Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep Muamalah yang kafah dewasa ini telah bercampur aduk


dengan konsep yang diadopsi dari luar islam, khususnya Negara-negara
maju dan berkembang. Sedikit demi sedikit telah tersisihkan, bergeser,
bahkan menghilang dari kancah masyarakat islam itu sendiri. Tak heran
jika banyak pihak yang melakukan konfrontasi ke inernal islam itu sendiri.
Kondisi ini merupakan suatu keuntugan tersendiri bagi mereka.
Banyak praktek-praktek perbankan Negara Kapitalis yang
mengatasnamakan syariah (mumalah) Islam. Khususnya Utang-piutang
(Qardh). Riba dalam perbankan pun tak terhindarkan. Padahal dalam Islam
tidak membenarkan adanya Riba dalam Utang-piutang.
Bertolak dari problematika itulah, pemakalah mencoba untuk

menguraikan secara terperinci tentang konsep Utang-piutang yang benar

dalam islam.

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-


kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti
butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia pada saat sekarang
ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.

1
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang

untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama

berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika

memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang

melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang

melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut.

Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan

hukumnya

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Qardh,
2. Apa saja rukun dan syarat Qardh
3. Landasan hukum Qardh
4. Pengertian Rahn
5. Apa saja rukun dan syarat Rahn
6. Dasar hukum Rahn

C. Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk


menginformasikan dan menjelaskan tentang proses perencanaan dalam
Manajemen serta menjelaskan rumusan masalah diatas. Secara khusus
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hadis hadis ekonomi
serta menginformasikan wawasan dan pengetahuan ke teman-teman .

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qardh

Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dariqaradha asy-


syai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.
ْ َ‫ الق‬:‫صلُهُ فِي اللُّغَ ِة‬
[1].‫ط ُع‬ ِ َ‫ض بِفَتْحِ ْالق‬
ْ َ ‫ َوأ‬،‫اف وقد تكسر‬ ُ ‫القَ ْر‬
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu
asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-
Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta
kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya
dikemudian hari.[2] Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam
literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’iatau akad
saling membantu dan bukan transaksi komersil.[3]
Menurut ulama Hanafiyah:
ٍ ‫وص يَ ُردُّ َعلَى دَ ْفعِ َما ٍل ِمثْ ِلي‬
ٌ ‫ص‬ُ ‫ارةٍ أ ُ ْخ َرى ه َُو َع ْقدٌ ُم ُخ‬
َ َ‫أ َ ْو بِ ِعب‬، ُ‫ضاه‬
َ ‫ض ه َُو َما ت ُ ْع ِط ْي ِه ِم ْن َما ٍل ِم ِثلي ٍ ِلتَتَقَا‬ ُ ‫القَ ْر‬
ُ‫ِِلخ ََر ِليَ ُردَّ ِمثْلَه‬
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau
dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus
untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian
dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”[4]
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
ُ ‫ض ِل ْل ُم ْقت َِر‬
‫ض ِليَ ُردَّ ِمثْلَهُ ِإلَ ْي ِه ِع ْندَ قُد َْرتِ ِه َعلَ ْي ِه‬ ُ ‫ي يُ ْع ِط ْي ِه ْال ُم ْق ِر‬
ْ ‫ض ه َُو ْال َما ُل الَّ ِذ‬
ُ ‫ْالقَ ْر‬
Artinya:
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan

3
kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu
membayarnya.”[5]
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh
sebagai berikut:
ُ ‫ا َ ْلقَ ْر‬
‫ض دَ ْف ُع َما ٍل ِل َم ْن َي ْنت َ ِف ُع ِب ِه َو َي ُردُّ َبدَلَه‬
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantinya.”[6]
Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
.‫ش ْي ِء ْال ُم ْق َرض‬ ْ ‫ضي‬
َ ‫ُطلَ ُق‬
َّ ‫ش ْرعًا ِب َم ْعنَى ال‬ ُ ‫ ا َ ْلقَ ْر‬: ‫شا فِ ِعيَّةُ قَالُ ْوا‬
َّ ‫اَل‬
Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’
diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada
suatu saat harus dikembalikan)

B. Rukun dan Syarat Qardh

Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya.

Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang bermaksud melepaskan

uang untuk sementara dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka

sama suka. Rukun Utang Piutang:

1. Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini kepada

engkau.” Jawab yang berutang,”saya mengaku berutang kepada engkau.”

2. Yang berpiutang dan yang berutang.

3.Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung, boleh

diutangkan, begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis

hewan yang sama.

4
Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut adalah

orang yang berutang , orang yang memberi utang dan objek utang-piutang

yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan tenggang waktu

pembayaran.

Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah orang

yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat kebajikan,

yaitu telah dewasa,berakal sehat dan berbuat dengan sendirinya tanpa

paksaan.

Sedangkan syarat yang berkenaan dengan objek yaitu uang adalah

jenis nilainya, milik sempurna dari yang memberi utang dan dapat

diserahkan pada waktu akad. Sedangkan yang menyangkut dengan

tenggang waktu harus jelas dan dalam masa itu uang yang diserahkan telah

dapat dimanfaatkan.

Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang

adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang wali

(pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari harta anak

yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga diketahuinya jumlah dan

cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar dapayt dikembalikan kepada

pemiliknya. Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan

orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu

dan tanpa menunda-nundanya.

5
Qardh dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang

yang dibolehkan syara’. Selain itu, Qardh pun dipandang sah setelah

adanya ijab qabul, seperti pada jual beli dan hibah.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Qardh dipandang sah pada

harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan

terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda

yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qardh selain dari perkara diatas

dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda yang menetap ditanah,

dan lain-lain.

Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan Qardh

pada setiap benda yang tidak dapat di serahkan, baik yang ditakar maupun

yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti

barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan

pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW menukar (qarad) anak unta.

Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang bisa ditakar, atau ditimbang.

Jumhur ulama membolehkan, Qardh pada setiap benda yang dapat

diperjual belikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang Qardh Manfaat ,

seperti seseorang pada hari ini mendiami rumah, tetapi Ibn Taimiyah

membolehkannya.

Menurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap

Qardh pada benda yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai

syarat. Akan tetapi, dibolehkan jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau

tidak diketahui adanya manfaat Qardh.

6
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak bisa

memanfaatkan harta muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan dirumah

muqtarid, jika dimaksudkan untuk membayar utang muqrid, bukan sebagai

penghormatan. Begitupula dilarang memberikan hadiah kepada muqrid,

jika dimaksudkan untuk menyicil utang.

Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa Qardh

dibolehkan dengan dua syarat:

a. Tidak menjurus pada suatu manfaat

b. Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli

C. Landasan Hukum Al-Qardh


Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits,
dan ijma’:
1. Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
ْ َ ‫ضا ِعقَهُ لَهُ أ‬
ً ‫ض َعافًا َك ِثي َْرة‬ ُ ‫َم ْن ذَا الَّذِي يُ ْق َر‬
َ ‫ض هللاَ قَ ْرضًا َح‬
َ ُ‫سنًا فَي‬
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-
Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan
amal salih dan memberi infaq fi sabilillahdengan harta yang dipinjamkan.
Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan
pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena
orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya
sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat
gantinya.[8]
2. Dasar dari as-sunnah :

7
َ‫ض ُم ْس ِل ًما قَ ْرضًا َم َّرتَي ِْن ا ََِّّل َكان‬
ُ ‫ام ْن ُم ْس ِل ٍم يُ ْق ِر‬
ِ ‫ َم‬: ‫سلَ َم قَا َل‬
َ ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ًّ ِ‫َع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد ا َ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
)‫صدَ قَ ٍة َم َّرة ً (رواهابن ماجه وابن حبان‬ َ ‫َك‬
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang
muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka
seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)[9]
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam.
Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi
muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh,
terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai
dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum
tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat
mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang
kaya itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan
uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum
memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak,
tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat
keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya
adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia
mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat
menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri
penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka
menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya
tertolong dari kelaparan

8
D. Pengertian Rahn
Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai
angunan ( jaminan).
Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang
menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima
jaminan disebut murtahin.
Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti atsubutu wa dawamu
artinya tetap kekal, atau al-habsu wa lazumu artinya pengekangan dan
keharusan dan juga bisa berarti jaminan. Dalam Islam ar-rahn merupakan
sarana tolong-menolong bagi umat islam.
Sedangkan secara terminology para ulama fiqih mendefisikannya sebagai
berikut :
1. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan :
Artinya :
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang
bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan ( angunan ) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat
manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus
diserahkan secara actual, tetapi boleh juga penyerahan secara
hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan itu adalah surat jaminannya.
2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan :
Artinya :
Menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang ) itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya.
3. Sedangkan Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn
dengan :
Artinya :

9
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa
membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanyalah harta
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan
ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka ( Syafiiyah
dan Hanabilah), termasuk pengertian harta.
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Muhammad Syafi’I Antonio,
ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi, ar-rahn adalah
perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan hutang.
Sementara menurut al-Ustad H.Idris Ahmad berpandangan, ar-rahn
adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya
Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn
adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai
kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang
yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”.
Dalam buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu
dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan
sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas
hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau
sebagian dari barang itu.
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah
penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian
rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai hak untuk
mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang
yang tersebut.

10
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan
atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua
belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang
bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug
jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar
maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari
tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
E. Rukun dan Syarat Rahn
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu pekerjaan,"sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang
harus diindahkan dan dilakukan."
Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu."
Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya keberadaan
hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya
menyebabkan hukum pun tidak ada." Perbedaan antara rukun dan syarat menurut
ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung
keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada
di luar hukum itu sendiri.
Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu :
1. Shigat (lafal ijab dan qabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan
secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung
maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)
Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:

11
a. tidak gila, tidak mabuk
b. Dewasa, baligh
c. Berakal
d. Mumayyis
e. Cakap hukum
3. al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)
Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah
mensyaratkan marhun sebagai berikut:
a. dapat diperjualbelikan
b. bermanfaat dapat diperjualbelikan
c. bermanfaat, jelas
mjd. milik rahin
e. dipegang (dikuasai) oleh rahin
f. bisa diserahkan
g. tidak bersatu dengan harta lain
h. harta yang tetap atau dapat dipindahkan
4. Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun
rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh
pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka,
untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd
(penguasaan barang). Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta
yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi
termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat rahn sesuai dengan rukun
rahn itu sendiri.
Syarat-syarat rahn itu sendiri melputi [10]:
a. Syarat yang berkenaan dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Orang dianggap telah cakap hukum untuk bertindak

12
sendiri yaitu : mereka mencapai umur 21 tahun atau lebih atau telah kawin
terlebih dahulu sebelum mencapai umur 21 tahun, dan bisa juga dengan
jalan handlicting (pernyataan dewasa). Kemudian menurut jumhur ulama
adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan menurut
ulama Hanafiyah cukup berakal saja (seperti anak yang masih mumayyis)
dengan catatan dalam akadnya harus mendapat persetujuan dari walinya.
b. Syarat sigat atau (lafal), ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-
rahn itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan
masa yang akan datang, karena akad gadai sama dengan jual beli. Apabila
akad itu disertai dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akad sah misalnya orang
yang berutang apabila tenggang waktu utang telah habis ( jatuh tempo)
dan utang belum dibayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau
pemberi utang itu mensyaratkan bahwa harta agunan itu boleh
dimanfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan
bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad,
maka syarat diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan
tabi’at rahn maka syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan,
misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad
itu disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Syarat al-marhun bihi (utang) adalah: merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang berutang, utang itu boleh dilunasi oleh
agunan, utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para fiqih
adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dengan utang, barang
jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan, barang jaminan itu
harus jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang dan
tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan barang
yang utuh dan tidak terpisah-pisah , dan ia dapat diserahkan baik
materinya maupun manfaatnya.

13
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang
yang di rahn-kan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang.
Dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila
jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka
tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan
tanah atau surat-surat tanah yang diberikan kepada orang yang memberi
piutang.
Syarat yang terakhir demi kesempurnaan ar-rahn adalah bahwa
barang jaminan itu dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang. Syarat ini
menjadi penting karena Allah dalam Q.S. al-Baqarah:283 menyatakan
barang jaminan itu dipegang atau dikuasai secara hukum oleh pemberi
piutang . Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang,
maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu,
utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak
dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang itu dibayar. Apabila
dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib
dikembalikan kepada pemiliknya.

F. Dasar hukum Rahn

Landasan hukum pinjam meminjam dengan jaminan (borg) adalah Firman


Allah SWT didalamQS.Al-Muddatsir:38 yang berbunyi
ُّ‫ت ِب َما نَ ْفسُّ كُل‬ َ ‫َر ِهينَةُّ َك‬
ُّْ ‫س َب‬
“tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya

(QS.Al-Muddatsir:38)
Dalam surat Al-Baqarah ayat 283 ,Allah SWT berfirman :

‫سفَر َعلَى ُكنتُم َوإِن‬


َ ‫ضة فَ ِرهَان كَاتِبًا ت َِجد ُوا َولَم‬
َ ‫… َمقبُو‬. (‫ البقرة‬: ۲۸۳)

14
“Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di
pegang”
(QS.Al-Baqarah:283)
Surat Al-Baqarah ayat 283 juga mengajarkan, bahwa untuk memperkuat
perjanjian utang – piutang, maka dapat dilakukan dengan tulisan yang
dipersaksikan dua orang saksi laki – laki atau seorang laki – laki dan dua
orang saksi perempuan.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas ra. Ia
berkata :

“Dari Anas RA.ia berkata :Rasulullah SAW merunguhkan baju besi kepada
seorang yahudi Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
yahudi” (HR.Ahamad,Bukhari ,dan lainya )
Dari Hadist diatas ,dapat dipahami bahwa Islam tidak membeda-bedakan
antara orang muslim dan non muslim dalam bidang muamalah ,maka seorang
muslim tetap wajib membayar utangnya kepada orang non muslim.Para ulama
sudah sepakat bahwa gadai itu boleh.merka tidak pernah mempertentangkan
kebolehanya ,demkian pula landasan hukumnya.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong).


Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian
hartanya dan memberikannya kepada pengutang.
Adapun definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada
orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan
gantinya.
Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai
angunan ( jaminan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut
marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak
yang menerima jaminan disebut murtahin

Saran

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya banyak kekurangan


dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan
pada saya silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya
mohon maaf dan dimaklumi, karena saya adala hamba Allah yang tidak
luput dari kekurangan maupun kesalahan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat,


Jakarta:Kencana,2010.
Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqih Sehari-hari. Jakarta:Gema Insani
Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algesindo
Syafei, Racmat.2001.Fiqih Muamalah.Bandung:Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta:Prenada Media
http://karissadewi.blogspot.co.id/2013/03/makalah-implementasi-gadai-
syariah_1923.html

17

Anda mungkin juga menyukai