PENDAHULUAN
dalam islam.
1
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika
memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang
Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan
hukumnya
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Qardh,
2. Apa saja rukun dan syarat Qardh
3. Landasan hukum Qardh
4. Pengertian Rahn
5. Apa saja rukun dan syarat Rahn
6. Dasar hukum Rahn
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qardh
3
kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu
membayarnya.”[5]
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh
sebagai berikut:
ُ ا َ ْلقَ ْر
ض دَ ْف ُع َما ٍل ِل َم ْن َي ْنت َ ِف ُع ِب ِه َو َي ُردُّ َبدَلَه
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantinya.”[6]
Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
.ش ْي ِء ْال ُم ْق َرض ْ ضي
َ ُطلَ ُق
َّ ش ْرعًا ِب َم ْعنَى ال ُ ا َ ْلقَ ْر: شا فِ ِعيَّةُ قَالُ ْوا
َّ اَل
Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’
diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada
suatu saat harus dikembalikan)
uang untuk sementara dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka
4
Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut adalah
orang yang berutang , orang yang memberi utang dan objek utang-piutang
yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan tenggang waktu
pembayaran.
Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah orang
yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat kebajikan,
paksaan.
jenis nilainya, milik sempurna dari yang memberi utang dan dapat
tenggang waktu harus jelas dan dalam masa itu uang yang diserahkan telah
dapat dimanfaatkan.
(pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari harta anak
5
Qardh dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang
yang dibolehkan syara’. Selain itu, Qardh pun dipandang sah setelah
harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan
yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qardh selain dari perkara diatas
dan lain-lain.
pada setiap benda yang tidak dapat di serahkan, baik yang ditakar maupun
yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti
barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan
pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW menukar (qarad) anak unta.
Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang bisa ditakar, atau ditimbang.
seperti seseorang pada hari ini mendiami rumah, tetapi Ibn Taimiyah
membolehkannya.
6
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak bisa
7
َض ُم ْس ِل ًما قَ ْرضًا َم َّرتَي ِْن ا ََِّّل َكان
ُ ام ْن ُم ْس ِل ٍم يُ ْق ِر
ِ َم: سلَ َم قَا َل
َ صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو ًّ َِع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد ا َ َّن النَّب
َ ي
)صدَ قَ ٍة َم َّرة ً (رواهابن ماجه وابن حبان َ َك
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang
muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka
seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)[9]
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam.
Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi
muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh,
terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai
dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum
tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat
mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang
kaya itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan
uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum
memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak,
tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat
keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya
adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia
mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat
menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri
penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka
menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya
tertolong dari kelaparan
8
D. Pengertian Rahn
Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai
angunan ( jaminan).
Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang
menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima
jaminan disebut murtahin.
Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti atsubutu wa dawamu
artinya tetap kekal, atau al-habsu wa lazumu artinya pengekangan dan
keharusan dan juga bisa berarti jaminan. Dalam Islam ar-rahn merupakan
sarana tolong-menolong bagi umat islam.
Sedangkan secara terminology para ulama fiqih mendefisikannya sebagai
berikut :
1. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan :
Artinya :
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang
bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan ( angunan ) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat
manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus
diserahkan secara actual, tetapi boleh juga penyerahan secara
hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan itu adalah surat jaminannya.
2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan :
Artinya :
Menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang ) itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya.
3. Sedangkan Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn
dengan :
Artinya :
9
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa
membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanyalah harta
yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan
ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka ( Syafiiyah
dan Hanabilah), termasuk pengertian harta.
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Muhammad Syafi’I Antonio,
ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi, ar-rahn adalah
perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan hutang.
Sementara menurut al-Ustad H.Idris Ahmad berpandangan, ar-rahn
adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya
Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn
adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai
kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang
yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”.
Dalam buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu
dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan
sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas
hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau
sebagian dari barang itu.
Sedangkan menurut S.A Hakim, yang mengatakan jual gadai ialah
penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian
rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih mempunyai hak untuk
mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang
yang tersebut.
10
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan
atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua
belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang
bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug
jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar
maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari
tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
E. Rukun dan Syarat Rahn
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu pekerjaan,"sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang
harus diindahkan dan dilakukan."
Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu."
Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya keberadaan
hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya
menyebabkan hukum pun tidak ada." Perbedaan antara rukun dan syarat menurut
ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung
keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada
di luar hukum itu sendiri.
Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu :
1. Shigat (lafal ijab dan qabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan
secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung
maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)
Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:
11
a. tidak gila, tidak mabuk
b. Dewasa, baligh
c. Berakal
d. Mumayyis
e. Cakap hukum
3. al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)
Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana
persyaratan barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah
mensyaratkan marhun sebagai berikut:
a. dapat diperjualbelikan
b. bermanfaat dapat diperjualbelikan
c. bermanfaat, jelas
mjd. milik rahin
e. dipegang (dikuasai) oleh rahin
f. bisa diserahkan
g. tidak bersatu dengan harta lain
h. harta yang tetap atau dapat dipindahkan
4. Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun
rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh
pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka,
untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd
(penguasaan barang). Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta
yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi
termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat rahn sesuai dengan rukun
rahn itu sendiri.
Syarat-syarat rahn itu sendiri melputi [10]:
a. Syarat yang berkenaan dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Orang dianggap telah cakap hukum untuk bertindak
12
sendiri yaitu : mereka mencapai umur 21 tahun atau lebih atau telah kawin
terlebih dahulu sebelum mencapai umur 21 tahun, dan bisa juga dengan
jalan handlicting (pernyataan dewasa). Kemudian menurut jumhur ulama
adalah orang-orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan menurut
ulama Hanafiyah cukup berakal saja (seperti anak yang masih mumayyis)
dengan catatan dalam akadnya harus mendapat persetujuan dari walinya.
b. Syarat sigat atau (lafal), ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-
rahn itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan
masa yang akan datang, karena akad gadai sama dengan jual beli. Apabila
akad itu disertai dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akad sah misalnya orang
yang berutang apabila tenggang waktu utang telah habis ( jatuh tempo)
dan utang belum dibayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan, atau
pemberi utang itu mensyaratkan bahwa harta agunan itu boleh
dimanfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan
bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad,
maka syarat diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan
tabi’at rahn maka syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan,
misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad
itu disaksikan oleh dua orang saksi.
c. Syarat al-marhun bihi (utang) adalah: merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang berutang, utang itu boleh dilunasi oleh
agunan, utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para fiqih
adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dengan utang, barang
jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan, barang jaminan itu
harus jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang dan
tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan barang
yang utuh dan tidak terpisah-pisah , dan ia dapat diserahkan baik
materinya maupun manfaatnya.
13
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang
yang di rahn-kan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang.
Dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila
jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka
tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan, tetapi cukup surat jaminan
tanah atau surat-surat tanah yang diberikan kepada orang yang memberi
piutang.
Syarat yang terakhir demi kesempurnaan ar-rahn adalah bahwa
barang jaminan itu dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang. Syarat ini
menjadi penting karena Allah dalam Q.S. al-Baqarah:283 menyatakan
barang jaminan itu dipegang atau dikuasai secara hukum oleh pemberi
piutang . Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang,
maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu,
utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak
dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang itu dibayar. Apabila
dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib
dikembalikan kepada pemiliknya.
(QS.Al-Muddatsir:38)
Dalam surat Al-Baqarah ayat 283 ,Allah SWT berfirman :
14
“Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di
pegang”
(QS.Al-Baqarah:283)
Surat Al-Baqarah ayat 283 juga mengajarkan, bahwa untuk memperkuat
perjanjian utang – piutang, maka dapat dilakukan dengan tulisan yang
dipersaksikan dua orang saksi laki – laki atau seorang laki – laki dan dua
orang saksi perempuan.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas ra. Ia
berkata :
“Dari Anas RA.ia berkata :Rasulullah SAW merunguhkan baju besi kepada
seorang yahudi Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
yahudi” (HR.Ahamad,Bukhari ,dan lainya )
Dari Hadist diatas ,dapat dipahami bahwa Islam tidak membeda-bedakan
antara orang muslim dan non muslim dalam bidang muamalah ,maka seorang
muslim tetap wajib membayar utangnya kepada orang non muslim.Para ulama
sudah sepakat bahwa gadai itu boleh.merka tidak pernah mempertentangkan
kebolehanya ,demkian pula landasan hukumnya.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17