Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat, sehingga peralatan sudah menjadi
kebutuhan pokok pada lapangan pekerjaan, artinya peralatan dan teknologi merupakan salah
satu penunjang yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas untuk berbagai jenis
pekerjaan. Disamping itu,akan terjadi dampak negatifnya bila kita kurang waspada
menghadapi bahaya potensial yang mungkin akan timbul (Pusat Kesehatan Kerja Departemen
Kesehatan RI, 2010).
Hal ini tentunya dapat di cegah dengan adanya antisipasi berbagai risiko, antara lain
kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
dan kecelakaan akibat kerja yang dapat menyebkan kecacataan dan kematian. Antisipasi ini
harus dilakukan oleh semua pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan
lingkungan kerja. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomi (Pusat Kesehatan
Kerja Departemen Kesehatan RI, 2010).
Sikap kerja merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kenyamanan kerja.
Sikap kerja yang tidak sesuai dapat menyebabkan keluhan fisik seperti rasa nyeri pada otot
dan pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas.Dimana keluhan tersebut
sering digambarkan sebagai rasa kesemutan, rasa terbakar, mati rasa, kekakuan, gangguan
tidur dan rasa lemah (Humantech, 1995).Gangguan muskuloskeletal yang muncul dapat
merupakan akibat dari pekerjaan yang dilakukan dan dipengaruhi oleh faktor - faktor resiko
yang terbagi dalam empat kelompok yaitu beban, postur, frekuensi dan durasi pekerjaan
(Bridger,2003).
Gangguan muskuloskeletal dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja itu sendiri
dan bagi pengusaha. Bila kesehatan pekerja terganggu maka pekerja menjadi tidak
produktif sehingga tidak dapat bekerja dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bagi perusahaan akan mengalami kerugian dikarenakan hilangnya waktu kerja dan
menurunnya produktifitas serta kualitas dari karyawan, sehingga proses kerja akan
terhambat dan tidak maksimal, selain itu harus mengeluarkan biaya kompensasi
pengobatan dan kerugian lainnya yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan
timbulnya gangguan muskuloskeletal (CTD).

1
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusa masalah yaitu :
1. Apakah pengertian dari gangguan muskuloskeletal ?
2. Bagaimana epidemiologi gangguan Muskuloskeletal ?
3. Apakah faktor penyebab gangguan muskuloskeletal ?
4. Apakah gejala dan keluhan gangguan muskuloskeletal ?
5. Apa sajakah jenis-jenis gangguan muskuloskeletal ?
6. Bagaimana dampak gangguan musculoskeletal?
7. Bagaimana pengukuran Muskuloskeletal Disorder ?
8. Bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian gangguan muskuloskeletal ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui definisi gangguan muskuloskeletal
2. Untuk mengetahui epidemiologi gangguan Muskuloskeletal.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab gangguan muskuloskeletal.
4. Untuk memahami gejala dan keluhan gangguan muskuloskeletal.
5. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis gangguan muskuloskeletal.
6. Untuk mengetahui dampak gangguan musculoskeletal.
7. Untuk memahami bagaimana pengukuran Muskuloskeletal Disorder.
8. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan pengendalian gangguan muskuloskeletal.
BAB 2
PEMBAHASAN

1.4 Definisi Gangguan Muskuloskeletal


MSDs merupakan sekelompok kondisi patologis dimana dapat mempengaruhi fungsi
normal dari jaringan halus sistem musculoskeletal yang mencakup sistem saraf, tendon, otot
dan struktur penunjang .bagian tubuh yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah
punggung dan bahu.
Menurut National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) dan WHO
MSDs merupakan gangguan yang disebabkan ketika seseorang melakukan aktivitas kerja dan
kondisi pekerjaan yang signifikan sehingga mempengaruhi adanya fungsi normal jaringan
halus pada sistem Muskuloskeletal yang mencakup saraf, tendon, otot. MSDs umumnya
terjadi tidak secara langsung melainkan penumpukan-penumpukan cidera benturan kecil dan
besar yang terakumulasi secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama.Yang
diakibatkan oleh pengangkatan beban saat bekerja, sehingga menimbulkan cidera dimulai
dari rasa sakit, nyeri, pegal-pegal pada anggota tubuh. Musculoskeletal disorders merupakan
suatu istilah yang memperlihatkan bahwa adanya gangguan pada sistem musculoskeletal.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan gangguan muskuloskeletal
(musculoskeletal disorder/MSD) merupakan gangguan pada otot, tendon, sendi, ruas
tulang belakang, saraf perifer, dan sistem vaskuler yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan
akut maupun secara perlahan dan kronis.
Menurut Occupational Health and Safety Council of Ontario (OHSCO) tahun
2007, Keluhan muskuloskeletal adalah serangkaian sakit pada tendon, otot, dan saraf.
Aktifitas dengan tingkat pengulangan tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada otot. Keluhan
musculoskeletal dapat terjadi walaupun gaya yang dikeluarkan ringan dan postur kerja
yang memuaskan.
Keluhan muskuloskeletal atau gangguan otot rangka merupakan kerusakan pada
otot, saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis. Kerusakan
pada otot dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi. Sedangkan
kerusakan pada tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau terpelintir (Merulalia,
2010).
Musculoskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan
oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka
waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen
dan tendon (Rizka, 2012).
Berdasarkan pada definisi yang telah diungkapkan dari beberapa sumber, dapat
disimpulkan bahwa musculoskeletal disorders (MSDs) adalah serangkaian gangguan yang
dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf, persendian yang menimbulkan rasa nyeri dan
ketidaknyamanan akibat dari aktifitas yang berulang-ulang (repetitive) dalam jangka waktu
yang lama.
MSDs terjadi dengan dua cara:
1. Kelelahan dan keletihan terus menerus yang disebabkan oleh frekuensi atau periode
waktu yang lama dari usaha otot, dihubungkan dengan pengulangan atau usaha yang
terus menerus dari bagian tubuh yang sama meliputi posisi tubuh yang statis;
2. Kerusakan tiba-tiba yang disebabkan oleh aktivitas yang sangat kuat/berat atau
pergerakan yang tak terduga.

1.5 Sinonim Gangguan Muskuloskeletal


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Muskuloskeletal Disorder (MSDs)
bukanlah diagnosis klinis, melainkan rasa nyeri karena kumpulan cedera pada system
musculoskeletal ekstremitas atas akibat gerakan kerja biomekanik berulang-ulang. Pada
beberapa Negara, digunakan istilah berbeda-beda untuk menggambarkan kejadian MSDs
tersebut, diantaranya (NIOSH, 1993):
a. Cumulative Trauma Disosders (CTDs)
b. Repetitive Strain Injuries (RSIs)
c. Occupational Overuse Syndrome
d. Neck and Limb Disorders
e. Overuse Syndrome
f. Wear and Tear Disorders
g. Occupational Cervico Bracial Disorders (OCD)

1.6 Epidemiologi Gangguan Muskuloskeletal


World Health Organization (WHO) tahun 2004 memperkirakan prevalensi keluhan
muskuloskeletal pada perawat hampir mencapai 60% dari semua penyakit akibat kerja pada
perawat (Lorusso, 2007).
Menurut data yang diperoleh dari American Nurses Association (ANA) hampir 40%
perawat di Amerika Serikat mengalami keluhan muskuloskeletal. Dari data tersebut 12%
mengundurkan diri sebagai perawat dan 20% pindah ke unit kesehatan lain. Beberapa
diantaranya mengeluh mengalami penurunan kualitas kerja sebagai perawat akibat keluhan
muskuloskeletal (Castro, 2008).
Menurut data Biro Statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika (2001), pada periode
tahun 1996 – 1998 terdapat 4.390.000 kasus penyakit akibat kerja yang dilaporkan, 64 %
diantaranya adalah gangguan yang berhubungan dengan faktor resiko ergonomi. OSHA
(2000) menyatakan sekitar 34 % dari total hari kerja yang hilang karena cedera dan sakit
yang diakibatkan oleh Musculoskeletal Disorders (MSDs) sehingga memerlukan biaya
kompensasi sebesar 15 sampai 20 miliar dolar US.
National Academy of Science (1999) melaporkan lebih 1 juta pekerja kehilangan jam
kerjanya setiap tahun karena MSDs pada punggung dan tangan dan menghabiskan $15 M per
tahun, sedangkan jika dihitung dari biaya tidak langsung seperti berkurangnya produktivitas,
kehilangan pelanggan dan pergantian karyawan, maka total biaya yang dikeluarkan per
tahunnya mencapai $1 triliun atau sekitar 10% dari Gross Domestic Product Amerika (dalam
Melhorn & Wilkinson, 2008).
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008. Laporan lainnya yakni di
Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada perawat (16.8%) dibandingkan
pekerja sektor industri lain. Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah NPB, prevalensi
42% dan di AS, insiden cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun.
Penelitan Bridger, mengutip data dari NIOSH menyebutkan bahwa sekitar 500.000
pekerja menderita cidera akibat penggunaan tenaga yang berlebih, 20% karena mendorong
dan menarik, 60% disebabkan karena aktivitas mengangkat. Aktivitas manual handling yang
paling sering menyebabkan cidera adalah mengangkat (lifting) dan membawa (carrying)
objek yaitu sebesar 61,3%, dan 60% dari jumlah tersebut menderita nyeri punggung.
Riset yang dilakukan badan dunia ILO tentang kecelakaan kerja menunjukkan setiap
hari rata-rata 6.000 orang meninggal berkaitan dengan pekerjaan mereka. Angka ini berarti
setara dengan satu orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang meninggal per tahun akibat sakit
atau kecelakan kerja. Sementara itu anggaran untuk kecelakaan dan penyakit akibat kerja
yang terbanyak yaitu penyakit muskuloskeletal sebanyak 40%, penyakit jantung 16%,
kecelakaan 16%, dan 19% penyakit saluran pernafasan (ILO, 2003).
Diperkirakan setidaknya 70% manusia menderita sakit punggung, baik kronis maupun
sporadis. Di Negara Inggris dan melaporkan 17,3 juta orang Inggris pernah mengalami nyeri
punggung pada suatu waktu dan dari jumlah tersebut 1,1 juta mengalami kelumpuhan akibat
nyeri punggung. Di Indonesia diperkirakan angka prevalensi 7,6% sampai 37%. Masalah
nyeri punggung pada pekerja pada umumnya
dimulai pada usia dewasa muda dengan puncak prevalensi pada kelompok usia 25-60.
Hasil Studi Departemen Kesehatan dalam profil masalah kesehatan di Indonesia tahun
2005 menunjukkan bahwa sekitar 40.5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan
pekerjaannya. Gangguan kesehatan tersebut dijelaskan dalam penelitian oleh Sumiati (2007)
terhadap 9482 pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia ditemukan yang paling banyak
adalah gangguan Musculoskeletal Disorders (16%), selanjutnya penyakit kardiovaskuler
(8%), gangguan pernafasan (3%), dan gangguan THT (1.5%).
Prevalensi penyakit muskuloskeletal di Indonesia berdasarkan pernah didiagnosis oleh
tenaga kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala yaitu 24,7 persen
(Riskesdas, 2013). Prevalensi penyakit musculoskeletal tertinggi berdasarkan pekerjaan
adalah pada petani, nelayan atau buruh yaitu 31,2 persen (Riskesdas, 2013).

1.7 Faktor Penyebab Gangguan Muskuloskeletal


Menurut Peter Vi (2004), faktor penyebab keluhan muskuloskeletal antara lain:
1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja
dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik, menahan beban yang berat. Perawat melakukan
aktivitas yang dikategorikan membutuhkan tenaga yang besar, seperti
mengangkat dan memindahkan pasien serta merapikan tempat tidur (bed
making).Mengangkat dan memindahkan pasien dilakukan 5-20 pasien untuk
setiap tugas bergilir yang khusus. Saat bed making membungkuk dan
mengharuskan untuk melakukan peregangan saat memasang sprai ke tempat tidur.
2. Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus.
Seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkat dan sebagainya. Perawat
memiliki aktivitas yang dilakukan berulang-ulangs seperti mengangkat dan
memindahkan pasien, melakukan bed making dan aktivitas kerja lainnya yang
dilakukan setiap hari secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relative lama.
3. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk dan sebagainya. Perawat adalah
tenaga medis yang 24 jam berada di dekat pasien, kebutuhan dasar pasien harus
diperhatikan oleh seorang perawat. Tingginya aktivitas yang dilakukan perawat,
sehingga perawat tidak memperhatikan posisi tubuh yang baik saat melakukan
tindakan.
Selain itu terdapat factor penyebab sekunder dari keluhan muskuloskeletal yaitu:
a) Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak secara berulang-ulang
dapat menyebabkan nyeri yang menetap.
b) Getaran
Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
c) Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan
kekuatan pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak
disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Perbedaan besar suhu yang besar antara
lingkungan dan suhu tubuh akan mengakibatkan sebagian energi yang ada di
dalam tubuh akan diigunakan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan. Apabila
hal ini tidak diimbangi dengan asupan energi yang cukup, suplai energi di otot akan
menurun, terhambati proses metabolisme karbohidrat dan terjadinya
penimbunan asan laktat yang dapat menyebabkan nyeri otot. Penyebab lain yang
berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal apabila dalam melakukan
tugas perawat di hadapkan pada beberapa factor risiko dalam waktu yang
bersamaan, yaitu:
a) Umur
Keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu pada usia 25-65
tahun. Keluhan biasanya akan mulai dirasakan pada usia 35 tahun dan akan semakin
meningkat semakin bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena pada usia setengah
baya, kekuatan dan ketahanan otot akan meningkat (dryastiti, 2013).
b) Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi ingkat risiko keluhan otot. Hal ini
terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah daripada
pria. Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan lebih menonjol
pada wanita dibandingkan pria (3:1) sehingga daya tahan otot wanita untuk
bekerja lebih rendah dibandingkan pria.
c) Kebiasaan merokok
Semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok, semakin tinggi
pula keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok dapat menurunkan
kapasitas paru-paru sehingga kemampuan untuk mengkosumsi oksigen menurun.
Apabila perawat denga kebiasaan merokok melakukan aktivitas kerja dengan
beban kerja yang tinggi, maka akan sangat mudak mengalami kelelahan otot.
d) Kesegaran jasmani
Keluahan otot jarang terjadi pada perawat yang memiliki waktu istirahat
yang cukup, tetapi perawat memiliki system kerja shift malam yang
memungkinkan tidak mendapat waktu istirahat yang cukup. Tingkat kesegaran
tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot.
e) Kekuatan fisik
Secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang
mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya.
Apabila dengan kekuatan otot yang sama, perawat diberikan beban kerja
yang tinggi, maka cenderung perawat yang memiliki kekuatan yang lebih
rendah akan mengalami cidera otot.
f) Ukuran tubuh (antrometri)
Keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih
disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima
beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan.

1.8 Faktor risiko Gangguan Muskuloskeletal


MSDs dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian
cedera yang terdiri dari:
a) Faktor Pekerjaan
Salah satu faktor yang datang dari luar adalah kondisi lingkungan kerja di sekitar
tempat kerja seperti : temparatur, sirkulasi udara, cahaya, kebisingan dan kelembaban
yang kesemuanya berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia dan
kondisi pekerjaan agar senantiasa memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan
kerja.
1. Peregangan Otot
Peregangan otot yang berlebihan Gangguan Muskuloskeletal merupakan
gangguan yang terjadi pada tubuh manusia akibat dari kegiatan tubuh dilakukan
selama bergerak terlalu menerima beban berat yang dapat menyebabkan kelelahan
otot.Proses kerja secara manual lebih memerlukan penggunaan tenaga otot dan
kekuatan otot ditentukan oleh sifat dari sel otot itu sendiri. Kontraksi otot memerlukan
energi dan menghasilkan zat sisa metabolisme (Cummings. 2003).
2. Gerakan berulang
Tingkat keparahan risiko tergantung pada frekuensi pengulangan, kecepatan
gerakan atau tindakan, jumlah otot yang terlibat dalam kerja, dan gaya yang
dibutuhkan. Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang dilakukan
dalam suatu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan dilakukan secara berulang, maka
dapat disebut sebagai repetitive. Gerakan repetitif dalam pekerjaan, dapat
dikarakteristikan baik sebagai kecepatan pergerakan tubuh, atau dapat di perluas
sebagai gerakan yang dilakukan secara berulang tanpa adanya variasi gerakan.
Bridger (1995) menyatakan bahwa aktivitas berulang, pergerakan yang cepat dan
membawa beban yang berat dapat menstimulasikan saraf reseptor mengalami sakit.
Frekuensi terjadinya sikap tubuh yang salah terkait dengan beberapa kali
terjadi repetitive motion dalam melakukan suatu pekerjaan. Keluhan otot terjadi
karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus menerus tanpa memperolah
kesempatan untuk relaksasi. Dalam Humantech (1995), posisi tangan dan pergelangan
tangan berisiko apabila dilakukan gerakan berulang/frekuensi sebanyak 30 kali dalm
semenit dan sebanyak 2 kali per menit untuk anggota tubuh seperti bahu, leher,
punggung dan kaki. Gerakan lengan dan tangan yang dilakukan secara berulang-ulang
terutama pada saat bekerja mempunyai risiko bahaya yang tinggi terhadap timbulnya
CTDs. Tingkat risiko akan bertambah jika pekerjaan dilakukan dengan tenaga besar,
dalam waktu yang sangat cepat dan waktu pemulihan kurang.
3. Postur kerja
Penyimpangan dari postur kerja yang ideal dari lengan pada sisi siku batang
tubuh, lengan, dengan pergelangan tangan lurus.Postur janggal biasanya termasuk
meraih ke belakang, memutar, dan jongkok.Jika postur yang canggung selama
bekerja, ada peningkatan risiko cidera.Semakin sendi bergerak jauh dari posis netral,
kemungkinan cedera semakin besar.
Postur tubuh adalah posisi relatif dari bagian tubuh tertentu. Bridger (1995)
menyatakan bahwa postur didefinisikan sebagai orientasi rata-rata bagian tubuh
dengan memperhatikan satu sama lain antara bagian tubuh yang lain. Postur dan
pergerakan memegang peranan penting dalam ergonomi. Posisi tubuh yang
menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan dapat
menyebabkan stress mekanik lokal pada otot, ligamen, dan persendian. Hal ini
mengakibatkan cedera pada leher, tulang belakang, bahu, pergelangan tangan, dan
lain-lain. Namun di lain hal, meskipun postur terlihat nyaman dalam bekerja, dapat
berisiko juga jika mereka bekerja dalam jangka waktu yang lama. Pekerjaan yang
dikerjakan dengan duduk dan berdiri, seperti pada pekerja kantoran dapat
mengakibatkan masalah pada punggung, leher dan bahu serta terjadi penumpukan
darah di kaki jika kehilangan kontrol yang tepat.
4. Beban angkut
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Berat
beban yang direkomendasikan adalah 23-25 kg, sedangkan menurut Departemen
Kesehatan (2009) mengangkat beban sebainya tidak melebihi dari aturan yaitu laki-
laki dewasa sebesar 15-20 kg dan wanita (16-18) sebesar 12-15 kg. Beban angkut
adalah ektifitas pekerjaan yang dibebankan kepada tenaga kerja meliputi beban fisik
maupun beban mental. Akibat beban angkut yang terlalu berat atau kemampuan fisik
yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seseorang pekerja menderita gangguan atau
penyakit akibat kerja.
Beban angkut fisiologis dapat didekati dari banyaknya O2 yang digunakan
tubuh, jumlah kalori yang dibutuhkan, nadi kerja/menit, kecepatan penguapan
berkeringat. mengangkat suatu beban yang terlalu berat dapat mengakibatkan Diskus
pada tulang belakang serta dapat menyebabkan kelelahan karena adanya peningkatan
yang disebabkan oleh tekanan pada diskus intervertebralis. Beban dapat diartikan
sebagai muatan (berat) dan kekuatan pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan
dalam newton atau pounds, atau dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari kapasitas
kekuatan individu (NIOSH, 1997). Pekerja yang melakukan aktivitas mengangkat
barang yang berat memiliki kesempatan 8 kali lebih besar untuk mengalami low back
pain dibandingkan pekerja yang bekerja statis. Penelitian lain membuktikan bahwa
hernia diskus lebih sering terjadi pada pekerja yang mengangkat barang berat dengan
postur membungkuk dan berputar.
Dalam berbagai penelitian dibuktikan cedera berhubungan dengan tekanan
pada tulang akibat membawa beban. Semakin berat benda yang dibawa semakin besar
tenaga yang menekan otot untuk menstabilkan tulang belakang dan menghasilkan
tekanan yang lebih besar pada bagian tulang belakang. Pembebanan fisik yang
dibenarkan adalah pembebanan yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja
maksimum tenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan peraturan jam
kerja yang berlaku.semakin berat beban maka semakin singkat pekerjaan.
5. Posisi kerja
Posisi alamiah sehingga tidak menimbulkan sikap paksa yang melampaui
kemampuan fisiologis tubuh (Grandjean &Kroemer, 2000).Sikap tidak alamiah ini
terjadi karena interaksi antara pekerja dan alat kerja yang kurang berimbang atau alat
kerja yang digunakan kurang sesuai dengan antropometri pekerja.Sikap kerja tidak
alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi
alamiahnya.Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula
terjadi keluhan otot skeleta. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena
ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja.
6. Durasi
Durasi adalah lamanya pajanan dari faktor risiko. Durasi selama bekerja akan
berpengaruh terhadap tingkat kelelahan. Kelelahan akan menurunkan kinerja,
kenyamanan dan konsentrasi sehingga dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Durasi
manual handling yang lebih besar dari 45 menit dalam 1 jam kerja adalah buruk dan
melebihi kapasitas fisik pekerja.Selain itu, ada pula yang menyebut durasi manual
handling yang berisiko adalah > 10 detik (Humantech. 1995).Sedangkan dalam
REBA, aktivitas yang berisiko adalah 1 menit jika ada satu atau lebih bagian tubuh
yang statis.
7. Genggaman
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh,
pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan
menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi,
dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka et al, 2004). Menurut
Suma’mur (1989) memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang
dengan hanya beberapa jari yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari
tersebut harus dihindarkan.
b) Faktor Individu
1. Umur
Pertambahan umur pada masing-masing orang menyebabkan adanya
penurunan kemampuan kerja pada jaringan tubuh (otot, tendon, sendi dan ligament).
Penurunan elastisitas tendon dan otot meningkatkan jumlah sel mati sehingga terjadi
adanya penurunan fungsi dan kapabilitas otot, tendon, ligament yang akan
meningkatkan respon setres mekanik sehingga tubuh menjadi rentan terhadap MSDs.
Dengan demikian adanya kecenderungan bahwa risiko MSDs meningkat seiring
bertambahnya umur.
Keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia kerja yaitu 24-65
tahun. Biasanya Keluhan pertama dialami pada usia 30 tahun dan tingkat keluhan
akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Pada usia 30 thn terjadi
degenerasi berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut,
pengurangan cairan. Hal ini menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot berkurang.
Semakin tua seseorang, semakin tinggi resiko orang mengalami penurunan elastisitas
pada tulang yang menjadi pemicu timbulnya gejala keluhan MSDs. menurut
penelitian di kota Bogor menyatakan bahwa keluhan MSDs tertinggi dialami oleh
kelompok dengan usia 35 tahun keatas sebanyak 41 orang dengan persentase sebesar
58,6% dan usia kurang dari 35 tahun terdapat 29 orang mengalami keluhan MSDs
dengan persentase sebesar 41,4%.
2. Kebiasaan merokok
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka. 2004).Perokok lebih memiliki
kemungkinan menderita masalah punggung dari pada bukan perokok. Efeknya adalah
hubungan dosis yang lebih kuat dari pada yang diharapkan dari efek batuk risiko
meningkat sekitar 20% untuk setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant. 1991).
Meningkatnya keluhan otot ada hubungannya dengan lama dan tingkat
kebiasaan merokok. kebiasaan merokok dibagi menjadi 4 kategori yaitu kebiasaan
merokok berat > 20 batang/hari, sedang 10-20 batang/hari, ringan < 10 batang/hari
dan tidak merokok. Meningkatnya keluhan otot ada hubungan dengan lama dan
tingkat kebiasaan merokok seseorang. Risiko meningkatnya kebiasaan merokok pada
seseorang 20% untuk tiap 10 batang rokok per hari. mereka yang berhenti merokok
selama setahun memiliki risiko MSDs. Adanya kebiasaan merokok akan menurunkan
kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen akan
menurun. Jika seseorang dituntut untuk melakukan tugas dengan pengerahan tenaga,
maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen didalam darah rendah dan
pembakaran karbohidrat terhambat, sehingga dalam hal ini terjadi tumpukan asam
laktat dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri otot.
Hasil dari penelitian di kota klaten menunjukkan bahwa kebiasaan merokok
ada hubungannya dengan keluhan MSDs yaitu dengan persentase 19,04% beresiko
tinggi dan 54,76% beresiko sedang. Pekerja yang memiliki kebiasaan merokok lebih
berisiko mengalami keluhan MSDs dibanding dengan pekerja yang tidak memiliki
kebiasaan merokok.
3. Kebiasaan Olahraga
Tingkat kesegaran jasmani yang rendah akan meningkatkan risiko terjadinya
keluhan otot. Kesegaran tubuh terdiri dari 10 komponen, yaitu: kekuatan, daya tahan,
kecepatan, kelincahan, kelenturan, keseimbangan, kekuatan, koordinasi, ketepatan
dan waktu reaksi. Kesepuluh komponen tersebut dapat diperkuat melalui kebiasaan
olahraga. Bagi pekerja dengan kekuatan fisik yang rendah, risiko keluhan menjadi
tiga kali lipat dibandingkan yang memiliki kekuatan fisik tinggi.
4. Lama kerja
Umumnya dalam sehari seseorang bekerja selama 6-8 jam dan sisanya 14-18
jam digunakan untuk beristirahat atau berkumpul dengan keluarga dan berkumpul
dengan masyarakat.Adanya penambahan jam kerja yang dapat menurunkan efisiensi
pekerja, menurunkan produktivitas, timbulnya kelelahan dan dapat mengakibatkan
penyakit dan kecelakaan. Seseorang biasanya bekerja selama 40-50 jam dalam
seminggu.
Menurut Disnaker Lama kerja juga diatur dalam undangundang no 13 tahun
yang menyatakan bahwa jam kerja yang berlaku 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam
1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, 8 jam 1 hari dan 40 jam dalam 1
minggu untuk 5 hari kerja. menurut pasal 77 ayat 2 dalam undang-undang no 13 tahun
2003 menyatakan bahwa jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift
tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu. Lama kerja
mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan dapat meningkatkan resiko
gangguan musculoskeletal disorders terutama untuk jenis pekerjaan dengan
menggunakan kekuatan kerja yang cukup tinggi.
5. Masa kerja
Masa kerja adalah waktu yang dihitung dari pertama kali pekerja masuk kerja
sampai penelitian berlangsung. Penentuan waktu dapat diartikan sebagai pengukuran
kerja untuk mencatat tentang jangka waktu dan perbandingan kerja yaitu mengenai
suatu unsur pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam suatu keadaan. Yang berguna
untuk menganalisa keterangan hingga ditemukan waktu yang diperlukan untuk
pelaksanaan pekerjaan pada tingkat prestasi tertentu.38 secara umum pekerja dengan
masa kerja > 4 tahun memiliki kerentanan untuk munculnya gangguan kesehatan
dibandingkan dengan masa kerja yang < 4 tahun.
Masa kerja merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang
mempunyai risiko terkena MSDs terutama pada pekerja yang menggunakan kekuatan
kerja yang tinggi.Dikarenakan masa kerja mempunyai hubungan dengan keluhan otot.
Semakin lama waktu seseorang untuk bekerja maka seseorang tersebut semakin besar
resiko untuk mengalami MSDs40 Sebuah penelitian di kota Jakarta menyatakan
bahwa kelompok pekerja yang memiliki keluhan MSDs sebanyak 9,4% dengan rata-
rata masa kerja 170,3 bulan (tahun), sedangkan kelompok dengan masa kerja 82 bulan
(7tahun) sebanyak 77,3%. Hal ini menunjukkan bahwa keluhan MSDs berbanding
lurus dengan bertambahnya masa kerja.
6. Status gizi
Berat badan, tinggi badan dan massa tubuh erat kaitannya dengan status gizi
pada seseorang. Gizi kerja adalah gizi yang diterapkan pada karyawan untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis dan tempat kerja dengan adanya tujuan
dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Status gizi pada seorang
pekerja umur 18 tahun keatas ditandai dengan indeks massa tubuh . indeks massa
tubuh dihitung berdasarkan pada berat badan dan tinggi badan.Keterikatan antara
indeks masa tubuh dengan MSDs yaitu semakin gemuk seseorang maka akan
bertambah besar risiko orang tersebut untuk mengalami MSDs. Hal ini disebabkan
karena seseorang dengan kelebihan berat badan akan berusaha untuk menopang berat
badan dari dengan cara mengontraksikan otot punggung. Dan jika ini dilakukan terus
menerus dapat menyebabkan adanya penekanan pada bantalan saraf tulang belakang.
Indeks masa tubuh dapat digunakan sebagai indikator kondisi status gizi pada
pekerja. Dengan menggunakan rumus BB2/TB (berat badan2/tinggi badan),
sedangkan menurut WHO dikategorikan menjadi tiga yaitu kurus ringan (18,5- 25),
gemuk (>25,0-27,0) dan obesitas (>27,0). Kaitan indeks masa tubuh dengan MSDs
adalah semakin gemuk seseorang maka bertambah besar risiko untuk mengalami
MSDs. Hasil penelitian pada tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan Manado
menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan keluhan MSDs.
c) Faktor Lingkungan
1. Getaran
Getaran ini terjadi ketika spesifik bagian dari tubuh atau seluruh tubuh kontak
dengan benda yang bergetar seperti menggunakan Power Hand Tooldan
pengoperasianforklift saat mengangkat beban. Getaran juga dapat menyebabkan
kontraksi otot meningkat yang menyebabkan peredaran darah tidak lancar, sehingga
terjadi peningkatan timbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri.
Vibrasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai gerakan ditimbulkan
tubuh terhadap titik tertentu. Vibrasi yang ditimbulkan oleh mesin biasanya sangat
komplek tapi regular. Vibrasi memiliki 2 parameter yaitu: kecepatan dan intensitas
(Oborne, 1995). Vibrasi dengan frekuensi 4-8 hz (frekuensi natural dari trunk) dapat
menimbulkan efek nyeri, khususnya untuk bagian tubuh dada, bahkan menyebabkan
kesulitan bernafas. Pada frekuensi 10-20 Hz dapat menyebabkan sakit kepala dan
tegangan mata, sedangkan pada frekuensi 4-10Hz akan menimbulkan nyeri pada
abdominal. Komplain akan sakit punggung biasanya terjadi jika terdapat getaran 8-12
Hz.
2. Suhu
Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh mengakibatkan sebagian energi di
dalam tubuh dihabiskan untuk mengadaptasikan suhu tubuh terhadap lingkungan.
Apabila tidak disertai energi yang cukup akan terjadi kekurangan suplai energi ke
otot.
Pajanan pada udara dingin, aliran udara, peralatan sirkulasi udara dan alat-alat
pendingin dapat mengurangi keterampilan tangan dan merusak daya sentuh.
penggunaan otot yang berlebihan untuk memegang alat kerja dapat menurunkan
resiko ergonomi. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh mengakibatkan sebagian
energi di dalam tubuh dihabiskan untuk mengadaptasikan suhu tubuh terhadap
lingkungan. Apabila tidak disertai pasokan energi yang cukup akan terjadi
kekurangan suplai energi ke otot.
Berdasarkan rekomendasi NIOSH (1984) tentang kriteria suhu nyaman, suhu
udara dalam ruang yang dapat diterima adalah berkisar antara 20-24 ºC (untuk musim
dingin) dan 23-26 ºC (untuk musim panas) pada kelembapan 35-65%. Rata-rata
gerakan udara dalam ruang yang ditempati tidak melebihi 0.15 m/det untuk musim
dingin dan 0.25 m/det untuk musim panas. Kecepatan udara di bawah 0.07 m/det akan
memberikan rasa tidak enak di badan dan rasa tidak nyaman. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa pada temperature 27-30 ºC, maka performa kerja dalam
pekerjaan fisik akan menurun.
3. Pencahayaan
Pencahayaan akan mempengaruhi ketelitian dan performa kerja. Bekerja
dalam kondisi cahaya yang buruk, akan membuat tubuh beradaptasi untuk mendekati
cahaya. Jika hal tersebut terjadi dalam waktu yang lama meningkatkan tekanan pada
otot bagian atas tubuh.
Pencahayaan yang inadekuat dapat merusak salah satu fungsi organ tubuh. Hal ini
berkaitan dengan tingkat pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketilitian yang tinggi
atau tidak. Bila pencahayaan yang inadekuat pada ruangan kerja akan menyebabkan
postur leher lebih condong kedepan (fleksi) begitupun dengn postur tubuh, postur
seperti ini dapat menambah risiko MSDs.

d) Faktor Psikososial
Faktor psikososial yaitu kepuasan kerja, stress mental, organisasi kerja (shift kerja,
waktu istirahat, dll) (Dinardi, 1997). Organisasi kerja didefinisikan sebagai distribusi dari
tugas kerja tiap waktu dan diantara para pekerja, durasi dari tugas kerja dan durasi serta
distribusi dari periode istirahat. Durasi kerja dan periode istirahat memiliki pengaruh pada
kelelahan jaringan dan pemulihan. Studi khusus pada pengaruh organisasi kerja pada
gangguan leher telah dilakukan. Ditemukan bahwa kerja VDU yang melebihi empat jam
per hari berhubungan dengan gejala pada leher.
Bernard et al (1997) menyatakan bahwa walaupun banyak penelitian yang
menunjukkan MSDs dipengaruhi oleh faktor psikososial tetapi umumnya memiliki
kekuatan yang lemah. Pernyataan Bernard tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Kerr et al (2001) menunjukkan bahwa faktor psikososial menyebabkan
terjadinya MSDs tetapi memiliki hubungan yang lemah.

1.9 Gejala Gangguan Muskuloskeletal


MSDs ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut yaitu : nyeri, bengkak, kemerah-
merahan, panas, mati rasa retak atau patah pada tulang dan sendi dan kekakuan, rasa lemas
atau kehilangan daya koordinasi tangan, susah untuk digerakkan. MSDs diatas dapat
menurunkan produktivitas kerja, kehilangan waktu kerja, menimbulkan ketidakmampuan
secara temporer atau cacat tetap.Untuk memperoleh gambaran tentang gejala MSDs bisa
menggunakan Nordic Body Map (NBM) dengan cara melihat tingkat keluhan sakit dan tidak
sakit. Dengan melihat dan menganalisa peta tubuh (NBM) sehingga dapat diestimasi tingkat
dan jenis keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh para pekerja.
Gejala keluhan muskuloskeletal dapat menyerang secara cepat maupun lambat
(berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada tiga tahap terjadinya MSDs yang dapat
diidentifikasi yaitu:
Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala inibiasanya
menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh pada
kinerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat;
Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.
Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya
performa kerja;
Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika bergerak
secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan,
kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
Menurut Humantech (1995), gejala MSDs biasanya sering disertai dengan keluhan
yang sifatnya subjektif, sehingga sulit untuk menentukan derajat keparahan penyakit tersebut.
MSDs ditandai dengan beberapa gejala yaitu sakit, nyeri, rasa tidak nyaman, mati rasa, rasa
lemas atau kehilangan daya dan koordinasi tangan, rasa panas, agak sukar bergerak, rasa kaku
dan retak pada sendi, kemerahan, bengkak, panas, dan rasa sakit yang membuat terjaga
ditengah malam dan rasa untuk memijit tangan, pergelangan dan lengan.
Menurut Suma’mur (1996), gejala-gejala MSDs yang biasa dirasakan oleh seseorang
adalah:
1. Leher dan punggung terasa kaku
2. Bahu tersa nyeri, kaku ataupun kehilangan fleksibelitas
3. Tangan dan kaki terasa nyeri seperti tertusuk
4. Siku ataupun mata kaki mengalami sakit, bengkak dan kaku
5. Tangan dan pergelangan tangan merasakan gejala sakit atau nyeri disertai bengkak.
6. Mati rasa, terasa dingin, rasa terbakar ataupun tidak kuat.
7. Jari menjadi kehilangan mobitasnya, kaku dan kehilangan kekuatan serta kehilangan
kepekaan.
8. Kaki dan tumit merasakan kesemutan, dingin, kaku ataupun sensasi rasa panas.
1.10 Keluhan Gangguan Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang
dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot
menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan
keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament, dan tendon. Keluhan hingga kerusakan
inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan MSDs atau cedera pada system
musculoskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila
pembebanan dihentikan.
b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan oto yang bersifat menetap. Walaupun
pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
Selain itu, menurut Humantech, keluhan yang menggambarkan keparahan penyakit
MSDs terbagi menjadi:
a. Tahap 1
Nyeri dan kelelahan pada saat bekerja tetapi setelah beristirahat yang cukup
tubuh akan pulih kembali. Tidak mengganggu kapasitas kerja.
b. Tahap 2
Keluhan rasa nyeri tetap ada setelah waktu semalam, istirahat, timbul
gangguan tidur, dan sedikit mengurangi performa kerja.
c. Tahap 3
Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat, nyeri dirasakan saat bekerja, saat
melakukan gerakan yang repetitive, tidur terganggu, dan kesulitan dalam menjalankan
pekerjaan yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya inkapasitas.
1.11 Jenis-jenis Gangguan Muskuloskeletal
Adanya gangguan muskuloskeletal yang diakibatkan oleh cidera pada saat bekerja
yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan cara bekerja. Sehingga menyebabkan kerusakan
pada otot, syaraf, tendon, persendian.Sedangkan arti gangguan musculoskeletal sendiri adalah
penyakit yang menimbulkan rasa nyeri berkepanjangan. Gangguan musculoskeletal yang
berhubungan dengan pekerjaan dapat terjadi bilamana ada ketidak cocokan antara kebutuhan
fisik kerja dan kemampuan fisik tubuh manusia.
Jenis-jenis keluhan Keluhan muskuloskeletal antara lain:
a. Sakit Leher : Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang
mengenai leher, peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau kaku
leher.
b. Nyeri Punggung : Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk
gejala nyeri punggung yang spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis, ataupun
spasme otot.
c. Carpal Tunnel Syndrome : Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan
pergelangan tangan yang diakibatkan iritasi dan nervus medianus. Keadaan ini
disebabkan oleh aktivitas berulang yang menyebabkan penekanan pada nervus
medianus.
d. Thoracic Outlet Syndrome : Merupakan keadaan yang mempengaruhi bahu,
lengan, dan tangan yang ditandai dengan nyeri, kelemahan, dan mati rasa pada
daerah tersebut. Terjadi jika lima saraf utama dan dua arteri yang meninggalkan
leher tertekan.
Thoracic outlet syndrome disebabkan oleh gerakan berulang dengan lengan
diatas atau maju kedepan.
e. Tennis Elbow : Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon ekstensor,
tendon yang berasal dari siku lengan bawah dan berjalan keluar ke pergelangan
tangan. Tennis elbow disebabkan oleh gerakan berulang dan tekanan pada tendon
ekstensor.
f. Low Back Pain : Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada daerah
lumbal yaitu L4 dan L5. Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan posisi tubuh
membungkuk ke depan maka akan terjadi penekanan pada discus.Hal ini
berhubungan dengan posisi duduk yang janggal, kursi yang tidak ergonomis,
dan peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan antopometri pekerja.

Gangguan Kesehatan Pada Muculoskeletal Tiap Bagian Tubuh


1) Cidera Pada Tangan
Cidera pada bagian tangan, pergelangan tangan dan siku bisa disebabkan dari
pekerjaan tangan yang intensif sehingga memungkinkan terjadinya postur janggal pada
tangan dengan durasi yang lama, pergerakan yang berulang/repetitif, dan tekanan dari
peralatan/ material kerja. Sembilan belas studi menyatakan bahwa pekerjaan repetitive
berpengaruh pada cidera pada tangan dan pergelangan tangan misalnya CTS. Penelitian dari
Chiang (1993) pada tiga grup pekerjaan menyimpulkan bahwa prevalensi CTS ditemukan
sebbesar 14,5% sebagai gejala awal dari pergerakan repetitive yang dilakukan pekerja.
a. Tendinitis
Merupakan peradangan pada tendon, adanya struktur ikatan yang melekat
pada masing-masing bagian ujung dari otot ke tulang. Keadaan tersebut akan semakin
berkembang ketika tendon terus menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang
tidak biasa seperti tekanan yang kuat pada tangan, membengkokkan pergelangan
tangan selama bekerja, atau menggerakkan pergelangan tangan secara berulang. Jika
ketegangan otot tangan ini terus berlangsung, akan menyebabkan tendinitis. Gejala
yang dirasakan antara lain Pegal, sakit pada bagian tertentu khususnya ketika bergerak
aktif seperti pada siku dan lutut yang disertai dengan pembengkakan. Kemerah-
merahan, terasa terbakar, sakit dan membengkak ketika bagian tubuh tersebut
beristirahat. Pekerjaan yang berpotensi antatra lain adalah Industri perakitan
automobile, pengemasan makanan, juru tulis, sales, manufaktur.
b. Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
CTS dapat menyebabkan sulitnya seseorang menggenggam sesuatu pada
tangannya. CTS merupakan Gangguan tekanan/ pemampatan pada syaraf yang
mempengaruhi syaraf tengah, salah satu dari tiga syaraf yang menyuplai tangan
dengan kemampuan sensorik dan motorik. CTS pada pergelangan tangan merupakan
terowongan yang terbentuk oleh carpal tulang pada tiga sisi dan ligamen yang
melintanginya. Gejalanya antara lain Gatal dan mati rasa pada jari khususnya di
malam hari, sakit seperti terbakar, mati rasa yang menyakitkan, sensasi bengkak yang
tidak terlihat, melemahnya sensasi genggaman karena hilangnya fungsi syaraf
sensorik. Faktor risiko yang dapat menyebabkan CTS Manual handling, postur,
getaran, repetisi, force/ gaya yang membutuhkan peregangan, frekuensi, durasi, suhu.
Pekerjaaan yang berpotensi adalah pekerjaan Mengetik dan proses pemasukan data,
kegiatan manufaktur, perakitan, penjahit dan pengepakan/ pembungkusan.
c. Trigger finger
Tekanan yang berulang pada jari-jari (pada saat menggunakan alat kerja yang
memiliki pelatuk) dimana menekan tendon secara terus menerus hingga ke jari-jari
dan mengakibtakan rasa sakit dan tidak nyaman pada bagian jari-jari.
d. Epicondylitis
Merupakan rasa nyeri atau sakit pada bagian siku. Rasa sakit ini berhubungan
dengan perputaran ekstrim pada lengan bawah dan pembengkokan pada pergelangan
tangan. Kondisi ini juga biasa disebut tennis elbow atau golfer’s elbbow.
e. Hand-Arm Vibration Syndrome (HAVS).
Gangguan pada pembuluh darah dan syaraf pada jari yang disebabkan oleh
getaran alat atau bagian / permukaan benda yang bergetar dan menyebar langsung ke
tangan. Dikenal juga sebagai getaran yang menyebabkan white finger, traumatic
vasospastic diseases atau fenomena Raynaud’s kedua. Gejala dari HAVS adalah Mati
rasa, gatal-gatal, dan putih pucat pada jari, lebih lanjut dapat menyebabkan
berkurangnya sensitivitas terhadap panas dan dingin. Gejala biasanya muncul dalam
keadaan dingin. Faktor yang berisiko menyebabkan HAVS diantaranya adalah
Getaran, durasi, frekuensi, intensitas getaran, suhu dingin. Pekerjaan yang birisiko
adalah Pekerjaan konstruksi, petani atau pekerja lapangang, perusahaan automobil
dan supir truk, penjahit, pengebor, pekerjaan memalu, gerinda, penyangga, atau
penggosok lantai.

2) Cidera Pada Bahu dan Leher


Pekerjaan dengan melibatkan bahu memiliki kemungkinan yang besar dalam
penyebabkan cidera pada bagian tubuh tersebut. Beberapa postur bahu seperti merentang
lebih dari 45° atau mengangkat bahu ke atas melebihi tinggi kepala. Durasi yang lama dan
gerakan yang berulang juga mempengaruhi kesakitan pada bahu. Terdapat hubungan yang
positif antara pekerjaan repetitif dan MSDs pada bahu dan leher, studi lainnya menyatakan
bahwa kejadian cidera bahu juga disebabkan karena eksposur dengan postur janggal dan
beban yang diangkat.
a. Bursitis.
Peradangan (pembengkakan) atau iritasi yang terjadi pada jaringan ikat yang
berada pada sekitar persendian. Penyakit ini akibat posisi bahu yang janggal seperti
mengangkat bahu di atas kepala dan bekerja dalam waktu yang
lama.
b. Tension Neck Syndrome.
Gejala ini terjadi pada leher yang mengalami ketegangan pada otot-ototnya
disebabkan postur leher menengadah ke atas dalam waktu yang lama. Sindroma ini
mengakibatkan kekakuan pada otot leher, kejang otot, dan rasa sakit yang menyebar
ke bagian leher.

3) Cidera Pada Punggung dan Lutut


Di beberapa jenis pekerjaan, dibutuhkan pekerjaan lantai atau mengangkat beban
yang menyebabkan postur punggung tidak netral. Posisi berlutut, membungkuk, atau jongkok
bisa menyebabkan sakit pada punggung bagian bawah atau pada lutut, jika dilakukan dalam
waktu yang lama dan kontinyu mengakibatkan masalah yang serius pada otot dan sendi
(NIOSH, 2007). Menurut Ablett (2001) dalam Santoso (2004), terdapat 80% orang dewasa
mengalami nyeri pada bagian tubuh belakang (back pain) karena berbagai sebab dan kejadian
back pain ini mengakibatkan 40% orang tidak masuk kerja.
a. Low Back Pain.
Kondisi patologis yang mempengaruhi tulang, tendon, syaraf, ligamen, intervertebral
disc dari lumbar spine (tulang belakang). Cidera pada punggung dikarenakan otot-otot
tulang belakang mengalami peregangan jika postur punggung membungkuk. Diskus
(discs) mengalami tekanan yang kuat dan menekan juga bagian dari tulang belakang
termasuk syaraf. Apabila postur membungkuk ini berlangsung terus menerus, maka
diskus akan melemah yang pada akhirnya menyebabkan putusnya diskus (disc rupture)
atau biasa disebut herniation. Gejala yang dirasakan adalah Sakit di bagian tertentu yang
dapat mengurangi tingkat pergerakan tulang belakang yang ditandai oleh kejang otot.
Sakit daritingkat menengah sampai yang parah dan menjalar sampai ke kaki. Sulit
berjalan normal dan pergerakan tulang belakang menjadi berkurang. Sakit ketika
mengendarai mobil, batuk atau mengganti posisi.
Faktor risiko yang dapat menimbulkan LBP adalah Pekerjaan manual yang berat,
postur janggal, force/ gaya,beban objek,getaran, repetisi, dan ketidakpuasan terhadap
pekerjaan. Pekerjaan yang berisiko antara lain Pekerja lapangan atau bukan lapangan,
pelayan, operator,tekhnisian dan manajernya, profesional, sales, pekerjaan yang
berhubungan dengan tulis-menulis dan pengetikan, supir truk, pekerjaan manual
handling, penjahit dan perawat.
b. Penyakit musculoskeletal
Yang terdapat di bagian lutut berkaitan dengan tekanan pada cairan di antara tulang
dan tendon. Tekanan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan cairan tersebut
(bursa) tertekan, membengkak, kaku, dan meradang atau biasa disebut bursitis. Tekanan
dari luar ini juga menyebabkan tendon pada lutut meradang yang akhirnya menyebabkan
sakit (tendinitis).

1.12 Dampak Gangguan Muskuloskeletal


Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek ekonomi perusahaan yaitu.
a. Pada askpek produksi yang berkurangnya output, kerusakan material, prodk yang
akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline atau target produksi, pelayanan
yang tidak memuasakan, dan lain-lain.
b. Biaya yang timbul akibat absensi perkerja yang akan menyebabkan penurunan
keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang menggantikan pekerjaan yang
sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi.
c. Biasa pergantian pekerjaan (turnover) untuk recruitment dan pelatihan.
d. Biaya asuransi.
e. Biaya lainnya (opportunity cost).
Sementara itu, menurut Bird MSDs dapat menjadi suatu permasalahan penting
karena dapat :
a. Waktu kerja yang hilang karena sakit umumnya disebabkan penyakit otot rangka.
b. Menurunkan produktivitas kerja.
c. MSDs terutama yang berhubungan dengan punggung merupakan masalah penyakit
akibat kerja yang penanganannya membutuhkan biaya yang tinggi.
d. Penyakit MSDs bersifat multikausal sehingga sulit untuk menentukan proporsi yang
semata-mata akibat hubungan kerja.
e. Penurunan kewaspadaan.
f. Meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan.

1.13 Pengukuran Muskuloskeletal Disorders (Nordic Body Map)


Pengukuran muskuloskeletal disorders (Rizka, 2012): melalui NBM dapat diketahui
bagian-bagian otot yang mengalami keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit)
sampai sangat sakit.
Nordic Body Map merupakan salah satu metode pengukuran subyektif untuk
mengukur rasa sakit otot para pekerja. Kuesioner Nordic Body Map merupakan salah satu
bentuk kuisioner checklist ergonomi. Kuisioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang
paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena sudah
terstandarisasi dan tersusun rapi.
Pengisian kuisioner Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui bagian tubuh
dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan pada stasiun kerja.
Survei ini menggunakan banyak pilihan jawaban yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian
umum dan terperinci. Bagian umum menggunakan bagian tubuh yaitu yang dilihat dari
bagian depan dan belakang. Responden yang mengisi kuisioner diminta untuk memberikan
tanda ada tidaknya gangguan pada bagian area tubuh tersebut.
Nordic Body Map memiliki 28 pertanyaan tentang tingkat keluhan muskuloskeletal
dari leher hingga ujung kaki. Masing-masing sisi tubuh kiri dan kanan memiliki pertanyaan
yang berbeda, sehingga seluruh tubuh yang nyeri akan dinilai dengan cermat. Pada NBM
terdapat empat rentang skor yaitu skor satu untuk tidak sakit, skor dua untuk agak sakit, skor
tiga untuk sakit dan skor empat untuk sangat sakit. Setelah kuesioner diisi, skor dari masing-
masing pertanyaan akan diakumulasi untuk mengetahui tingkatan keluhan musculoskeletal
yang diderita.
1.14 Metode Penilaian Keluhan Sistem Muskuloskeletal
Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi ergonomi
untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan resiko keluhan otot skeletal.
Pengukuran terhadap tekanan fisik ini cukup sulit karena melibatkan berbagai faktor subjektif
seperti; kinerja, motivasi, harapan dan toleransi kelelahan (Waters & Anderson, 1996). Alat
ukur ergonomik yang dapat digunakan cukup banyak dan bervariasi. Namun demikian, dari
berbagai alat ukur dan berbagai metode yang ada tentunya mempunyai kelebihan dan
keterbatasan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat secara selektif memilih dan
menggunakan metode secara tepat sesuai dengan tujuan observasi yang akan dilakukan.
Beberapa metode observasi postur tubuh yang berkaitan dengan resiko gangguan pada sistem
muskuloskeletal (seperti metode ‘OWAS’,’RULA’ dan ‘REBA’) dan penilaian subjektif
terhadap tingkat keparahan terhadap sistem muskuloskeletal dengan metode ‘Nordic Body
Map’ serta ‘checklist’ sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi
bahaya pada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan resiko MSD’s.
1. Metode OWAS (Ovako Working Analysis System)
Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai, postur
tubuh pada saat bekerja seperti halnya metode RULA dan REBA. Metode ini pertama
kali diperkenalkan oleh seorang penulis dari Osmo Karhu Finlandia, tahun 1997
dengan judul “Correcting Working postures in industry: A practical method for
analysis.” Yang diterbitkan didalam jurnal “Applied Ergonomics”. Metode ini
awalnya ditujukan untuk mempelajari suatu pekerjaan di industri baja di Finlandia,
dimana akhirnya pasa ergonomists, dan penulis dapat menarik suatu kesimpulan yang
valid dan memperkenalkan metode ini secara luas dan menamainya dengan metode
“OWAS”. Metode OWAS ini seperti dijelaskan oleh penulisnya adalah merupaka
sebuah metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisis suatu
pembebanan pada postur tubuh. Penerapan pada metode ini dapat memberikan suatu
hasil yang baik, yang dapat meningkatkan kenyamanan kerja, sebagai peningkatan
kualitas produksi, setelah dilakukannya perbaikan sikap kerja. Sampai saat ini,
metode ini telah diterapkan secara luas diberbagai sektor industri.
Aplikasi metode OWAS didasarkan pada hasil penga,matan dari berbagai posisi
yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaanny, dan digunakan untuk
mengidentifikasi sampai dengan 252 posisi yang berbeda, sebagai hasil dari
kemungkinan kombinasi postur tubuh bagian belakang (4 posisi), lengan (3 posisi),
kaki (7 posisi), dan pembebanan (3 interval).

2. Metode RULA (The Rapid Upper Limb Assessment)


Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Lynn McAtamney dan Nigel
Corlett, E. (1993), seorang ahli ergonomic dari Nottingham’s Institute of
Occupational Ergonomics England. Metode ini prinsip dasarnya hampir sama dengan
metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) maupun metode OWAS (Ovako
Postur Analysis System). Metode RULA merupakan suatu metode dengan
menggunakan target postur tubuh untuk mengestimasi terjadinya resiko gangguan otot
skeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorders), seperti
adanya gerakan repetitif, pekerjaan diperlukan pengerahan kekuatan, aktivitas otot
statis pada otot skeletal, dll. Penilaiannya sistematis dan cepat terhadap resiko
terjadinya gangguan dengan menunjuk bagian anggota tubuh pekerja yang mengalami
gangguan tersebut. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah intervensi, untuk
menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan akan dapat menurunkan resiko cedera.
Di dalam aplikasi, metode RULA dapat digunakan untuk menentukan prioritas
pekerjaan berdasarkan faktor risiko cedera dan mencari tindakan yang paling efektif
untuk pekerjaan yang memiliki resiko relatif tinggi. Di samping itu metode RULA
merupakan alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa
jauh resiko pekerja yang terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera, yaitu postur
tubuh, kontraksi otot statis, gerakan repetitif dan pengerahan tenaga dan pembebanan.

1.15 Upaya pencegahan Gangguan Muskuloskeletal


Diperlukan suatu upaya pencegahan untuk meminimalisasi timbulnya MSDs pada
lingkungan kerja.upaya pencegahan tersebut dapat mempunyai manfaat berupa penghematan
biaya, meningkatkan produktivitas serta kualitas kerja dan meningkatkan kesehatan para
karyawan.
Berikut upaya yang bisa dilakukan oleh para pekerja untuk mengurangi risiko
terjadinya kecelakaan kerja yaitu:
1. Peregangan otot sebelum melakukan pekerjaan pada setiap harinya.
2. Posisi sedikit berlutut saat mengambil barang jangan membungkuk.
3. Mencodongkan punggung saat mengangkat beban.
1.16 Pengendalian Gangguan Muskuloskeletal/ Muskuloskeletal Disorders
Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health  Administration
(OSHA) dalam Tarwakal , et al (2004), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber
penyakit adalah memalui dua cara yaitu Rekayasa Teknik ( desain stasiun dan alat kerja) dan Rekayasa
Menejemen ( kriteria dan organisasi kerja).

a. Rekayasa Teknik Rekayasa Teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alteralitf, meliputi (et al Tarwaka, 2004) :
 Eliminasi,yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang
dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerja yang mengharuskan untuk
menggunakan peralatan yang ada;
 Substitusi, yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan baru yang
aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan
peralatan;
 Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja;
 Ventilasi, menamah ventilasi untk mengurangi risiko sakit
 
b. Rekayasa Menejemen Rekayasa Menejemen dapat dilakukan melalui tindakan berikut :
 Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga
diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya pencegahan
terhadap risiko sakit akibat kerja;
 Pengaruh waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan dengan
kondisi lingkungan kerja dan karakterisktik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan
yang berlebihan terhadap sumber bahaya;
 Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini
terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja.

Agar tidak mengalami risiko MSDs pada saat melakukan pekerjaan, maka ada
beberapa hal yang harus dihindari. Hal tersebut adalah :
 Jangan memutar atau membungkukkan badan ke samping.
 Jangan menggerakkan, mendorong atau menarik secara sembarangan, karena
dapat meningkatkan risiko cidera.
 Jangan ragu meminta tolong pada orang.
 Apabila jangkauan tidak cukup, jangan memindahkan barang.
 Apabila barang yang hendak dipindahkan terlalu berat, janganme lanjutkan.
 Lakukan senam/peregangan otot sebelum bekerja.
BAB 3
PENUTUP

1.17 Kesimpulan
World Health Organization (WHO) mendefinisikan gangguan muskuloskeletal
(musculoskeletal disorder/MSD) merupakan gangguan pada otot, tendon, sendi, ruas
tulang belakang, saraf perifer, dan sistem vaskuler yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan
akut maupun secara perlahan dan kronis. Faktor risiko gangguam muskuloskeletal adalah
faktor pekerjaan, faktor individu, faktor lingkungan dan faktor psikosoasial.
Prevalensi penyakit muskuloskeletal di Indonesia berdasarkan pernah didiagnosis oleh
tenaga kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala yaitu 24,7 persen
(Riskesdas, 2013). Prevalensi penyakit musculoskeletal tertinggi berdasarkan pekerjaan
adalah pada petani, nelayan atau buruh yaitu 31,2 persen (Riskesdas, 2013).
Berikut upaya yang bisa dilakukan oleh para pekerja untuk mengurangi risiko
terjadinya kecelakaan kerja yaitu:
1. Peregangan otot sebelum melakukan pekerjaan pada setiap harinya.
2. Posisi sedikit berlutut saat mengambil barang jangan membungkuk.
3. Mencodongkan punggung saat mengangkat beban.
Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health  Administration
(OSHA) dalam Tarwakal , et al (2004), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber
penyakit adalah memalui dua cara yaitu Rekayasa Teknik ( desain stasiun dan alat kerja) dan Rekayasa
Menejemen ( kriteria dan organisasi kerja).

1.18 Saran
Penulis menyarankan kepada perusahaan atau tempat kerja untuk selalu menerapkan
prinsip ergonomis untuk mencegah gangguan muskuloskeletal. Kemudian menyarankan
dalam melakukan kajian terhadap metode penilaian gangguan muskuloskeletal harus lebih
rinci lagi, agar penanganan yang dilakukan untuk gangguan muskuloskeletal dapat teratasi
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Harrianto, Ridwan. 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Amalia, Mumtaza. 2014. Gangguan Muskoloskeletal. http:/ /mumtazamalia.


blogspot.co.id/2014/04 gangguan-muskuloskeletal.html (Diakses pada tanggal 26 April
2016, pukul 16.37 WIB).

Martina, Lia. 2013. Musculoskeletal Disorders (MSDs) http:// fairytoot.blogspot.co.


id/2013/12/musculoskeletal-disorders-definisi-msds_7865.html (Diakses pada tanggal
27 April 2016, pukul 16.40 WIB).

Asamara, Jullyansyah Saputra. 2013. Sistem Muskuloskeletal. http://


julyyansyahsaputra.blogspot.co.id/2013/11/sistem-muskuloskeletal.html (Diakses pada
tanggal 27 April 2016, pukul 16.45 WIB).
ANALISIS JURNAL 1

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS FISIK DENGAN KELUHAN


MUSKULOSKELETAL PADA PEKERJA BENGKEL
DI CV. KOMBOS KOTA MANADO TAHUN 2013

1. Latar Belakang
Kegiatan di bengkel CV. Kombos terbagi dalam lima bagian yang terdiri dari bongkar
pasang , las ketok, pendempulan, service rutin dan painting/pengecetan pekerjaan ini
dilakukan oleh teknisi yang ahli di bidangnnya masing – masing pekerjaan tersebut
melibatkan aktivitas fisik manual material handling seperti mengangkat, menahan, dan
memindahkan barang. Berdasarkan hasil survey dan wawancara pada supervisor bengkel
bahwa pernah terjadi kecelakaan kerja seperti terpeleset saat membawa barang, jatuhnya
mesin yang diangkat dengan katrol yang saat itu dapat menimpa pekerja di area bongkar
pasang, tersetrum, dan yang fatal pernah terjadi adalah saat menggerinda body mobil alat
yang digunakan / mata gerinda pecah yang mengakibatkan luka robek terkena pecahan
alat mata gerinda dan pekerja dilarikan ke rumah sakit. Selain itu juga dari hasil
pengamatan langsung bahwa sikap ataupun postur pada saat bekerja yang menjauhi posisi
alamiah.
2. Metode
Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November 2013. Metode penelitian
yang digunakan analitik dengan desain cross sectional (potong lintang). Sampel yang
diambil seluruh pekerja bengkel yang bekerja di bengkel CV. Kombos Manado yang
berjumlah 51 orang.
3. Hasil

- Responden dengan masa kerja 1 – 10 tahun yaitu (58,82%) dibandingkan dengan


responden yang memiliki masa kerja 11 - 23 tahun (41,18%).
- Bagian tubuh yang paling banyak dikeluhkan oleh pekerja bengkel yaitu; leher bawah
sebanyak 42 responden (82,35%), pinggang 41 responden (80,39%), leher atas 40
responden (78,43%), punggung 35 responden (68,63%), bahu kiri dan bahu kanan
masing-masing 34 responden (66,67%).
- Berdasarkan tingkat keluhan bahwa 34 responden (66,67%) merasakan keluhan
muskuloskeletal rendah, sedangkan 13 responden (25,49%) merasakan keluhan
muskuloskeletal sedang dan sebanyak 4 responden (7,84) merasakan keluhan
muskuloskeletal tinggi.
- Hasil nilai statistic aktivitas fisik dengan keluhan musculoskeletal didapat p value=
0,749 (p value> 0,05), yang berarti tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik
dengan keluhan musculoskeletal.
4. Kesimpulan
Tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan keluhan muskuloskeletal pada
pekerja bengkel di CV. Kombos Manado yang berarti aktivitas fisik tidak berpengaruh
terhadap keluhan muskuloskeletal pada oleh pekerja bengkel di CV. Kombos Manado
ANALISIS JURNAL 2

HUBUNGAN TINGKAT RISIKO ERGONOMI DAN MASA KERJA DENGAN


KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PEKERJA
PEMECAH BATU

1. Latar Belakang
Desa Leyangan merupakan salah satu sentral pemecahan batu di Kecamatan
Ungaran, Semarang. Di desa ini terdapat 4 Depo pemecahan batu namun hanya 3 Depo
yang masih beroperasi saat ini. Pemecahan Batu di Desa Leyangan merupakan pekerjaan
informal yang menjadi salah satu mata pencaharian penduduk. Dalam melakukan
pekerjaannya, pekerja telah melakukan pembagian tugas dimana terdapat pekerja sebagai
pemecah batu besar, pekerja angkat-angkut dan pekerja pemecah batu kecil. pemecahan
batu dilakukan dengan membungkukkan badan dan pemecahan batu menggunakan palu
dilakukan secara berulang-ulang.
Berdasarkan wawancara saat survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada 10 orang
pemecah batu di Desa Leyangan, 100% pekerja pemecah batu mengeluhkan adanya
keluhan nyeri di daerah lengan atas, leher, bahu dan pinggang setelah pemecahan batu.
Keluhan paling sering dirasakan pada daerah pinggang. Keluhan ini terasa hingga pekerja
kembali ke rumah.

2. Metode
Desain studi yang digunakan cross sectional dengan subjek penelitian para pemecah
batu di desa Leyangan yang berjenis kelamin laki-laki dan jumlah subyek penelitian
adalah sebanyak 30 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Metode yang
digunakan untuk mengukur tingkat risiko ergonomi adalah metode REBA (Rapid Entire
Body Assesment) sedangkan untuk mengukur keluhan muskuloskeletalnya digunakan
metode Nordic Body Map.
3. Hasil
- Sebanyak 16 orang (53,3%) melakukan pekerjaan dengan tingkat risiko rendah.
Sedangkan responden yang melakukan pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi
sebanyak 14 orang (46,7%).
- Masa kerja pada pekerja pemecah batu yang ≥5 tahun sebanyak 21 orang (70%).
Sedangkan responden yang bekerja selama <5 tahun sebanyak 9 orang (30%).
- Mayoritas umur pekerja pemecah batu adalah ≥30 tahun dengan jumlah responden
sebanyak 21 orang (70%). Sedangkan responden yang berumur <30 tahun sebanyak 9
orang (30%).
- Sebanyak 18 orang (60%) responden merasakan keluhan muskuloskeletal pada
seluruh tubuh dengan tingkat risiko rendah dan sebanyak 12 orang (40%) responden
merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat risiko tinggi, dan sebanyak 23
orang (76,7%) responden merasakan keluhan muskuloskeletal pada punggung bawah.
- Dari hasil statistik tidak ada hubungan antara tingkat risiko ergonomi dengan keluhan
muskuloskeletal dengan p > 0.05 (pvalue=0,073).
- Dari hasil statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan
keluhan muskuloskeletal p < 0.05 (p-value = 0,049).
4. Kesimpulan
Tidak ada hubungan antara tingkat risiko ergonomi dengan keluhan muskuloskeletal
tetapi terdapat hubungan antara masa kerja dengan keluhan muskuloskeletal.

Anda mungkin juga menyukai