara serak dan
kecil. Hal ini bisa disebabkan oleh stres, pemakaian pita suara yang berlebihan
atau infeksi pernapasan.

VI. PENGOBATAN

Pengobatan tradisional:

 60 gr akar terung segar atau 15-30 gr yang kering, air, dan gula
secukupnya direbus hingga menjadi kental. Ambil airnya sebanyak 50 ml
lalu diminum.
 60 gr akar terung segar atau 15-30 gr yang kering, 80 gr daun lidah buaya
(dikupas kulitnya), 10 lembar daun sambung nyawa direbus dengan 600 cc
air hingga tersisa 200 cc, disaring, airnya diminum dalam keadaan hangat.
 30 gr akar terung kering, 15 gr sambiloto kering direbus dengan 600 cc air
hingga tersisa 200 cc, tambahkan madu secukupnya, diaduk rata,
diminum.

17
D. ABSES PERITONSILAR

I. PENGERTIAN

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti
dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor
faring dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil
(biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil merupakan infeksi pada
tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.

Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering
terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi
superfisial dan berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis.
Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi
ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke
intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan
obstruksi jalan nafas.

Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau


Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil
yang terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supurat

Gambar 7. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra, Abses peritonsil


sinistra.

18
II. ETIOLOGI

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut


atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. (4)
Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan
abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik
streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan
organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella,
Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses
peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik.(11) Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil
antara lain Epstein-Barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan
parainfluenza.

III. GEJALA KLINIK

Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai
terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub
superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan
yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis,
dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin
memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan


odinofagia yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa
sakit karena m. Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa
lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, mulut berbau (foetor ex
orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(4)
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang
terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem

19
perifokalis, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang
bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m.
Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut.
Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan
terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring.
Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua
tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan.
Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri
leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).

IV. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis


abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada
tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses
peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa
kurang nyaman pada pharingeal unilateral.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri


faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri
tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan
hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong
ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior
dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler

20
tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang
diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan
penonjolan jaringan dari garis tengah.Asimetri palatum mole, tampak
membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi palatum mole teraba
fluktuasi.

3. Pemeriksaan Penunjang

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk


penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan
yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan
dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin
dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada
syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda
khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat
diketahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.
Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit


(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan
antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi
antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral
soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu
dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

21
 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada
tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang
asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi.
 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral
ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 %
dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai
sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan
noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan
awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih
terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.

V. DIAGNOSIS BANDING

1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit


abses leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua
penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya
gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk
membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.

22
VI. TERAPI

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.


b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e)
Pemberian steroid.

VII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau


piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik
apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis
septik ke selubung karotis atau carotid sheath.
 Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri
supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses


peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

23
E. PSEUDO CROUP ACUTE EPIGLOTITIS

I. PENGERTIAN
Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik acute yang menyerang
mukosa dan menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah larynx dan vocal
cord, terkadang juga mengenai trachea dan cabang bronkus. Terbentuknya
“Pseudo” croup yang artinya Kruup “sangat berbahaya” dan ini
membedakannya dengan “real” croup seperti yang terjadi pada penyakit
diphteria. Saluran larynx menjadi sempit akibat edema, dyspneu bisa muncul
cepat dengan typical suara serak, kasar, seperti batuk croup dan bisa saja
mengancam jiwa terutama pada anak – anak.
Karakteristik pseudo croup adalah batuk yang mengonggong, suara serak,
stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
Pada pseudo croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya dipicu
oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi
menyebabkan pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan
normal. Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, terjadi
biasanya secara umum pada bayi dan anak-anak dan dapat memiliki berbagai
penyebab.
Berdasarkan derajat kegawatan, dibagi menjadi 4 kategori:
1. Ringan: ditandai dengan adanya batukkeras menggonggong
yang kadang – kadang muncul, stridor yang tidak terdengar
ketika pasien beristirahat/ tidak beraktivitas, dan retraksi
ringan dinding dada
2. Sedang: ditandai dengan batuk yang mengonggong yang
sering timbul, stridor yang mudah didengar ketika pasien
beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada yang
sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat napas.
3. Berat: ditandai dengan batuk mengonggong yang sering
timbul, stridor inspirasi yang terdengar jelas ketika pasien

24
beristirahat, dan kadang – kadang disertai dengan stridor
ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas
4. Gagal napas mengancam: batuk kadang – kadang tidak jelas,
terdengar stridor (kadang – kadang sangat jelas ketika pasien
beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.
II. ANATOMI FISIOLOGI
1. Laring
Laring merupakan bagian terbawah saluran nafas bagian
atas. Bentuk menyerupai limas segitiga terancung, dengan bagian
atas lebih besar dari bagian bawah. Batas stas adalah aditus laring
dan bagian bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun dari 1 tulang, yaitu tulang hyoid,
dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hioidd berbentuk seperti
huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah,
mandibula dan tengkorak yang dihubungkan oleh tendo dan otot-
otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan
laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini
bekerja membuka mulut dan membentu menggerakkan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kurneifornis, dan kartilago tritisea.

2. Epiglotis
Epiglottis adalah kartilago yang berbentuk daun dan menonjol
keatas dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada
bagian belakang Vertebra cartilago thyroideum. Plica
aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis
menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring
Epiglottis dewasa umumnya sedikit cekung pada bagian
posteriorNamun pada anak dan sebagian orang dewasa, epiglottis
jelas melengkung dan disebut epiglottis omega atau juvenilis.

25
Fungsi epiglottis sebagai lunas yang mendorong makanan yang
ditelan ke samping jalan nafas laring. Selain itu, laring juga
disokong oleh jaringan elastik.
Plika ariepiglotika, berjalan ke belakang dari bagian samping
epiglottis menuju kartilago aritenoidea, membentuk batas jalan
masuk laring. Kartilago krikoidea adalah kartilago berbentuk
cincin signet dengan bagian yang besar di belakang. Terletak
dibawah kartilago tiroidea, berhubungan melalui membrana
krikotiroidea. Kornu inferior kartilago tiroidea berartikulasi dengan
kartilago tiroidea pada setiap sisi.

III. ETIOLOGI
Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus)
adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV- 2,3, dan 4,
virus influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Synctial virus (RSV),
dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukanMycoplasma
pneumonia.

IV. EPIDEMIOLOGI
Pseudo Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada
anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi
untuk kejadian ini cukup kecil. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak
laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya
meningkat pada musim dingin dan musim gugur pada negara-negara sub-
tropis sedangkan pada negara tropis seperti indonesia angka kejadian
cukup tinggi pada musim hujan, tetapi penyakit ini tetap dapat terjadi
sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan
infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada
usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi

26
saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien pseudo croup mempunyai
keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.

V. PATOGENESIS
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia
dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring.
Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea
menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau).
Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama
inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring,
dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai
dengan derajat stress pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung area
laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi, bila diduga
terdapat epiglotis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia,
drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis croup. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
presentasi klinis dan kombinasi dengan pemeriksaan riwayat penyakit yang
teliti serta pemeriksaan fisik. Jika ingin dilakukan pemeriksaan laboratorium,

27
hal ini dapat dibenarkan dan harus ditunda saat pasien dalam distres
pernapasan.
Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk pasien dengan riwayat
penyakit yang tipikal yang berespon terhadap pengobatan, tetapi
bagaimanapun juga, foto lateral dan anteroposterior (AP) dari jaringan lunak
leher dapat membantu dalam mengklarifikasi diagnosis pada anak dengan
gejala serupa croup.
Pada foto leher lateral, secara diagnostik dapat membantu,
menunjukkan daerah subglotis yang menyempit serta daerah epiglotis yang
normal.
Pemeriksaan saturasi dengan pulse oxymetre diindikasikan untuk anak
anak dengan croup derajat sedang sampai berat. Terkadang, anak dengan
gejala croup bukan derajat beratpun memiliki saturasi oksigen yang rendah,
berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner.
Kultur virus atau pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan rutin,
khususnya selama periode epidemik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit > 20.000/mm3 yang didominasi
oleh PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.

- Pemeriksaan Radiologis dan CT Scan


Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero anterior
ditemukan gambaran udara stepple sign (seperti menara) yang
menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis. Gambaran
radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus.
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan
berbagai diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak
(intensitas rendah) saluran napas atas dapat dijumpai sebagai
berikut:
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran
trakea yang compang camping
2. Pada epiglotis, tampak gambaran epiglotis yang menebal

28
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior
faring yang menonjol.
Pemeriksaan CT-Scan dapat lebih jelas menggambarkan
penyebab obstruksi pada pasien dengan keadaan klinis yang
lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di bawah enam
bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan
ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai
adanya massa.

VIII. TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas.
1. Terapi inhalasi
2. Epinephrin
Nebulisasi epinephrin sebaiknya diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang – berat yang disertai dengan stridor saat
istirahat dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan
retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah
diberikan terapi uap dingin. Efek terapi nebulisasi epinephrin
ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama 2 jam.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme antiradang.
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/intramuskular sebanyak satu kali, dan dapat dihitung
dalam 6 – 24 jam. Selain deksametason dapat juga diberikan
prednison atau prednisolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB.
4. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang
berat, yang tidak responsif terhadap terapi lain. Intubasi

29
endotrakeal merupakan terapi alternatif selain trakeostomi
untuk mengatasi obstruksi jalan napas.

F. DIFTERI

I. PENGERTIAN

Difteri merupakan infeksi akut dengan gambaran klinis berupa


inflamasi sekitar fokal infeksi dan gambaran sistemik yang dihhubungkan
dengan penyebaran dan efek toksin difteri. Penyakit ini bia b sanya
menyerang saluran nafas atas , namun beberaapa kasus juga ditemukan di kulit
organ lain. Difteri mudah menular melalui udara dengan masa inkubasi antara
1 – 10 ( tersering 2-5 ) hari dan biasanyamenyerang anak – anak , meskipun
dapat juga terjadi pada orang dewasa.

Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas.
Penyakit ini dominan menyerang anak – anak , biasanya bagian tubuh yang
diserang adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran
pernafasan bagian atas. Ciri yang khusus pada difteri ialah terbentuknya
lapisan yang khas selaput lendir pada saluran nafas , serta adanya kerusakan
otot jantung dan saraf.

30
Difteri adalah penyakit saluran pernafasan atas akut yang sangat
menular yang disebabkan oleh kuman Cornyebacterium Diphtheriae.Kuman
ini menghasilkan toksin yang menyebar sistemik dan menyebabkan kerusakan
pada epitel saluran nafas, jantung , ginjal , saraf otak dan saraf tepi

II. ANATOMI FISIOLOGI

Secara sistematis sistem pernafasan dibagi menjadi saluran pernapasan


atas dan saluran pernapasan bawah. Organ saluran pernapasan atas terletak di
luar toraks atau rongga dada , sementara saluran pernapasan bawah terletak
hampir seluruhnyadi dalam toraks.

Saluran pernapasan atas terdiri dari :

 Hidung
 Nasofaring
 Orofaring
 Laringofaring

31
 Laring

Saluran pernapasan bawah terdiri dari :

 Trakea
 Bronkus
 Paru – Paru

Fisiologi Peranapasan adalah serangkaian proses interaksi dan


koordinasi yang kompleksyang mempunyai peranan sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan atau homeostatis lingkungan internal tubuh kita.

Fungsi sistem pernapasan :

1. Tempat terjadinya pertukaran gas dari atmosfer dengan sirkulasi darah

2. Memindahan udara dari permukaan paru

3. Melindungi dan menjaga mukosa pernapasan dari dehidrasi , perubahan suhu,


atau variasilingkungan sekitaar , serta mempertahankan permukaan mukosa
lainnya dari invasi bakteri patogen

4. Memproduksi bunyi atau suara untuk berbicara

III. ETIOLOGI

Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama


Cornyebacterium diphteriae, suatu bakteri basil gram positif berbentuk
polimorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan sensitif terhadap panas,
kering, serta sinar matahari.

IV. GEJALA PENYAKIT DITERI :

Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9ᵒ C


Batuk dan pilek yang ringan
Sakit dan pembengkakakan pada tenggorokkan
Mual, muntah , sakit kepala

32
Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu –
abuan kotor
Kaku leher Andereto, Obi . Penyakit Menular di sekitar Anda. Jakarta
Selatan. 2015. Pustaka Ilmu Semesta . Hal : 125 )

V. Tanda penyakit Difteri

 Ada membran tebal warna abu – abu yang melapisi tenggorokkan dan
tonsil
 Sakit tenggorokkan dan suara serak
 Sakit ketika menelan
 Kelenjar getah bening di leher membengkak
 Kesulitan bernafas dan nafas cepat
 Keluar Cairan dari hidung
 Demam dan menggigil

Tanda dan gejala umumnya muncul 2- 5 hari setelah terinfeksi, namun


mungkin juga baru muncul 10 hari kemudian . Penularan penyakit difteri
terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan oleh penderita ketika batuk atau
bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue atau sapu tangan atau gelas
bekas minum penderita atau menyentuh luka penderita.

VI. PATOGENESIS

Pada umumnya difteri timbul akibat masuknya bakteri penyebab ke dalam


tubuh dan berkembang biak pada mukosa saluran nafas atas. Proses perlekatan
bakteri pada mukosa saluram nafas atas diperantaioleh adanya pili pada
permukaan sel bakteri. Selanjutnya , akan terjadi reaksi infamasi pada daerah
fokal infeksi, diikuti akumuloasi fibrin yang diinfiltrasi oleh leukosit. Sel
epitel akan mengalami destruksi dan terbentuk selaput yang dikenal dengan
pseudomembran tidak terlepas dari peran toksin difteri yang dihasilkan bakteri
penyebab. Hal ini berdasarkan hasil pengamatan yang menemukan bahwa
pseudomembran jarang terjadi pada kasus – kasus yang disebabkan oleh strain
non – leksigenik. Respon inflamasi akan menyebabkan terjadinya

33
pembengkakan kelenjar limfe dan jaringan di sekitar fokal infeksi ditandai
dengan pembenggkakan daerah leher yang dikenal dengan bullneck. Toksin
difteri yang dihasilkan bakteri penyebab akan masuk ke dalam perederan
darah dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan keruksakan jaringan ,
terutama organ jantung dan jaringan saraf karena pada sel jantung dan sataf
terdapat banyak reseptor untuk toksin difteri. (Sunarno dkk, Pengembangan
Metode Diagnostik Cepat Laboratorium untuk Identifikasi Penyebab Difteri.
Jakarta.2015 . Hal : 16 )

VII. GAMBARAN KLINIS

Masa inkubasi difteri sekitar 1 – 10 hari dan paling sering 2- 5 hari. Gambaran
klinis tergantung dari lokasi fokal infeksi, imunitas pejamu , dan perjalanan
penyakit. Gejala awal atau ringan pernafasanan pada difteri pernafasan tidak
khas, menyerupai faringitis atau laringitis pada umumnya, yaitu demam ringan
sampai sedang, sakit tenggorokan , suara serak, batuk dan pembengkakan
kelenjar limfe sekitar leher. Gambaran klinis yang lain berupayang lain berupa
mual, muntah dan sakit kepala yang lebih sering terjadi pada difteri
dibandingkan faringitis atau laringitis oleh Streptococcus atau yang lainnya.

VIII. CARA PENULARAN

Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung.
Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin
membawaserta kuman-kuman difteri.Melalui pernafasan kuman masuk ke
dalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri
dari seorang penderita kepada orang-orang disekitarnya.

IX. AKIBAT PENYAKIT DIFTERI

34
Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk
racun atau toksin yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit
tenggorokkan. Kemudian berlanjut dengan terbentuknya selaput pitih di
tenggorokkan akan menimbulkan gagal nafas , kerusakan jantung dan saraf.
Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata,
vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal.

X. PENCEGAHAN DIFTERI

Pencegahan penyakit difteri dilakukan dengan vaksinasi toksoid


difteri. Tujuan utama pemberian vaksin toksoid difteri adalah menstimulasi
terbentuknya antibodi terhadap toksin difteri yang dihasilkan bakteri penyebab
sehingga orang yang divaksin tidak serta merta terbebas dari serangan difteri

XI. PENGOBATAN DIFTERI

Penderita difteri harus diisolasi sampai 48 jam setelah diberikan pengobatan


dengan antibiotika. Pengobatan difteri meliputi :

Antioksin difteri untuk menetralisir toksin bakteri diberikan intravenus


Antibiotika ( eritromisin oral ) untuk membunuh bakteri untuk mencegah
difteri telah digunakan Tripple Vaccine

35
G. ASMA BRONKIALE

I. PENGERTIAN

Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan


Asaluran napas yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan
sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi pernapasan di antara dua interval
asimtomatik. Namun, ada kalanya sifat reversibel ini berubah menjadi kurang
reversibel (penyempitan baru hilang setelah mendapat pengobatan). Penyumbatan
saluran napas yang menimbulkan manifestasi klinis asma adalah akibat terjadinya
bronkokonstriksi, pembengkakan mukosa bronkus dan hipersekresi lendir karena
hiperreaktivitas saluran pernapasan terhadap beberapa stimulus.

Hal yang selalu dapat ditemui pada penderita asma adalah saluran
pernapasannya yang hiperresponsif terhadap stimulus. Untuk setiap
penderita,stimulusnya tidak selalu sama. Dalam keadaan serangan asma, sangat
mudah untuk menegakkan diagnosisnya, tetapi ketika berada dalam episode bebas
gejala, tidak mudah untuk menentukan seseorang menderita asma.

II. ETIOLOGI

Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, yaitu 3-5%,
etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat
hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian besar penderita asma,
ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering dipicu oleh
pemajanan terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi, jika
ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal
ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan
seseorang menderita asma. Faktor genetik yang diturunkan adalah kecenderungan
memproduksi antibodi jenis IgE yang berlebihan. Seseorang yang mempunyai
predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut mempunyai sifat atopik,

36
sedangkan keadaannya disebut atopi. Namun, ada penderita asma yang tidak
atopik dan juga serangan asmanya tidak dipicu oleh pemajanan terhadap alergen.
Pada penderita ini, jenis asmanya disebut idiosinkratik; biasanya serangan
asmanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas.

Penyebab Debu di dalam rumah, seperti debu dari kasur kapuk, permadani,
sofa, pakaian yang disimpan lama dalam lemari, langit-langit rumah, buku-buku
(arsip lama),

1. rokok. dan asap

2. Makanan, terutama jenis ikan laut, susu sapi, telur, dan cokelat. Juga makanan
pedas, dingin, bergetah, asin, atau manis.

3. Bulu binatang yang menempel di sofa, permadani, sprei, atau tirai (kelambu).

4. Perubahan cuaca dan kelembapan udara.

III. KOMPLIKASI

Jika sering terjadi dan telah berlangsung cukup lama, serangan asma akan
mengakibatkan paru-paru basah dan perubahan bentuk rongga dada (toraks).
Toraks membungkuk ke depan dan jantung menyempit. Jika banyak sekali
jumlahnya, lendir akan menyumbat paru- paru dan akan mengganggu
kontraksi paru-paru. Serangan asma yang berlanjut berhari-hari disebut
asthmaticus. Jika tidak ditolong, penderita akan mengalami gangguan pada
jantung.

IV. PATOFISIOLOGI

37
Keadaan yang dapat menimbulkan serangan asma menstimulasi terjadinya
bronkospasme melalui salah satu dari 3 mekanisme, yaitu:

1. Degranulasi sel mast dengan melibatkan imunoglobulin E (IgE)

2. Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE.

Degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamin, yaitu suatu slow-


reacting substance of anaphylaxis, dan kinin yang menyebabkan bron-
kokonstriksi.

3. Stimulasi langsung otot bronkus tanpa melibatkan sel mast.

Episode bronkospastik berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-GMP (cyclic


guanosine monophosphate) atau konsentrasi c-AMP (cyclic adenosine
monophosphate), atau konsentrasi keduanya di dalam otot polos bronkus dan sel
mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan penurunan konsentrasi c-AMP
intraselular berkaitan dengan terjadinya bronkospasme, sedangkan keadaan yang
sebaliknya, yaitu penurunan konsentrasi c-GMP dan peningkatan konsentrasi c-
AMP menyebabkan bronkodilatasi. Produksi IgE spesifik memerlukan sensitisasi
terlebih dahulu.

Penurunan aliran udara ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh bronko-


konstriksi saja, tetapi juga oleh adanya edema mukosa dan sekresi lendir yang
berlebihan.

V. PATOLOGI

Informasi patologik asma didapat dari hasil otopsi. Pada asma yang berat,
ditemukan distensi paru yang berlebihan (overdistention) dan penutupan jalan
napas karena lendir yang tebal dan liat yang menyumbat jalan napas. Pada kasus
yang ringan dan sedang, dapat ditemukan:

 lesi epitel, permukaan epitel terlepas dari sel basal hipertrofi dan
hiperplasia otot polos

38
 penebalan membran basal
 pembesaran kelenjar mukosa dan bertambah banyaknya sel goblet
 edema dan infiltrasi sel eosinofil di dalam dinding bronkus.

VI. GAMBARAN KLINIK

Asma bukan suatu penyakit spesifik tetapi merupakan sindrom yang


dihasilkan mekanisme multipel yang akhirnya menghasilkan kompleks gejala
klinis termasuk obstruksi jalan napas reversibel. Sebagai sindrom episodik,
terdapat interval asimtomatik di antara kejadian serangan asma. Ciri-ciri yang
sangat penting dari sindrom ini, seperti dispnea, suara mengi, obstruksi jalan
napas reversibel terhadap bronkodilator, bronkus yang hiperresponsif terhadap
berbagai stimulus baik yang spesifik maupun nonspesifik, dan peradangan saluran
pernapasan. Semua ciri-ciri tadi tidak harus terdapat bersamaan.

Serangan asma ditandai dengan batuk, mengi, serta sesak napas. Gejala yang
sering terlihat jelas adalah penggunaan otot napas tambahan, timbulnya pulsus
paradoksus, timbulnya Kussmaul's sign. Pasien akan mencari posisi yang enak,
yaitu duduk tegak dengan tangan berpegangan pada sesuatu agar bahu tetap stabil,
biasanya berpegangan pada lengan kursi, dengan demikian otot napas tambahan
dapat bekerja dengan lebih baik. Takikardia akan timbul di awal serangan,
kemudian diikuti sianosis sentral.

Gejala asma dapat dibedakan dengan gejala penyakit obstruksi jalan napas
lainnya, seperti bronkitis kronik, emfisema, dan fibrosis kistik. Asma terjadi pada
penderita muda yang bukan perokok; saat berada di antara eksaserbasi akut, nilai
kapasitas residual fungsional adalah normal, daya tahan saat exercise dan
parameter spirometrik pada penderita asma tidak banyak berubah dibandingkan
penderita bronkitis kronik maupun penderita emfisema.

Sebagai ukuran sederhana, dapat dikatakan jika peak flow <120 liter atau
FEV, < 1 liter, keadaan ini disebut obstruksi saluran pernapasan berat. Untuk

39
menentukan apakah perlu perawatan di rumah sakit, digunakan indeks penilaian
derajat serangan asma sebagai berikut.

 Detak jantung >120/menit Takipneu dengan frekuensi>30/menit


 Pulsus parodoksus 218 mmHg
 PEF S 120L/menit

Jika keempat hal ini terdapat pada pasien, diperkirakan 95% akan terjadi relaps
dan perlu perawatan di rumah sakit. Namun demikian, ternyata yang dapat
digunakan sebagai petunjuk lebih tepat adalah keberhasilan pada terapi inisial.
Foto rontgen hanya berguna untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
pneumonia atau pneumotoraks, bukan untuk menilai derajat asma, walaupun
hiperinflasi paru dapat menunjukkan kemungkinan adanya serangan asma akut.

VII. KLASIFIKASI ASMA

Ada 2 penggolongan besar asma bronkial, yaitu asma bronkial yang


berkaitan dengan penderita yang mempunyai riwayat pribadi atau riwayat
keluarga dengan kelainan atopik; dan asma bronkial pada penderita yang tidak ada
kaitannya dengan diatesis atopik. Atopi adalah suatu keadaan respon seseorang
yang tinggi terhadap protein asing yang sering bermanifestasi berupa rinitis
alergika, urtikaria atau dermatitis. Asma yang berkaitan dengan atopi digolongkan
sebagai asma ekstrinsik atau asma alergik, sedangkan yang tidak berkaitan dengan
atopi digolongkan sebagai asma intrinsik atau asma idiosinkratik.

VIII. DIAGNOSIS

Pemeriksaan dilakukan dengan mendengar penuturan orangtua anak


penderita asma disertai dengan mengamati gejala berupa sesak napas, batuk,
dan napas berbunyi. Selanjutnya dokter akan melakukan pengetesan sebagai
berikut.

1. Uji kulit, berupa uji tusuk untuk melihat kerentanan anak terhadap alergen
tertentu.

40
2. Uji faal dengan menggunakan spirometer untuk mengukur derajat penyempitan
saluran napas.

3. Uji provokasi dengan menyemprotkan suatu bahan (alergen) melalui hidung.


Hasilnya akan positif jika terjadi penurunan faal

4. Pemeriksaan darah (laboratorium), dilakukan untuk menemukan IgE. paru.

5. Foto paru untuk mengetahui ada tidaknya penyakit paru yang menyertai,
misalnya TBC paru.

IX. PENGOBATAN

1. Pengobatan dilakukan dengan tablet, puyer, sirup, semprotan, suntikan, dan


supositoria atau obat yang diberikan melalui dubur.

2. Pengobatan terhadap asma tidak akan efektif jika tidak disertai dengan perilaku
menjauhi pencetus (alergen).

3. Obat asma dapat mempunyai efek samping, terutama jika dosisnya terlalu
banyak atau pengobatannya tidak teratur. Efek samping yang muncul berupa
muntah, sakit kepala, dan gemetar.

4. Pemakaian obat harus di bawah pengawasan dokter. Jangan menambah atau


mengurangi sendiri dosis obat.

5. Meskipun tak ada gejala, minumlah obat sesuai dengan anjuran dokter.

6. Jangan meminum obat-obat lain, kecuali yang telah dianjurkan oleh dokter.

7. Jika anak harus dibawa ke dokter spesialis lain, kecuali yang telah dianjurkan
oleh dokter.

8. Desensitisasi dilakukan dokter untuk menambah kekebalan pada anak. Caranya


dengan menyuntikkan ekstrak alergen sedikit demi sedikit dan dosisnya
dinaikkan, misalnya ekstrak debu rumah, pollen, atau spora jamur. Cara ini
dilakukan jika cara pengobatan lain tidak membawa hasil. Cara pengobatan

41
lain adalah dengan pelatihan napas, pelatihan jasmani, dan psikoterapi jika
ditemukan faktor emosi yang berpengaruh terhadap asma.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Libriyanty,Nurfanida.2015.Panduan Mandiri Melacak Penyakit.Jakarta:PT


Lintas Kata. Hal 12
2. Wijayakusuma,Hembing.2007. Penyembuhan dengan Terung.
Jakarta:Pustaka Populer Obat. Hal 13 dan 14
3. Buku Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan dan Sistem Kardiovaskuler
Edisi2.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 3
4. Pearce,Evelyn C.2009.ANATOMI DAN FISIOLOGI UNTUK
PARAMEDIS.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 258
5. Jong,Wim de.2005.KANKER APAKAH ITU?Pengobatan, Harapan
Hidup dan Dukungan Keluarga.Jakarta:ARCAN. Hal 253
6. Nurfanida,Librianty.2015.Panduan Mandiri Melacak Penyakit. Jakarta: PT
lintas kata. Hal 12
7. Wratsongko Madyo, dan Trianggoro Budisulistyo.2006.205 Resep
Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit dengan Gerakan Bebas. Jakarta:
qultumedia. Hal 174
8. Hayes, Peter C, dan Thomas W.Mackay.1997.Buku Saku Diagnosis dan
Terapi.Jakarta:EGC. Hal 83
9. Kee,Joyce L, dan Evelyn R.Hayes.1996.FARMAKOLOGI
PENDEKATANNPROSES KEPERAWATAN.Jakarta:EGC. Hal 431
10. Suranto,Adji.Jangan Panik Bunda. 2010.Jakarta : Penebar Plus
11. Rianto Koes. 2011.Memahami Berbagai Macam Penyakit.Jakarta :
Alfabeta
12. Made Sang,Achmad,dkk.2015..” Simulasi Deteksi Tonsilitis Mengunakan
Pengolahan Citra Digital Berdasarkan Warna dan Luasan pada
Tonsil”.JNTETI.No.1,Vol(4),
13. Bulan Ayu,Zulfito. 2010.Smart Parents Pandai Mengatur Menuu &
Tanggap Saat Anak Sakit.Jakarta Selatan : GagasMedia.
14. Gin Oei. 2006.Terapi Pijat Telinga.Jakarta : Penebar Swadaya.

43
15. Ramadhan Febri,Sahrudin,dkk2017..”ANALISIS FAKTOR RISIKO
KEJADIAN TONSILITIS KRONIS PADA ANAK USIA 5-11 TAHUN DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI TAHUN
2017”.Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.No.6,Vol(2)
16. Candice,Susan.Medical-Surgical Nursing; Concepts &
Practice.St.Louis,Missouri 2009.: ELSEVIER SAUNDERS
17. Ira Iin,Eldawati,dkk.2016.”FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN ANGKA KEJADIAN TONSILITIS PADA ANAK USIA 5-18
TAHUN DI POLIKLINIK THT RSUD KARAWANG TAHUN 2015”.Jurnal
Kesehatan Bhakti Husada.No.1,Vol(3)
18. Lim Eric,Yoon,dkk. 2007.Medicine and Surgery:An Integrated textbook
with Student Consult online access.Norwich : Slevier
19. Gupte Suraj. 1983.Speaking of: Child Care Everything you wanted to
know.New Delhi : Sterling Publishers.Halaman : 267
20. Andereto, Obi . Penyakit Menular di sekitar Anda. Jakarta Selatan. 2015. Pustaka
Ilmu Semesta . Hal : 124
21. Puspitasari, Dwiyanti dkk. Gambaran klinis penderita difteri anak di RSUD DR.
SOETOMO.Vol.7 No.2 Oktober.Hal : 136
22. Yasmin , Gede Nulih dan Christantie Effendy. Keperawatan Medikal Bedah :
Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta. 2004. Buku Kedokteran
EGC. Hal : 2
23. Muttaqin, Arif. Buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem
pernapasan. Salemba Medika. Hal : 2
24. Cahyono B, Suharjo. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta.2010. Kanisius. Hal : 61
25. Andereto, Obi . Penyakit Menular di sekitar Anda. Jakarta Selatan. 2015. Pustaka
Ilmu Semesta . Hal : 125
26. Andereto, Obi . Penyakit Menular di sekitar Anda. Jakarta Selatan. 2015. Pustaka
Ilmu Semesta . Hal : 124
27. Sunarno dkk, Pengembangan Metode Diagnostik Cepat Laboratorium untuk
Identifikasi Penyebab Difteri. Jakarta.2015 . Hal : 9-16-18

44
28. Andereto, Obi . Penyakit Menular di sekitar Anda. Jakarta Selatan. 2015. Pustaka
Ilmu Semesta . Hal : 124
29. Ekawati, Ratnasari Evy. Bakteriologi Mikroorganisme Penyebab Infeksi.
Yogyakarta.2018. CV Budi Utama. Hal : 86

30. Suryana,dra.1996.keperawatan anak untuk siswa spk.EGC hal 151


31. Udin,muchammad fahrul.2019.buku praktis penyakit respirasi pada
anakuntuk dokter umum.universitas brawijaya press Hal39
32. Herawati,sri.ilmu penyakit telinga kidung tenggorok.EGC hal 45
33. Djojodibroto,darmanto.respirologi.EGC hal 106
34. Widjaja. Mencegah dan mengatasi alergi dan asma pada balita.kawan
pustaka hal 21-24
35. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
36. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease
dalam Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition.
Elsevier Mosby Inc.; 2005.
37. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
38. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 2004.
39. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1998.
40. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

45
46

Anda mungkin juga menyukai