Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep Muamalah yang kafah dewasa ini telah bercampur aduk


dengan konsep yang diadopsi dari luar islam, khususnya Negara-negara
maju dan berkembang. Sedikit demi sedikit telah tersisihkan, bergeser,
bahkan menghilang dari kancah masyarakat islam itu sendiri. Tak heran
jika banyak pihak yang melakukan konfrontasi ke inernal islam itu sendiri.
Kondisi ini merupakan suatu keuntugan tersendiri bagi mereka.
Banyak praktek-praktek perbankan Negara Kapitalis yang
mengatasnamakan syariah (mumalah) Islam. Khususnya Utang-piutang
(Qardh). Riba dalam perbankan pun tak terhindarkan. Padahal dalam Islam
tidak membenarkan adanya Riba dalam Utang-piutang.
Bertolak dari problematika itulah, pemakalah mencoba untuk

menguraikan secara terperinci tentang konsep Utang-piutang yang benar

dalam islam.

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-


kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti
butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia pada saat sekarang
ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.

1
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang

untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama

berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika

memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang

melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang

melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut.

Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan

hukumnya

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Qardh,
2. Apa saja rukun dan syarat Qardh
3. Landasan hukum Qardh
4. Pengertian Rahn
5. Apa saja rukun dan syarat Rahn
6. Dasar hukum Rahn

C. Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk


menginformasikan dan menjelaskan tentang proses perencanaan dalam
Manajemen serta menjelaskan rumusan masalah diatas. Secara khusus
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hadis hadis ekonomi
serta menginformasikan wawasan dan pengetahuan ke teman-teman .

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qardh

Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong).


Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian
hartanya dan memberikannya kepada pengutang.
Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada
orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan
gantinya.
Pengertian Qardh menurut istilah, diantara lain dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah:
‫ما تعطيه من مال مثلي لتقتضاه‬
Artinya:
“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. ”
‫عقد مخصوص يرد على دفع مال مثلى الخر ليرد مثله‬
Artinya:
“Akad terlalu dengan membayarkan harta mitsil kepada orang lain
supaya membayar harta yang sama kepadanya ”.
Memberikan utang ini merupakan salah satu bentuk dari rasa kasih
sayang. Rasulullah menamakannya maniihah, karena orang yang
meminjam memanfaatkannya kemudian mengembalikannya kepada
pengutang.
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang,
dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya
mengutang uang Rp. 2000,00 akan dibayar Rp. 2000,00 pula.
Utang piutang mempunyai kemiripan dengan pinjam-meminjam
dari segi bahwa yang dimiliki hanya manfaatnya dan pada waktunya
dikembalikan kepada pemilik dan juga mempunyai kemiripan dengan
pembayaan harga pembelian pada waktu yang ditangguhkan dan punya

3
hubungan pula dengan muamalah riba. Oleh karena itu, perlu dijelaskan
definisi atau batasan dari utang-piutang tersebut.
Definisi utang-piutang tersebut yang lebih medekat pada
pengertian yang mudah dipahami adalah : “penyerahan harta berbentuk
uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang sama”. Kata
“penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan pemilikan dari yang
punya.
Kata “untuk dikembalikan pada waktunya” mengandung arti
bahwa pelepasan pemilikan hanya berlaku untuk sementara, dalam arti
yang diserahkan itu hanyalah manfaatnya. “berbentuk uang” disini
mengandung arti uang dan yang dinilai dengan uang. Dari pengertian ini
dia dibedakan dari pinjam-meminjam karena yang diserahkan disina
adalah harta berbentuk barang. Kata “nilai yang sama” mengandung arti
bahwa pengembalian dengan nilai yang bertambah tidak disebut utang-
piutang, tetapi adalah usaha riba. Yang dikembalikan itu adalah “nilai”
maksudnya adalah bila yang dikembalikan wujudnya semula, ia termasuk
pada pinjam-meminjam, dan bukan utang piutang.

B. Rukun dan Syarat Qardh

Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya.

Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang bermaksud melepaskan

uang untuk sementara dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka

sama suka. Rukun Utang Piutang:

1. Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini kepada

engkau.” Jawab yang berutang,”saya mengaku berutang kepada engkau.”

2. Yang berpiutang dan yang berutang.

4
3.Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung, boleh

diutangkan, begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis

hewan yang sama.

Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut adalah

orang yang berutang (‫)الدائن‬, orang yang memberi utang (‫)المدائن‬dan objek

utang-piutang yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan

tenggang waktu pembayaran.

Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah orang

yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat kebajikan,

yaitu telah dewasa,berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa

paksaan.

Sedangkan syarat yang berkenaan dengan objek yaitu uang adalah

jenis nilainya, milik sempurna dari yang memberi utang dan dapat

diserahkan pada waktu akad. Sedangkan yang menyangkut dengan

tenggang waktu harus jelas dan dalam masa itu uang yang diserahkan telah

dapat dimanfaatkan.

Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang

adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang wali

(pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari harta anak

yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga diketahuinya jumlah dan

cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar dapayt dikembalikan kepada

pemiliknya. Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan

5
orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu

dan tanpa menunda-nundanya.

Qardh dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang

yang dibolehkan syara’. Selain itu, Qardh pun dipandang sah setelah

adanya ijab qabul, seperti pada jual beli dan hibah.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Qardh dipandang sah pada

harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan

terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda

yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qardh selain dari perkara diatas

dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda yang menetap ditanah,

dan lain-lain.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan Qardh

pada setiap benda yang tidak dapat di serahkan, baik yang ditakar maupun

yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti

barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan

pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW menukar (qarad) anak unta.

Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang bisa ditakar, atau ditimbang.

Jumhur ulama membolehkan, Qardh pada setiap benda yang dapat

diperjual belikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang Qardh Manfaat ,

seperti seseorang pada hari ini mendiami rumah, tetapi Ibn Taimiyah

membolehkannya.

Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap

Qardh pada benda yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai

6
syarat. Akan tetapi, dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau

tidak diketahui adanya manfaat Qardh.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak bisa

memanfaatkan harta muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan dirumah

muqtarid, jika dimaksudkan untuk membayar utang muqrid, bukan sebagai

penghormatan. Begitupula dilarang memberikan hadiah kepada muqrid,

jika dimaksudkan untuk menyicil utang.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang Qardh terhadap sesuatu

yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan Qardh agar

mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak sebab qarad

dimaksudkan sebagai akad kasih sayang, kemanfaatan, atau mendekatkan

hubungan kekeluargaan. Selain itu, Rosulullah Saw. pun melarang. Namun

demikian, jika tidak disyaratkan atau lebih dimaksudkan untuk mengambil

yang lebih baik, Qardh dibolehkan. Tidak dimakruhkan oleh muqrid atau

mengambilnya, sebab Rasulullah Saw. pernah memberikan anak onta yang

lebih baik kepada seorang laki-laki dari pada unta yang diambil beliau

Saw. Selain itu , Jabir bin Abdullah berkata:

‫ حق فقضانى وزادنى ﴿ رواه البخارى ومسلم‬.‫م‬.‫﴾ كان لى على رسول هللا ص‬

Artinya:

“ aku memiliki hak pada Rasulullah SAW kemudian beliau

membayarnya dan menambah untukku ” (H.R Bukhori dan Muslim)

Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa Qardh

dibolehkan dengan dua syarat:

7
a. Tidak menjurus pada suatu manfaat

b. Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli

c. Landasan hukum qardh


Untuk maksud utang-piutang dalam terminologi fiqh digunakan dua
istilah yaitu Qardhu (‫ )القرض‬dan Dayn (‫ )الدين‬kedua lafaz ini terdapat dalam
Al-Quran dan hadits Nabi dengan maksud yang sama yaitu utang-
piutang .Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah
disyari’atkan dalam islam. Hukumnya adalah mubah atau boleh.
Al-Qardhu (memberikan utang) merupakan kebajikan yang
membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan
membantunya dalam memenuhi kebutuhan. Sedangkan, mengutang
tidaklah terhitung sebagai meminta-minta yang makruh, karena Rasulullah
sendiri pernah berutang kepada orang lain.
Memberi Utang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib,
misalnya mengutangi orang yang terlantar atau orang yang sangat
membutuhkannya. Memang tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu
pekerjaan yang amat sangat besar faidahnya terhadap masyarakat, karena
tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang
lain.
Qardh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunah dan
Ijma’.
1. Al-Qur’an
Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang tersebut
dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya pada surat al-Muzammil ayat 20 :
‫وأقيموا الصالة وءاتوا الزكاة وأقرضوا هللا قرضا حسنا‬
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat serta beri utanglah Allah
dengan utang yang baik.”

8
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-
Baqarah ayat 282 :
‫ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka
tuliskanlah.”
Firman Allah Swt:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan


dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. ”(Qs. Al-Maidah: 2)
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-Baqarah ayat
282 :
‫ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka
tuliskanlah.”

2. Al-Sunnah
Memberi utang adalah disunahkan, dan orang yang melakukannya
mendapat pahala yang besar. Rasulullah bersabda:

﴿ ‫﴾ ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إال كان كصجقة مرة‬

“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang muslimin

dua kali, kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu kali”(HR. Ibnu Majah)

Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada

bersedekah, karena seseorang tidak memberikan utang kecuali kepada

orang yang membutuhkannya.

9
Dasar dalam hadits Nabi diantaranya adalah yang disampaikan oleh abu

hurairah menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang berbunyi :

‫من أخذا أموال الناس يريد أداءها أدى هللا عنه ومن أخذها يريد إتال فها أتلفه هللا‬

“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia bermaksud untuk

membayarnya, Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang bermaksud

mengambilnya dam melenyapkannya, Allah akan melenyapkannya.”

Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim ucapan

Nabi yang bunyinya :

‫إن هللا مع الدائن حتى يقضى دينه‬

“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia membayar

hutangnya.”

Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:

﴿ ‫ نفس هللا عنه كربة من كرب يوم القيامة‬، ‫﴾ من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا‬

“Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim di dunia ini,

mnaka Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat

darinya.”

‫ ﴿ وراه مسلم‬. ‫﴾ وهللا فى عون العبد مادام العبد فى عون اخيه‬

“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong

saudaranya.”(Riwayat Muslim).

3. Ijma’

10
Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam. Hukum Qardh

adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid,

berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu Majah di atas. Juga ada hadits

lainnya:

‫ من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس هللا عنه‬: .‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬: ‫قال‬.‫ع‬.‫عن أبى هريرة ر‬

‫كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر هللا عليه فى الدنيا واالخرة ومن ستر مسلما ستره‬

‫﴾ هللا فى الدنيا واالخرة وهللا فى عون العبد ماكان العبد فى عون أخيه ﴿ اخرجه مسلم‬

Artinya:

“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa

melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan dari kesusahan-

kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari

kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan,

niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan

barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi (aib) nya

didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-NYA, selama

hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).

D. Pengertian Rahn
Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan
( jaminan).
Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang
menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan
disebut murtahin. [1]
Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti atsubutu wa dawamu artinya tetap
kekal, atau al-habsu wa lazumu artinya pengekangan dan keharusan dan

11
juga bisa berarti jaminan. Dalam Islam ar-rahn merupakan sarana tolong-
menolong bagi umat islam.[2]
Sedangkan secara terminology para ulama fiqih mendefisikannya sebagai
berikut [3]:
1. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan :
Artinya :
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang
bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan ( angunan ) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat
manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus
diserahkan secara actual, tetapi boleh juga penyerahan secara
hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan itu adalah surat jaminannya.
2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan :
Artinya :
Menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang ) itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya.
3. Sedangkan Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn dengan :
Artinya :
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa
membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini
mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan
jaminan utang itu hanyalah harta yang bersifat materi, tidak
termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama
Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka
( Syafiiyah dan Hanabilah), termasuk pengertian harta.[4]

12
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Muhammad Syafi’I
Antonio, ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi,
ar-rahn adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan
barang sebagai tanggungan hutang.
Sementara menurut al-Ustad H.Idris Ahmad berpandangan, ar-rahn
adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.[5]
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam
kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa
definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan
harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman
berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”.
Dalam buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan
sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya
atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah
sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang
secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu.[6]
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah
penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan,
demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai
hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran
kembali sejumlah uang yang tersebut.
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan
atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua
belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang
bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug
jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar
maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari
tanggung jawab dan kewajiban masing-masing

13
E. Rukun dan Syarat Rahn
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu pekerjaan,"sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang
harus diindahkan dan dilakukan."
Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu."
Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya keberadaan
hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya
menyebabkan hukum pun tidak ada." Perbedaan antara rukun dan syarat menurut
ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung
keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada
di luar hukum itu sendiri.
Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu [9]:
1. Shigat (lafal ijab dan qabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan
secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung
maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)
Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:
a. tidak gila, tidak mabuk
b. Dewasa, baligh
c. Berakal
d. Mumayyis
e. Cakap hukum
3. al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)

14
Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah
mensyaratkan marhun sebagai berikut:
a. dapat diperjualbelikan
b. bermanfaat dapat diperjualbelikan
c. bermanfaat, jelas
mjd. milik rahin
e. dipegang (dikuasai) oleh rahin
f. bisa diserahkan
g. tidak bersatu dengan harta lain
h. harta yang tetap atau dapat dipindahkan
4. Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun
rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh
pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka,
untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd
(penguasaan barang). Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta
yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi
termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat rahn sesuai dengan rukun
rahn itu sendiri.
Syarat-syarat rahn itu sendiri melputi [10]:
a. Syarat yang berkenaan dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Orang dianggap telah cakap hukum untuk bertindak
sendiri yaitu : mereka mencapai umur 21 tahun atau lebih atau telah kawin
terlebih dahulu sebelum mencapai umur 21 tahun, dan bisa juga dengan
jalan handlicting (pernyataan dewasa). Kemudian menurut jumhur ulama
adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan menurut
ulama Hanafiyah cukup berakal saja (seperti anak yang masih mumayyis)
dengan catatan dalam akadnya harus mendapat persetujuan dari walinya.

15
b. Syarat sigat atau (lafal), ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-
rahn itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan
masa yang akan datang, karena akad gadai sama dengan jual beli. Apabila
akad itu disertai dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akad sah misalnya orang
yang berutang apabila tenggang waktu utang telah habis ( jatuh tempo)
dan utang belum dibayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau
pemberi utang itu mensyaratkan bahwa harta agunan itu boleh
dimanfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan
bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad,
maka syarat diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan
tabi’at rahn maka syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan,
misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad
itu disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Syarat al-marhun bihi (utang) adalah: merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang berutang, utang itu boleh dilunasi oleh
agunan, utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para fiqih
adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dengan utang, barang
jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan, barang jaminan itu
harus jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang dan
tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan barang
yang utuh dan tidak terpisah-pisah , dan ia dapat diserahkan baik
materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang
yang di rahn-kan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang.
Dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila
jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka
tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan

16
tanah atau surat-surat tanah yang diberikan kepada orang yang memberi
piutang.
Syarat yang terakhir demi kesempurnaan ar-rahn adalah bahwa barang
jaminan itu dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang. Syarat ini
menjadi penting karena Allah dalam Q.S. al-Baqarah:283 menyatakan
barang jaminan itu dipegang atau dikuasai secara hukum oleh pemberi
piutang . Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang,
maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu,
utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak
dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang itu dibayar. Apabila
dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib
dikembalikan kepada pemiliknya.

F. Dasar hukum Rahn

1. Dalam al-quran
Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan
dalam islam bedasarkan al-quran dan sunnah rasul. Dalam surah al-
Baqarah, 2:283 Allah berfirman .
Artinya :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang [180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam
perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa
langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya,

17
karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si
pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam
pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun
(menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk
sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.
2. Dalam al-hadis
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa :
ِ ‫اويَةَ َح َّدثَنَا اأْل َ ْع َمشُ ع َْن إِ ْب َرا ِهي َم ع َْن اأْل َ ْس َو ِد ع َْن عَائِ َشةَ َر‬
‫ض – َي‬ ِ ‫َح َّدثَنَا يُو ُسفُ بْنُ ِعي َسى َح َّدثَنَا أَبُو ُم َع‬
َ ٍّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن يَهُو ِدي‬
ُ‫ط َعا ًما بِنَ ِسيئَ ٍة َو َرهَنَهُ ِدرْ َعه‬ َ ِ ‫ت ا ْشتَ َرى َرسُو ُل هَّللا‬ ْ َ‫هَّللا ُ َع ْنهَا قَال‬
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah menceritakan kepada
kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari
Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi secara
angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau".
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-rahn-kan
baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan
sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis diatas, para ulama
fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar- rahn itu dibolehkan, karena
banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka
hubungan antar sesama manusia.
3. Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-rahn boleh dilakukan.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-
meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan kebutuhan umatnya.

18
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong).


Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian
hartanya dan memberikannya kepada pengutang.
Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada
orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan
gantinya.
Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai
angunan ( jaminan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut
marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak
yang menerima jaminan disebut murtahin

Saran

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya banyak kekurangan


dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan
pada saya silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya
mohon maaf dan dimaklumi, karena saya adala hamba Allah yang tidak
luput dari kekurangan maupun kesalahan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqih Sehari-hari. Jakarta:Gema Insani


Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algesindo
Syafei, Racmat.2001.Fiqih Muamalah.Bandung:Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta:Prenada Media

20

Anda mungkin juga menyukai