PENDAHULUAN
Kerusakan sumber daya air selain banjir dan erosi adalah kekeringan
dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan
sumber daya tanah dan air merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan. Hal
ini karena sebagai sumber daya alam,tanah mempunyai peranan yang sangat
penting. Sebagai sumber unsur bagi tumbuhan dan sebagai media akar tumbuhan
berjangkar dan tempat air tanah tersimpan. Erosi yang terjadi secara terus menerus
dapat mengakibatkan sedimentasi. Sedimentasi adalah terbawanya material hasil
dari pengikisan dan pelapukan oleh Air, angin atau gletser ke suatu wilayah yang
kemudian diendapkan.
a. Erosi
b. Pestisida
c. Bahan radioaktif
d. Pupuk kimia
e. Deterjen
f. Sampah organik (terutama dari daerah perkotaan)
g. Wabah dan penyakit (baik bagi manusia, hewan maupun tumbuhan) dan
penyebaran organisme yang menyebabkan infeksi
h. Limbah industri anorganik (berbentuk gas, cair dan padat)
i. Semakin menurunnya tingkat kesuburan tanah/ lahan untuk budidaya
pertanian karena siklus pemanfaatan lahan yang terlalu intensif tanpa
upaya penyuburan kembali (refertilization)
j. Semakin banyaknya areal semak-semak belukar dan tanah gundul bekas
penebangan hutan ilegal dan peladangan bakar yang tidak dihijaukan
kembali
k. Semakin banyaknya lubang-lubang bekas galian mineral tambang/ bekas
galian tanah untuk pembuatan bata dan genting yang dibiarkan tanpa
upaya reklamasi.
1. Erosi Tanah
Erosi tanah di Indonesia, yang telah berlangsung sejak awal abad
ke-XX dan masih berlanjut hingga saat ini, jelas menimbulkan dampak
negatif pada produktivitas pertanian khususnya dan kehidupan masyarakat
pada umumnya. Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan, di P. Jawa
saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US $ 341-406 juta/tahun
(Margrath dan Arens, 1989). Laju erosi tanah pada lahan pertanian
berlereng 3-15 %, berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Beberapa data
dapat dikemukakan, sebagai berikut :
a. Pada semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo, 1981).
b. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi 15 Ultisols di Citayam, Jawa Barat,
yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan mm/tahun, dan di
Punung, Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun; keduanya pada Alfisols
berlereng 9-10 %, ditanami tanaman pangan.
c. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi sebesar 3 mm/tahun pada Ultisols
berlereng 3,5 %, yang ditanami tanaman pangan semusim; dan pada
Ultisols di Baturaja berlereng 14 %, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun
(Abdurachman et al., 1985).
3. Pencemaran Tanah
Lahan-lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas oleh
penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti insektisida, pestisida, dan
herbisida. Penggunaan bahan-bahan tersebut meninggalkan residu zat
kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun dan umbi.
Data penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan
tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin dan karbamat
(Ardiwinata et al., 1999; Jatmiko et al., 1999; Harsanti et al., 1999).
Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti
pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang tercemar air raksa (Hg)
dengan kadar 1,27 – 6,73 ppm, sampai jarak 7-10 km dari lokasi
penambangan. Pencemaran tanah ditemukan juga di kawasan industri,
seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat. Bahan pencemar antara
lain: Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu
Tanah, 2000).
Kondisi iklim di Indonesia seperti curah hujan dan suhu yang tinggi,
khususnya Indonesia bagian barat, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia
didominasi oleh tanah marginal dan rapuh serta mudah terdegradasi menjadi lahan
kritis. Namun degradasi lebih banyak disebabkan karena adanya pengaruh
intervensi manusia dengan pengelolaan yang tidak mempertimbangkan
kemampuan dan kesesuian suatu lahan. Kemampuan tanah untuk mendukung
kegiatan usaha pertanian atau pemanfaatn tertentu bervariasi menurut jenis tanah,
tanaman dan faktor lingkungan. Oleh karenanya pemanfaatan tanah ini harus hati-
hati dan disesuaikan dengan kemampuannya, agar tanah dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan dan tanpa merusak lingkungan (Subika, 2002).
Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan
dengan tanah non terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah hutan
sebagai tanah non terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua
unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang
atau keluar dari sistem siklus hutan. Sedangkan selain tanah hutan merupakan
sistem terbuka dimana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan
sifat pada tanah untuk penggunaan non hutan akan menunjukkan memburuknya
sifat-sifat dari tanah tersebut (Firmansyah, 2003).
Tanah Ultisol Bengkulu di vegetasi hutan habis tebang 4 bulan dan tanah
pertanian yang diusahakan 3 tahun terjadi penurunan kemampuan menyediakan N
anorganik sebesar 12-13% dubandingkan tanah hutan. Selain itu terjadi penurunan
intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39% pada kedalaman tanah
0-10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pertanian. Konversi penggunaan lahan
hutan ke lahan pertanian telah menyebabkan degradasi pada siklus N. Mengingat
begitu luasnya lahan kritis serta laju degradasi yang semakin tinggi, maka usaha-
usaha restorasi dan menekan laju lahan kritis sudah menjadi kebutuhan yang
cukup mendesak (Subiksa, 2002).
Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang terdegradasi,
yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat,
memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian
unsur hara (Firmansyah, 2003). Khusus untuk tanah-tanah tropika basa terdapat
tiga proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1)
degradasi fisik yang berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga
memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat, 2)
degradasi kimia yang berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan
unsur-unsur lainnya, dan 3) degradasi biologi yang berhubungan dengan
menurunya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan
keragaman spesies fauna tanah yang juga menurun ikut menurun (Lal, 2000).
Klasifikasi Tanah yang Terdegradasi
Lahan subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian. Sebagai akibatnya kegiatan-kegiatan budidaya pertanian
bergeser ke lahan-lahan kritis yang memerlukan infut tinggi dan mahal
untuk menghasilkan produk pangan yang berkualitas
Saran
Handayani, I. P. 1999. Kuantitas dan variasi nitrogen tersedia pada tanah setelah
penebangan hutan. J. Tanah Trop. 8:215-226