Anda di halaman 1dari 30

PELAKSANAAN AKAD HUTANG PIUTANG OLEH

NASABAH DAN DISTRIBUTOR PULSA ELEKTRIK DI KOTA


BENGKULU DITINJAU DARI EKONOMI ISLAM

A. Latar Belakang Masalah

Masalah hutang-piutang merupakan persoalan manusia dengan

manusia yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Hutang-piutang berkonotasi

pada uang dan barang yang dipinjam dengan kewajiban untuk membayar

kembali apa yang sudah diterima dengan yang sama. Hutang-piutang yaitu

memberikan sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian dia akan membayar

dengan yang semestinya. Seperti menghutangkan uang Rp 2.000,00 akan

dibayar Rp 2.000,00 pula”. Sedangkan menurut bahasa arab hutang-piutang

sering disebut juga dengan Al-qardh.1

Bermuamalah untuk mencari rezeki hendaknya sesuai dengan syari‟at

Islam. Islam mengajarkan agar pemberi hutang dalam memberikan hutang

tidak dikaitkan dengan syarat lain, berupa manfaat atau keuntungan yang

harus diberikan kepadanya. Namun jika peminjam itu memberikan sesuatu

sebagai tanda terimakasih dan tanpa diminta, hal tersebut dibolehkan karena

dianggap sebagai hadiah.2

Dalam Islam satu muslim dengan muslim lainnya seperti satu

bangunan yang saling menguatkan. Islam telah mengatur sedemikian rupa

mengenai usaha- usaha yang harus dilakukan atau ditempuh oleh manusia

untuk memenuhi kebutuhan, terutama dalam keadaan yang sangat mendesak.

1
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h. 306
2
Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 63

1
Salah satu usaha yang dilakukan yaitu dengan jalan meminjam uang kepada

pihak atau lembaga terkait sehingga kebutuhan dapat terpenuhi. Dengan

demikian hutang-piutang uang dianggap hal yang sudah biasa dilakukan oleh

masyarakat.3

Dalam konsep Islam kegiatan hutang-piutang boleh dilakukan dengan

tanpa adanya tambahan, sedangkan dalam pelaksanaannya tergantung pada

keadaan ekonomi yang bersangkutan, apakah yang bersangkutan sudah tepat

melakukannya atau belum. Memberikan hutang atau pinjaman adalah

perbuatan yang baik, karena merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang

terdapat unsur tolong-menolong sesama manusia sebagai makhluk sosial.

Unsur tolong-menolong dimaksudkan supaya tidak merugikan bagi

orang lain. Tolong-menolong dalam hal hutang-piutang uang yang telah

disepakati dan ketika jatuh tempo uang pinjaman tersebut tidak merugikan

pihak lain seperti mengambil keuntungan dari hasil pinjaman tersebut (tidak

diperbolehkan mengambil sisa uang).

Dalam menolong seseorang karena kesulitan hendaknya diperhatikan

bahwa memberi pertolongan itu tidak mencari keuntungan yang besar tetapi

hanya sekedar mengurangi atau menghilangkan beban atas kebutuhan yang

sedang seseorang butuhkan, janganlah mencari keuntungan dengan cara batil

dalam melakukan setiap perniagaan.4

3
Novizah Dartiwi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Hutang-Piutang Uang di
Perumahan Tanah Mas Azhar Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin”, Skripsi,
(Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Fatah, 2010), h. 17. (tidak diterbitkan)
4
Hamzah Ya‟kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung : Diponegoro, 1995), h. 242

2
Hutang-piutang adalah salah satu bentuk transaksi yang bisa dilakukan

pada seluruh tingkat masyarakat baik masyarakat tradisional maupun modern,

oleh sebab itu transaksi itu sudah ada dan dikenal oleh manusia sejak manusia

ada dibumi ini ketika mereka mulai berhubungan satu sama lain. Setiap

perbuatan yang mengacu pada perniagaan tentunya melalui proses awal yaitu

akad, sebelum terjadiya perikatan antara pihak satu dengan pihak yang lain.

Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau

lebih, berdasarkan keridhoan masing-masing5

Disaat pengembalian barang yang telah disepakati pada awal akad,

apabila si berhutang melebihkan banyaknya hutang itu karena kemauan

sendiri dan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal)

bagi yang menghutangkan, tetapi bila tambahan yang dikehendaki oleh yang

menghutangkan atau telah menjadi perjanjian suatu akad hal itu tidak boleh,

dan tambahan itu tidak halal atas yang menghutangkan mengambilnya.

Seperti halnya bermuamalah tidak tunai (hutang-piutang), hukumnya

dianjurkan bagi yang memiliki harta lebih, maka bila ada yang dalam

kesulitan wajib baginya memberi hutang bagi si berhutang, bila tidak diberi

pinjaman menyebabkan orang itu teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang

dilarang agama, seperti mencuri karena ketidakadaan biaya untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya. 6

5
Helmi Karim, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 37
6
Helmi Karim, Fiqih Muamalah. …. h. 38

3
Pada praktektnya hutang piutang tidak terlepas dari riba, riba

merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba

sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana kreditor meminta

tambahan dari modal asal kepada debitor. tidak dapat dipungkiri bahwa dalam

jual-beli juga sering terjadi praktek riba, seperti menukar barang yang tidak

sejenis, melebihkan atau mengurangkan timbangan atau dalam takaran . 7 Riba

dapat menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia

dengan cara hutang-piutang atau menghilangkan faidah hutang-piutang, maka

riba itu cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.8

Pembahasan mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam

perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba

merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal

ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-

transaksi dibidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah)

yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari.9 Pada

dasarnya transaksi riba dapat terjadi pada kegiatan jual beli. Para ulama

menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba

mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini

mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama.10

7
Helmi Karim, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 36
8
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 61
9
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h.
34

10
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: Rajawali pers, 2002), h. 204

4
SPBU pulsa merupakan perusahaan penyedia layanan bisnis pulsa all

operator, pendaftaran master dealer pulsa dan agen pulsa serta asesoris

Handphone di Kota Bengkulu. Kegiatan usaha SPBU pulsa dilakukan secara

tunai dan secara hutang piutang. Dilakukan secara tunai yaitu pelanggan

melakukan pembayaran saat transaksi dilakukan, dan secara hutang piutang

yaitu SPBU Pulsa selaku distributor memberi kepercayaan kepada pelanggan

untuk menjual terlebih dahulu setelah pulsa habis, nasabah atau retailer baru

membayar kepada distributor.

Berdasarkan observasi di SPBU pulsa Kota Bengkulu, sering terjadi

kesulitan penagihan kepada retailer, dan SPBU pulsa memberikan rentang

waktu bagi retailer untuk melakukan pembayaran pulsa. Akan tetapi pihak

SPBU hingga saat itu masih menjalankan sistem hutang kepada pihak

retailer11.

Latar belakang di atas membuat penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian dan membahas tentang pelaksanaan akad hutang piutang oleh

nasabah dan distributor pulsa elektrik di kantor SPBU pulsa ditinjau Dari

ekonomi Islam

B. Batasan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas dan agar penelitian yang dilakukan

tepat menuju sasaran sesuai dengan permasalahan di atas, maka penulis

membatasi masalah yang akan diteliti yaitu distributor SPBU Pulsa dan

11
Observasi awal di SPBU pulsa Kota Bengkulu, pada tanggal 3 Desember 2017

5
retailer pulsa di Kota Bengkulu. Kemudian praktek hutang-piutang akan

ditinjau Dari ekonomi Islam

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil rumusan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Praktek hutang-piutang Pulsa Di Kota Bengkulu?

2. Bagaimana pelaksanaan akad hutang piutang penjualan Pulsa Di Kota

Bengkulu ditinjau Dari ekonomi Islam?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui bagaimana Praktek hutang-piutang Pulsa Di Kota

Bengkulu

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan akad hutang piutang

penjualan Pulsa Di Kota Bengkulu ditinjau Dari ekonomi Islam

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Untuk Penulis

Tulisan ini memberikan manfaat bagi penulis berupa pemahaman

yang lebih mendalam lagi mengenai analisis ekonomi Islam terhadap

praktek hutang- piutang antara nasabah dan pemilik SPBU Pulsa Di

6
Kota Bengkulu serta memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan

Program Studi Ekonomi Islam.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan wahana untuk menerapkan

hukum Islam dalam kegiatan bermuamalah terutama yang berkaitan

dengan hutang-piutang

3. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan informasi

kepada masyarakat khususnya dan masyarakat luas pada umumnya

mengenai mekanisme hutang-piutang antara nasabah dan pemilik

pemilik SPBU Pulsa Di Kota Bengkulu apakah sesuai dengan

ketentuan ekonomi Islam atau tidak.

F. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu mengenai hutang-piutang : Siti Nur Cahyati

(2010) menulis “Tinjuan Hukum Islam terhadap Perjanjian Hutang-Piutang

dan Pelaksanaannya di Desa Tlogorejo Kecamatan Togowanu Kabupaten

Grobogan” dalam penelitiannya menyatakan bahwa pelaksanaan hutang-

piutang diawali dengan adanya kesepakatan tambahan saat pengembalian

uang dan pada saat pengembalian kesepakatan ia harus diwujudkan. Dan

menurut ekonomi Islam terhadap pelaksanaan hutang-piutang di Desa

Tlogorejo Kecamatan Togowanu Kabupaten Grobogan ini bertentangan

7
dengan syari'at Islam karena uang yang dipinjam harus dikembalikan dengan

tambahan 20% sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak,

tambahan itu termasuk riba‟ dan riba‟ sangat diharamkan dalam al-Qur‟an.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti

terdapat perbedaan yang terletak pada objek penelitian yaitu peneliti meneliti

nasabah SPBU Pulsa Kota Bengkulu sedangkan penelitian terdahulu di Desa

Tlogorejo Kecamatan Togowanu Kabupaten Grobogan, kemudian pada objek

yang dihutang-piutang peneliti meneliti pelaksanaan hutang piutang penjualan

pulsa sedangkan penelitian terdahulu meneliti hutang piutang dalam bentuk

uang. Sedangkan persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang akan

dilakukan terletak subjek penelitian yaitu masalah pelaksanaan hutang

piutang ditinjau dari ekonomi Islam dan terletak pada metodologi penelitian

yaitu menggunakan kualitatif serta teknik pengumpulan data yaitu wawancara

dan studi pustaka

Lina Fadjria (2009) yang menulis “Utang-Piutang Emas dengan

Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari

Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam”. dalam

skripsi ini membahas tentang praktek utang piutang emas dengan

pengembalian uang di kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari

Kecamatan Rungkut Kota Surabaya. Dan hasil penelitiannya menyebutkan

bahwa praktek utang-piutang di kampung Pandugo tersebut tidak sesuai

dengan hukum Islam, karena yang menjadi objek utang piutang tersebut

merupakan barang yang tidak sejenis.

8
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti

terdapat perbedaan yang terletak pada objek penelitian yaitu peneliti meneliti

nasabah SPBU Pulsa Kota Bengkulu sedangkan penelitian terdahulu di di

Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota

Surabaya, kemudian pada objek yang dihutang-piutang peneliti meneliti

pelaksanaan hutang piutang penjualan pulsa sedangkan penelitian terdahulu

meneliti hutang piutang dalam emas. Sedangkan persamaan dari penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilakukan terletak subjek penelitian yaitu

masalah pelaksanaan hutang piutang ditinjau dari ekonomi Islam dan terletak

pada metodologi penelitian yaitu menggunakan kualitatif serta teknik

pengumpulan data yaitu wawancara dan studi pustaka

Hasbi, (2007) dari jurnal ISSN 1558-598 V. 3 (9) dengan Praktik Utang

Piutang Dalam Perspektif Ekonomi islam Di Kecamatan Binuang Kabupaten

Polewalimandari Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam praktik

utang piutang dikecamatan binuang kabupaten polewali mandar dilihat dari

sisi pola utang piutangyang dimana utang piutang berdasarkan jaminan tidak

sesuai dengan hukum syar‟idan pola utang piutang tanpa jaminan sesuai

dengan hukum syar‟i. Adapun faktor pendorong masyarakat melakukan utang

piutang yaitu karena adanya faktor kemudahan, kebutuhan, ekonomi, dan

pendidikan

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti

terdapat perbedaan yang terletak pada objek penelitian yaitu peneliti meneliti

nasabah SPBU Pulsa Kota Bengkulu sedangkan penelitian terdahulu di Di

9
Kecamatan Binuang Kabupaten Polewalimandari, kemudian pada objek yang

dihutang-piutang peneliti meneliti pelaksanaan hutang piutang penjualan

pulsa sedangkan penelitian terdahulu meneliti hutang piutang dalam bentuk

uang. Sedangkan persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang akan

dilakukan terletak subjek penelitian yaitu masalah pelaksanaan hutang

piutang ditinjau dari ekonomi Islam dan terletak pada metodologi penelitian

yaitu menggunakan kualitatif serta teknik pengumpulan data yaitu wawancara

dan studi pustaka

Hidayati Nasrah (2015) dalam international Jurnal Al-Iqtishad Edisi 11

Volume 1 Tahun 2015 Analisis Akad Mudharabah di Perbankan Syariah

Praktek mudharabah diperbankan syariah belum benar-benar diterapkan

sesuaidengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulam aIndonesia.2.

Perbankan syariah tidak bersedia menanggung kerugian sebagaimana

yangdinyatakan dalam fatwa No07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

Pembiayaan Mudharabah.3. Perbankan syariah berperanganda, sebagai

mudharib danjuga sekaligus sebagaipemilik dana .4. Pemberian hadiah

dimuka yang dilakukan oleh perbankan syariah pada saatnasabah

menyetorkan danatidak dapat dibenarkan menurut syariat karena diiringi

dengan maksud-maksud tertentu.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti

terdapat perbedaan yang terletak pada objek penelitian yaitu peneliti meneliti

nasabah SPBU Pulsa Kota Bengkulu sedangkan penelitian terdahulu di Di

Perbankan Syariah, kemudian pada objek yang dihutang-piutang peneliti

10
meneliti pelaksanaan hutang piutang penjualan pulsa sedangkan penelitian

terdahulu meneliti Praktek mudharabah diperbankan. Sedangkan persamaan

dari penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak subjek

penelitian yaitu masalah pelaksanaan hutang piutang ditinjau dari ekonomi

Islam dan terletak pada metodologi penelitian yaitu menggunakan kualitatif

serta teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan studi pustaka

G. Kajian Pustaka

1. Pengertian Al-qardh

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hutang-piutang adalah uang

yang dipinjam dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada orang lain.1 12

Dalam Islam hutang-piutang dikenal dengan istilah Al-qardh, secara

etimologis kata Al-qardh berarti Al-Qath‟u yang berarti potongan. Dengan

demikian Al-qardh dapat dipahami sebagai harta yang diserahkan kepada

orang yang berhutang, sebab harta yang diserahkan merupakan satu

potongan dari harta orang yang memberikan hutang.13

Menurut Imam Hanafi Al-qardh adalah pemberian harta oleh

seseorang kepada orang lain supaya ia membayarnya. Kontrak yang

khusus mengenai penyerahan harta kepada seseorang agar orang itu

mengembalikan harta yang sama semestinya.14

12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), Cetakan ke-1, h. 689
13
. Marzuki Kamaluddin, Fiqih Sunnah , (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1998), Jilid XII, h. 129
14
M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 72

11
Imam Malik mengatakan bahwa Al-qardh merupakan pinjaman atas

benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena balas kasihan dan

merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan

seperti bentuk yang dipinjamkan.15

Menurut Imam Hambali Al-qardh adalah perpindahan harta milik

secara mutlak, sehingga penggantinya harus sama nilainya. Sedangkan

menurut Imam Syafi‟i Al-qardh adalah pinjaman yang berarti baik yang

bersumberkan kepada al-Qur‟an bahwa barang siapa yang memberikan

pinjaman yang baik kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan

melipatgandakan kebaikan kepadanya.

Dari beberapa uraian diatas dapat dipahami bahwa Al-qardh adalah

pinjaman atau hutang yang diberikan kepada seseorang kepada orang lain

untuk dikembalikan lagi kepada orang yang telah meminjamkan harta,

karena pinjaman tersebut merupakan potongan dari harta yang

memberikan pinjaman atau hutang. Dengan kata lain Al-qardh adalah

pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta

kembali atau dalam istilah lain meminjam tanpa mengharapkan imbalan.16

Hutang-piutang sebagai perjanjian, maksudnya adalah setiap orang

yang dapat melakukan perbuatan itu asalkan memenuhi syarat-syarat

terjadinya peristiwa hukum tersebut. Dan disamping itu harus memenuhi

isi dari perjanjian yang disepakati sebagai kewajiban dari ikatan hukum

antara kedua belah pihak.


15
M. Muslichuddin, Sistem Perbankan dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8
16
M. Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h. 131

12
2. Akad Qordh

Secara etimologi, Qordh  berati (potongan). Harta yang dibayarkan

kepada muqtarid (yang diajak akad qarhd,sebab merupakan potongan dari

harta muqrid (orang yang membayar) 17

Dalam hal pinjam meminjam uang atau dalam istilah Arabnya

dikenal dengan Al Qardh dibedakan menjadi dua macam yaitu :

a. Qardh – Al Hasan, yaitu meminjamkan sesuatu kepada orang lain,

dimana pihak yang dipinjami sebenarnya tidak ada kewajiban

mengembalikan. Adanya Qardh al hasan ini sejalan dengan ketentuan

Al Quran surat At Taubah ayat 60 yang memuat tentang sasaran atau

orang-orang yang berhak atas zakat, yang salah satunya adalah

Gharim yaitu pihak yang mempunyai utang di jalan Allah. Melalui

Qardh Al hasan maka dapat membantu sekali orang yang berutang di

jalan Allah untuk mengembalikan utangnya kepada orang lain tanpa

adanya kewajiban baginya untuk mengembalikan utang tersebut

kepada pihak yang meminjami. Keberadaan akad ini merupakan

karakteristik dari kegiatan usaha perbankan syariah yang berdasarkan

pada prinsip tolong menolong.

b. Al Qardh yaitu meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan

kewajiban mengembalikan pokoknya kepada pihak yang meminjami.

17
Helmi Karim,Fiqih Muamalah,Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,1997, hal 159

13
Pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 Tentang

Qardh diartikan sebagai pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan

kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara

sekaligus atau cicilan dalam waktu tertentu.

3. Dalil dan Dasar Hukum Al-qardh

Adapun landasan syariahnya pada Surat Al Hadid ayat 11 :

         
  

“ Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang

baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya

dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa :

Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah seorang muslim yang

meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah

(senilai) sadaqah (HR.Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa : Nabi SAW berkata :

"Tidaklah seorang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua

kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sadaqah" (HR. Ibnu Majah,

Ibnu Hibban dan Baihaqi).

Dari Anas berkata, berkata Rasulullah SAW : "Aku melihat

pada waktu malam di isra'kan, pada pintu surga tertulis : Sedeqah

dibalas 10 kali lipat dan qard 18 kali. Aku bertanya: Wahai Jibril

Mengapa Qard lebih utama dari sadaqah ? ia menjawab : Karena

14
peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak

akan meminjam kecuali karena keperluan".

Pinjaman Qardh menurut PSAK 59 adalah penyediaan dana atau

tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang

mewajibkan peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan namun

tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan didalam perjanjian. Bank

syariah disamping memberikan pinjaman Qardh, juga dapat

menyalurkan pinjaman dalam bentuk Qardhul Hasan. Qardhul Hasan

adalah pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk

menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan

mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang

disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena

kelalaiannya, maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah

pinjaman.

Qardhul Hasan menurut Sri Nurhayati dan Wasilah adalah

pinjaman tanpa dikenakan biaya (hanya wajib membayar sebesar

pokok hutangnya), pinjaman uang seperti inilah yang sesuai dengan

ketentuan syariah (tidak ada riba), karena kalau meminjamkan uang

maka ia tidak boleh meminta pengembalian yang lebih besar dari

pinjaman yang diberikan.

15
Qardhul Hasan menurut Ahmad Ifham Sholihin dalam Buku

Pintar Ekonomi Syariah menyebutnya sebagai Qardh al-Hasan atau

Pinjaman Kebijakan adalah yang pertama, pinjaman dengan

kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan

apapun. Yang kedua, suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan

pihak yang menerima pinjaman tidak wajib mengembalikan dana

apabila terjadi force majeure.

Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai

dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001

Tentang Al-qardh yang memperbolehkan untuk pemberi pinjaman

agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam

penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian

qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah

dana qardh yang diberikan

4. Syarat Dan Rukun Al-qardh

Seperti halnya jual beli, rukun qard juga diperselisihkan oleh para

fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qard adalah ijab dan qabul.

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun qard adalah:

a. ‘Aqid, yaitu muqrid dan muqtarid

b. Ma’qud alaihi, yaitu uang atau barang

c. Shigat yaitu ijab dan qabul

Syarat qared adalah

a. Syarat ‘aqid

16
Untuk ‘aqid, baik muqrid maupun muqtarid disyaratkan

harus orang dibolehan melakukan tasharruf atau memiliki

ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qard tidak sah apabila dilakukan

oleh anak yang masih di bawah umur atau orang gila. Syafi’i

memberikan persyaratan untuk muqrid, antara lain:

1. Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’

2. Mukhtar (memiliki pilihan)

Sedangkan untuk muqtarid disyaratkan harus memiliki Ahliyah

atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti: dewasa,

berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa ada paksaan.

b. Syarat ma’qud ‘alaih

Menurut jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah,

Syafi’iyah dan Hanabilah yang menjadi objek akad dalam qard

sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang

ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat) serta qimiyat (barang-

barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan,

barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Atau dengan

kata lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh

juga dijadikan objek qard.

Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud ‘alaih hukumnya

sah dalam mal misli, seperti barang-barang yang ditakar (makilat),

barang-barang yang ditimbang (mauzunat), barang-barang yang

dihitung (ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang bisa diukur

17
dengan meteran (mazru’at). Sedangkan barang-barang yang tidak

ada atau sulit mencari persamaannya di pasaran (qimiyat) tidak

boleh dijadikan objek qard, seperti hewan, karena sulit

mengembalikan dengan barang yang sama.

c. Syarat dalam Shigat (Ijab dan Qabul)

Qard adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh

karena itu, akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan

qabul, sama halnya dengan akad jual beli dan hibah.

Shigat ijab bisa dengan menggunakan lafal qard (utang

atau pinjam) dan salaf  (utang), atau dengan lafal yang

mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan

kepadamu barang ini, dengan ketentuan Engkau harus

mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata

milik disini bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan

pemberian utang yang harus dibayar. Penggunaan lafal salaf untuk

qard  didasarkan kepada hadis Abu Rafi’:

َّ ‫ ُل‬Uِ‫هُ إِب‬U‫ رًا فَ َجا َ َء ْت‬U‫لَّ َم بِ ْك‬U‫ ِه َو َس‬Uِ‫ ِه َوأل‬U‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬U‫ص‬
‫ َدقَ ِة‬U‫الص‬ َ ‫ اِ ْستَلَفَ النَّبِ ُّي‬:‫َوع َْن اَبِ ْي َرافِ ِع قَاَل‬
ِ َ‫ارًا ُرب‬UUَ‫ إِاَّل َج َماًل ِخي‬ ‫ل‬U
‫ال‬UUَ‫ا فَق‬UUً‫اعي‬ ْ َ
ِ Uِ‫ إِنِّي لَ ْم أ ِج ْد فِي ا ِإلب‬:‫ت‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬,ُ‫ض َي ال َّر ُج َل بِ ْك َره‬
ِ ‫فَا َ َم َرنِي أَ ْن اَ ْق‬
َ َ‫نَهُ ْم ق‬UUUUUUUUUUUU‫اس اَحْ َس‬
‫ا ًء‬UUUUUUUUUUUU‫ض‬ ِ َّ‫ر الن‬UUUUUUUUUUUUْ
ِ ‫إ ِ َّن ِم ْن خَ ي‬UUUUUUUUUUUَ‫اهُ ف‬UUUUUUUUUUUَ‫ ِه اِي‬UUUUUUUUUUU‫أَ ْع ِط‬:َ.

Dari Abu Rafi’ ia berkata: “Nabi berutang seekor unta


perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu Nabi
memerintahkan kepada saya untuk memebayar kepada laki-laki
pemberi utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata:
saya tidak menemukan di dalam unta-unta hasil zakat itu kecuali
unta pilihan yang berumur enam masuk tujuh tahun. Nabi
kemudian bersabda: berikan saja kepadanya unta tersebut, karena
sesungguhnya sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling
baik dalam membayar utang.”

18
5. Hukum Memberikan Hutang

Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung

situasi dan toleransi, namun pada umumnya memberi hutang

hukumnya sunnah. Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman

hukumnya bisa menjadi wajib ketika diberikan kepada orang yang

membutuhkan seperti memberi hutang kepada tetangga yang

membutuhkan uang untuk berobat karena keluarganya ada yang sakit.

Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi

hutang untuk hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam.

Memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang

sangat membutuhkan adalah hal yang dianjurkan, karena di dalamnya

terdapat unsur tolong-menolong dan akan diberikan pahala yang besar

oleh Allah SWT.

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah: 18

‫ُضا ِعفَهُ لَهُ أَضْ َعافًا َكثِي َرةً َوهَّللا ُ يَ ْقبِضُ َويَ ْب ُسطُ َوإِلَ ْي ِه‬
َ ‫َم ْن َذا الَّ ِذي يُ ْق ِرضُ هَّللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬

َ‫تُرْ َجعُون‬

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang

baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan

meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang

banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan

kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

18
Rasjid, Sulaiman. 2008. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo hal 96

19
Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat pada

ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat dalam

surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :

ِ ‫وا هّللا َ إِ َّن هّللا َ َش ِدي ُد ْال ِعقَا‬


‫ب‬ ْ ُ‫وا َعلَى ا ِإل ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َواتَّق‬
ْ ُ‫وا َعلَى ْالب ِّر َوالتَّ ْق َوى َوالَ تَ َعا َون‬
ْ ُ‫َوتَ َعا َون‬

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya

Allah SWT amat berat siksa-Nya. (Q.S al-Maidah : 2)”

Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW. Dapat ditemukan antara

lain dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai

berikut:

َ ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يُ ْق ِرضُ ُم ْسلِ ًما قَرْ ضًا َم َّرتَ ْي ِن إِالَّ َكانَ َك‬
‫((رواه ابن ماجه‬ ً‫ص َدقَتِهَا َم َّرة‬

“Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-

olah telah bersedekah kepadanya satu kali”19

6. Keutamaan/fadhilah bagi pemberi utang

Syariat Islam menjanjikan serangkaian keutamaan bagi mereka

yang memberikan pinjaman kepada saudaranya dengan niatan yang tulus

penuh keikhlasan.  Seseorang yang mau membantu saudaranya saat

ditimpa kesulitan, maka Allah SWT akan membantunya  di akhirat nanti.

Rasulullah SAW bersabda : “ Barang siapa yang membebaskan atas diri

seorang muslim, satu penderitaan dari penderitaan2 di dunia, maka Allah

akan mengangkatnya dari kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa

19
Aibak, Kutbuddin. 2006. Kajian Fiqh Kontemporer . Surabaya: Elkaf, hal 78

20
memudahkan  kesusahan yg ada pada seseorang, maka Allah akan

memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

Keutamaan yang lain adalah, bahwa pahala memberikan hutang

atau pinjaman ternyata lebih besar dari seorang yang menyedekahkan

hartanya

Sabda Rasulullah SAW :

“Saya melihat pada waktu di-isra’-kan, pada pintu surga tertulis

“Pahala shadaqah sepuluh kali lipat dan pahala pemberian utang delapan

belas kali lipat” lalu saya bertanya pada Jibril “Wahai Jibril, mengapa

pahala pemberian utang lebih besar?” Ia menjawab “Karena peminta-

minta sesuatu meminta dari orang yang punya, sedangkan seseorang yang

meminjam tidak akan meminjam kecuali ia dalam keadaan sangat

membutuhkan”. (HR Ibnu Majah)20

7. Adab dalam Al-qardh

a. Niatan kuat untuk membayar

             Seorang yang berhutang hendaknya sejak awal meniatkan

untuk membayar dengan segera dan bukan menunda-nunda, apalagi

meniatkan untuk tidak membayar, hal tersebut tergolong dalam

keburukan yang dicela dalam sabda Rasulullah SAW :21

“Barang siapa mengambil pinjaman harta orang lain dengan

maksud untuk mengembalikannya maka Allah akan menunaikan


20
Aibak, Kutbuddin. 2006. Kajian Fiqh Kontemporer . Surabaya: Elkaf, hal 78
21
Mas’ai, Ghufron A.. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal
90

21
untuknya, barang siapa yang meminjam dengan niatan tidak

mengembalikannya, maka Allah akan memusnahkan harta tersebut”

(HR Bukhari)

b. Tidak ada perjanjian kelebihan dalam pengembalian saat akad terjadi

       Dalam kaidah dikatakan, “ setiap pinjaman yang mengandung

unsur kemanfaatan maka hukumnya masuk kategori riba “. Karenanya,

kita perlu berhati-hati saat melakukan aktifitas hutang piutang, jangan

sampai mensyaratkan kelebihan atau tambahan saat pengembalian,

meskipun kelebihan tadi bukan uang tapi barang misalnya.

c. Menuliskan pernyataan bagi yang berhutang

Pada saat ini fungsi akuntansi atau pencatatan transaksi sudah

menjadi kebutuhan, karena begitu padat dan rumitnya jenis aktifitas

ekonomi seseorang.

Syariat Islam kita juga menganjurkan kepada kita untuk menaruh

perhatian dalam masalah pencatatan hutang piutang tersebut, Allah

SWT berfirman : “ Dan hendaklah orang yang berutang itu

mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa

kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun “

daripada utangnya.”  (QS Al Baqarah 282)

Dengan adanya pencatatan hutang piutang, maka hal ini menjadi

upaya mencegah terjadinya konflik  dan pertikaian antara pihak-pihak

yang melakuan transaksi tersebut.

d. Memperbanyak Doa bagi yang berhutang

22
            Berhutang menumbuhkan perasaan beban dalam hati, selain

upaya untuk melunasinya dengan giat bekerja dan berusaha, kita juga

dianjurkan untuk berdoa kepada Allah SWT agar terbebas dari lilitan

hutang. Doa yang penuh kesungguhan juga akan menjadi semacam

terapi untuk meringankan beban hutang tersebut. Rasulullah SAW

mengajarkan doa khusus dalam masalah ini :

َ ‫ َو‬،‫ َو ْالب ُْخ ِل َو ْال ُج ْب ِن‬،‫ َو ْال َعجْ ِز َو ْال َك َس ِل‬،‫ك ِمنَ ْالهَ ِّم َو ْالح ُْز ِن‬
‫ضلَ ِع ال َّدي ِْن َو َغلَبَ ِة‬ َ ِ‫اَللَّهُ َّم ِإنِّ ْي أَ ُعوْ ُذ ب‬
‫ال ِّر َجا ِل‬
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang)
menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut,
lilitan hutang dan penindasan orang.”(HR Bukhori)

e. Tidak Menunda Pembayaran

            Hendaknya kita berusaha untuk menyegerakan pelunasan

hutang, karena itu menjadi bagian dari komitmen seorang muslim yang

harus berusaha menepati janji yang keluar dari lisannya. Apalagi jika

kondisi benar-benar telah lapang dan mempunyai kemampuan, maka

sikap menunda-nunda hanya akan menambah sikap tercela dalam diri

kita. Rasulullah SAW bersabda :Menunda-nunda pembayaran hutang

oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. (HR Abu

Daud)

f. Menunaikan dengan Sempurna

            Meskipun kelebihan pengembalian yang disebutkan di awal

akad hutang piutang diharamkan dalam Islam, namun melebihkan

pengembalian pinjaman yang benar-benar atas inisiatif yang berhutang

- tanpa paksaan dan penuh dengan keridhoan- justru merupakan akhlak

23
mulia yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah, ia

berkata, “Rasulullah telah berhutang hewan, kemudian beliau bayar

dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang yang

beliau hutang itu”, dan Rasululloh bersabda, “Orang yang paling baik

diantara kamu ialah orang yang dapat membayar hutangnya dengan

yang lebih baik”. (HR. Ahmad & Tirmidzi).

g. Bagi yang menghutangi, hendaknya memberi Tenggang Waktu

      Khusus bagi yang menghutangi, adab yang harus dijaga adalah

cara penagihan yang ihsan yaitu dengan tetap menjunjung tinggi

ukhuwah sesama muslim.  Jika memang kondisi yang berhutang

benar-benar tidak memungkinkan, maka anjuran Islam bagi kita adalah

memberikan toleransi waktu, Allah SWT berfirman :

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS

al Baqarah 280)

8. Syarat Piutang Menjadi Amal Shalih

a. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni

kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu

yang haram.

b. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti

penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.

24
c. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah

dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata.

Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar

kebaikannya oleh orang lain).

d. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau

keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.22

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research),

yaitu suatu penelitian yang meneliti objek di lapangan untuk

mendapatkan data dan gambaran yang jelas dan konkrit tentang hal-hal

yang berhubungan dengan permasalahan yang di teiliti. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tujuan penelitian ini

didapat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.23

2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2017, dengan lokasi

penelitian ini pada SPBU Pulsa Kota Bengkulu yang berlokasi di

Pagar Dewa Kota Bengkulu.

3. Subjek Penelitian

22
Mas’ai, Ghufron A.. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal
90
23
Umadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers cet. VII, 1992), h. 18

25
Subyek penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan

penjualan secara hutang di SPBU Pulsa Kota Bengkulu yaitu pemilik

SPBU Pulsa Kota Bengkulu dan retailer SPBU Pulsa Kota Bengkulu

yang melakukan pengisian saldo pulsa secara hutang

4. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yaitu subyek dari mana data dapat diperoleh, sumber

data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data primer dan data

sekunder.

a. Data primer adalah data yang didapat dari responden secara

langsung dari jawaban wawancara.

b. Data sekunder adalah bahan kepustakaan yang diambil dari

buku-buku, literatur-literatur yang disusun oleh para ahli yang

berhubungan erat dengan masalah yang dibahas, yaitu tentang

tinjauan ekonomi Islam terhadap praktek hutang-piutang antara

nasabah dan pemilik SPBU Pulsa Di Kota Bengkulu. 24

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis untuk memperoleh

data dan informasi dalam penelitian ini adalah:

a. Observasi

Observasi dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti

pengamatan atau peninjauan secara cermat. Observasi adalah

penelitian atau pengamatan secara sistematis dan terencana yang

diniati untuk perolehan data yang di control validitas dan

24
Sugiono, Metode Penelitian Statistik, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 45

26
reliabilitasnya.25 Observasi merupakan pengumpulan data yang

dilakukan dengan sengaja, sestematis mengenai fenomena sosial dan

gejala-gejala pisis untuk kemudian dilakukan pencatatan, dalam

penelitian observasi ini peneliti langsung terjun ke lapangan menjadi

partisipan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan fokus

penelitian

b. Wawancara

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk

mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,

motivasi, perasaam dan sebagainya. 26

Dalam penelitian ini metode wawancara dilakukan dengan

memberikan sejumlah pertanyaan kepada responden (interviewee),

pihak responden yaitu:

1. Responden yang berada pada divisi kepatuhan

2. Responden yang berada pada komite manajemen risiko.

Dalam pelaksanaan penelitian ini data yang dimaksud adalah

dengan memperoleh bagaimana penerapan akad hutang piutan pada

SPBU Pulsa Di Kota Bengkulu

c. Dokumentasi.

Dokumentasi dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-

barang tertulis. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti menggunakan


25
Bungin. Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta,
h. 104

26
Aan Komariah dan Djam’an Satori, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung :
Alfabeta, h. 155

27
banda-banda tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan, notulen

rapat, catatan harian dsb. Dalam penelitian dokumentasi yang

dimaksud adalah dengan menggunakan pengumpulan berupa berkas-

berkas, seperti sejarah, visi, misi, struktur organisasi, produk-produk

dan SPBU Pulsa Di Kota Bengkul

5. Teknik Analisis Data

Data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan

menggunakan metode deduktif kualitatif yaitu data yang diperoleh dari

berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang

bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus-menerus

sampai datanya jenuh.Menggambarkan hasil penelitian mengenai

Analisis Ekonomi Islam Terhadap Praktek Hutang-Piutang Antara

nasabah pulsa dan SPBU Pulsa Di Kota Bengkulu yaitu dalam bentuk

tabel, sedangkan analisis data akan diolah dengan cara deduktif, yaitu

menarik kesimpulan yang bersifat umum ke khusus.

28
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: CV. J-ART,


2005

Antonio, M. Syafi‟i, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001

Arifin, Zainul, Memahami Bank Syari‟ah: Peluang, Tantangan, dan Prospek,


Jakarta: Alvabeta, 1999

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan, Jakarta: PT. Rineka


Cipta, 1996

Dahlan, Abdul Azis, ed, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996

Hasan, Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: Rajawali pers, 2002

Huda, Nurul dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Prenada Media Group, 2010

Marzuki, Fiqih Sunnah , Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1998 Karim, Helmi, Fiqih
Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Mardani, Fiqih Ekonomi Syari‟ah : Fiqih Muamalah, Jakarta : Kencana, 2012

Muchlis, Ahmad Wardi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010

Mudjieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Muslichuddin, Muhammad, Sistem Perbankan dalam Islam, Jakarta: Rineka


Cipta, 1990

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007 Sabiq,
Sayyid, Fiqih Sunnah, Dilibanon: Darul Fikri, 1987

Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D, Bandung: Alfabeta,


2014
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers cet. VII, 1992
Tengku, Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Pengantar Fiqih
Muamalah,

29
ANALISIS PELAKSANAAN AKAD HUTANG PIUTANG OLEH
NASABAH DAN DISTRIBUTOR PULSA ELEKTRIK DITINJAU
DARI EKONOMI ISLAM
(STUDI KASUS DI KANTOR SPBU PULSA DI KOTA BENGKULU)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Penulisan Skripsi


Dalam Bidang Ekonomi Syariah (S.E)

Disusun oleh :
MEGI LASTARI
1316610188

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BENGKULU
2017

30

Anda mungkin juga menyukai