Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PEMBELAJARAN JARAK JAUH (PJJ)

TERJEMAHAN CLINICAL PATHWAY


SUB-BAB GAGAL RESPIRASI AKUT

Pembimbing:

dr. Erica Gilda Simanjuntak Sp.An-KIC

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 24 AGUSTUS – 5 SEPTEMBER 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2020
Bagian 13
Gagal Respirasi Akut
John Victor Peter

Poin-poin utama
 Gagal respirasi dapat dikategorikan sebagai gagal respiratori hipoksemik dan
hiperkapnik.
 Algoritme sederhana dapat membantu mendiagnosa dan memahami penyebab gagal
respirasi.
 Tujuan penatalaksanaan termasuk menangani masalah yang mendasari, memperbaiki
oksigenasi dan/atau tingkat karbon dioksida dan membatasi efek merusak tatalaksana
tersebut.
 Respirasi dapat ditunjang dengan alat-alat non-invasif atau oleh ventilasi invasif.

Pendahuluan
Gagal napas merupakan kegagalan paru-paru untuk mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat dan ditandai dengan abnormalitas tekanan gas darah. Secara tradisional itu
digambarkan menggunakan cut-off PaO2 <8 kPa [60 mmHg] dengan atau tanpa hiperkarbia
[PaCO2> 6 kPa (46 mmHg)]. Onset dari gagal napas biasanya akut atau subakut. Pada
beberapa pasien, seperti pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal napas bisa
berlangsung lama dan kronis. Meskipun kadang-kadang batasan ini mungkin tidak nyata,
dalam manajemen gagal napas seringkali bergantung pada luas dan lamanya gejala.

Klasifikasi
Gagal respirasi diklasifikasikan berdasarkan abnormalitas gas darah (pendekatan
fisiologi) atau proses patofisiologi (pendekatan patofisiologi) yang menyebabkan kegagalan
respirasi. dengan menggunakan pendekatan fisiologi, tipe 1 kegagalan respirasi atau
hypoxemic respiratory failure didefinisikan s ebagai hypoxemia (PaO2 <60mmHg) dengan
PaCO2 normal atau rendah, sementara tipe 2 didefinisikan gagal respirasi atau hypercapnic
respiratory failure didefinisikan sebagai terdapatnya hipercarbia (PaCO2 >46mmHg) dengan
atau tanpa bersamaan dengan hypoxemia. Dengan pendekatan patofisiologi, gagal respirasi di
klasfikasi kedalam 4 tipe. Pada gagal respirasi tipe 1 patofisiologi abnormalnya adalah
aveolar berisi cairan menghasilkan intra-pulmonary shunting. Pada pasien ini memiliki gagal
respirasi hypoxemia predominan, meskipun pada pasien dengan kasus yang berat, retensi
CO2 mungkin akan hadir berikutnya. Etiologi yang paling sering meliputi kardiogenik dan
non-kardiogenik edema pulmonary, pneumonia, dan alveolar hemorage. Tipe 2 dikarenakan
hipoventilasi alveolar, pada tipe ini patofisiologi abnormalnya adalah hipoventilasi
disebabkan entah akibat proses pada sistem saraf pusat (cortical,subkortikal, batang otak atau
spinal cord) , nervus perifer, otot, neuromuscular junction atau alveoli (hipoventilasi
alveolar). Pasien ini biasanya bermanifestasi gagal respirasi hipercapnic dengan atau tanpa
hypoxemia. Tipe 3 terjadi karena akteletasis paru. Sejak ini sering terjadi saat postoperative,
sehingga disebut juga perioperative respiratory failure. Pasien memiliki manifestasi gagal
respirasi hypoxemic. Tipe 4 terjadi terjadi karena hipoperfusi dari otot respirasi seperti pada
syok sirkulasi. Pada orang normal <5% dari cardiac output digunakan untuk kerja
pernapasan. Pada pasien dengan syok, karena terjadi peningkatan kerja nafas, >40% cardiac
output digunakan untuk kerja nafas. Pasien ini bermanifestasi gagal respirasi hipercapnic
dikarenakan kelelahan ventilasi.
Klasifikasi gagal respirasi dan penyebab
Tiper Patofisiologi Tipe Fisiologi Penyebab
dari gagal respirasi dari gagal respirasi
Tipe 1 – alveolar berisis Gagal nafas hypoxemic Cairan – odem alveolar dan
cairan intersisial ( cardiac dan non-
cardiogenic pulmonary
odem, ARDS)
Pus/infeksi – infeksi alveolar
dan interstitial (pneumonia,
pneumonitis interstitial)
Blood – alveoal hemorage
Protein – alveolar
proteinosis (jarang)
Tipe 2 – Hipoventilasi Gagal nafas hypercapnic Depresi CNS – overdosis
alveolar obat dan keracunan, infeksi
dan trauma, stroke.
Spinal cord – poliomyelitis,
transection, myelitis.
Nervus perifer – sindrom
Guillain-Barre, injury nervus
phrenicus, amyotrophic
lateral sclerosis.
Dinding dada –
khyphoscoliosis , injuri
dinding dada, ankylosing
spondiolitis.
Otot – mistenia gravis,
miopati, hypokalemia,
hipofosfatemia, polimyositis.
Hipoventilasi alveolar –
COPD, cystic fibrosis berat,
fibrosis pulmonary stadium
akhir, obstruksi jalan nafas
Tipe 3 – atelektasi paru Gagal nafas hypoxemic Atelectasis post-operatif
(intra-pulmonary shunting),
atelectasis basal karena
patologi intra-abdominal,
emboli pulmonary.
Tipe 4 – hipoperfusi dari Gagal nafas hypercapnic Syok cardiogenic, syok
otot respirasi hipovolemik, syok septik.

Pendekatan pada gagal napas hipoksemia


Mekanisme patofisiologis yang dapat berkontribusi atau mengakibatkan hipoksemia
adalah (a) inspirasi oksigen rendah, (b) ketidakcocokan ventilasi / perfusi (V / Q), (c) shunt,
(d) hipoventilasi, (e) kelainan difusi dan (f) penurunan oksigen vena campuran. Dalam
keadaan klinis, kelainan patofisiologis umum yang menyebabkan hipoksemia adalah
ketidakcocokan V/Q, pirau/shunting dan hipoventilasi. Lebih dari satu proses patofisiologi
dapat terjadi bersamaan pada pasien yang sama. Kelainan hanya pada difusi jarang terjadi.
Tanda penurunan kandungan oksigen dalam darah yang kembali ke paru-paru (oksigen vena
campuran), seperti yang terjadi karena pengiriman oksigen yang berkurang atau peningkatan
konsumsi jaringan, juga dapat mengakibatkan kebutuhan akan lebih banyak oksigen untuk
diangkut dari tempat inspirasi ke dalam darah untuk menormalkan PaO2. Jika paru-paru
normal, ini tidak memberikan efek signifikan. Namun, dengan adanya kelainan V / Q atau
shunt, efeknya diperbesar karena darah yang ter-shunted memiliki kandungan oksigen yang
lebih rendah dari biasanya.
Perbedaan oksigen alveolar-arteri (PAO2 - PaO2) dan respon terhadap terapi oksigen
membantu dalam memastikan penyebab gagal napas hipoksemia (Gbr. 13.1). Gradien
(perbedaan) oksigen alveolar-arteri (A-a) dihitung menggunakan rumus yang diberikan di
bawah ini. Harus dicatat bahwa istilah 'gradien alveolar', meskipun umum digunakan, adalah
keliru karena yang dihitung adalah jarak antara alveolar dan O2 arteri dan bukan gradien
sebenarnya dalam PaO2 dari ruang alveolar ke darah.

Perbedaan A-a
FiO2, konsentrasi oksigen inspirasi; Patm, tekanan atmosfer; PH2O, tekanan parsial air pada suhu tubuh; PaCO2, tekanan
parsial karbon dioksida; dan PaO2, tekanan parsial oksigen dalam darah arteri: Perbedaan A-a normal adalah 5–15 mmHg.
Rumus [Usia (dalam tahun) / 4] + 4 dapat digunakan untuk menghitung perbedaan A yang disesuaikan dengan usia.

Perbedaan A-a yang meningkat adalah hasil dari kelainan pertukaran gas di dalam
paru-paru (proses intra-paru). Dengan demikian, proses intra-paru seperti ketidaksesuaian V /
Q, kelainan shunt dan difusi akan meningkatkan perbedaan A-a. Tingkat peningkatan
biasanya lebih terasa pada proses kelainan paru saja dibandingkan dengan proses paru
campuran dan ekstra paru.
Dalam evaluasi pasien hipoksemia, langkah pertama adalah memastikan tingkat CO2.
CO2 yang tinggi (> 46 mmHg), dengan tidak adanya alkalosis metabolik sebagai penyebab
peningkatan kompensasi CO2, menunjukkan hipoventilasi. Pada pasien seperti itu, perbedaan
A-a membantu membedakan murni hipoventilasi dari proses campuran (Gbr. 13.1). Dengan
tidak adanya hiperkarbia, peningkatan perbedaan A-a menunjukkan peningkatan perbedaan
A-a juga baik pada shunt, ketidakcocokan V / Q atau kelainan difusi. Hipoksemia akibat
konsentrasi oksigen inspirasi yang rendah tidak meningkatkan perbedaan A-a dan merespons
terhadap terapi oksigen tambahan. Dalam situasi gradien A-a yang tinggi, perbaikan
oksigenasi oleh suplementasi oksigen akan menunjukkan ketidakcocokan V / Q, sementara
tidak adanya perbaikan akan menunjukkan adanya shunt.
Apakah paco2 meningkat?
td Y
k a
Apakah ada peningkatan Hipoventilasi
perbedaan gradien A-a?
td
Y Masuk ke Algoritma
a hipercapnic RF
PaO2 Rendah Terkoreksi
dengan O2 Inspirasi O2 rendah

td Y
k a
Ketidakcocokan V/Q

Etiologi gagal napas hipoksemia akut


Etiologi dari gagal napas hipoksemia akut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kelainan Parenkim
1. Peningkatan tekanan kapiler: edema paru kardiogenik dan overload cairan
2. Peningkatan permeabilitas kapiler: Sindrom distress pernapasan akut yang dapat
disebabkan karena paru atau ekstra paru
3. Inflamasi: infeksi (lobar dan bronkopneumonia, pneumonitis interstitial),
alveolitis(pneumonitis interstitial akut, vasculitis akut) dan perdarahan(alveolar)
4. Atelectasis
b. Pleura: Pneumothoraks dan efusi pleura
c. Berhubungan dengan jalan napas: asma akut berat
d. Vaskular: Emboli paru dan syok sirkulasi
Tatalaksana pada hiposekmia akut
:Prinsip - prinsip penatalaksanaan gagal napas hipoksemia akut meliputi
a. Pengobatan penyebab yang mendasari (pengobatan khusus).
b. Meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan.
c. Membatasi terapi yang berpotensi merusak.
d. Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan.

Terapi khusus melibatkan pelacakan penyebab yang memicu gagal napas. Contohnya
termasuk terapi antibiotik untuk sepsis, bronkodilator untuk asma akut, trombolisis untuk
emboli paru, paracentesis untuk efusi pleura atau terapi diuretik dan vasodilator untuk gagal
jantung.
Pengiriman oksigen ke jaringan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan oksigenasi yang
mempertahankan hemoglobin dan dengan mengoptimalkan curah jantung. Oksigenasi dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan FiO2 (hingga 1,0) atau dengan menambahkan tekanan
ekspirasi akhir positif (PEEP). PEEP dapat diberikan dengan ventilasi non-invasif atau
melalui ventilasi mekanis invasif. Kebutuhan oksigen jaringan dapat dikurangi dengan
mengontrol demam, sepsis atau kejang. Peningkatan WOB juga dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen secara signifikan, dan dalam situasi tertentu, terutama pada pasien dengan
syok, mungkin lebih bijaksana untuk melakukan intubasi dan ventilasi pada pasien ini. Terapi
yang berpotensi merusak harus dibatasi dengan meminimalkan penggunaan konsentrasi
oksigen tinggi untuk waktu yang lama dan dengan mengadopsi strategi ventilasi pelindung
paru.

Alat penghantar oksigen


Alat pengantar oksigen harus bisa untuk mengantarkan konsentrasi oksigen yang terkontrol
dan konsisten. Alat pengantar oksigen diklasifikasikan berdasarkan arus (arus rendah atau
arus tinggi), kinerja (variabel atau tetap) dan sistem non-rebreathing atau rebreathing (Tabel
13.2). Sistem rebreathing memungkinkan beberapa campuran gas yang dihembuskan,
sedangkan sistem non-rebreathing memiliki katup satu arah. Sistem tertutup yang terhubung
dengan alat non-breathing memastikan pengantaran pada volume yang sudah diatur (mis. alat
continuous positive airway pressure (CPAP).
Alat arus rendah disebut demikian karena mengantarkan oksigen kurang dari puncak
inspiratory flow rate (PIFR). Contohnya termasuk nasal kanul, sungkup muka sederhana, ,
sungkup partial rebreather. Alat arus tinggi mengantarkan oksigen dengan laju aliran yang
lebih tinggi daripada PIFR. Sistem ini memiliki kapasitas penampung yang adekuat yang
memungkinkan pengantaran oksigen yang adekuat. Contohnya termasuk alat venturi, T-piece
atau sirkuit pernafasan (mis. sirkuit CPAP) dengan kantong penampung atau terhubung
dengan sumber oksigen aliran tinggi.

Tabel 13.2 Alat pengantar oksigen


Kategori Contoh Kinerja Laju aliran FiO2
berdasarkan arus oksigen (per
menit)
Alat arus rendah Nasal kanul Variabel 2-4 Ia 24-35%
Sungkup muka Variabel 5-10 I 40-60%
sederhana
Sungkup trakeal Variabel 5-10 I 40-60%
Sungkup partial Variabel 4-10 1 35-60%
rebreathing
dengan kantong
penampung
Alat arus tinggi Venturi Tetap 3-15 I 24-60%
Alat nasal arus Tetap 10-40 I 40-100%
tinggi menggunakan
campuran
Sungkup non- variabel 8-10 I 60-90%
rebreather dengan
kantong
penampung
a
Laju arus yang semakin tinggi tidak nyaman
Tabel 13.3 Contoh alat kinerja variabel
Parameter Pasien 1 Pasien 2
Volume tidal 400 ml 400 ml
Laju nafas 10 20
Ventilasi menit 4000 ml 8000 ml
Ratio I:E 1:2 1:2
Waktu inspirasi 2 detik 1 detik
Oksigen melalui kanul 2 I/menit (2000 ml) 2 I/menit (2000 ml)
Campuran udara tambahan 2000 ml 6000 ml
Ratio oksigen:udara campuran 1:1 1:3
Pada alat kinerja variabel, konsentrasi oksigen dari udara-oksigen campuran mencapai
alveoli tidak konstan; konsentrasi O2 akhir tergantung pada laju arus oksigen, ukuran
penampung dan laju nafas pasen. Untuk volume tidal tetap, ketika laju nafas meningkat,
setelah sejumlah oksigen diberikan melalui alat (mis. nasal kanul) adalah tetap (mis. 2 I),
hasil dari campuran udara-oksigen pada laju nafas yang meningkat mengandung lebih sedikit
oksigen dibandingkan ketika lajunya lebih rendah (lihat contoh pada Tabel 13.3). Alat kinerja
tetap tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor ini dan dapat menyediakan konsentrasi oksigen
inspirasi yang tetap terlepas dari laju nafas pasien (mis. alat venturi).
Pilihan alat berdasarkan tingkat keparahan hipoksemia dan apakah alat kinjerja tetap
diperlukan. Pada pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2 60-70 mmHg pada udara ruangan),
nasal kanul atau sungkup muka sederhana mungkin cukup. Nasal kanul dapat ditoleransi
dengan baik dan pasien dapat makan dan minum ketika sedang memakai alat ini.
Bagaimanapun, pengantaran oksigen melalui alat nasai dapat berhubungan dengan keringnya
mukosa nasal. Hipoksemia sedang (PaO2 50-60 mm Hg), sungkup partial rebreather atau
venturi dapat digunakan; yang terakhir untuk pasien PPOK. Pada pasien dengan hipoksemia
berat (PaO2 < 50 mmHg) dan tidak respon terhadap alat yang lebih sederhana, sistem non-
rebreather (mis. CPAP, ventilasi non-invasif, Ambu, Bains) atau ventilasi mekanik invasif
dapat dipertimbangkan.
Intubasi dan ventilasi mekanik terkadang diperlukan untuk pasien dengan gagal nafas
hipoksemik berat atau persisten. Dukungan ventilator menurunkan beban otot pernafasan,
mengurangi WOB dan mengurangi kebutuhan oksigen. Ventilasi (infasif atau non-invasif)
memungkinkan pemakaian PEEP. Beberapa penelitian telah mendemonstrasikan efek
menguntungkan PEEP. PEEP membantu memperbaiki oksigenasi (dengan meningkatkan
fungsi kapasitas residu dan meningkatkan volume alveolar), memperbaiki penyesuaian paru-
paru (dengan mencegah pengerahan alveolar dan mengurangi kongesti vena pulmo pada
pasien gagal jantung), mengurangi kematian ruang (menjaga alveoli tetap terbuka),
memperbaiki fungsi kardiovaskularr (dengan mengurangi afterload) dan mengurangi kerja
nafas. Biasanya level PEEP pada ICU adalah 5-15 cm H 2O; level tinggi telah digunakan pada
ARDS berat.
Metode baru untuk pengantaran oksigen pada ARDS berat dengan hipoksemia
refrakter telah menggunakan extracorporeal membrane oxygenators (ECMO).

Pendekatan pada gagal napas hiperkapnea


Hiperkapnia terjadi akibat peningkatan produksi CO 2 atau pengurangan eliminasi CO2
atau kombinasi keduanya. Peningkatan produksi CO2 (Gbr. 13.2) dapat terjadi dengan
peningkatan aktivitas otot (kejang, kejang), keadaan hipermetabolik (demam, sepsis) dan
makanan yang kaya karbohidrat. Dalam pengaturan ini, hiperkapnia terjadi jika CO 2,
eliminasi tidak mengimbangi produksi CO2. Penghapusan CO2 berkurang terjadi karena
fungsi alat pacu jantung berkurang, fungsi pompa pernapasan terganggu, masalah saluran
napas dan kelainan dari penukar gas. Umumnya, kelainan murni pada parenkim paru
menyebabkan unit V / Q rendah dengan hipoksemia tanpa hiperkapnia. Namun, jika kelainan
V / Q sangat parah atau saat ada kelelahan otot pernapasan yang terjadi bersamaan,
hiperkapnia dapat terjadi. Hiperkapnia juga dapat terjadi saat menghirup gas yang
mengandung CO2. Hal ini dapat terjadi karena pernafasan ulang gas yang dihembuskan
sebagai akibat dari koneksi ventilasi ekspirasi yang tidak tepat (tabung atau port ekspirasi).
Hiperkapnia dapat dikatakan sebagai penyebab pulmonal atau ekstrapulmonal atau kombinasi
keduanya. Penyebab ekstra paru termasuk gangguan SSP dan sistem perifer (PNS), disfungsi
otot pernapasan (karena penyakit otot primer atau disfungsi neuromuskuler) atau karena
kelainan dinding dada (Tabel 13.1). Penyebab paru meliputi obstruksi jalan napas (benda
asing, epiglotitis, apnea tidur obstruktif), PPOK parah, dan penyakit paru stadium akhir
akibat proses parenkim lainnya. Peningkatan perbedaan gradien A-a akan menunjukkan
kelainan V / Q yang hidup berdampingan atau shunt (Gbr. 13.2). Dengan tidak adanya
gradien A-a yang meningkat, penilaian maximal expiratory pressure (MIP atau PI maks)
dan / atau maximal expiratory pressure (MEP atau PE maks) akan membantu mendiagnosis
kelemahan otot pernapasan. MIP terutama mencerminkan kekuatan diafragma dan otot
inspirasi lainnya, sedangkan MEP mencerminkan kekuatan otot perut dan otot ekspirasi
lainnya. Sniff nasal inspiratory pressure (SNIP), alat lini pertama yang mudah digunakan,
dapat digunakan sebagai tes diagnostik alternatif untuk kelemahan otot pernapasan. Jika tes
ini menunjukkan kelemahan otot pernapasan, evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk
memastikan penyebabnya. Ini termasuk penyakit otot primer (miopati, polimiositis), cacat
transmisi neuromuskuler (miastenia gravis), gangguan metabolisme (hipokalemia,
hipofosfatemia) dan penyakit kritis polymyoneuropathy. Fungsi otot pernapasan yang normal
akan menunjukkan penyebab utama hiperkapnia. Ini termasuk sindrom hipoventilasi obesitas
dan depresi pusat pernapasan akibat overdosis, infeksi SSP, trauma, tumor atau stroke (Tabel
13.I).
Gambar 13.2 Pendekatan gagal napas hiperkapnia. Kegagalan pernafasan hiperkapnia mungkin disebabkan oleh
peningkatan produksi CO2 atau penurunan CO2; penghapusan kombinasi keduanya. Perbedaan oksigen alveolar-
arteri (A-a) (PAO2, - PaOz2 digunakan untuk memastikan apakah hipoventilasi alveolar terjadi secara
independen atau dalam hubungannya dengan ketidakcocokan atau shunt VIQ (ventilasi / perfusi). PI Max
maximal inspiratory pressure

PaCO2 harus selalu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan pH. Hal ini sangat
membantu dalam membedakan gagal napas hiperkapnia akut dan kronis serta gagal napas
hiperkapnik kronis yang stabil dan gagal napas hiperkapniki kronis. Pada gagal napas
hiperkapnik akut, selalu ada perubahan pH, karena mekanisme kompensasi membutuhkan
waktu, kecuali jika gagal napas ringan. Namun, pada gagal napas hiperkapnik kronis, karena
terjadi kompensasi metabolik, pH biasanya mendekati normal, seringkali> 7,32 dan
terkadang bahkan normal. Dengan demikian, perbedaan antara gagal napas kronis dan gagal
napas akut-ke-kronis tidak dibuat pada CO; tingkat tetapi pada pH, di mana setiap proses akut
yang dilapiskan pada keadaan stabil kronis akan menggeser pH. Jadi, pH sampai <7,30 pada
pasien tersebut akan menjadi diagnostik retensi CO2 akut.

Etiologi hiperkapnea
Etiologi dari gagal napas hipoksemia akut dapat diklasifikasikan secara luas sebagai:
(a) Patologi sistem saraf pusat:
1. Kortikal: stroke, infeksi, trauma, overdosis obat dan ensefalomielitis diseminata
akut
2. Depresi batang otak: stroke, meningitis basal, trauma dan sindrom obesitas-
hipoventilasi 3. Sumsum tulang belakang: trauma, mielitis dan poliomielitis infeksi
dan pasca vaksin
(b) Patologi sistem saraf tepi: sindrom Guillain-Barre, cedera saraf frenikus, sklerosis
lateral amiotrofik, dan polineuropati penyakit kritis
(c) Neuromuskuler: miastenia gravis
(d) Otot: miopati penyakit kritis, metabolik (hipokalemia, hypophosphatae-mia, deplesi
magnesium) dan polymyositis
(e) Dinding dada: flail chest, kyphoscoliosis dan ankylosing spondylitis
(f) Hipoventilasi alveolar karena penyebab paru: PPOK, fibrosis kistik parah, fibrosis
paru stadium akhir, dan obstruksi jalan napas

Tatalaksana hiperkapnea akut


Seperti halnya gagal napas hipoksemia akut, tujuan pengobatan gagal napas hiperkapnik akut
meliputi:

a. Pengobatan penyebab yang mendasari (pengobatan khusus),

b. Mengurangi produksi CO2,

c. Meningkatkan eliminasi CO2 dan

d. membatasi potensi kegagalan terapi.

Terapi berhubungan dengan faktor pencetus. Termasuk antibiotik untuk mengobati


infeksi, bronkodilator dan steroid untuk eksaserbasi PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
atau pembalikan masalah sistem saraf pusat atau perifer yang mengakibatkan gagal napas
hiperkapnikus. Produksi CO2 dapat dikurangi dengan mengontrol demam dan aktivitas
motorik berlebih (kejang) dan dengan mengurangi asupan karbohidrat. Karena hasil dari
pernapasan untuk karbohidrat sebesar 1.0 dan untuk lemak sebesar 0.7, hal ini sangat penting
dalam pengaturan eksaserbasi PPOK dengan kesulitan di mana pengurangan asupan
karbohidrat dapat menyebabkan tatalaksana yang lebih mudah.

Eliminasi CO2 dapat ditingkatkan dengan memperbaiki pernapasan dan dengan


meningkatkan kerja paru-paru. Pernapasan dapat ditingkatkan dengan mengurangi atau
meminimalkan penggunaan sedasi dan dengan menggunakan obat-obatan yang meningkatkan
dorongan pernapasan, terutama dalam kasus PPOK. Meskipun manfaatnya belum terbukti
dalam percobaan acak, obat-obatan seperti acetazolamide, medroxyprogesterone acetate dan
stimulan SSP (Sistem Saraf Pusat) lainnya yang bekerja secara terpusat telah digunakan
dalam eksaserbasi PPOK. Kerja paru dapat ditingkatkan dengan manuver seperti menopang
pasien, penggunaan analgesik untuk mengurangi nyeri dada seperti pada cedera dinding dada,
mengurangi resistensi saluran napas (penggunaan bronkodilator dan bronkial yang higienis),
meningkatkan penyesuaian paru (dengan mengurangi distensi abdomen atau pleurosentesis),
meningkatkan kinerja otot pernapasan (dengan memastikan oksigenasi yang memadai,
perfusi jaringan) dan memperbaiki kelainan elektrolit (seperti hipokalemia, hipofosfatemia).
Obat-obatan seperti xanthines (teofilin) yang meningkatkan kontraktilitas diafragma dapat
dipertimbangkan. Namun, karena efek toksisitasnya, sehingga penggunaannya masih terbatas.

Bantuan ventilasi, baik menggunakan ventilasi non-invasif atau ventilasi invasif,


mungkin diperlukan pada pasien dengan kelelahan pernapasan dan gagal napas hiperkapnikus
yang persisten. Bantuan ventilasi melepaskan beban otot pernapasan, mengurangi kerja
pernapasan dan mengistirahatkan otot. Karena eliminasi CO 2 bergantung pada ventilasi
menit, target yang sesuai harus ditetapkan untuk volume tidal dan laju pernapasan untuk
mencapai ventilasi menit yang akan memperbaiki kelainan fisiologis sementara masalah
penyebabnya ditangani. Perawatan harus dilakukan selama ventilasi untuk membatasi cedera
paru akibat tekanan tinggi (barotrauma) atau volume tinggi (volutrauma) dan penggunaan
tingkat PEEP yang sesuai untuk mengurangi atelektrauma. Pada pasien di mana strategi
ventilasi konvensional tidak cukup untuk memastikan eliminasi CO 2 dan peningkatan pH,
perangkat pelepas CO2 ekstrakorporeal dapat dipertimbangkan.

Kesimpulan
Pendekatan yang sistematik dari gagal napas penting untuk memastikan penyebab dari gagal
napas. Sejak tatalaksana pernapasan dari dua macam patofisiologi dari gagal napas berbeda,
pengetahuan mengenai mekanisme dari gagal napas dan tatalaksana dasar yang mendukung
sangat penting. Semua tatalaksana bantu pernapasan menjadi bermanfaat hanya jika proses
penyakit yang mendasarinya ditemukan pada gagal napas dan diberikan tatalaksana yang
adekuat dan tepat.

Anda mungkin juga menyukai