Anda di halaman 1dari 79

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK

Pembimbing :

Yasin Wahyuriyanto, S.Kep.,Ns,.M.Si

Disusun Oleh :

1. Deli Refi Mustika Sari (P27820517004)


2. Eva Riana (P27820517006)
3. Qurotul Aini (P27820517022)
4. Silmi Nur Azizah (P27820517027)
5. Dwi Maya Novitasari (P27820517036)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN KAMPUS TUBAN
Jalan Wahidin Sudirohusodo No. 2 Tuban
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat


rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang berjudul : “Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik”.

Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin agar terciptanya


makalah yang sesuai yang diharapkan , meskipun demikian penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena
itu, berbagai saran, tanggapan, dan kritik yang membangun senantiasa
diharapkan demi sempurnanya makalah ini. .

Akhirnya, dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses


pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Tuban, 22 Januari
2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................... i
Kata Pengantar....................................................................... ii
Daftar Isi.................................................................................. iii

Bab I Pendahuluan
1.1.........................................................................Latar
Belakang .......................................................................... 1
1.2.........................................................................Rumusan
Masalah............................................................................ 2
1.3.........................................................................Tujuan
1.4.........................................................................Manfaat

Bab II Tinjauan Teori


2.1......................................................................... Gagal
Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi....................................................................7
2.1.2 Etiologi
2.1.3 Patofisiologi
2.1.4 Pohon Masalah
2.1.5 Penatalaksanaan
2.1.6 Pencegahan
2.1.7 Komplikasi
2.2.........................................................................................Hemodialis
a
2.2.1 Definisi
2.2.2

Bab III Tinjauan Keperawatan ............................................. 11


3.1.........................................................................................Pengkajian
Keperawatan.....................................................................16

iii
3.2.........................................................................................Diagnosa
Keperawatan
3.3.........................................................................................Perencanaa
n Keperawatan
3.4.........................................................................................Pelaksanaa
n Keperawatan
3.5.........................................................................................Evaluasi

Bab IV Penutup
4.1 Kesimpulan ..................................................................... 20
4.2 Saran .............................................................................. 20

Daftar Pustaka........................................................................ 21

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan
berfungsi untuk membuang sampah metabolism dan racun
tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur
volume dan komposisi kimia darah. Dengan mengekskresikan
zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal ini
karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi
kematian.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World
Health Organization (WHO) memperlihatkan yang menderita
gagal ginjal baik akut maupun kronik mencapai 50% sedangkan
yang diketahui dan mendapatkan pengobatan hanya 25% dan
12,5% yang terobati dengan baik (Indrasari, 2015).
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicablediseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes
melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular
(communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama.
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem
vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini
sebelum pasienmengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit
jantung koroner,gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Gagal ginjal atau acute kidney injury (AKI) yang dulu disebut injury
acuterenal failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau
parah padafungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan
konsentrasikreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN (blood
Urea Nitrogen).Setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali
normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah
penurunan produksi urin.

1
Gagal ginjal kronik merupakan suatu masalah kesehatan yang penting,
mengingat selain prevalensi dan angka kejadiannya semakin meningkat juga
pengobatan pengganti ginjal yang harus dialami oleh penderita gagal ginjal
merupakan pengobatan yang mahal, butuh waktu dan kesabaran yang harus
ditanggung oleh penderita gagal ginjal dan keluarganya (Harrison, 2013).
Oleh karena itu, penulis termotivasi untuk menyusun makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik”.

1.2 Rumusan Masalah


“Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Ginjal
Kronik?”

1.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Mengetahui tentang konsep medis dan asuhan keperawatan pada klien
dengan Gagal Ginjal Kronik

b. Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan GGK
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan
3. Mahasiswa mampu membuat intervensi untuk klien GGK
4. Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan yang telah
dibuat
5. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah
diberikan pada klien dengan GGK
1.4 Manfaat

Mahasiswa mampu mengetahui tentang gagal ginjal kronik


sehingga perawat akan lebih peka dan teliti dalam
mengumpulkan data pengkajian awal dan menganalisa suatu
respon tubuh pasien terhadap penyakit, sehingga gagal ginjal
kronik tidak semakin berat.

2
3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronis

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronis


Gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai penurunan progresif fungsi
ginjal selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Parenkim dan nefron rusak dan
fungsi ginjal menurun secara progresif (Nair &Peate, 2014).
Gagal ginjal kronis merupakan kondisi penyakit yang resisten (keberlangsungan ≥
3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan kerusakan glomerular filtration rate (GRF) dengan
angka GRF ≤ 60 ml/menit/1.73 m2 (Prabowo,2014).
Gagal ginjal kronis merupakan penyakit ginjal tahap akhir yang bersifat progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer. C, Suzanne,
2002 dalam buku Padila, 2012)
Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab (Price dan Wilson, 1997 dalam buku
Suharyanto & Madjid, 2009).
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tak
dapat pulih, dan dapat disebabkan oleh berbagai hal. Gagal ginjal kronis adalah proses
kerusakan ginjal selama rentang waku lebih dari tiga bulan. Gagal ginjal kronis dapat
menimbulkan simtoma, yaitu laju filtrasi glomerular berada dibawah 60 ml/men/1.73
m2, atau diatas nilai tersebut yang disertai dengan kelainan sedimen urine (Masriadi,
2016)

4
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi ginjal
Gambar 2.1 Anatomi ginjal

Sumber: Prabowo, 2014

(sumber: Ariani Sofi, 2016)


Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di
kedua sisi columna veterbralis.Dari segi posisi, ginjal kanan sedikit lebih
rendah dibandingkan ginjal kiri karena adanya tekanan ke bawah oleh
hati.Katup ginjal bagian atas terletak setinggi iga keduabelas, sementara katup
bawah sebelah kiri terletak setinggi iga kesebelas.Agar terlindung dari trauma
langsung, ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal.Di sebelah
posterior dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan
anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal.
Ginjal kiri yang berukuran normal biasanya tidak teraba pada waktu
pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup
oleh limfa.Namun, katup bawah ginjal kanan yang berukuran normal dapat
diraba secara bimanual. Ginjal terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal
sebagai kapsula renis. Di sebelah anterior ginjal dipisahkan dari kavum
abdomen dan diisi oleh lapisan peritoneum.

5
Di sebelah posterior organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks
bawah.Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar
dari dalam ginjal melalui venarenalis.Arteri renalis berasal dari aorta
abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali ke dalam vena kava
inferior. Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm
atau 4,7-5,1 inci, lebarnya 6 cm atau 2,4 inci, tebalnya 2,5 cm atau 1 inci, dan
beratnya sekitar 150 gram.
Permukaan anterior dan posterior katup atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi lateral ginjal berbentuk cekung
karena danya hilus. Jika dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi
menjadi dua bagian yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian
dalam.Medulla terbagi-bagi menjadi biji segita yang disebut pyramid, dimana
piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolumna
bertini.
Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena oleh segmen-segmen
tubulus dan duktus pengumpulan nefron. Papilla atau apeks dari piramid
membentuk duktus papillaris bellini dan masuk ke dalam perluasan ujung
pelvis ginjal yang disebut kaliks minor dan bersatu membentuk kaliks mayor,
selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Ginjal tersusun dari beberapa struktur
yang terdiri atas banyak nefron.
Nefron tersebut merupakan satuan fungsional ginjal, jumlah sekitar satu
juta pada setiap ginjal yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang
sama. Setiap nefron terdiri dari kapsul bowmen yang mengitari rumbai kapiler
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus
kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.Kapsula
bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan
kapsula yang dikenal dengan nama ruang bowmen atau ruang kapsular.
Kapsula bowmen dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parielalis berbentuk
gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula, sementara sel epitel
veseralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsulan juga
melapisi bagian luar dari rumbai kapiler.

6
Sel viseral membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang dikenal
sebagai pedosit. Pedosit tersebut akan bersinggungan dengan membran dari
kontak antara sel epitel. Daerah-daerah yang terdapat diantara pedosit biasanya
disebut celah pori-pori.
Vaskilari ginjal terdiri dari arteri rinalis dan vena renalis.Setiap arteri
renalis bercabang ketika masuk kedalam hilus ginjal.Cabang tersebut menjadi
arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid dan selanjutnya membentuk
arteri arkuata yang melengkung melewati basis piramid-piramid
ginjal.Selanjutnya, arteri arkuata memebentuk arteriola-arteriola interlobaris
yang tersusun oleh parallek dalam korteks.
Arteri ini kemudian membentuk arteriola aferen dan berakhir pada
rumbai-rumbai kapiler yaitu glomerulus.Rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli
bersatu membentuk arteriola eferen yang bercabang-cabang membentuk
sistemportal kapiler yang mengelilingi tubulus dan kapiler peritubular.
Darah yang mengalir melalui sistem portalakan dialirkan ke dalam
jalinan vena menuju vena intelobaris dan vena renalis selanjutnya mencapai
vena kava inferior.Ginjal dilalui oleh darah sekitar 1.200 ml per menit atau
20%-25% curah jantung atau 1.500 ml per menit.
2. Fisiologi ginjal
Ginjal mempunyai beberapa macam fungsi, yaitu fungsi ekskresi dan fungsi
non-ekskresi. Fungsi ekskresi dan non-ekskresi yang dimaksud tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Fungsi ekskresi
a. Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah-ubah ekskresi air
b. Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam
rentang normal
c. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan
kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3
d. Mengekresikan semua produk akhir nitrogen dari metabolisme
protein, terutama urea, asam urat, dan kreatinin

7
2) Fungsi non-ekskresi
a. Menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan darah
b. Menghasilkan eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi
produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
c. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya
d. Degradasi insulin
e. Menghasilkan prostaglandin
3. Fisiologi Pembentukan Urine
Pembentukan urine adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam
mempertahan kan hemeostatis tubuh. Pada orang dewasa sehat kurang lebih
1200 ml atau 25% cardiac output mengalir ke kedua ginjal. Pada keadaan
tertentu, aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30% (pada saat latihan
fisik) dan menurun hingga 12% dari cardiac output.Kapiler glomeruli
bedinding pon drous (berlubang-lubang), yang memungkinkan terjadinya
filtrasi cairan dalam jumlah besar (± 180 L/hari).
Molekul yang berukuran kecil (air, elektrolit, dan sisa metabolisme
tubuh, diantaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah, sedangkan
molekul berukuran lebih besar (protein, dan sel darah merah) tetap tertahan di
dalam darah. Oleh karena itu komposisi cairan filtrat yangberada di kapsul
bowman mirip dengan yang adadi dalam plasma, hanya saja cairan ini tidak
mengandung protein dan sel.
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu
disebut sebagai rerata filtrasi glomerulus atau glomerular filtration (GFR).
Selanjutnya, cairan filtrat akan direabsorbsi dan beberapa elektrolit akan
mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan urine yang
akan disalurkan melalui duktus kolegentes. Cairan urine tersebut kemudian
akan disalurkan ke dalam sistem kalises hingga pelvis ginjal.
4. Proses Organ Ginjal
Ada beberapa proses yang terjadi pada bagian-bagian organ ginjal. Proses
tersebut diantaranya adalah:

8
1) Proses filtrasi
Proses filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus dan kapsul bowman. Diantara
faktor yang bisa membantu melancarkan proses filtrasi ini adalah tekanan
hidrolik pada glomerulus itu sendiri. Selain itu, pada glomerulus juga terjadi
beberapa proses lain yaitu peningkatan kembali sel-sel darah merah, keeping
darah, dan juga sebagian besar protein plasma yang ada di dalam tubuh.
Proses ini akan menghasilkan urine primer.
2) Proses reabsorbsi
Proses reabsorbsi terjadi pada tubulus kontortus proksimal yang nantinya
akan menghasilkan urine sekunder. Pada proses ini akanterjadi penambahan
beberapa zat sisa serta urea yang ada pada tubulus kontortus distal.
Sedangkan zat-zat yang masih berguna pada urine primer yang melalui
reabsorbsi akan di kembalikan lagi ke darah melalui pembuluh kapiler.
3) Proses augmentasi
Proses terakhir adalah proses augmentasi dari lengkung henle akan disalurka
ke tubulus kontortus distal. Pada bagian itulah urine sekunder akan
ditambahkan beberapa zat yang tidak dibutuhkan tubuh. Proses ini akan
menghasilkan urine sesungguhnya yang akan dikeluarkan melalui ureter
urine tersebut terdiri dari 96% air, 1,5% garam, 2,5 urea.(Ariani Sofi, 2016)
Tabel 2.1 Fisiologi ginjal dalam proses filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi selama
24 jam (Yuli Reny, 2015)
Senyawa Normal Reabsorbsi Ekskresi Sekresi Satuan
Na+ 26.000 25.850 150 - m Eq
K+ 600 566 90 50 m Eq
Cl- 18.000 17.850 150 - m Eq
HCO3 4.900 4.900 0 - m Eq
Urea 870 460 410 - m Mol
Kreatinin 12 1 12 1 m Mol
Asam urat 50 49 5 4 m Mol
Glukosa 800 800 0 - m Mol
Solut total 54.000 53.400 700 100 m Osl
Air 180.000 179.000 1.000 - Ml
2.1.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronis
Etiologinya dibagi menjadi prerenal, intrarenal, dan postrenal.
1. Prerenal

9
Sekitar 55-70% kasus terjadi akibat etiologi prerenal yang disebabkan oleh
penurunan volume intravaskuler (hipovolemia) bisa berupa perdarahan,
dehidrasi, muntah, diare, dan diaphoresis, diabetes militus dan diabetes
insipidus, luka bakar, sirosis, pemakaian diuretic yang tidak sesuai; kurangnya
curah jantung bisa berupa gagal jantung kongestif, infark miokard, temponade
jantung, disritmia; atau gagal vaskuler akibat vasodilatasi berupa sepsis,
asidosis, anafilaksis.
2. Intrarenal
Sekitar 25-40% terjadi akibat etiologi gagal intrarenal disebabkan kerusakan
jaringan renal, termasuk nekrosis tubular, nefrotoksitosis, dan perubahan
sirkulasi darah ginjal.
3. Postrenal
Sekitar 5% disebabkan obstruksi urine diantara ginjal dan meatus uretra.
(Siswadi Yokobus, dkk, 2009)

2.1.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis


Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis diakarenakan gangguan yang
bersifat sistemik.Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi
yang banyak (organ multifunction). Sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal
akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini
adalah tanda dan gejala yang ditunjukan gagal ginjal kronis:
1. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering, penurunan
turgor kulit, kelemahan, fatique, dan mual.Kemudian terjadi penurunan
kesadaran (somnolen) dan nyeri kepala yang hebat.Dampak dari peningkatan
kalium adalah peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami
kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan
asidosis metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya penurunan urine output
dengan sedimentasi yang tinggi.
2. Kardiovaskuler

10
Terjadi hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic percarditis, effusi pericardial
(kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung), gagal jantung, edema periorbital
dan edema perifer.
3. Respiratory System
Terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura, crackles,
sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung, dan sesak napas.
4. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan
kemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis, ulserasi duodenal, lesi
pada usus halus/usus besar, colitis, dan pancreatitis. Kejadian sekunder biasanya
mengikuti seperti anoreksia, nausea dan vomiting.
5. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp.Selain itu,
biasanya juga menunjukan adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan timbunan
urea pada kulit.
6. Neurologis
Ditunjukan dengan adanya neuropathy parifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki.Selain itu, juga adanya kram pada otot dan reflek kedutan, daya memori
menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan
kejang.Dari hasil EEG menunjukan adanya perubahan metabolik encepalophaty.
7. Endokrin
Terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan sirkulasi
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan
sekresi aldosteron, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
8. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia
(dampak dari dialisis), dan kerusakan platelet.Biasanya masalah yang serius
pada sistem hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura,
ekimosis, dan petechiae).

9. Musculoskeletal

11
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur patologis, dan
klasifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).
(Robinson, 2013 dalam buku Prabowo,2014)

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis


Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit ginjal kronis,
sebagai berikut:
1. Tahap 1: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (> 90
ml/min/1.73 m2)
2. Tahap 2 : Penurunan ringan pada GFR (60-89 ml/min/1.73 m2)
3. Tahap 3 : Penurunan moderat pada GFR (30-59 ml/min/1.73 m2)
4. Tahap 4 : Penurunan berat pada GFR (15-29 ml/min/1.73 m2)
5. Tahap 5 : Gagal ginjal (GFR < 15 ml/min/1.73 m2)
Pada tahap 1 dan 2 penyakit ginjal kronis, GFR tidak dapat dilakukan diagnosis.
Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine
atau kelainan pada studi pencitraan, juga harus ada dalam menetapkan diagnosis tahap 1
dan tahap 2 gagal gijal kronis. Pasien dengan gagal ginjal kronis stadium 1-3 umumnya
asimtomatik, manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-5.
Tabel 2.2 Batasan dan Stadium Gagal Ginjal Kronis
Stadium GFR Fungsi Keterangan
(ml/menit/1.73 m2) Ginjal
Stadium 1 ≥ 90 ≥ 90% Kerusakan minimal dengan
GFR normal
Stadium 2 60-89 60-89% Kerusakan ringan dengan
penurunan nilai GFR, belum
mengganggu
Stadium 3 30-59 30-59% Kerusakan sedang , masih bisa
dipertahankan
Stadium 4 15-29 15-29% Kerusakan berat,
membahayakan
Stadium 5 ≤ 15 ≤ 15% Kerusakan dialysis
2.1.6 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis
Selama gagal ginjal kronis, beberapa nefron termasuk glomeruli dan tubula masih
berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak berfungsi lagi. Nefron

12
yang asih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan menghasilkan filtrate dalam
jumlah banyak. Reabsorpsi tubula juga meningkat walaupun laju filtrasi glomerulus
berkurang. Kompenasi nefron yang masih utuh dapat memuat ginjal mempertahankan
funginya sampai tiga perempat nefron rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak
dari yang dapat direabsorpsi dan mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan
haus. Akhirnya, nefron yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa
metabolism tidak diekresikan.
Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang,
perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut. Anemia terjadi karena produksi
eritrosit juga terganggu (sekresi eritropoietin ginjal berkurang). Pasien mengeluh cepat
lelah, pusing, dan latergi.
Hiperurisemia sering ditemukan pada pasien GGK. Fosfat serum juga meinkat,
tetapi kalsium mungkin normal atau dibawah normal. Hal ini disebabkan ekresi ginjal
terhadap fosfat menurun. Ada peningkatan produksi parathormon sehingga kalsium
serum mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia; gijal mengeluarkan
vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi serta kulit tampak
kekuningan atau kecoklatan. Uremic frost adaah kristal deposit yang tampak pada pori-
pori kulit. Sisa metabolisme yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal diekskresikan
melalui kapiler kulit yang halus sehingga tamapak uremic frost : pasien dengan gagal
gijal yang berkembang dan menjadi berat (tanpa pengobatan yang efektif), dapat
mengalami tremor otot, kesemutan betis dan kaki, pericarditis, dan pleuritis. Tanda ini
dapat hilang apabila kegagalan ginjal ditangani dengan modifikasi diet, medikai, dan
atau dialisis.
Gejala uremia terjadi sangat perlahan sehingga pasien tidak dapat menyebutkanPascarenal
awitan uremianya. Gejala azotemia juga berkembang, termasuk latergi, sakit kepala,
1. Kalkulus uretra
kelelahan fisik dan mental, berat badan menurun, cepat marah, dan depresi. Gagal ginjal
2. Neoplasma
yang berat menunjukkan gejala anoreksia, mual, dan muntah yang berlangsung 3. terus,
Hiperplasia prostat
pernapasan pendek, edema pitting, serta pruritus (Siswadi Yokobus, dkk, 2009).
4. Fimosis

Gambar 2.2 Pohon Masalah 5. Striktur uretra

Prarenal Intrarenal
Postrenal
1. Hemoragi 1. Glomerulonefritis
1. Kalkulus ureter
2. Curah jantung 2. Hipertensi 2. Neoplasma
menurun 3. Hiperplasia 13
3. Obat nefrotoksik prostat
3. Penyakit 4. Fimosis
miokardium 4. Toksin baktei 5. Striktur uretra
Gagal Ginjal
Kronis

Sekresi Protein Retensi Na Sekresi


Terganggu eritropoeti
n turun
Gangguan Tekanan Hidrostaltik
Sindrom Uremia Keseimbangan
Produksi
Asam-basa
Volume Interstesial Hb Turun
Hiperfosfatemia
Produksi asam
Edema Oksihemoglobi
naik
Pruritus n Turun
Gg. Sistem saraf Kelebihan
Kerusakan
pusat Volume Cairan Suplai O2
Integritas Kulit
turun
Nouse, vomitus
Preload naik Intoleran
si
Perubahan Nutrisi Beban Jantung
Aktivitias
Kurang dari Naik
kebutuhan tubuh Resiko Penurunan Curah
Jantung

Keterbatasan informasi

Kurang Pengetahuan

2.1.7 Komplikasi Gagal Ginjal Kronis


Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari gagal ginjal kronis adalah:
1. Penyakit tulang

14
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis)
dan jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur patologis.
2. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa
hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering
terjadi hipertrofi ventrikel kiri)
3. Anemia
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi rangkaian hormonal
(endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi diginjal akan
mengakibatkan penurunan hemoglobin.
4. Disfungsi seksual
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami
penurunan dan terjadi impotensi pada pria.Pada wanita, dapat terjadi
hiperprolaktinemia.
(Baughman, 2000 dalam buku Prabowo,2014)

2.1.8 Pemeiksaan Penunjang


1) Urine
a. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tidak ada (anuria)
b. Warna: secara abnormal keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, mioglobin, porfirin
c. Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
d. Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
e. Klirens kreatinin mungkin agak menurun
f. Natrium lebih besar dari 40 mEq/l karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
g. Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
2) Darah

15
a. BUN/kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir
b. Ht: menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
c. SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
d. GDA: asidosis metabolic, pH kurang dari 7,2
e. Natrium serum: rendah
f. Kalium: meningkat
g. Magnesium: meningkat
h. Kalsium: menurun
i. Protein (albumin): menurun
3) Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg
4) Pelogram retrograde: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5) Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa kista, obstruksi
pada saluran kemih bagian atas
6) Endoskopi ginjal, nefroskopi untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif
7) Arteriogram ginjal mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
8) EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
(Nuari dkk, 2017)

2.1.9 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronis


Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan pengembalian,
maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronis adalah
untukmengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan keseimbangan
secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang
kompleks, gagal ginjal kronis membutuhkan penatalaksanaan terpadu dan serius,
sehingga akan meminimalisir komplikasi dan meningkatkan harapan hidup klien. Oleh
karena itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penatalaksanaan
pada klien gagal ginjal kronik:

1. Perawatan kulit yang baik


Perhatikan hygiene kulit klien dengan baik melalui personal hygiene
(mandi/seka) secara rutin.Gunakan sabun yang mengandung lemak dan lotion

16
tanpa alcohol untuk mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan gliserin/sabun yang
mengandung gliserin karena akan mengakibatkan kulit tambah kering.
2. Jaga kebersihan oral
Lakukan perawatan oral hygiene melalui sikat gigi dengan bulu sikat yang
lembut.Kurangi konsumsi gula (bahan makananmanis) untuk mengurangi rasa
tidak nyaman di mulut.
3. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengannutritionist untuk menyediakan menu makanan favorit sesuai
diet.Beri dukungan intake tinggi kalori, rendah natrium dan kalium.
4. Pantau adanya hiperkalemia
Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada lengan dan
abdomen, dan diare.Selain itu pemantauan hiperkalemia dengan hasil
ECG.Hiperkalemia bisa diatasi dengan dialisis.
5. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia bisa diatasi dengan pemberian
antasida (kandungan alumunium/kalsium karbonat)
6. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Dilakukan dengan memeriksa ada/tidaknya distensi vena jugularis, ada/tidaknya
crackles pada auskultasi paru. Selain itu, status hidrasi bisa dilihat dari keringat
berlebihan pada aksila, lidah yang kering, hipertensi, dan edema perifer.Cairan
hidrasi yang diperbolehkan adalah 500-600 ml atau lebih dari haluaran urine 24
jam.
7. Kontrol tekanan darah
Tekanan darah diupayakan dalam kondisi normal.Hipertensi dicegah dengan
mengontrol volume intravaskuler dan obat-obatan antihipertensi.
8. Pantau ada/tidaknya komplikasi pada tulang dan sendi
9. Latih klien napas dalam-dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya
kegagalan napas akibat obstruksi
10. Jaga kondisi septik dan aseptik setiap prosedur perawatan (pada perawatan luka
operasi)
11. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan

17
Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit klien. Pemberian heparin selama klien
menjalani dialisis harus disesuaikan dengan kebutuhan
12. Observasi adanya gejala neurologis
Laporkan segera jika dijumpai kedutan, sakit kepala, kesadaran delirium, dan
kejang otot. Berikan diazepam/ fenitoin jika dijumpai kejang
13. Atasi komplikasi dari penyakit
Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka harus
dipantau secara ketat.Gagal jantung kongesif dan edema pulmonal dapat diatasi
dengan membatasi cairan, diet rendah natrium, diuretik, preparat inotropik
(digitalis/ dobutamin) dan lakukan dialisis jika perlu.Kondisi asidosis metabolik
bisa diatasi dengan pemberian natrium bikarbonat atau dialisis.
14. Laporkan segera jika ditemui tanda-tanda perikarditis (friction rub dan nyeri
dada)
15. Tata laksana dialisis/ transplantasi ginjal
Untuk membantu mengoptimalkan fungsi ginjal maka dilakukan dialisis. Jika
memungkinkan koordinasikan untuk dilakukan transplantasi ginjal
(Robinson,2013 dalam buku Prabowo,2014)
Klien dan keluarganya memerlukan dukungan untuk mengenal istilah
penyakit.Penyakit tidak dapat disembuhkan dan dapat menyebabkan
kematian.Profesional kesehatan harus menganjurkan pasien untuk mengungkapkan
perasaan atau kekhawatiran mereka dan membantu pasien dengan strategi koping. Jika
diperlukan, pasien harus dirujuk ke perawat spesialis, seperti tim perawatan paliatif.
Pengkajian keperawatan yang menyeluruh pada pasien sangat penting dalam
merencanakan dan mengimplementasikan perawatan yang berkualitas tinggi.Pengkajian
harus melibatkan kondisi umum klien, TTV, dan pengetahuan klien mengenai penyakit
dan sistem pendukung.TTV harus dipantau dan dicatat setiap 2-4 jam dan setiap
perubahan harus dilaporkan untuk memungkinkan dilakukannya tindakan yang
tepat.Asupan dan haluaran cairan harus dipantau untuk mencegah kekurangan atau
kelebihan cairan.Asistensi harus diberikan dalam memelihara kebersihan personal,
seperti kebersihan oral, mandi, dan berpakaian.
Diet yang harus direkomendasikan adalah rendah natrium dan protein, serta
tinggi karbohidrat.Pasien yang mengalami GGK mungkin memerlukan dialisis dan

18
profesional layanan kesahatan harus memastikan bahwa keamanan dialisis
dipertahankan sepanjang waktu.Asepsis keras harus dipatuhi ketika klien menerima
dialisis.Baik klien yang mengalami fistula arteriovenosa maupun klien yang
mendapatkan dialisis peritoneum, bagian luka harus diobservasi terhadap tanda infeksi,
seperti pireksia, takikardia, dan inflamasi.Kondisi ini harus segera dilaporkan untuk
memungkinkan dilakukannya tindakan yang tepat. Seluruh perawatan yang diberikan
harus didokumemtasikan.
(Nair & Peate, 2014)

2.2 Konsep Hemodialisa


2.2.1 Definisi
Hemodialisa adalah prosedur pembersihan darah melalui suatu ginjal buatan dan
dibantu pelaksanaannya oleh semacam mesin (Lumenta, 1992).Hemodialisa sebagai
terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Hemodialisa
merupakan metodepengobatan yang sudah dipakai secara luas dan rutin dalam program
penanggulangan gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik (Smeltzer, 2001).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit
akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi
jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermiable
menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang
terganggu fungsinya itu bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah
kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan
penyakit ginjal (Smeltzer, 2001).

2.2.2 Indikasi hemodialisis


Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergencyatau HD segera dan HD
kronik.Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007)

19
1) Kegawatan ginjal
a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati/miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
j) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k) Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang
mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al.,2007):
a) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e) Komplikasi metabolik yang refrakter.

2.2.3 Prinsip yang Mendasari Hemodialisa


Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.Ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam

20
darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki
konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisat yang konsentrasinya rendah. Air yang
berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan: dengan kata lain, air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapar ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif
yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis.Tekanan negatif diterapkan pada
alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air.
Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia(keseimbangan cairan ) (Smeltzer,
2001).

2.2.4 Prinsip dan cara kerja hemodialisis


Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah
yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh.
Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al.,2007). Prinsip
kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen
darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan
solutemelewati membran disebut sebagai osmosis.Perpindahan ini terjadi melalui
mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan
molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara
konveksi,artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas
bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh
mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,2007). Pada
mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan
disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al.,2007).

21
2.2.5 Penatalaksanaan Jangka Panjang Pasien yang Menjalani Hemodialisa
a. Diet
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal tidak mampu mengekskresikan produk
akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut
secara kolektif dikenal dengan gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul.Diet rendah
protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan
gagal jantung kongestif serta edema paru.Dengan demikian pembatasan cairan juga
merupakan bagian dari resep diet untuk pasien ini.Dengan penggunaan hemodialisa
yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan
beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan
cairan.
b. Masalah Cairan
Pembatasan asupan cairan sampai 1 liter perhari sangat penting karena
meminimalkan resiko kelebihan cairan antar sesi hemodialisa. Jumlah cairan yang tidak
seimbang dapat menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi pada 2-3 orang
pasien hemodialisa.Ketidakseimbangan cairan juga dapat menyebabkan terjadinya
hipertropi pada ventrikel kiri.Beberapa laporan menyatakan bahwa pembatasancairan
pada pasien hemodialisa sangat dipengaruhi oleh perubahan musim dan masa-masa
tertentu dalam hidupnya. Jumlah asupan cairan pasien baik cairan yang diminum
langsung ataupun yang dikandung oleh makanan dapat dikaji secara langsung dengan
mengukur kenaikan berat badan antar sesi hemodialisa (Interdialytic weight
gain/IDWG) (Welch, 2006)
c. Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui
ginjal.Apabila seseorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus
dievaluasi dengan cermat.Terapi antihipertensi yang sering merupakan bagian dari
susunan terapi dialisis, merupakan salah satu contoh dimana komunikasi, pendidikan
dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda.

22
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi terapi dialisisi sendiri dapat mencakup hal-hal berikut;
a) Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
b) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c) Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.
d) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit
e) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadi
lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
f) Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
g) meninggalkan ruang ekstrasel.
h) Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi

2.2.7 Pendidikan Pasien


Tujuan untuk mempersiapkan pemulangan pasien dialisis dari rumah sakit sering
menjadi tantangan yang menarik. Penyakit tersebut dan terapi yang dilakukannya akan
mempengaruhi setiap aspek dalam kehidupan klien. Biasanya pasien tidak memahami
sepenuhnya dampak dialisis dan kebutuhan untuk mempelajarinya mungkin baru
disadari lama sesudah pasien dipulangkan dari rumah sakit. Pasien hemodialisa yang
akan memulai terapi memerlukan pengajaran tentang topik-topik berikut: Rasional dan
tujuan terapi dialisis, hubungan antara obat-obat yang diresepkan dengan dialisis, efek
samping obat dan pedoman kapan diberikan, perawatan akses vaskuler;
pencegahanpendeteksian dan penatalaksanaan komplikasi yang berkaitan dengan akses
vaskuler, dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan; konsekuensi akibat
kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini, pedoman pencegahan dan pendeteksian
kelebihan cairan, strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala
pruritus, neuropati serta gejala-gejala lainnya, penatalaksanaan komplikasi dialisis yang
lain dan efek samping terapi, strategi untuk menangani dan mengurangi kecemasan serta
ketergantungan pasien sendiri dan anggota keluarga mereka, pilihan lain yang tersedia

23
buat pasien, pengaturan finansial untuk dialisis, strategi untuk mempertahankan
kemandirian dan mengatasi kecemasan anggota keluarga.

2.2.8 Persiapan Pasien Memulai Hemodialisa


1. Tujuan :
 Memperoleh data pasien sebelum dilakukan dialysis.
 Menentukan program dialysis.
 Pasien nyaman dan proses dialysis dapat segera dilakukan.
2. Kebijakan :
 Pasien dengan ARF ( Acut Renal Failure )
 Pasien dengan CRF ( Chronic Renal Failure )
 Pasien dengan ESRD ( End State Renal Deseases )
 Pasien mempunyai akses vaskular Catheter double lumen, cimino, graft)
3. Persiapan :
1). Thermometer
2). Tensi meter
3). ECG monitor
4). Oksigen
5). Alat tulis
6). Catatan observasi ( status pasien )
7). Kaca mata, masker, apron, sarung tangan
8). Timbangan berat badan
4. Prosedur :
a. Observasi keadaan umum pasien.
b. Jika keadaan umum baik, anjurkan pasien mencuci tangan.
c. Pasien Timbang Berat Badan.
d. Anjurkan pasien berbaring ditempat tidur / dikursi tindakan dialysis.
e. Posisi mesin cuci darah,disesuaikan dengan posisi cimino. (jika cimino
ada ditangan kiri, maka mesin letakan disebelah kiri dan sebaliknya)
f. Berikan pasien posisi nyaman.
g. Lakukan pemeriksaan :
1). Tanda-tanda vital ( tensi, nadi, pernapasan dan suhu badan ).

24
2). Anamnese riwayat dialisis yang lalu.
3). Kaji keluhan pasien hari ini.
4). Jika sesak , K/p pasang oksigen.
5). Jika ada keluhan sakit dada atau riwayat sakit jantung ( pasang ECG
h. Tentukan daerah punksi atau tempat cimino
K/p dengarkan dengan stetoscope untuk memastikan desiran cimin
i. Jelaskan kepasien bahwa tindakan akan dimulai.
j. Letakan perlak atau kain alas pada bagian bawah tangan pasien.
k. Dekatkan alat-alat punksi ketempat pasien.
l. Perawat mencuci tangan
m. Pakailah apron, masker, kacamata dan sarung tangan untuk memulai
tindakan.

2.2.9 SOP HEMODIALISA

25
POLTEKKES STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PERAWATAN PRE
SURABAYA HEMODIALISA

1 PENGERTIAN Perawatan pre hemodialisa dilakukan sebelum pasien


menjalani hemodialisa.
2 TUJUAN Hemodialisa dilakukan untuk mengambil zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan
3 INDIKASI Pasien dengan gagal ginjal baik akut maupun kronik
dengan tanda kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada
laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4 ml/detik.
4 KONTRA INDIKASI Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor,
penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. 
5 PERSIAPAN PASIEN 1. Pastikan identitas klien
2. Kaji kondisi klien (lakukan anamnesis)
3. Beritahu dan jelaskan pada klien atau
keluarganya tindakan yg dilakukan
4. Jaga privacy klien
6 PERSIAPAN ALAT 1. Dialyser/ ginjal buatan
2. AV blood line
3. AV fistula/abocath
4. Infuse set
5. Spuit : 50 cc. 5 cc, dll ; insulin
6. Heparin inj
7. Xylocain (anestesi local)
8. NaCl 0,9%
9. Kain kasa steril
10. Duk steril
11. Sarung tangan steril
12. Bak kecil steril
13. Mangkuk kecil steril
14. Klem
15. Plester
16. Desinfektan (alcohol + bethadine)
17. Gelas ukur

26
18. Timbangan BB
19. Formulir hemodialisa
20. Sirkulasi darah
7 CARA BEKERJA 1. Cuci tangan
2. Letakkan dialyser pada holder, dengan posisi merah
diatas
3. Hubungkan ujung putih pada ABL dengan dialyser
ujung merah
4. Hubungkan ujung putih VBL dengan dialyser ujung
biru, ujung biru VBL dihubungkan dengan alat
penampung
5. Letakkan posisi dialyser terbalik, yaitu tanda merah
berada di bawah dan biru diatas
6. Gantungkan NaCl 0,9% (2-3 kolf)
7. Pasang infus set pada kolf NaCl
8. Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL
atau tempat khusus
9. Tutup semua klem yang ada pada selang ABL dan
VBL (untuk hubungan tekanan arteri, tekanan vena,
pemberian obat-obatan)
10.Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
11.Jalankan Qb dengan kecepatan  100 ml/m
12.Udara yang ada dalam dialyser harus hilang ( sampai
bebas udara) dengan cara menekan nekan VBL
13.Air trap/ bubble tap diisi 2/3 – ¾ bagian
14. Setiap kolf NaCl sesudah atau akan mengganti koolf
baru Qb dimatikan
15.Setelah udara dalam dialyser habis, hubungkan ujung
ABL dengan ujung VBL, klem tetap dilepas
16.Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak
1500-2000 U
17.Ganti kolf NaCl yang baru berisi heparin 500 U dan
klem infus dibuka
18. Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan
dialyser) selama 10-15 menit sebelum dihubungkan

27
dengan sirkulasi sistemik (pasien)
8 HASIL 1. Evaluasi respon klien
2. Berikan reinforcement
positif
3. Lakukan kontrak untuk
kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan
dengan baik
9 DOKUMENTASI 1. Catat tindakan yang telah dilakukan, tanggal dan
jam pelaksanaan
2. Catat hasil tindakan (respon subjektif dan objektif)
di dalam catatan
3. Dokumentasikan tindakan dalam bentuk SOAP

28
POLTEKKES TEKNIK DAN PROSEDUR HEMODIALISA
SURABAYA (PemasanganPunksidanKanulasi)

1 PENGERTIAN Suatu tindakan memasukkan jarum AV Fistula ke


dalam pembuluh darah untuk sarana hubungan
sirkulasi yang akan digunakan selama proses
hemodialisis.

2 TUJUAN Agar proses hemodialisis dapat berjalan lancar


sesuai dengan hasil yang diharapkan

3 INDIKASI -
4 KONTRA INDIKASI -
5 PERSIAPAN PASIEN 1. Timbang berat badan
2. Observasi tanda-tanda vital dan anamnesis
3. Raba desiran pada cimino apakah lancar
4. Tentukan daerah tusukan untuk keluarnya
darah dari tubuh ke mesin
5. Tentukan pembuluh darah vena lain untuk
masuknya darah dari mesin ke tubuh pasien
6. Beritahu pasien bahwa tindakan akan
dimulai
7. Letakkan perlak di bawah tangan pasien
8. Dekatkan alat-alat yang akan digunakan
6 PERSIAPAN ALAT 1. 1 buahbakinstrumenbesar, yang terdiridari :
a. 3 buah mangkok kecil
1) 1 untuk tempat NaCL
2) 1 untuktempatBetadine
3) 1 untukAlkohol 20%
b. Arteriklem
2. 1 spuit 20 cc
3. 1 spuit 10 cc
4. 1 spuit 1 cc
5. Kassa 5 lembar (secukupnya)

29
6. IPS sarungtangan
7. Lidocain 0,5 cc (bilaperlu)
8. Plester
9. Masker
10. 1 buahgelasukur / math can
11. 2 buah AV Fistula
12. Duksteril
13. Perlakuntuk alas tangan
14. Plastikuntukkotoran
7 PERSIAPAN 1. Perawat mencuci tangan
PERAWAT 2. Perawat memakai masker
3. Buka bak instrumen steril
4. Mengisi masing-masing mangkok steril
dengan: Alcohol, NaCl 0,9%, dan Betadine
5. Buka spuit 20 cc dan 10 cc, taruh di bak
instrumen
6. Perawat memakai sarung tangan
7. Ambil spuit 1 cc, hisap lidocain 1% untuk
anestesi lokal (bila digunakan)
8. Ambil spuit 10 cc diisi NaCl dan Heparin
1500u untuk mengisi AV Fistula
8 CARA BEKERJA 1. MemulaiDesinfektan
a. Jepit kassa betadine dengan arteri klem,
oleskan betadine pada daerah cimino dan
vena lain dengan cara memutar dari arah
dalam ke luar, lalu masukkan kassa bekas
ke kantong plastik
b. Jepit kassa Alcohol dengan arteri klem,
bersihkan daerah Cimino dan vena lain
dengan cara seperti no.1
c. Lakukan sampai bersih dan dikeringkan
dengan kassa steril kering, masukkan kassa
bekas ke kantong plastik dan arteri klem

30
diletakkan di gelas ukur
d. Pasang duk belah di bawah tangan pasien,
dan separuh duk ditutupkan di tangan
2. MemulaiPunksiCimino
a. Memberikan anestesi lokal pada cimino
(tempat yang akan dipunksi) dengan spuit
insulin 1 cc yang diisi dengan lidocain.
b. Tusuk tempat cimino dengan jarak 8 – 10
cm dari anastomose
c. Tusuk secara intrakutan dengan diameter
0,5 cm
d. Memberikan anestesi lokal pada tusukan
vena lain
e. Bekastusukandipijatdengankassasteril
3. MemasukkanJarumAV Fistula
a. Masukkan jarum AV Fistula (Outlet) pada
tusukan yang telah dibuat pada saat
pemberian anestesi lokal
b. Setelah darah keluar aspirasi dengan spuit
10 cc dan dorong dengan NaCl 0,9% yang
berisi heparin, AV Fistula diklem, spuit
dilepaskan, dan ujung AV Fistula ditutup,
tempat tusukan difiksasi dengan plester dan
pada atas sayap fistula diberi kassa steril
dan diplester
c. Masukkan jarum AV Fistula (inlet) pada
vena lain, jarak penusukan inlet dan outlet
usahakan lebih dari 3 cm
d. Jalankan blood pump perlahan-lahan sampai
20 ml/mnt kemudian pasang sensor monitor
e. Program mesin hemodialisis sesuai
kebutuhan pasien

31
f. Bila aliran kuran dari 100 ml/mnt karena
ada penyulit, lakukan penusukan pada
daerah femoral
g. Alat kotor masukkan ke dalam plastik,
sedangkan alat-alat yang dapat dipakai
kembali di bawa ke ruang disposal
h. Pensukan selesai, perawat mencuci tangan
4. MemulaiPunksi Femoral
a. Obeservasi daerah femoral (lipatan), yang
aka digunakan penusukan
b. Letakkan posisi tidur pasien terlentang dan
posisi kaki yang akan ditusuk fleksi
c. Lakukan perabaan arteri untuk mencari
vena femoral dengan cara menaruh 3 jari di
atas pembuluh darah arteri, jari tengah di
atas arteri
d. Dengan jari tengah 1 cm ke arah medial
untuk penusukan jarum AV Fistula
5. MelakukanKanulasi Double Lumen
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Jelaskan pada pasien tindakan yang akan
dilakukan
c. Berikan posisi tidur pasien yang nyaman
d. Dekatkan alat-alat ke pasien
e. Perawat mencuci tangan
f. Buka kassa penutup catheter dan lepaskan
pelan-pelan
g. Perhatikan posisi catheter double lumen
1) Apakah tertekuk?
2) Apakah posisi catheter berubah?
3) Apakah ada tanda-tanda meradang /
nanah? Jika ada laporkan pada dokter

32
h. Memulai desinfektan
1) Desinfektan kulit daerah kateter dengan
kassa betadine, mulai dari pangkal
tusukan kateter sampai ke arah sekitar
kateter dengan cara memutar kassa dari
dalam ke arah luar
2) Bersihkan permukaan kulit dan kateter
dengan kassa alkohol
3) Pasang duk steril di bawah kateter
double lumen
4) Buka kedua tutup kateter, aspirasi
dengan spuit 10 cc / 20 cc yang sudah
diberi NaCl 0,9% yang terisi heparin.
i. Tentukan posisi kateter dengan tepat dan
benar
j. Pangkal kateter diberi Betadine dan ditutup
dengan kassa steril
k. Kateter difiksasi kencang
l. Kateter double lumen siap disambungkan
dengan arteri blood line dan venus line
m. Alat-alat dirapikan, pisahkan dengan alat-
alat yang terkontaminasi
n. Bersihkan alat-alat
o. Perawat cuci tangan
8 HASIL 5. Evaluasiresponklien
6. Berikan
reinforcement positif
7. Lakukankontrakuntuk
kegiatanselanjutnya
8. Mengakhiri kegiatan
dengan baik
9 DOKUMENTASI 4. Catattindakan yang telahdilakukan, tanggaldan
jam pelaksanaan

33
5. Catathasiltindakan (responsubjektifdanobjektif)
di dalamcatatan
6. Dokumentasikantindakandalambentuk SOAP

34
35
POLTEKKES STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PERAWATAN INTRA
SURABAYA HEMODIALISA

1 PENGERTIAN Perawatan intra hemodialisa dilakukan saat pasien


menjalani hemodialisa.
Perawatan ini meliputi pemantauan kondisi pasien, mesin
HD, dan lain – lain selama prosedur.
2 TUJUAN Hemodialisa dilakukan untuk mengambil zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan
3 INDIKASI Pasien dengan gagal ginjal baik akut maupun kronik
dengan tanda kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada
laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4 ml/detik.

4 KONTRA INDIKASI Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit


stadium terminal, dan sindrom otak organik. 

5 PERSIAPAN PASIEN Sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi


 Dengan internal A-V shunt/ fistula cimino
1. Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan &
tangan
Teknik aseptic + antiseptic : bethadine + alcohol
2. Anestesi local (lidocain inj, procain inj)
3. Punksi vena (outlet). Dengan AV fistula no G.14
s/d G.16/ abocath, fiksasi, tutup dengan kasa steril.
4. Berikan bolus heparin inj (dosis awal)
5. Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa
steril
 Dengan eksternal A-V shunt (Schibner)
1. Desinfektan
2. Klem kanula arteri & vena
3. Bolus heparin inj (dosis awal)
 Tanpa 1 & 2 (femora dll)
1. Desinfektan
2. Anestesi local

36
3. Punksi outlet/ vena (salah satu vena yang besar,
biasanya di lengan).
4. Bolus heparin inj (dosis awal)
5. Fiksasi, tutup kassa steril
6. Punksi inlet (vena/ arteri femoralis)
7. Raba arteri femoralis
8. Tekan arteri femoralis 0,5 – 1 cm ke arah
medialVena femoralis
Anestesi lokal (infiltrasi anetesi)
9. Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5
menit
10. Fiksasi
11. Tutup dengan kassa steril
6 PERSIAPAN ALAT 1. Dialyser/ ginjal buatan
2. AV blood line
3. AV fistula/abocath
4. Infuse set
5. Spuit : 50 cc. 5 cc, dll ; insulin
6. Heparin inj
7. Xylocain (anestesi local)
8. NaCl 0,9%
9. Kain kasa steril
10. Duk steril
11. Sarung tangan steril
12. Bak kecil steril
13. Mangkuk kecil steril
14. Klem
15. Plester
16. Desinfektan (alcohol + bethadine)
17. Gelas ukur
18. Formulir hemodialisa
19. Sirkulasi darah
20. Tensimeter
21. Jam tangan
7 CARA BEKERJA 1. Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2. Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet

37
3. Semua klem dibuka, kecuali klem infus set100 ml/m,
sampai sirkulasi darah terisi darah semua.4.
4. Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb
5. Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung
dari VBL dengan punksi outlet)
6. Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk
bergerak)
7. cairan priming ditampung di gelas ukur dan jumlahnya
dicatat (cairan dikeluarkan sesuai kebutuhan).
8. Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah
15 menit bisa dinaikkan sampai 300 ml/m (dilihat dari
keadaan pasien.
9. Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous
pressure, arteri pressure, hidupkan air/ blood leak
detector.
10. Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai
keperluan). Heparin dilarutkan dengan NaCl
11. Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak
baik/ lemah lakukan mengukur TD, N, lebih sering.
12. Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD, S,
N, P, Tipe GB, Cairan priming yang masuk,
makan/minum, keluhan selama HD, masalah selama
HD.
HAL YANG PERLU 1. Cairan pendorong/pembilas (NaCl) sesuai dengan
DIPERHATIKAN kebutuhan, kalau perlu di dorong dengan udara (harus
hati-hati)
2. Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
3. Bekas punksi femoral lebih lama, setelah perdarahan
berhenti, ditekan kembali dengan bantal pasir
4. Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih lama
5. Memakai teknik aseptik dan antiseptik
8 HASIL 1. Evaluasi respon klien
2. Berikan reinforcement positif
3. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan dengan baik
9 DOKUMENTASI 1. Catat tindakan yang telah dilakukan, tanggal dan jam

38
pelaksanaan
2. Catat hasil tindakan (respon subjektif dan objektif) di
dalam catatan
3. Dokumentasikan tindakan dalam bentuk SOAP

39
POLTEKKES STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PERAWATAN POST
SURABAYA HEMODIALISA

1 PENGERTIAN Perawatan post hemodialisa dilakukan setelah pasien


menjalani hemodialisa.

2 TUJUAN Hemodialisa dilakukan untuk mengambil zat-zat


nitrogen yang toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan.
3 INDIKASI Pasien dengan gagal ginjal baik akut maupun kronik
dengan tanda kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada
laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4 ml/detik.

4 KONTRA INDIKASI Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit


stadium terminal, dan sindrom otak organik. 

5 PERSIAPAN PASIEN 1. Pastikan identitas klien


2. Kaji kondisi klien (lakukan anamnesis)
3. Beritahu dan jelaskan pada klien atau keluarganya
serangkaian tindakan yg dilakukan
4. Jaga privacy klien
6 PERSIAPAN ALAT 1. Kain kasa/ gaas steril
2. Plester
3. Verband gulung
4. Alkohol/ bethadin
5. Antibiotik powder (nebacetin/ cicatrin)
6. Bantal pasir (1-1/2 keram) : pada punksi femoral
7 CARA BEKERJA 1. 1.5 menit sebelum hemodialisis berakhir
Qb diturunkan sekitar 100cc/m
UFR = 0
2. Ukur TD, nadi
3. Blood pump stop
4. Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut , bekas punksi
inlet ditekan dengan kassa steril yang diberi betadine.
5. Hubungkan ujung ABL dengan infus set
6. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan do dorong

40
dengan NaCl sambil qb dijalankan 100 ml/m
(masukkan NaCl : 20-100cc)
7. Setelah darah masuk ke tubuh blood pump stop. Ujung
VBL diklem.
8. Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet
ditekan dengan kassa steril yang diberi bethadine
9. Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi
bekas punksi inlet & outlet dengan antibiotik powder,
lalu tutup dengan kain kassa/band aid lalu pasang
verband.
10. Ukur TTV : TD. N, S, P
11. Timbang BB (kalau memungkinkan)
12. Isi formulir hemodialisis
HAL YANG PERLU 1. Cairan pendorong/pembilas (NaCl) sesuai dengan
DIPERHATIKAN kebutuhan, kalau perlu di dorong dengan udara (harus
hati-hati)
2. Tekan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
3. Bekas punksi femoral lebih lama, setelah perdarahan
berhenti, ditekan kembali dengan bantal pasir
4. Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih lama
5. Memakai teknik aseptik dan antiseptik
PENDIDIKAN PASIEN 1. Rasional dan tujuan terapi dialisis
2. Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dan
dialisis
3. Efek samping obat dan pedoman kapan harus
memberitahukan dokter mengenai efek samping
tersebut
4. Perawatan akses vaskuler: pencegahan, pendeteksian
dan penatalaksanaan komplikasi yang berkaitan
dengan akses vaskuler
5. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan:
konsekuensi akibat kegagalan dalam mematuhi
pembatasan ini
6. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan
muatan cairan
7. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan

41
pengurangan gejala pruritus, neuropati serta gejala-
gejala lainnya.
8. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek
samping terapi (dialisis, diet yang membatasi, obat-
obatan)
9. Strategi untuk mengangani atau mengurangi
kecemasan serta ketergantungan pasien sendiri dan
anggota keluarga mereka.
10. Pilihan lain yang tersedia bagi pasien
11. Pengaturan finansial untuk dialisis: strategi untuk
mengidentifikasi dan mendapatkan sumber-sumber.
12. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan
mengatasi kecemasan anggota keluarga. 
8 HASIL 1. Evaluasi respon klien
2. Berikan reinforcement positif
3. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan dengan baik
9 DOKUMENTASI 1. Catat tindakan yang telah dilakukan, tanggal dan jam
pelaksanaan
2. Catat hasil tindakan (respon subjektif dan objektif) di
dalam catatan
3. Dokumentasikan tindakan dalam bentuk SOAP

42
2.2.10 Jenis Cuci Darah
1. Cuci darah peritoneal
Terdapat pula dua jenis cuci darah peritoneal: continuous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD) dan automated peritoneal dialysis (APD). CAPD
memungkinkan pasien bergerak dan berfungsi secara normal. Tindakan
dapat dilakukan dilakukan sementara pasien berada di tempat kerja, di
rumah, atau dimanapun. Kateter yang dimasukkan ke dalam rongga perut
dilekatkan pada suatu kantung di sisi lain. Ketika dibutuhkan, pasien
menempatkan dialisat ke dalam kantung, yang kemudian dialihkan ke rongga
perut melalui kateter. Setelah sekitar empat sampai lima jam, dialisat akan
ditarik kembali ke dalam kantung untuk kemudian dibuang.

Di sisi lain, prosedur APD membutuhkan penggunaan mesin yang


disebut cycler. Konsepnya sama dengan CAPD, dengan pengecualian, mesin
cycler lah yang memasukkan dan mengeluarkan dialisat secara otomatis
selama beberapa putaran, di mana setiap putaran berlangsung selama sekitar
1.5 jam. APD biasanya dilakukan pada malam hari ketika pasien sedang
tidur. Sementara itu, tindakan hemodialisis membutuhkan penggunaan mesin
cuci darah, berfungsi sebagai selaput cuci darah. Darah pasien diarahkan ke
dalam mesin yang berfungsi untuk menyaring dan mengembalikan darah
yang telah dibersihkan kembali ke dalam tubuh pasien.

Pasien yang membutuhkan cuci darah harus memiliki akses yang


mudah terhadap tindakan ini. Mereka yang melakukan hemodialisis akan
melakukan tindakan ini sebanyak tiga kali seminggu selama 3 sampai 5 jam
per sesi. Mereka yang melakukan CAPD atau APD tidak harus terus-
menerus melapor ke rumah sakit atau pusat cuci darah karena tindakan
tersebut dapat dilakukan kapan saja.

2. Hemodialisis
Prosedur pembersihan darah melalui suatu ginjal buatan dan dibantu
pelaksanaannya oleh semacam mesin (Lumenta, 1992).Hemodialisa sebagai
terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia.

43
BAB III

TINJAUAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan pada Gagal Ginjal Kronik

3.2.1 Pengkajian
Pengkajian pada klien gagal ginjal kronis sebenarnya hampir sama dengan klien
gagal ginjal akut, namun disini pengkajian lebih penekanan pada support system untuk
mempertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh (hemodynamically process).
Dengan tidak optimalnya/ gagalnya fungsi ginjal, maka tubuh akan melakukan upaya
kompensasi selagi dalam ambang batas kewajaran. Tetapi, jika kondisi ini berlanjut
(kronis), maka akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang menandakan
gangguan sistem tersebut. Berikut ini adalah pengkajian keperawatan pada klien gagal
ginjal kronis:
1. Biodata
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-laki sering
memiliki resiko tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat.Gagal
ginjal kronis merupakan periode lanjut dari insidensi gagal ginjal akut, sehingga
tidak berdiri sendiri.
2. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih ada penyakit sekunder yang menyertai.
Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada anuria,
penurunan kesadaran karena komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi.,
anoreksia, mual dan muntah, diaphoresis, fatigue, nafas berbau urea, dan
pruritus. Kondisi ini dipacu oleh penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolism/
toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi.
3. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine
output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas karena komplikasi dari
gangguan sistem ventilasi, fatigue , perubahan fisiologis kulit, bau urea pada
napas. Selain itu, karena berdampak pada proses metabolisme maka akan terjadi
anoreksia, nausea dan vomit sehingga beresiko terjadinya gangguan nutrisi.

44
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan
berbagai penyebab. Oleh karena itu, informasi penyakit dahulu kan menegaskan
untuk menegakan masalah. Kaji riwayat penyakit ISK, payah jantung,
penggunaan obat berlebihan (overdosis) khusunya obat yang bersifat
nefrotoksik, BPH dan lain sebagainya yang mampu mempengaruhi kerja ginjal.
Selain itu ada beberapa penyakit yang langsung mempengaruhi/ menyebabkan
gagal ginjal yaitu diabetes militus, hipertensi, batu saluran kemih (urothiliasis).
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini.Namun, pencetus sekunder
seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal
ginjal kronis, karena penyakit tersebut bersifat herediter.Kaji pola kesehatan
keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum
jamu saat sakit.
4. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi-manajemen kesehatan
Menggambarkan persepsi terhadap kesehatn, penatalaksanaan, serta upaya-
upaya pencegahan yang dilakukan oleh pasien untuk mengatasi masalah
(Tarwoto, 2015).
Pada pasien gagal ginjal kronis terjadi perubahan persepsi dan tatalaksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronis sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien (Yuli Reny, 2015).
2) Pola nutrisi dan metabolik
Menggambarkan masalah keseimbangan nutrisi, asupan, hal-hal yang
berhubungan dengan gangguan pemasukan nutrisi dan kebutuhan nutrisi
pasien seperti pola makan, kebutuhan gizi, status gizi, adanya mual dan
muntah, penurunan berat badan (Tarwoto, 2015). Anoreksi, mual, muntah
dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang kurang dan mudah

45
lelah.Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan pasien.
Gejala :
a) Peningkatan berat badan cepat (edema)
b) Penurunan berat badan (malnutrisi)
c) Anoreksia (nafsu makan kurang/tidak ada)
d) Nyeri ulu hati
e) Mual muntah
f) Bau mulut (ammonia)
g) Stomatitis, gingivitis
h) Metalic taste (rasa pengecapan seperti logam)
i) Hematemesis dan melena
j) Esofagitis
(Yuli Reny, 2015)
3) Pola eliminasi
Menggambarkan pola ekskresi feses, urine, dan kulit, seperti pola BAB,
BAK, dan gangguan atau kesulitan ekskresi. Keadaan feses dan urine juga
dikaji. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi ekskresi juga dikaji seperti
pemasukan cairan, aktivitas, dan adanya infeksi cairan kemih (Tarwoto,
2015).
Dengan gangguan/ kegagalan fungsi ginjal secara kompleks, maka
manifestasi yang paling menonjol adalah penurunan urine output< 400
ml/hari bahkan sampai pada anuria (Prabowo, 2014). Penurunan frekuensi
urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare atau
konstipasi). Perubahan warna urine ( pekat, merah, coklat) (Yuli Reny,
2015).
4) Pola latihan dan aktivitas
Menggambarkan kemampuan pasien dalam melakukan latihan dan aktivitas.
Keadaan dan masalah yang berhubungan dengan latihan dan aktivitas seperti
adanya kelumpuhan, kekuatan otot, range of motion, kontraktur dan lain-lain
(Tarwoto, 2015).Pasien mudah mengalami kelelahan dan lemas
menyebabkan pasien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara

46
maksimal. Kelelahan ektermitas, malise, kelemahan otot, kehilangan tonus
serta penurunan rentang gerak (Yuli Reny, 2015).
5) Pola kognitif perseptual
Menggambarkan tentang fungsi penglihatan, sensori, penilaian,
pendengaran, dan penciuman. Fungsi kognitif pasien dinilai seperti fungsi
penilaian, persepsi, dan orientasi pasien (Tarwoto, 2015).
6) Pola istirahat dan tidur
Gelisah, cemas, gangguan tidur (Yuli Reny, 2015)
7) Pola konsep diri dan persepsi diri
Menggambarkan kemampuan pasien dalam memandang dirinya dan masalah
kesehatan yang dialami. Adanya gambaran diri, harga diri, peran, identitas,
dan ide diri sendiri perlu dikaji. Juga hal-hal yang berhubungan dengan
gangguan konsep diri dan kecemasan(Tarwoto, 2015). Adanya perubahan
fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan
pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self
esteem) (Yulia Reny, 2015).
8) Pola peran dan hubungan
Menggambarkan peran dan hubungan masalah yang dialami oleh pasien
dalam berinteraksi dengan istri/suaami, keluarga, tetangga, lingkungan, dan
aktivitas sosial pasien (Tarwoto, 2015). Kesulitan menentukan kondisi (tidak
mampu bekerja, mempertahan fungsi peran) ( Yulia Reny, 2015)
9) Pola reproduksi atau seksual
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal kronik akan
mengalami disfungsi seksualitas karna penurunan hormon reproduksi. Selain
itu, jika kondisi gagal ginjal kronis berhubungan dengan penyakit diabetes
militus, maka aka nada gangguan dalam sekresi insulin yang berdampak
pada proses metabolisme (Prabowo, 2014). Angiopati dapat terjadi pada
sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan
gangguan potensi seksual (impotensi), gangguan kualitas maupun ereksi,
serta member dampak pada proses ejakulasi serta orgasme (Yulia Reny,
2015).

47
10) Pola pertahan diri
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping adaptif
yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis,, biasanya perubahan psikososial
terjadi saat klien mengalami perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani
pproses dialisisroses dialisis. Klien akanmengurung diri dan banyak
berrdiam diri (murung). Selain itu, kondisi ini juga dipicu oleh biaya yang
dikeluarkan selama proses pengobatan, sehingga klien mengalami
kecemasan (Prabowo, 2014).Lamanya waktu perawatan, perjalan penyakit
yang kronis, faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang
negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain. Dapat
menyebabkan pasien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
konstruktif/adaptif (Yulia Reny, 2015).
11) Pola keyakinan dan nilai
Menggambarkan tentang pola nilai, keyakinan, dan pelaksanaan ibadah
pasien (Tarwoto, 2015).
5. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat kesadaran
bergantung pada tingkat toksisitas
2) Tanda-tanda vital (TTV)
3) Tekanan Darah : pada usia >18 tahun rata-rata tekanan darah < 120/80
mmHg (Potter &Perry, 2010).
4) Nadi : normalnya 60-100x/menit (Potter & Perry, 2010).
Pernapasan : normalnya 12-20x/menit (Potter & Perry, 2010).
Suhu : rentang suhu normal pada orang dewasa 36°C - 38°C (Potter & Perry,
2010).
Pada pemeriksaan TTV sering didapatkan RR meningkat (tachypneu),
hipertensi/ hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif (Prabowo, 2014)
5) Pemeriksaan wajah
Wajah terlihat pucat, kekuningan-kuningan, serta terdapat purpura pada
wajah (Prabowo, 2014)

48
6) Pemeriksaan kepala dan leher
a. Kepala
Inspeksi rambut dan kulit kepala, kenali adanya lesi di kulit
kepala yang terkadang tersembunyi oleh rambut yang tebal. Kulit kepala
normal nampak halus dan tidak elastis dengan warna yang
merata.Mencatat karakteristik lesi.Inspeksi posisi kepala, ukuran, bentuk,
dan kontur kepala klien.Kepala normalnya tegak dan berada di garis
tengah tubuh.Tentukan apakah klien pernah mengalami nyeri keplaa.Jika
ada benjolan atau lebam, tanyakan apakah klien mengalami trauma
kepala baru-baru ini (Potter & Perry, 2010).
b. Leher
Adakah nyeri leher dan keterbatasan gerak.Tanyakan apakah
klien memiliki riwayat hipotiroidisme dan hipertiroidisme, menggunakan
obat tiroid.Tanyakan apakah klien memiliki riwayat medis
pneumothoraks atau tumor bronkus (Potter & Perry, 2010).
Inspeksi kesimetrisan otot leher.Inspeksi nodus limfa yang
terlihat untuk mendeteksi edema, eritema, atau garis merah. Nodus yang
normal tidak akan terlihat. Inspeksi leher di daerah atas kelenjar tiroid
untuk melihat kesimetrisan, dan pembengkakan dasar leher. Meminta
klien unyuk melakukan hiperekstensi leher yang akan membuat kulit
lebih ketat untuk visualisasi yang lebih baik. Minta klien untuk menelan
sambil mengamati leher, karena tindakan ini dapat memvisualisasikan
pembesaran tiroid.Tiroid yang normal tidak dapat tervisualisasi.Apakah
ada pembesaran vena jugularis dan kelenjar tiroid bagaimana reflek
menelan.Adakah benjolan pada leher, adakah pembesaran vena jugularis
(Potter & Perry, 2010).
7) Pemeriksaan thoraks/dada
Inspeksi : Bentuk dada dan gerakan pernafasan. Pada pasien dengan GGK
sering ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal, serta
adanya retraksi sternum dan intercostal space (ICS). Napas cuping hidung
pada sesak berat dialami

49
Palpasi : gerakan dada saat bernafas biasanya normal dan seimbang antara
kanan dan kiri. Taktil fremitus pada pasien biasanya normal.
Perkusi : didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Pada pasien dengan GGK didapatkan suara vesikuler dan
crackles jika terjadi edema pulmonal (Prabowo, 2014)
8) Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
Perhatikan warna kulit, jaringan parut, pola vena, lesi, perhatikan posisi,
warna dan bentuk umbilikus, inspeksi kontur, kesimetrisan dan permukaan
abdomen, lihat adanya massa, pembengkakan dan distensi (Potter & Perry,
2010)
Auskultasi
Auskultasi peristaltik atau pergerakkan makanan melalui usus, normlnya
udara dan cairan bergerak melalui usus, menyebabkan suara bergemuruh
atau klik pelan yang terjadi ireguler 5-35 kali per menit. Suara biasanya
berlangsung ½ detik sampai beberapa detik. Biasanya dibutuhkan 5-20 detik
untuk mendengar satu suara usus, tetapi dibutuhkan 5 menit untuk
menentukan ketiadaan bising usus, normalnya bising usus tidak ada atau
bersifat hipoaktif (Seidel et al.,2006 dalam Potter & Perry, 2010).
Perkusi
Perkusi abdomen terdapat pola tympani serta kepekaan.Gas atau flatulen
menghasilkan bunyi tympani.Massa, tumor dan cairan menghasilkan bunyi
tumpul (Potter & Perry).
Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mendeteksi adanya nyeri abdomen, distensi, atau
massa (Potter & Perry, 2010).
9) Pemeriksaan genetalia dan rectal
Genetalia wanita
Kaji riwayat menstruasi termasuk usia menarche, frekuensi dan durasi
siklus menstruasi, karakter atau jumlah adanya bekuan, adanya dismenorea
atau menstruasi disertai nyeri, nyeri pinggul, tanggal dua periode haid
terakhir dan gejala premenstruasi. Kaji riwayat masalah urogenital seperti

50
perasaan terbakar saat berkemih, frekuensi, sulit menahan, nokturis,
hematuria, inkontinensia, atau stress (Potter & Perry, 2010).
Genetalia Pria
Bahas pola eliminasi urine total termasuk frekuensi berkemih; riwayat
nokturia; karakter dan volume urine; asupan cairan sehari-hari; gejala rasa
terbakar urgensi, frekuensi; kesulitan memulai aliran, hematuria.Kaji riwayat
seksual klien dan penggunaan kebiasaan seks yang aman.Tentukan apakah
klien pernah mengalami riwayat operasi atau menderita penyakit yang
melibatkan organ kemih atau reproduktif, termasuk penyakit menular
seksual.Tanyakan apakah klien mengalami nyeri atau pembengkakan penis,
lesi genital, atau rabas uretra (Potter & Perry, 2010).
10) Pemeriksaan ekstermitas/musculoskeletal
Perawat mengobservasi gaya berjalan, cara berjalan, duduk, dn bangkit dari
pososo duduk. Minta klien menjelaskan riwayat gangguan tulang, otot, atau
fungsi sendi.Tentukan bagaimana gangguan tersebut mempengaruhi
kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Potter & Perry, 2010).
Ekstremitas atas
Inspeksi : amati pergerakan tangan, dan kekuatan otot
Palpasi : adanya nyeri tekan, massa atu benjolan
Ekstremitas bawah
Inspeksi : amati pergerakan kaki, dan kekakuan otot
Palpasi : adanya nyeri tekan, massa atau benjolan
Dengan penurunan/ kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka berdampak
pada proses dermineralisasi tulang, sehingga resiko terjadinya osteoporosis
tinggi (Prabowo, 2014).
11) Pemeriksaan fungsi pendengaran/penghidu/tenggorokan
Telinga
Tanyakan apakah klien pernah mengalami nyeri telinga, gatal cairan,
vertigo, tinitus (berdenging), atau perubahan pendengaran.Tentukan apakah
klien terpajan bising selama ditempat kerja dan ketersediaan alat pelindung.
Tentukan apakah klien menggunakan alat bantu dengar. Tentukan apakah

51
klien memiliki riwayat penumpukan serumen berulang (Potter & Perry,
2010).
Hidung
Tanyakan apakah klien pernah mengalami trauma pada hidung.Tanyakan
apakah klien memiliki riwayat alergi, cairan hidung, epistaksis (mimisan),
postnasal drip.Tanyakan apakah klien mendengkur di malam hari atau
mengalami kesulitan bernapas (Potter & Perry, 2010).
Mulut
Tentukan apakah klien memakai gigi palsu atau penahan apakah
keduanya nyaman dipakai.Tentukan apakah klien baru-baru ini mengalami
perubahan selera makan atau berat badan.Tentukan apakah klien
menggunakan produk tembakau.Tinjau riwayat konsumsi alkohol.Tanyakan
apakah ada lesi mulut (Potter & Perry, 2010).
Inspeksi
Warna, tekstur, hidrasi, kontur dan adanya lesi pada bibir, normalnya
bibir tampak merah muda, lembap, simetris, dan mulus.Inspeksi mukosa
oral, gusi dan gigi untuk menentukan kualitas hiegine gigi.Gigi yang normal
tampak mulus, putih, dan berkilau.Inspeksi warna, bentuk, tekstur, dan
penonjolan tambahan atau defek pada palatum, normalnya tampak merah
muda dan mulus (Potter & Perry, 2010).
12) Pemeriksaan fungsi penglihatan
Tentukan warna conjungtiva pucat atau tidak, warna sklera, bentuk pupil
reaksi terhadap cahaya atau tidak.Adakah tanda-tanda radang, teknik dan
fungsi penglihatannya baik atau tidak.Apakah klien memakai kacamata atau
lensa kontak (Potter & Perry, 2010).
13) Pemeriksaan fungsi neurologis
Ditunjukan dengan adanya neuropathy parifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki.Selain itu, juga adanya kram pada otot dan reflek kedutan, daya memori
menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan
kejang.Dari hasil EEG menunjukan adanya perubahan metabolik
encepalophaty (Prabowo, 2014).

52
14) Pemeriksaan kulit/integument
Pengkajian kulit dapat memperlihatkan berbagai kondisi termasuk perubahan
oksigenasi, sirkulasi, kerusakan jaringan lokal, dan hidrasi. Kondisi kulit
klien mengungkapkan kebutuhan akan intervensi keperawatan.
Mengobservasi warna, kelembapan, suhu, tekstur, turgor kulit, vaskularitas,
edema, dan adakah lesi (Potter & Perry, 2010).
Pada pasien GGK kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan
ada scalp.Selain itu, biasanya juga menunjukan adanya purpura, ekimosis,
petechiae, dan timbunan urea pada kulit (Prabowo, 2014).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga,
atau komunitas yang menggambarkan respon aktual dan potensial klien terhadap
masalah kesehatan yang boleh dan mampu ditangani oleh perawat (Nanda,2007 dalam
Perry & Potter, 2010).
Menurut Doengoes (2015), diagnosa keperawatan pada pasien GGK antara lain :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan dan natrium
Tanda Mayor :
a. Edema anasarka dan/atau edema perifer
b. Berat badan meningkat dalam waktu singkat
c. Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Cental Venous Pressure (CVP)
meningkat
d. Refleks hepatojugular positif
Tanda Minor :
a. Distensi vena jugularis
b. Terdengar suara nafas tambahan
c. Hepatomegali
d. Kadar Hb/Ht turun
e. Oliguria
f. Intake lebih banyak dari output
g. Kongesti paru

53
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut
Tanda Mayor :
a. Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
Tanda Minor :
a. Bising usus hiperaktif
b. Otot pengunyah lemah
c. Otot menelan lemah
d. Membran mukosa pucat
e. Sariawan
f. Serum albumin turun
g. Rambut rontok berlebihan
h. Diare
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, anemia, retensi produksi
sampah dan prosedur dialysis
Tanda Mayor :
a. Mudah lelah
b. Frekuensi jantung meningkat > 20% dari kondisi istirahat
Tanda Minor :
a. Tekanan darah > 20% dari kondisi istirahat
b. Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktivitas
c. Gambaran EKG menunjukkan iskemia
d. Sianosis
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan uremia, edema
Tanda Mayor :
a. Kerusakan jaringan/lapisan kulit
Tanda Minor :
a. Nyeri
b. Perdarahan
c. Kemerahan
d. Hematoma

54
5. Resiko Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
Tanda Mayor :
a. Bradikardi/takikardi
b. Gambaran EKG aritmia
c. Edema
d. Distensi vena jugularis
e. CVP meningkat/menurun
f. Hepatomegali
g. Tekanan darah meningkat/menurun
h. Nadi perifer teraba lemah
i. CRT > 3 detik
j. Oliguria
k. Warna kulit pucat dan/atau sianosis
l. Terdengar suara jantung S3 dan/atau S4
m. Ejection fraction turun
Tanda Minor :
a. Murmur jantung
b. BB bertambah
c. Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun
d. Pulmonary vascular Resistance(PVR) meningkat/menurun
e. Systemic vascular resistance (SVR) meningkat/menurun
f. Cardiac index (CI) menurun
g. Left ventricel stroke work index (LVSWI) menurun
h. Stroke volume index (SVI) menurun
6.  Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses
penyakit
Tanda Mayor :
a. Menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran
b. Menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah
Tanda Minor :
a. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat

55
b. Menunjukkan perilaku berlebihan (misal apatis, bermusuhan, agitasi,
histeria)

2.2.3 Intervensi
Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Intervensi
keperawatan adalah panduan untuk perilaku spesifik yang diarapkan dari klien, atau
tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Intervensi dilakukan untuk membantu
klien mencapai hasil yang diharapkan. Tahap perencanaan berfokus pada
memprioritaskan masalah, merumuskan tujuan dan kriteria hasil, membuat intruksi
keperawatan, dan mendokumentasikan mendokumentasikan rencana asuhan
keperawatan (Deswani, 2011).
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan dan natrium
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam pasien mampu
mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria Hasil :
1. Masukan dan haluaran seimbang
2. Berat badan stabil
3. Bunyi nafas dan jantung normal
4. Elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1) Kaji ststus cairan : timbang berat badan setiap hari, hitung keseimbangan
cairan, kaji turgor kulit dan adanya edema, kaji adanya distensi vena leher,
pantau TD, denyut nadi, dan irama
Rasional : pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi
2) Batasi masukan cairan
Rasional :pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran
urine, dan respon terhadap teori
3) Identifikasi sumber potensial cairan : medikasi dan cairan yang digunakan
untuk pengobatan oral dan intravena serta makanan
Rasional : sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi

56
4) Jelaskan pada pasien dan keluarga alasan pembatasan cairan
Rasional :pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
5) Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan
Rasional :kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diet
6) Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering
Rasional :higiene oral mengurangi kekeringan membrane mukosa mulut
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam pasien dapat
mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria Hasil :
1. Dapat mempertahankan status nutrisi yang adekuat
2. BB dalam batas normal
3. Albumin dalam batas normal
Intervensi :
1) Kaji perubahan nutrisi : perubahan berart badan, nilai laboratorium (BUN,
kreatinin, protein, besi, dan transferin)
Rasional :menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan hasil
intervensi
2) Kaji pola diet nutrisi : riwayat diet, makanan kesukaan, dan hitung kalori
Rasional :pola diet dulu dan sekarang dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu
3) Kaji faktor yang mrubah dalam masukan nutrisi : mual, muntah, anoreksia,
diet yang tidak menyenangkan, depresi, kurang memahami pembatasan,
stomatitis
Rasional :menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah
atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet
4) Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batasan-batasan diet
Rasional :mendorong peningkatan masukan diet

57
5) Tingkatkan asupan protein yang mengandung nilai biologis tinggi, seperti
telur, daging, dan produk ulahan susu
Rasional :protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan
6) Anjurkan pada pasien jika makan camilan yang tinggi kalori, rendah protein,
rendah natrium diantara waktu makan
Rasional : mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan
kalori untuk energi
7) Jelaskan alas an pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal
dan peningkatan urea, dan kreatinin
Rasional : meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan atara diet
urea, kreatinin dengan penyakit ginjal
8) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan sewaktu makan
Rasional : faktor yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan anoreksia
9) Timbang berat badan setiap hari
Rasional :untuk memantau status cairan dan nutrisi
10) Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat, seperti edema,
penurunan albumin serum, dan penyembuhan yang lambat
Rasional : masukan protein yang tidak adekuat dan menurunkan kadar
albumin dan protein lain, menimbulkan edem, perlambatan penyembuhan
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, anemia, retensi produksi
sampah dan prosedur dialisis
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam pasien dapat
berpartisipasi dalam aktivitas yang ditoleransi
Kriteria Hasil :
1. Pasien mengungkapkan secara verbal tentang berkurangnya kelemahan
2. Pasien dapat beristirahat dengan cukup
3. Pasien mampu melakukan kembali aktivitas sehari-hari yang memungkinkan
Intervensi :
1) Kaji faktor yang menimbulkan keletihan : anemia, ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit, retensi produk sampah, depresi
Rasional : menyediakan informasi mengenai indikasi tingkat kelelahan

58
2) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi
Rasional :meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
Rasional :mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi dan istirahat yang cukup
4) Anjurkan untuk istirahat setelah dialisis
Rasional : istirahat yang adekuat setelah dialisis dianjurkan, bagi banyak
pasien yang melelahkan
(Suharyanto & Madjid, 2009)
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan uremia, edema
Tujuan   : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jampasien dapat
mempertahankan kulit utuh atau menunjukan perilaku/teknik untuk mencegah
kerusakan/cedera kulit     
Kriteria Hasil :
1. Mempertahankan kulit utuh
2. Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit.  
Intervensi:
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular. Perhatikan
kemerahan , ekskoriasi, observasi terhadap ekimosis, purpura.
Rasional :Menandakan area sirkulasi buruk /kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus /infeksi .

2)  Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.


Rasional :Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
3) Inspeksi area tergantung terhadap edema
Rasional :Jaringan edema lebih cenderung rusak /robek .
4) Ubah posisi dengan sering;gerakan pasien dengan perlahan: beri bantalan
pada tonjolan tulang dengan kulit domba, pelindung siku /tumit.

59
Rasional :Menurunkan tekanan pada edema, jaringan dengan perfusi buruk
untuk menurunkan iskemia.Peningggian meningkatkan aliran balik statis
vena terbatas/pembentukan edema.
5) Berikan perawatan kulit. Batasi penggunaan sabun, berikan salep atau krim
(mis: Lanolin,  aquaphor).
Rasional :mengurangi pengeringan dari pada sabun, lotion dan salep
mungkin diinginkan untuk menghilangkan kering, robekan kulit.
6) Pertahankan linen kering, bebas keriput.
Rasional :Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.
7) Selidiki keluhan gatal.
Rasional :Meskipun dialisis mengalami masalah kulit yang berkenaan
dengan uremik, gatal dapat terjadi sarana kulit adalah rute ekskresi untuk
produk sisa misal: krital prostat (berkenaan dengan hiperparatiroidisme  pada
penyakit tahap akhir)
8) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan (dari pada garukan) pada area pruritus. Pertahankan
kuku pendek: berikan sarung tangan selama tidur bila diperlukan
Rasional :Menghilangkan ketidaknyamanan dan  menurunkan resiko cedera
dermal
9) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar .
Rasional :Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit.
5.  Resiko Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan
cairan
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam penurunan curah
jantung tidak terjadi
Kriteria Hasil :
1. Tanda-tanda vital dalam batasan normal
2. Nadi perifer kuat dan sama waktu pengisian perifer
Intervensi        :
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru. Evaluasi adanya edema perifer/ kongesti
vaskular dan keluhan dipsnuea

60
Rasional : takikardi, frekuensi jantung tak teratur, takipnea,dispnea,mengi,
edema/ distensi jugular menunjukkan GGK  
2)  Observasi adanya derajat hipertensi : awasi TD; perhatikan perumahan
postural, contoh duduk, berbaring, berdiri
Rasional : Hipertensi bermakna dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, radiasi, beratnya (skala 0-10)
dan apakah tidak menetap dengan inspirai dalam dan posisi terlentang
Rasional : Hipertensi dan GJK kronis dapat menyebabkan IM, kurang lebih
pasien GGK dengan dialisis mengalami perikarditis, potensial resiko evusi
perikardial/ tamponade
4) Evaluasi bunyi jantung (perhatiakan friction rub ), TD, nadi perifer,
pengisian kapiler, kongesti vaskular, suhu, dan sensori/ mental
Rasional : Adanya hipotensi tiba-tiba, nadi paradoksik, penyempitan
tekanan nadi, penurunn/ tak adanya nadi perifer, distensi jugular nyata,
pucat dan penyimpangan mental cepat menunjukkan tamponade, yang
merupakan kedaruratan medik.
5) Observasi tingkat aktivitas, respons terhadap aktivitas
Rasional : kelelahan dapat mnyertai GJK juga Anemia
6) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, foto dada)
Rasional : Ketidak seimbangan elektrolit dan BUN dapat mengganggu
konduksi elektrikal dan fungsi jantung. Foto dada berguna dalam
mengidentifikasi terjadinya gagal jantung atau klasifikasi jaringan lunak
7) Kolaborasi pemberian obat anti hipertensi contoh prazozin (minipress),
captopril (capoten), klonodil (catapres), hidralazin (Apresoline).
Rasional : menurunkan tahanan vaskular sistemik dan atau pengeluaran
renin untuk menurunkan kerja miokardial dan membantu mencegah GJK
dan atau IM
8) Bantu dalam perikardiosentesis sesuai indikasi
Rasional : akumulasi cairan dalam kantung perikardial dapat mempengaruhi
pengisian jantung dan kontraktilitas miokardial mengganggu curah jantung
dan potensial resiko henti jantung

61
9) Siapkan dialisis
Rasional : penurunan ureum toksik dan memperbaiki ketidakseimbangan
elektrolit dan kelebihan cairan dapat membatasi/ mencegah manifestasi
jantung, termasuk hipertensi dan efusi perikardial.
6. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses
penyakit
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan yang
bersangkutan
Kriteria Hasil :
1. Pasien dan keluarga dapat mengungkapkan dan mengerti tentang gagal ginjal
2. Pasien dan keluarga dapat mengungkapkan dan mengerti tentang batasan
diet dan cairan
Intervensi        :
1) Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kesiapan pasien untuk belajar
Rasional : pasien dapat belajar tentang gagal ginjal dan penanganan setelah
mereka siap untuk memahami dan menerima diagnosis dan konsekuensinya
2) Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara- cara untuk memahami berbagai
perubahan akibat penyakit dan penanganan yang mempengaruhi hidupnya
Rasional : pasien dapat melihat bahwa kehidupannya tidak harus berubah
akibat penyakit
3) Sediakan informasi baik tertulis maupun tidak tertulis dengan tepat tentang:
a. Fungsi dan kegagalan renal
b. Pembatasan cairan dan diet
c. Medikasi
d. Melaporkan masalah tanda dan gejala
e.  Jadwal tingkat lanjut
f. Pilihan terapi
Rasional :pasien memiliki informasi yang dapat digunakan untuk
klarifikasi selanjutnya dirumah .

62
4) Observasi pemahaman mengenai penyebab gagal ginjal, konsekuensinya,
dan penanganannya:
a. Penyebab gagal ginjal pasien
b. Pengertian gagal ginjal
c. Pemahaman mengenai fungsi renal
d. Hubungan antara cairan,, pembatasan diet dengan gagal ginjal
e. Penanganan (hemodialisis, dialisis peritoneal, transplatasi )
Rasional :merupakan isntruksi dasar untuk penjeasan dan penyuluhan lebih
lanjut
(Doenges, 2012)
2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaolikasikan rencana asuhan
keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan
yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi
efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu,
kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi
sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan
kemampuan evaluasi(Asmadi, 2015).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
mengidentifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Pada
tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan
mengevaluasi proses perawatan berlangsung atau menilai dari respon klien disebut
evaluasi proses, dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan
disebut evaluasi hasil (Setiadi, 2012).

63
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Gagal Ginjal adalah suatu keadaan dimana ginjal tidak mampu mengangkut
sampah metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya.
Gagal ginjal akut adalah hilangnya fungsi ginjal secara mendadak dan
hampir lengkap akibat kegagalan sirkulasi renal dan disfungsi tubular dan
glomerular. Ini dimanifestasikan dengan anuria, oliguria, atau volume urin normal.
Gagal ginjal akut adalah hilangnya fungsi ginjal secara mendadak dan
hampir lengkap akibat kegagalan sirkulasi renal dan disfungsi tubular dan
glomerular. Ini dimanifestasikan dengan anuria, oliguria, atau volume urin normal.
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu
tak dapat pulih, dan dapat disebabkan oleh berbagai hal. Gagal ginjal kronis adalah
proses kerusakan ginjal selama rentang waku lebih dari tiga bulan. Gagal ginjal
kronis dapat menimbulkan simtoma, yaitu laju filtrasi glomerular berada dibawah
60 ml/men/1.73 m2, atau diatas nilai tersebut yang disertai dengan kelainan sedimen
urine (Masriadi, 2016)

4.2 Saran

Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai


bahan masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan
keperawatan yang akan datang, diantaranya :
1. Bagi perawat dan tenaga medis
Askep Gagal Ginjal ini bisa sebagai acuan dalam melakukan peraktek pada rumah
sakit supaya hasilnya sesuai dengan harapan.
2. Bagi masyarakat
Dengan adanya Askep Gagal Ginjal ini masyarakat dapat mengetahui tindakan
hemodialisa.
3. Bagi mahasiswa
Dengan adanya Askep Gagal Ginjal ini dapat digunakan sebagai pembanding oleh
mahasisiwa kesehatan dalam pembuatan tugas.

64
65
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Wahid & Imam Suprapto. 2013. Dokumentasi Proses Keperawatan. Yogyakarta:
Nuha Medika

Ariani Sofi. 2016. Stop Gagal Ginjal dan Gangguan-Gangguan Ginjal


Lainya. Yogyakarta: Istana Media

Aziz Farid dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin


Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC

Chang dkk. 2010. Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC

Deswani. 2011.Proses Keperawatan dan Berfikir Kritis. Jakarta: Salemba Medika

Dharma dkk. 2015. Penyakit Ginjal Deteksi Dini dan Pencegahan.


Yogyakarta: CV Solusi Distribusi

Doenges, Marilyn et al. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Doenges, Marilyn et al. 2015. Manual Diagnosis Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Hangkesa & Lawalata. 2014. Perbedaan Fungsi Sistolik Ventrikel Kanan Sebelum dan
Sesudah Hemodialisa pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V di RSD dr.
Soebandi Jember
(https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JAMS/article/download/7873/5528/ ) diakses
tanggal 29 Januari 2019 Pukul 18.00 WIB

Nair & Peate. 2014. Dasar-Dasar Patofisiologis Terapan Panduan Penting untuk
Mahasiswa Keperawatan dan Kesehatan Edisi 2. Jakarta: Bumi Medika

Nuari Afrian. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan


Keperawatan Dengan Pendekatan SDKI 2016 NIC NOC. Yogyakarta: CV Budi
Utama

Padila. 2012. Buku Ajar KeperawatanMedikalBedah. Yogyakarta: Nuha Medika

Potter & Perry. 2009. Fundamental KeperwatanEdisi 7. Jakarta: Salemba Medika

Potter & Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice. Edisi 7.
Vol. 3.Jakarta : EGC

Prabowo, Eko. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta:
Nuha Medika

66
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi vol. 2 ; Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta : EGC
Riskesdas. 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018 Kementrian Kesehatan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia

Setiadi. 2012. Konsep& Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan


Praktik. Yogyakarta :GrahaIlmu

Siswadi Yokobus,dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:


EGC

Smeltzer & Bare. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart.
Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC

Suharyanto & Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media

Tarwotodan Wartonah.,2015. Kebutuhan DasarManusia dan Proses Keperawatan


.Edisi :4 .Jakarta: EGC

YuliReny. 2015. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Perkemihan Aplikasi NANDA, NIC, dan NOC. Jakarta Timur: CV Trans Info
Media

67
Naskah Skenario

Asuhan Keperawatan Pada Klien GGK (Gagal Ginjal


Kronik)
dengan Penatalaksanaan Hemodialisa

Pemain Peran
Pasien : Eva Riana

Keluarga : Deli Refi Mustika Sari

Perawat : Dwi Maya Novitasari

Asisten Perawat : Qurrotul Aini

Dokumentasi : Silmi Nur Azizah

1. Pengkajian Umum

Pengkajian dilakukan pada tanggal 20 februari 2020 jam 11.00 WIB. Ny.
E umur 65 tahun, jenis kelamin Perempuan, agama islam, suku jawa, pendidikan
SMA, pekerjaan pensiunan, No.RM 062xxx, tanggal masuk 20 februari 2020,
diagnosa medis Gagal Ginjal Kronis. Penanggung jawab : Ny. D, umur 36 tahun,
agama islam, suku jawa. Hubungan dengan pasien adalah anak. Datang ke RS
dengan keluhan nyeri pada pinggang serta tangan dan kaki bengkak sudah 1
minggu yang lalu.

2. Riwayat Penyakit

Ny. E mengeluhkan susah tidur, nyeri pada pinggang dan tangan serta
kaki bengkak, ini sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Karena nyeri yang
dirasakan pada Tn. H mencapai skala 7 dan tidak kunjung membaik maka pada
tanggal 20 Februari 2020 keluarga membawa Ny. E ke IGD RS guna untuk

68
mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Di IGD Ny. E mendapatkan penanganan
berupa infus RL 20 tetes permenit, injeksi Furosemid 10mg, Injeksi Ranitidine
25mg. Kemudian pukul 10.00 WIB pasien dipindahkan ke bangsal baru atas
untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Untuk riwayat kesehatan dahulu Ny.
E belum pernah dirawat di rumah sakit dan ini kali pertama Ny. E dirawat di
rumah sakit. Ny. E memiliki riwayat imunisasi lengkap saat kecil, Ny. E juga
memiliki riwayat hipertensi dan terkontrol dengan terapi obat kaptopril, Ny. E
tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan. Keluarga Ny. E juga tidak
memiliki riwayat penyakit menurun seperti hipertensi dan DM.

3. Pengkajian Khusus

Dalam pengkajian pola nutrisi, sebelum sakit pasien tidak ada gangguan
dalam makan, pasien biasanya makan 3 kali dengan porsi banyak. Namun, saat
dirawat di rumah sakit pasien hanya makan 3 sendok setiap pemberian makan
oleh petugas gizi, pemberian diit oleh petugas gizi adalah diit rendah garam dan
rendah protein. Anak pasien mengatakan bahwa perintah dari dokter agar Ny. E
di berikan minum sedikit saja agar pembekakan dikaki dan ditangan tidak
bertambah parah, karena perintah tersebut anak Ny. E memberikan minum
dalam sehari 2 gelas air putih atau 400cc. Kemudian penulis menghitung balance
cairan pasien. Ternyata hasil balance cairan pasien kelebihan 1892 cc dengan
uraian input cairan di dapat dari cairan infus sebanyak 1500 cc, injeksi 52 cc,
Air Metabolisme 280 cc dengan penghitungan 5 cc dikalikan dengan berat badan
pasien yaitu 56 kg, selain itu makan dan minum sebanyak 450cc, dan hasil dari
cairan yang masuk sebanyak 2.282 cc. Sedangkan cairan yang keluar pada
pasien didapat dari urine sebanyak 500 cc, dan IWL (Indeks Water Lose) yaitu
15 dikalikan berat badan pasien yaitu 56 kg dan hasilnya 840 cc/24jam, dan hasil
dari output cairan sebanyak 1140 cc. Setelah itu jumlah cairan yang masuk 2282
cc di kurangi jumlah cairan cairan yang keluar 1140 cc dan hasilnya kelebihan
cairan sebanyak 1142 cc. Hasil balance cairan yang berlebih pada pasien,
berdampak pada kondisi tubuh pasien yaitu terdapat edema atau pembengkakan
di kaki kanan dan kiri serta tangan kanan dan kiri.

69
Pola eliminasi : buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Sebelum
sakit pasien mengatakan buang air besar 1 kali perhari, buang air kecil 5-6 kali
perhari. Selama sakit pasien mengatakan buang air besar selama dirumah sakit
baru 1 kali.selama sakit pasien dipasang dower kateter dan mengeluarkan urine
sebanyak 200 cc perhari.

Pola aktivitas dan latihan : sebelum sakit pasien mengatakan tidak ada keluhan
aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dan sebagainya.
Selama sakit pasien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas sendiri harus
dibantu orang lain untuk melakukan aktivitasnya. Pola istirahat tidur : sebelum
sakit pasien mengatakan biasanya tidur 6-7 jam, tidur pasien nyenyak. Selama
sakit pasien mengatakan susah tidur, tidur hanya 3-4 jam itu pun sering
terbangun dan tidak nyenyak karena pinggang sakit.

Pola konsep diri terdiri dari gambaran diri : pasien mengatakan saat ini
sedang sakit dan yakin akan sembuh. Identitas diri: pasien mengatakan dirinya
seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya. Peran diri : pasien mengatakan
dirumah sebagai ayah yang mencukupi kebutuhan keluarganya, namun selama
sakit pasien menjadi merasa tidak beguna. Ideal diri : pasien mengatakan bisa
menjadi seorang ayah dan suami yang baik, serta ingin cepat sembuh. Harga
diri : pasien mengatakan tidak minder walaupun sakit, tetap optimis sembuh
karena keluarga selalu mendukungnya.

Temuan pemeriksaan fisik pada GGK yaitu Keadaan Umum : lemah,


pucat, edema perifer, haluaran urine, nyeri pinggang saat di palpasi. Kesadaran :
composmentis. GCS: E4V5M6. Tanda-tanda vital: Tekanan darah :180/90 mmHg,
nadi : 104 kali/menit, Respiration Rate: 21 kali/menit, suhu : 36°C, Berat Badan:
56 kg, Tinggi Badan: 166 cm, Lingkar Lengan Atas : 17cm.Pada mata
ditemukan konjungtiva anemis, simetris kanan dan kiri, hidung: tidak ada sekret,
tidak ada gagguan penciuman. Telinga : simetris, tidak ada serumen. Leher :
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. Mulut : tidak ada sariawan, bibir kering.
Pada pemeriksaan paru : Inspeksi : simetris kiri dan kanan, pengembangan dada
sama kiri dan kanan, palpasi: tidak ada nyeri tekan vokal vremitus sama,
perkusi: sonor, auskultasi: vesikuler. Jantung : inspeksi : ictus cordis tidak

70
tampak, palpasi : ictus cordis teraba, perkusi : pekak, auskulatsi : BJ I dan II
murni. Abdomen terlihat tidak ada lesi, buncit, asites , bising usus tidak
terdengar, ada nyeri tekan, bunyi perkusi dullnes. Tangan kiri pasien terpasang
infus RL 20 tetes permenit. Kaki kanan,kiri dan tangan kanan, kiri terlihat
edema, pitting odema derajat 2.

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada tanggal 20 februari 2020 adalah dari


pemeriksaan hematologi hemoglobin 10.4 g/dl. Lekosit 7.1 10ˆ3/uL. Trombosit
196.0 10ˆ3/uL. Eritrosit 3.17 10ˆ6/uL. Hematokrit 29.2 vol%. Hitung jenis
granulosit 76.8 %. Limfosit 20.9 %. Monosit 2 %. MCV,MCH,MCHC. MCV
92.1 U ˆ3. MCH 32.8 pg. MCHC 35.6 g/dl. Kimia klinik fingsi ginjal ureum 230
mg/dl. Creatinin 5.33 mg/dl. Fungsi hati SGOT 23 u/L. SGPT 15 u/L. Glukosa
sewaktu 104 mg/dl.

5. Analisa data

Berdasarkan pengkajian diperoleh data fokus yaitu:

a. Data subjektif :
 Pasien mengatakan tangan dan kaki bengkak sejak 1 minggu yang lalu.
b. Data objektif :
 Tanda-tanda vital : Tekanan darah : 180/90 mmHg, Suhu: 36°C, Nadi:
107 x / menit, RR: 22 x / menit.
 Jumlah urine yang dikeluarkan perhari 200cc, warna kuning keruh.
 Edema pada kedua ekstremitas atas (kedua tangan) dan bawah (kedua
kaki), pitting edema derajat 2, hasil data laboratorium, ureum 230 mg/dl
dan creatinine 5.33 mg/dl.
 Hasil balance cairan pasien kelebihan 1892 cc dengan uraian input cairan
di dapat dari cairan infus sebanyak 1500 cc, injeksi 52 cc, Air
Metabolisme 280 cc dengan penghitungan 5 cc dikalikan dengan berat
badan pasien yaitu 56 kg, selain itu makan dan minum sebanyak 450cc,
dan hasil dari cairan yang masuk sebanyak 2.282 cc. Sedangkan cairan
yang keluar pada pasien didapat dari urine sebanyak 200 cc, dan IWL

71
(Indeks Water Lose) yaitu 15 dikalikan berat badan pasien yaitu 56 kg
dan hasilnya 840 cc/24jam, dan hasil dari output cairan sebanyak 1140
cc. Setelah itu jumlah cairan yang masuk 3032 cc di kurangi jumlah
cairan yang keluar 1140 cc dan hasilnya kelebihan cairan sebanyak 1892
cc.

Berdasarkan analisa data diatas dapat diambil diagnosa kelebihan volume


cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin dan retensi cairan.

6. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan pada diagnosa kelebihan volume cairan


berhubungan dengan penurunan haluaran urin dan retensi cairan tujuannya
adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelebihan
volume cairan dapat dikurangi atau tidak terjadi. Adapun kriteria hasilnya adalah
terbebas dari edema, vitalsign dalam keadaan normal, terbebas dari kelelahan,
kecamasan dan kebingungan. Adapun rencana keperawatan yang dapat
dilakukan untuk masalah keperawatan pada Ny. E yaitu

b. monitor vital sign


c. memonitoring input dan output
d. batasi masukan input dan output
e. membantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan pembatasan
cairan
f. berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.

Penulis melakukan implementasi berdasarkan intervensi yang telah


dibuat. Penulis akan memamparkan hasil implementasi pada tanggal 20-22
maret 2020 sesuai dengan intervensi yang dibuat oleh penulis, yaitu monitor
vital sign, memonitoring input dan output, batasi masukan input dan output,
membantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan pembatasan cairan,
berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.

7. Implementasi

72
Tindakan yang dilakukan pada Ny. E di hari kamis tanggal 20 februari
2020 yaitu dimulai pada jam 15.00 WIB monitor vitalsign. Pasien mengatakan
bersedia. TD 180/90 mmHg, RR 21 x/menit, N 107 x/menit, S 36,3 C.
Dilanjutkan pada pukul 15.40 WIB yaitu memonitoring inpput dan autput atau
menghitung balance cairan. Pasien mengatakan minum 4 gelas air putih sehari,
makan habis 4-5 sendok sehari. BAK 200cc, BAB 100cc, balance cairan pasien
1.892 cc. Pada pukul 18.00 melakukan injeksi pantopump 40mg dan injeksi
furosemid 20 mg. Pasien mengatakan nyeri(meringis) saat disuntik. Pasien
terlihat menahan nyeri ketika di injeksi.

Tindakan pada hari jum’at 21 februari 2020 pada Ny. E pukul 06.00 WIB
injeksi pantopump 40mg, injeksi furosemid 20 mg. Pasien mengatakan mau di
suntik. Pasien terlihat menahan nyeri(meringis) ketika diinjeksi. Pukul 06.15
WIB monitor vitalsign. Pasien mengatakan lemas. TD 90/70 mmHg, N 101
x/menit, RR 21 x/menit, S 36oC. Pasien mengatakan bersedia disuntik. Pasien
kooperatif. Pukul 09.00 WIB memberika terapi obat NaCl drip bicnat 10 Tpm.
Pasien mengatakan tangan dan kaki bengkak. Kedua ekstremitas pasien ada
edema. Pukul 10.00 WIB melakukan monitor vitalsign. Pasien mengatakan
bersedia. TD 90/70 mmHg, 99 x/menit, RR 21 x/menit, S 36, 3 C. Pukul 15.00
WIB monitor vitalsign. Pasien mengatakan bersedia ditensi. TD 90/70 mmHg, rr
21 x/menit, N 102 x/menit, S 36,1 C. Pukul 17.10 WIB menghitung balance
cairan. Pasien mengatakan masih bengkak pada tangan dan kaki. Balance cairan
1.642 cc . Pukul 18.00 WIB injeksi pantopump 40mg dan injeksi furosemid
20mg. Pasien mengatakan sakit ketika disuntik obat. Pasien terlihat menahan
nyeri(meringis) ketika diinjeksi.

Tindakan hari sabtu 22 februari 2020 pukul 06.00 WIB injeksi


pantopump 40mg dan injeksi furosemid 20mg. Pasien mengatakan bengkak pada
kaki dan tangan. Pasien kooperatif. Pukul 06.20 WIB monitor vitalsign. Pasien
mengatakan mau disuntik. TD 160/90 mmHg, N 98 x/menit, rr 21 x/menit, S
36,3 C. Pukul 10.00 WIB monitor vitalsign. Pasien mengatakan bersedia. TD
150/90 mmHg, N 98 x/menit, RR 21 x/menit, S 36,3 C. Pukul 14.40 WIB
menghitung balance cairan. Pasien mengatakan masih bengkak pada tangan dan

73
kaki. Edema pada ekstremitas atas dan bawah sudah mulai kempes, balance
cairan pasien 1.092 cc. Pukul 15.00 WIB observasi TTV. Pasien mengatakan
bengkak sudah kempes. TD 160/80 mmHg, N 99 x/menit, RR 21 x/menit, S 36,3
C. Pukul 18.00 WIB injeksi pantopump 40mg dan furosemid 30mg. Pasien
mengatakan bersedia. Pasien kooperatif.

8. Evaluasi

Evaluasi Ny. E pada hari kamis 20 februari 2020 jam 21.00 WIB pada
diagnosa kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin
dan retensi cairan yaitu pasien mengatakan tangan dan kakinya bengkak. Kedua
ekstremitas pasien terdapat edema. Masalah belum teratasi yaitu belum terbebas
dari edema, vitalsign belum dalam batas normal, dan belum terbebas dari
kelemahan. Intervensi dilanjutkan monitor vital sign, memonitoring input dan
output, batasi masukan input dan output, membantu pasien dalam menghadapi
ketidaknyamanan pembatasan cairan, berkolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat.

Pada hari jum’at 21 februari 2020 pukul 21.00 WIB. Pasien mengatakan
bengkak di tangan dan kaki masih bengkak. Edema pada ekstremitas atas dan
bawah masih bengkak. Masalah belum teratasi belum terbebas dari edema,
vitalsign belum dalam batas normal, dan belum terbebas dari kelemahan.
Intervensi dilanjutkan monitor vitalsign, memonitoring input dan output, batasi
masukan input dan output, membantu pasien dalam menghadapi
ketidaknyamanan pembatasan cairan, berkolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat.

Evaluasi pada hari sabtu 22 februari 2020 pukul 21.00. Pasien


mengatakan bengkak pada tangan dan kaki sudah mulai kempes. Edema pada
ekstremitas atas dan bawah pasien sudah mulai kempes pitting edema derajat 1.
Masalah belum teratasi belum terbebas dari edema, vitalsign belum dalam batas
normal, dan belum terbebas dari kelemahan. Intervensi dilanjutkan monitor
vitalsign, memonitoring input dan output, batasi masukan input dan output,

74
membantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan pembatasan cairan,
berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.

75

Anda mungkin juga menyukai