PENDAHULUAN
Ada dua keadaan yang sering menyebabkan obstruksi pada saluran nafas bawah yaitu
asma dan penyakit paru obstruksi kronik. Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran
pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif keterbatasan aliran udara yang reversible
dan gejala pernafasan. Asma merupakan gangguan inflamasi kronis saluran pernafasan dimana
banyak sel inflamasi yang berperan termasuk sel mast, limfosit, neutrophil dan eosinophil.
Inflamasi salran pernafasan ini meluas tetapi obstruksi saluran pernafasan dapat juga reversible
baik secara spontan maupun dengan terapi. Sedangkan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
adalah penyakit kronis saluran nafas atas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya
udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan
oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. 1
Asma dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan di segala usia, terutama usia dini.
Perbandingan laki-laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi
1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.2 Prevalensi asma pada kelompok umur
>45 tahun menurun. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini
jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta orang penderita pada tahun 2025. 3 Menurut Riskesdas
tahun 2013 di Indonesia prevalensi asma sekitar 4,5% sedangakan PPOK 3,7% dengan prevalensi
asma tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah yaitu 7,8% diikuti Nusa Tenggara Timur
7,3% dan PPOK prevalensi tertingginya terdapat di Nusa Tenggara Timur (10%), diikuti
Sulawesi tengah (8%), Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7%.2
Bronkodilator merupakan obat untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas
dengan merelaksasikan otot polos jalan napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. 4
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk pada penderita karena
menimbulkan gangguan oksigenasi dengan segala dampaknya. Bronkodilator utama yang
digunakan pada pasien dengan asma dan PPOK adalah beta 2-agonis, antikolenergik dan
metilxantin. Pemberian secara inhalasi lebih menguntungkan daripada cara oral atau parenteral
karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal.
Pada umumnya, terapi inhalasi dilakukan dengan menggunakan suatu alat khusus yang
dapat membentuk partikel-partikel aerosol yang selanjutnya dengan teknik tertentu dialirkan
menuju saluran nafas hingga mencapai reseptor kerja obat. Aerosol adalah suspensi partikel-
partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang dapat memasuki saluran nafas melalui proses
5
inspirasi. Keuntungan utama dari terapi inhalasi ini adalah obat yang diberikan akan secara
langsung menuju lumen internal dari saluran nafas dan kemudian menuju target kerja obat di
dalam paru-paru. Selain itu, onset kerja obat akan lebih cepat dan dosis yang diberikan lebih
kecil, sehingga dosis sistemik dari sebagian besar obat yang diberikan secara inhalasi lebih
rendah daripada obat oral maupun intravena dan efek samping sistemiknya juga akan lebih
rendah.5,6
TINJAUAN PUSTAKA
Akibatnya, udara terhirup masuk dan terdorong keluar paru-paru melalui trakea dan
tube bronchial atau bronchi, yang bercabang-cabang dan ujungnya merupakan alveoli,
yakni kantung-kantung kecil yang dikelilingi kapiler yang berisi darah. Di sini oksigen dari
udara berdifusi ke dalam darah, dan kemudian dibawa oleh hemoglobin.
Sistem pernafasan memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh. Fungsi utamanya
adalah untuk menyediakan oksigen, mengeliminasi karbondioksida, regulasi pH, untuk
pembentukan suara dan pertahanan tubuh terhadap mikroba. Fungsi lain dari sistem
pernafasan adalah dapat mempengaruhi konsentrasi kimia arterial dengan menghilangkan
bahan tertentu dari kapiler paru dan memproduksi dan menambahkan bahan lainnya ke
dalam darah. Terdapat dua buah paru-paru yang utamanya terdiri dari jutaan alveolus
(kantong tipis berisi udara). Alveolus ini merupakan tempat dari pertukaran gas antara
paru-paru dan darah. Aliran udara agar dapat sampai ke alveolus adalah melalui saluran
nafas dan udara dapat masuk/keluar paru karena adanya mekanisme inspirasi (perpindahan
udara dari lingkungan ke alveolus) dan ekspirasi (perpindahan udara kea rah sebaliknya).
Inspirasi dan ekspirasi ini disebut sebagai siklus respirasi.8
Sistem pernafasan terdiri dari saluran nafas dan parenkim paru. Saluran nafas dibagi
menjadi 3 regio yaitu saluran nafas atas, zona konduksi dan zona respirasi. Saluran nafas
atas terdiri dari hidung atau mulut, faring (yang bercabang menjadi saluran makanan dan
saluran nafas), dan laring (dimana terdapat pita suara). Zona konduksi dimulai dari trakea,
bronkus, dan bronkiolus terminalis, dan zona respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius,
duktus alveolus, dan kantong alveolus Pada dinding trakea dan bronkus terdapat cincin
kartilago (tulang rawan), yang memberikan bentuk silindris dan mempertahankan saluran
ini agar tidak kolaps. Kartilago ini secara progresif menjadi semakin kecil pada generasi
akhir bronkus dan tidak dijumpai lagi dalam bronkiolus. Pada trakea dan bronkus tidak
semua dindingnya dibentuk oleh tulang rawan, melainkan juga dibentuk oleh otot polos
yang dapat berkontraksi dan relaksasi sehingga akan mempengaruhi radius saluran nafas.
Bronkiolus dicegah untuk tidak kolaps bukan melalui rigiditas dindingnya, namun oleh
tekanan transpulmonal yang juga mengembangkan alveoli. Dengan demikian apabila
alveolus melebar, maka bronkiolus juga akan melebar. Dinding bronkiolus hampir
semuanya terbentuk oleh otot polos kecuali pada bagian bronkiolus respiratorius yang
dibentuk oleh sel epitel paru, jaringan fibrosa, dan beberapa serabut otot polos.
Selama hidup paru kanan dan kiri lunak dan berbentuk seperti spons dan sangat
elastic. Jika rongga thorax dibuka volume paru akan segera mengecil sampai 1/3 atau
kurang. Paru-paru terletak di samping kanan dan kiri mediastinum. Paru satu dengan yang
lain dipisahkan oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur lain di dalam
mediastinum. Masing-masing paru berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis,
dan terdapat bebas di dalam cavitas pleuralis masing-masing, hanya dilekatkan pada
mediastinum oleh radix pulmonalis. 8,9
Batas-batas paru :
a. Apeks : atas paru (atas costae) sampai dengan di atas clavicula
b. Atas : dari clavicula sampai dengan costae II depan
c. Tengah : dari costae II sampai dengan costae IV
d. Bawah : dari costae IV sampai dengan diafragma
1. Pulmo Dexter/Paru Kanan
Pulmo dexter sedikit lebih besar dari pulmo sinister dan dibagi oleh fissura
obliqua dan fissura horizontalis pulmonis dexter menjadi tiga lobus : lobus superior,
lobus medius, dan lobus inferior. Fissura oblique berjalan dari pinggir inferior ke atas
dan ke belakang menyilang permukaan medial dan costalis sampai memotong pinggir
posterior sekitar 6,25cm di bawah apex pulmonis. Fissura horizontalis berjalan
horizontal menyilang permukaan costalis setinggi cartilage costalis IV dan bertemu
dengan fissure obliqua pada linea axillaris media.Pulmo dexter mempunyai sepuluh
segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus
medial, dan tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobules.
Diantara lobules satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah, getah bening, dan saraf. Dalam tiap lobules terdapat sebuah
bronkeolus. Di dalam lobules, bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus
alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-
0,3mm.
a. Lobus superior :
Segmen apicale
Segmen posterior
Segmen anterior
b. Lobus medius :
Segmen lateral
Segmen medial
c. Lobus inferior :
Segmen apicobasal
Segmen mediobasal
Segmen anterobasal
Segmen laterobasal
Segmen posterobasal
a. A. pulmonalis dextra
b. Bronchus principales dextra : bronchus lobaris superior, medius dan inferior
c. Vv. Pulmonalis dextra
d. Nodule lymphideus
Asma adalah penyakit kronik saluran napas yang menyebabkan kumpulan gejala,
seperti wheezing, sesak napas, dada terasa sesak, dan batuk yang bervariasi waktu kejadian,
frekuensi, dan intensitasnya. Gejala-gejala ini disebabkan oleh sulitnya mengeluarkan udara
dari paru akibat bronkokontriksi (penyempitan saluran napas), penebalan dinding saluran
napas, dan peningkatan mukus (GINA, 2019).10
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran pernafasan dimana banyak sel
inflamasi yang berperan termasuk sel mast, limfosit, neutrophil dan eosinophil. Inflamasi
saluran pernafasan ini meluas tetapi obstruksi saluran pernafasan dapat reversibel baik
secara spontan maupun dengan terapi. Asma juga ditandai dengan peningkatan respon
saluran pernafasan dengan stimulus fisiologis dan lingkungan seperti aktivitas fisik, udara
dingin dan debu.7papdi(11)
2.2.1 Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan di segala usia, terutama
usia dini. Perbandingan laki-laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada
usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
Prevalensi asma pada kelompok umur >45 tahun menurun.2
Penyakit asma sampai saat ini masih menunjukkan angka prevalensi yang
tinggi. Data dari WHO dan GINA menyatakan bahwa di seluruh dunia diperkirakan
terdapat 300 juta orang yang menderita asma dan pada tahun 2025 diperkirakan
jumlah penderita asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat lebih besar mengingat
penyakit asma sering underdiagnosed. Data dari berbagai negara menunjukan
bahwa prevalensi penyakit asma berkisar antara 1-18%.3,10
Menurut Riskesdas tahun 2013 di Indonesia prevalensi asma sekitar 4,5%
sedangakan PPOK 3,7% dengan prevalensi asma tertinggi terdapat di provinsi
Sulawesi Tengah yaitu 7,8% diikuti Nusa Tenggara Timur 7,3%
2.2.4 Patofisiologi
2.2.5 Klasifikasi
2.3.1 Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada sangat bervariasi dikarenakan adanya
perbedaan dalam metode survei, kriteria diagnostik, dan pendekatan analitis.
Pentingnya, semua penelitian tersebut mendefinisikan PPOK dengan spirometri saja
dan bukan dengan kombinasi antara gejala dan spirometri, perkiraan terendah
prevalensi berdasarkan pada pelaporan sendiri diagnosis PPOK oleh seorang dokter,
atau kondisi setara. Sebagai contoh, sebagian besar data nasional menunjukkan
bahwa <6% dari populasi orang dewasa yang mengethaui bahwa mereka menderita
PPOK. Ini mungkin merupakan refleksi dari PPOK yang sering tidak terdiagnosis
yang tersebar luas.1
Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, didapatkan
prevalensi PPOK di Indonesia adalah 3,7% per mil. Prevalensi PPOK tertinggi
terdapat di Nusa Tenggara Timur (10%), diikuti Sulawesi Tengah (8%), Sulawesi
Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7%, dan di Sumatera Selatan
prevalensi PPOK adalah 2,5%.2
2.3.3 Patofisiologi
Hipersekresi lendir, menghasilkan batuk produktif kronis, adalah ciri bronkitis
kronis dan tidak selalu berhubungan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya,
tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Saat ini,
hipersekresi lendir disebabkan oleh peningkatan jumlah sel goblet dan kelenjar
submukosa yang membesar, baik karena iritasi saluran napas kronis oleh asap rokok
dan agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang
hipersekresi lendir dan banyak dari mereka menggunakan efeknya melalui aktivasi
reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR).
Peradangan dan penyempitan saluran udara perifer menyebabkan penurunan
FEV1. Kerusakan parenkim karena emfisema juga berkontribusi terhadap
pembatasan aliran udara dan menyebabkan penurunan transfer gas. Ada juga bukti
yang muncul untuk menunjukkan bahwa selain penyempitan saluran udara, adanya
kehilangan saluran udara kecil, yang dapat berkontribusi pada pembatasan aliran
udara.
Keterbatasan aliran udara, juga dikenal sebagai obstruksi aliran udara, biasanya
ditentukan oleh spirometri, yang melibatkan maneuver ekspirasi paksa setelah
subjek menghirup total kapasitas paru-paru. Parameter kunci yang diperoleh dari
spirometri meliputi volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama maneuver
ekspirasi paksa (FEV1) dan total volume udara yang dihembuskan selama seluruh
maneuver spirometrik (kapasitas vital paksa [FVC]). Pasien dengan obstruksi aliran
udara yang berhubungan dengan PPOK memilik rasio FEV1/FVC yang berkurang
secara kronis. Berbeda dengan asma, penurunan FEV1 pada PPOK jarang
menunjukkan respon besar setelah diberikan bronkodilator.14
Adanya inhalasi terhadap asap rokok maupun gas-gas polusi lainnya dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi. Respon inflamasi ini adalah normal, namun
pada pasien PPOK inflamasi tersebut mengalami modifikasi yaitu menjadi lebih
kuat. Hal tersebut masih belum jelas, namun dikatakan ada pengaruh faktor genetik
atau karena adanya stres oksidatif dan proteinase yang berlebihan di dalam paru-
paru.7
1. Stres oksidatif yang dibentuk oleh asap rokok dan agen berbahaya lainnya, serta
pelepasan dari sel inflamasi teraktivasi seperti makrofag dan neutrophil,
maupun karena adanya penurunan antioksidatif endogen,
2. Ketidakseimbangan protease-antiprotease,
3. Peningkatan sel inflamasi seperti makrofag pada saluran nafas perifer, parenkim
paru, dan pembuluh darah pulmoner, yang secara bersamaan dengan
peningkatan aktivasi neutrophil dan peningkatan limfosit, dan
4. Peningkatan mediator inflamasi. Respon inflamasi kronis ini dapat menginduksi
destruksi jaringan parenkimal (menghasilkan emfisema) dan mengganggu
proses perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menghasilkan fibrosis
saluran nafas kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan gas terperangkap
dan terjadinya hambatan aliran udara yang progresif.7
Patofisiologi dari PPOK dapat meliputi terjadinya hambatan aliran udara dan
terperangkapnya udara (sehingga menimbulkan hiperinflasi), abnormalitas
pertukaran gas, dan hipersekresi mukus.
Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan merelaksasi otot
pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum digunakan pada penyakit-penyakit
paru seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).15
Terdapat tiga subtipe dari reseptor muskarinik yang ditemukan pada saluran
nafas manusia. Reseptor muskarinik 2 (M2) terdapat pada sel postganglion dan
bertanggung jawab untuk membatasi produksi asetilkolin dan melindungi dari
terjadinya bronkokonstriksi. M2 bukanlah target dari antikolinergik. Reseptor
muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3) bertanggung jawab untuk terjadinya
bronkokonstriksi dan produksi mukus dan merupakan target kerja dari obat
antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan dengan M1 dan M3 dan menyebabkan
kontraksi otot polos melalui peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
atau oleh aktivasi dari protein G. Protein tersebut kemudian mengaktivasi
fosfolipase C untuk memproduksi inositol trifosfat (IP3), yang akan menyebabkan
pelepasan kalsium dari penyimpanan intraseluler dan aktivasi dari myosin light
chain kinase yang kemudian menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik
menghambat kaskade tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan
mengurangi pelepasan kalsium intraseluler.16
Terdapat dua antikolinergik inhalasi yang secara khusus disetujui untuk terapi
penyakit obstruksi saluran nafas yaitu15,16 :
1. Ipratropium
Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja pendek yang
akut dan pemeliharaan) dan asma (terapi serangan akut). Pasien yang
2. Tiotropium
Tiotropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja panjang yang
1. Teofilin
Merupakan derivat xantin yang memiliki efek relaksasi oto polos bronkus,
terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Senyawa teofilin
merupakan salah satu obat yang dibutuhkan pada serangan asma yang
berlangsung lama (status asmatikus). Selain itu, teofilin juga dapat
digunakan sebagai profilaksis terhadap serangan asma. Teofilin juga
banyak digunakan pada penyakit paru obsrtuktif kronik dengan tujuan yang
sama dengan pengobatan asma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset
Kesehatan Dasar.
4. Amir Syarif & Elysabeth. 2012. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta; Balai
Penerbit FK UI.
5. Maccari J, Teixeira C, Gazzana M. Inhalation therapy in mechanical ventilation. Journal
Brasileiro de Pneumologia. 41(5):467. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4635094/pdf/1806-3713-jbpneu-41-05-
00467.pdf diakses pada tanggal 20 Januari 2020.
6. Mangku G, Senapathi TGA. Terapi Cairan. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks
Jakarta. 2017: 243-56.
7. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).Global Strategy for the
Diagnosis, Management and Prevention of COPD. 2017. Available from:
http://goldcopd.org/gold-2017-global-strategy-diagnosis-management-prevention-copd/
8. Widmaier. Vander Sherman Luciano's Human Physiology. 9th ed. McGraw-Hill
Ryerson; 2004.
9. Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical Physiology
24th Edition. 24th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012.
10. GINA (2019) Pocket Guide For Asthma Management And Prevention. Gina. :
https://ginasthma.org/wp-content/uploads/2019/04/GINA-2019-main-Pocket-Guide-
wms.pdf.
11. 7 papdi
12. 5 papdi
13. ACAAI (2018) Asthma Symptoms. https://acaai.org/asthma/asthma-symptoms. Diakses
pada 28 Januari 2020.
14. harrison
15. Katzung B. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. Boston: McGraw-Hill; 2004.
16. Shafer S, Rathmell J, Flood P. Stoelting's pharmacology and physiology in anesthetic
practice. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.
17.