Pembimbing:
JAKARTA
2020
Bagian 13
Gagal Respirasi Akut
John Victor Peter
Poin-poin utama
Gagal respirasi dapat dikategorikan sebagai gagal respiratori hipoksemik dan
hiperkapnik.
Algoritme sederhana dapat membantu mendiagnosa dan memahami penyebab gagal
respirasi.
Tujuan penatalaksanaan termasuk menangani masalah yang mendasari, memperbaiki
oksigenasi dan/atau tingkat karbon dioksida dan membatasi efek merusak tatalaksana
tersebut.
Respirasi dapat ditunjang dengan alat-alat non-invasif atau oleh ventilasi invasif.
Pendahuluan
Gagal napas merupakan kegagalan paru-paru untuk mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat dan ditandai dengan abnormalitas tekanan gas darah. Secara tradisional itu
digambarkan menggunakan cut-off PaO2 <8 kPa [60 mmHg] dengan atau tanpa hiperkarbia
[PaCO2> 6 kPa (46 mmHg)]. Onset dari gagal napas biasanya akut atau subakut. Pada
beberapa pasien, seperti pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal napas bisa
berlangsung lama dan kronis. Meskipun kadang-kadang batasan ini mungkin tidak nyata,
dalam manajemen gagal napas seringkali bergantung pada luas dan lamanya gejala.
Klasifikasi
Gagal respirasi diklasifikasikan berdasarkan abnormalitas gas darah (pendekatan
fisiologi) atau proses patofisiologi (pendekatan patofisiologi) yang menyebabkan kegagalan
respirasi. dengan menggunakan pendekatan fisiologi, tipe 1 kegagalan respirasi atau
hypoxemic respiratory failure didefinisikan s ebagai hypoxemia (PaO2 <60mmHg) dengan
PaCO2 normal atau rendah, sementara tipe 2 didefinisikan gagal respirasi atau hypercapnic
respiratory failure didefinisikan sebagai terdapatnya hipercarbia (PaCO2 >46mmHg) dengan
atau tanpa bersamaan dengan hypoxemia. Dengan pendekatan patofisiologi, gagal respirasi di
klasfikasi kedalam 4 tipe. Pada gagal respirasi tipe 1 patofisiologi abnormalnya adalah
aveolar berisi cairan menghasilkan intra-pulmonary shunting. Pada pasien ini memiliki gagal
respirasi hypoxemia predominan, meskipun pada pasien dengan kasus yang berat, retensi
CO2 mungkin akan hadir berikutnya. Etiologi yang paling sering meliputi kardiogenik dan
non-kardiogenik edema pulmonary, pneumonia, dan alveolar hemorage. Tipe 2 dikarenakan
hipoventilasi alveolar, pada tipe ini patofisiologi abnormalnya adalah hipoventilasi
disebabkan entah akibat proses pada sistem saraf pusat (cortical,subkortikal, batang otak atau
spinal cord) , nervus perifer, otot, neuromuscular junction atau alveoli (hipoventilasi
alveolar). Pasien ini biasanya bermanifestasi gagal respirasi hipercapnic dengan atau tanpa
hypoxemia. Tipe 3 terjadi karena akteletasis paru. Sejak ini sering terjadi saat postoperative,
sehingga disebut juga perioperative respiratory failure. Pasien memiliki manifestasi gagal
respirasi hypoxemic. Tipe 4 terjadi terjadi karena hipoperfusi dari otot respirasi seperti pada
syok sirkulasi. Pada orang normal <5% dari cardiac output digunakan untuk kerja
pernapasan. Pada pasien dengan syok, karena terjadi peningkatan kerja nafas, >40% cardiac
output digunakan untuk kerja nafas. Pasien ini bermanifestasi gagal respirasi hipercapnic
dikarenakan kelelahan ventilasi.
Klasifikasi gagal respirasi dan penyebab
Tiper Patofisiologi Tipe Fisiologi Penyebab
dari gagal respirasi dari gagal respirasi
Tipe 1 – alveolar berisis Gagal nafas hypoxemic Cairan – odem alveolar dan
cairan intersisial ( cardiac dan non-
cardiogenic pulmonary
odem, ARDS)
Pus/infeksi – infeksi alveolar
dan interstitial (pneumonia,
pneumonitis interstitial)
Blood – alveoal hemorage
Protein – alveolar
proteinosis (jarang)
Tipe 2 – Hipoventilasi Gagal nafas hypercapnic Depresi CNS – overdosis
alveolar obat dan keracunan, infeksi
dan trauma, stroke.
Spinal cord – poliomyelitis,
transection, myelitis.
Nervus perifer – sindrom
Guillain-Barre, injury nervus
phrenicus, amyotrophic
lateral sclerosis.
Dinding dada –
khyphoscoliosis , injuri
dinding dada, ankylosing
spondiolitis.
Otot – mistenia gravis,
miopati, hypokalemia,
hipofosfatemia, polimyositis.
Hipoventilasi alveolar –
COPD, cystic fibrosis berat,
fibrosis pulmonary stadium
akhir, obstruksi jalan nafas
Tipe 3 – atelektasi paru Gagal nafas hypoxemic Atelectasis post-operatif
(intra-pulmonary shunting),
atelectasis basal karena
patologi intra-abdominal,
emboli pulmonary.
Tipe 4 – hipoperfusi dari Gagal nafas hypercapnic Syok cardiogenic, syok
otot respirasi hipovolemik, syok septik.
Perbedaan A-a
FiO2, konsentrasi oksigen inspirasi; Patm, tekanan atmosfer; PH2O, tekanan parsial air pada suhu tubuh; PaCO2, tekanan
parsial karbon dioksida; dan PaO2, tekanan parsial oksigen dalam darah arteri: Perbedaan A-a normal adalah 5–15 mmHg.
Rumus [Usia (dalam tahun) / 4] + 4 dapat digunakan untuk menghitung perbedaan A yang disesuaikan dengan usia.
Perbedaan A-a yang meningkat adalah hasil dari kelainan pertukaran gas di dalam
paru-paru (proses intra-paru). Dengan demikian, proses intra-paru seperti ketidaksesuaian V /
Q, kelainan shunt dan difusi akan meningkatkan perbedaan A-a. Tingkat peningkatan
biasanya lebih terasa pada proses kelainan paru saja dibandingkan dengan proses paru
campuran dan ekstra paru.
Dalam evaluasi pasien hipoksemia, langkah pertama adalah memastikan tingkat CO2.
CO2 yang tinggi (> 46 mmHg), dengan tidak adanya alkalosis metabolik sebagai penyebab
peningkatan kompensasi CO2, menunjukkan hipoventilasi. Pada pasien seperti itu, perbedaan
A-a membantu membedakan murni hipoventilasi dari proses campuran (Gbr. 13.1). Dengan
tidak adanya hiperkarbia, peningkatan perbedaan A-a menunjukkan peningkatan perbedaan
A-a juga baik pada shunt, ketidakcocokan V / Q atau kelainan difusi. Hipoksemia akibat
konsentrasi oksigen inspirasi yang rendah tidak meningkatkan perbedaan A-a dan merespons
terhadap terapi oksigen tambahan. Dalam situasi gradien A-a yang tinggi, perbaikan
oksigenasi oleh suplementasi oksigen akan menunjukkan ketidakcocokan V / Q, sementara
tidak adanya perbaikan akan menunjukkan adanya shunt.
Apakah paco2 meningkat?
td Y
k a
Apakah ada peningkatan Hipoventilasi
perbedaan gradien A-a?
td
Y Masuk ke Algoritma
a hipercapnic RF
PaO2 Rendah Terkoreksi
dengan O2 Inspirasi O2 rendah
td Y
k a
Ketidakcocokan V/Q
Terapi khusus melibatkan pelacakan penyebab yang memicu gagal napas. Contohnya
termasuk terapi antibiotik untuk sepsis, bronkodilator untuk asma akut, trombolisis untuk
emboli paru, paracentesis untuk efusi pleura atau terapi diuretik dan vasodilator untuk gagal
jantung.
Pengiriman oksigen ke jaringan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan oksigenasi yang
mempertahankan hemoglobin dan dengan mengoptimalkan curah jantung. Oksigenasi dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan FiO2 (hingga 1,0) atau dengan menambahkan tekanan
ekspirasi akhir positif (PEEP). PEEP dapat diberikan dengan ventilasi non-invasif atau
melalui ventilasi mekanis invasif. Kebutuhan oksigen jaringan dapat dikurangi dengan
mengontrol demam, sepsis atau kejang. Peningkatan WOB juga dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen secara signifikan, dan dalam situasi tertentu, terutama pada pasien dengan
syok, mungkin lebih bijaksana untuk melakukan intubasi dan ventilasi pada pasien ini. Terapi
yang berpotensi merusak harus dibatasi dengan meminimalkan penggunaan konsentrasi
oksigen tinggi untuk waktu yang lama dan dengan mengadopsi strategi ventilasi pelindung
paru.
PaCO2 harus selalu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan pH. Hal ini sangat
membantu dalam membedakan gagal napas hiperkapnia akut dan kronis serta gagal napas
hiperkapnik kronis yang stabil dan gagal napas hiperkapniki kronis. Pada gagal napas
hiperkapnik akut, selalu ada perubahan pH, karena mekanisme kompensasi membutuhkan
waktu, kecuali jika gagal napas ringan. Namun, pada gagal napas hiperkapnik kronis, karena
terjadi kompensasi metabolik, pH biasanya mendekati normal, seringkali> 7,32 dan
terkadang bahkan normal. Dengan demikian, perbedaan antara gagal napas kronis dan gagal
napas akut-ke-kronis tidak dibuat pada CO; tingkat tetapi pada pH, di mana setiap proses akut
yang dilapiskan pada keadaan stabil kronis akan menggeser pH. Jadi, pH sampai <7,30 pada
pasien tersebut akan menjadi diagnostik retensi CO2 akut.
Etiologi hiperkapnea
Etiologi dari gagal napas hipoksemia akut dapat diklasifikasikan secara luas sebagai:
(a) Patologi sistem saraf pusat:
1. Kortikal: stroke, infeksi, trauma, overdosis obat dan ensefalomielitis diseminata
akut
2. Depresi batang otak: stroke, meningitis basal, trauma dan sindrom obesitas-
hipoventilasi 3. Sumsum tulang belakang: trauma, mielitis dan poliomielitis infeksi
dan pasca vaksin
(b) Patologi sistem saraf tepi: sindrom Guillain-Barre, cedera saraf frenikus, sklerosis
lateral amiotrofik, dan polineuropati penyakit kritis
(c) Neuromuskuler: miastenia gravis
(d) Otot: miopati penyakit kritis, metabolik (hipokalemia, hypophosphatae-mia, deplesi
magnesium) dan polymyositis
(e) Dinding dada: flail chest, kyphoscoliosis dan ankylosing spondylitis
(f) Hipoventilasi alveolar karena penyebab paru: PPOK, fibrosis kistik parah, fibrosis
paru stadium akhir, dan obstruksi jalan napas
Kesimpulan
Pendekatan yang sistematik dari gagal napas penting untuk memastikan penyebab dari gagal
napas. Sejak tatalaksana pernapasan dari dua macam patofisiologi dari gagal napas berbeda,
pengetahuan mengenai mekanisme dari gagal napas dan tatalaksana dasar yang mendukung
sangat penting. Semua tatalaksana bantu pernapasan menjadi bermanfaat hanya jika proses
penyakit yang mendasarinya ditemukan pada gagal napas dan diberikan tatalaksana yang
adekuat dan tepat.