Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan pembangunan nasional di segala bidang,


degradasi lahan juga berkembang dengan pesat dalam arti negatif, yaitu makin
mengancam keberlanjutan sistem pertanian. Hutan-hutan lebat ditebang habis dan 
danau-danau penampung air ditimbun untuk berbagai keperluan lain,
mengakibatkan penurunan fungsi hidrologis. Jutaan hektar kawasan hutan secara
formal masih terdaftar dan terbaca pada peta penggunaan lahan, namun di
lapangan  tidak lagi mampu menyerap air pada musim hujan dan mensuplai air

Pada musim kemarau. Berbagai kegiatan pembangunan sering


menggunakan lahan pertanian subur, seperti untuk infrastruktur, pemukiman,
perkantoran, pertambangan dan industri. Bahkan, kegiatan pertanian sendiri pun
sering mengancam sustainabilitas pertanian, seperti penggunaan lereng terjal
untuk tanaman semusim, perladangan berpindah dan penggunaan agrokimia

Kerusakan lahan atau tanah dapat menyebabkan berbagai dampak antara


lain terjadinya erosi dan sedimentasi serta masih banyak hal yang ditimbulkan.
Erosi mempunyai beberapa akibat buruk. Penurunan kesuburan tanah. Kedua
menurunnya produksi sehingga akan mengurangi pendapatan petani. Erosi tanah
dapat terjadi akibat adanya curah hujan yang tinggi, vegetasi penutup lahan yang
kurang. Kemiringan lereng dan tata guna lahan  yang kurang tepat. Pendangkalan
sungai untuk mengalirkan juga berkurang dan menyebabkan bahaya banjir.
Pendangkalan saluran pengairan mengakibatkan naiknya dasar saluran,
mengurangi luas lahan pertanian yang mendapat aliran irigasi.

Kerusakan  sumber daya air selain  banjir  dan erosi adalah kekeringan 
dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan
sumber daya tanah dan air merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan. Hal
ini karena sebagai sumber daya alam,tanah mempunyai peranan yang sangat
penting. Sebagai sumber unsur bagi tumbuhan dan sebagai media akar tumbuhan
berjangkar dan tempat air tanah tersimpan. Erosi yang terjadi secara terus menerus
dapat mengakibatkan sedimentasi. Sedimentasi adalah terbawanya material hasil
dari pengikisan dan pelapukan oleh Air, angin atau gletser ke suatu wilayah yang
kemudian diendapkan.

Penyelenggaraan konsolidasi lahan di Indonesia dimulai sejak tahun 1986


di beberapa wilayah seperti Renon Bali, Samarinda, Solo, Yogyakarta, Semarang,
dan Sumatera Barat. Ada yang berhasil, namun ada pula yang gagal disebabkan
oleh sarana prasaran belum terbangun meski konsep ini telah dilaksanakan.
Lokasi-lokasi yang umumnya menjadi prioritas penyelenggaraan konsep
konsolidasi lahan adalah permukiman yang secara alami mengalami pertumbuhan
yang pesat, kota baru, kawasan dengan fasilitas umum yang terbatas, dan daerah
pasca konfilik ataupun bencana.

Masalah degradasi sifat-sifat tanah dirasakan makin begitu penting


belakangan ini. Degradasi tanah biasanya dievaluasi dari sifat fisik dan kimia
tanah. Badan Dunia seperti FAO turut mengambil langkah kongkrit untuk
membantu mengurangi laju peningkatan luas tanah yang mengalami penurunan
sifat-sifatnya. Melalui Regional Office for Asia and the Pacific, pada tahun 1989
FAO membentuk Expert Consultation of the Asian Nerwok on Problom Soil.
Badan ini bertemu secara rutin untuk membahas langkah-langkah guna
mengurangi degradasi tanah di kawasan Asia (Firmansyah, 2003).

Fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian yang


menjadi dampak dari sistem bagi waris dan alih fungsi lahan menyebabkan skala
usaha petani terus menurun. Penurunan skala usaha akan mengakibatkan lahan
semakin tidak produktif. Para petani beranggapan bahwa lahan yang sudah tidak
produktif lebih baik dijual. Keputusan menjual lahan ini mengakibatkan petani
memiliki luas lahan yang semakin kecil. Lahan pertanian yang dimiliki petani
semakin kecil sehingga tidak akan dapat memberikan kesejahteraan terhadap
petani. Dengan demikian, persoalan kepemilikan lahan pertanian akan menjadi
masalah berat di masa datang karena usahatani yang dikembangkan bersifat land
base agricultural, artinya lahan pertanian sebagai basis produksi pangan tidak
tergantikan.
Degradasi lahan dewasa ini tidak hanya berupa erosi tanah, namun sudah
merambah ke bentuk-bentuk lain seperti banjir, longsor, pencemaran, dan
pembakaran lahan, sudah sering terjadi dalam intensitas dan kualitas yang  tinggi.
Hal ini jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan sistem pertanian, dan
tantangan bagi upaya konservasinya.
Konsep konsolidasi lahan dapat menjadi solusi menata ruang agar menjadi
lebih baik. konsep ini menekankan pada pentingnya pelibatan semua pemangku
kepentingan dalam mengembangkan lahan agar lebih tertata dengan prinsip
keadilan, keterbukaan, kebersamaan dan proporsional.
Konsep konsolidasi lahan berupaya mengakomodir hal tersebut, dimana
masyarakat yang terlibat langsung sebagai perencana sekaligus eksekutor dan
Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator serta regulator. Selain itu, konsep
ini menekankan pada prinsip membangun bukan menggusur dan diharapkan
masyarakat dapat berperan dalam memberikan sumbangan (tanah-red) untuk
pembangunan, imbuhnya.
Dengan pelaksanaan konsep konsolidasi lahan, dua fungsi yang dimiliki
oleh lahan yaitu property right dan development right dapat terbentuk. Disini
masyarakat memiliki hak untuk merencanakan, membangunan, dan melakukan
pengendalian sendiri tanpa campur tangan dari Pemerintah.

1.2. Kegunaan dan Manfaat


1. Mengetahui faktor-faktor terjadinya degradasi tanah
2. Mengidentifikasi proses dan karakteristik tanah terdegradasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi degradasi tanah cukup banyak diungkapkan oleh para pakar


tanah, namun kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat
tanah apabila dibandingkan dengan tanah tidak terdegradasi. Degradasi tanah
menurut FAO adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan
kemampuan tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan
jasa. Defenisi tersebut menunjukkan pengertian umum dengan cakupan luas tidak
hanya berkaitan dengan pertanian (Firmansyah, 2003).

Degradasi adalah perubahan yang mengarah kepada kerusakan di muka


bumi. Degradasi di sini artinya  penurunan kualitas maupun  perusakan lahan.
Penebangan hutan yang semena-mena merupakan degradasi lahan. Selain itu tidak
terkendali dan tidak terencananya penebangan  hutan secara baik merupakan
bahaya ekologis yang paling besar. Kerusakan lahan atau tanah akan berpengaruh
terhadap habitat semua  makhluk hidup yang ada di dalamnya  dan kerusakan
habitat sangat berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang
disangganya.

Menurut Firmansyah (2003) bentuk degradasi tanah yang terpenting di


kawasan Asia antara lain adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa
penurunan kadar bahan organik tanah dan pencucian unsur hara. Perubahan
penggunaan lahan dan pola pengelolaan tanah menyebabkan perubahan
kandungan bahan organik tanah. Makin intensif penggunaan suatu lahan, makin
rendah kandungan bahan organik tanah. Oleh karena itu tanah yang terdegradasi
perlu dilakukan upaya rehabilitasi. Dari rehabilitasi ini di harapkan dapat
memperbaiki (memulihkan), meningkatkan dan mempertahankan kondisi tanah
yang rusak agar berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media
pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan lingkungan (Latifah, 2005).

Umumnya faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun


campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan penurunan produktivitas
tanah. Pada sistem usaha tani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih
tergantung pada lama waktu bera agar tergolong sistem usaha yang berkelanjutan
secara ekologis. Secara khusus disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa
daerah marjinal dan tekanan populas terhdap lahan cukup tinggi, kebutuhan
ekonomi makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sehingga
sangat merusak dan menyebabkan degradasi tanah dan lingkungan. Banyak
penelitian yang menyatakan bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka
konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi, dan persentase kejenuhan
basa rendah di subsoil setelah 2-5 tahun kebakaran. Tanah menjadi subyek erosi,
subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya konsentrasi Al pada
tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi
tanaman (Firmansyah, 2003).
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi
apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan
tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Akibat
penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambnag emas di
Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba
dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro (Hidayati, 2000).
Konsolidasi Lahan merupakan kegiatan Penatagunaan Tanah melalui
pengaturan kembali penggunaan dan penguasaan bidang-bidang tanah dengan
tujuan optimalisasi penggunaan tanah dalam hubungan dengan pemanfaatan,
peningkatan produktifitas dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.
Konsolidasi Lahan merupakan salah satu model pembangunan di bidang
pertanahan, yang mencakup wilayah perkotaan dan wilayah yang memiliki tujuan
untuk  mengoptimalkan penggunaan tanah dalam hubungan dengan pemanfaatan,
peningkatan produktifitas dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.
Mengusahakan peningkatan kualitas lingkungan  dan pencapaian efisiensi melalui
pemetakan dan pengaturan kembali tanah yang tersebar dan tidak teratur dan
kemudian membagikannya kembali kepada para pemiliknya dalam bentuk yang
teratur dan di lengkapi prasarana.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Degredasi Lahan

Indonesia merupakan bagian dari ekosistem tropika basah yang tergolong


sangat rentan terhadap degradasi jika pengelolaannya tidak tepat. Ekosistem
tropika basah meliputi areal sekitar 1,5 milyar hektar lahan dengan populasi
manusia sekitar 2 milyar, yang tersebar dalam 60 negara. Dua pupuh lima persen
areal tersebut terdapat di Asia. Tanah-tanah lahan kering tropika basah merupakan
tanah yang rentan terhadap degradasi, selain disebabkan faktor alami juga akibat
campur tangan manusia (Pujianto, 2001). Umumnya faktor-faktor penyebab
degradasi tersebut baik secara alami maupun campur tangan manusia
menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya degradasi yaitu diantaranya :

a. Erosi
b. Pestisida
c. Bahan radioaktif
d. Pupuk kimia
e. Deterjen
f. Sampah organik (terutama dari daerah perkotaan)
g. Wabah dan penyakit (baik bagi manusia, hewan maupun tumbuhan) dan  
penyebaran organisme yang menyebabkan infeksi
h. Limbah industri anorganik (berbentuk  gas, cair dan  padat)
i. Semakin menurunnya tingkat kesuburan tanah/ lahan untuk budidaya
pertanian  karena siklus pemanfaatan lahan  yang terlalu intensif tanpa
upaya penyuburan kembali (refertilization)
j. Semakin banyaknya areal semak-semak belukar dan tanah gundul bekas
penebangan hutan ilegal dan peladangan bakar yang tidak dihijaukan
kembali
k. Semakin banyaknya lubang-lubang bekas galian mineral tambang/ bekas
galian tanah  untuk pembuatan bata dan genting  yang dibiarkan tanpa
upaya reklamasi.

Selain itu beragam jenis Degredasi Lahan Pertanian diantaranya


adalah :

1. Erosi Tanah
Erosi tanah di Indonesia, yang telah berlangsung sejak awal abad
ke-XX dan masih berlanjut hingga saat ini, jelas menimbulkan dampak
negatif pada produktivitas pertanian khususnya dan kehidupan masyarakat
pada umumnya.  Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan, di P. Jawa
saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US $ 341-406 juta/tahun
(Margrath dan Arens, 1989). Laju erosi tanah pada lahan pertanian
berlereng 3-15 %, berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Beberapa data
dapat dikemukakan, sebagai berikut :
a. Pada semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo, 1981).
b. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi 15 Ultisols di Citayam, Jawa Barat,
yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan mm/tahun, dan di
Punung, Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun; keduanya pada Alfisols
berlereng 9-10 %, ditanami tanaman pangan.
c. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi sebesar 3 mm/tahun pada Ultisols
berlereng 3,5 %, yang ditanami tanaman pangan semusim; dan pada
Ultisols di Baturaja berlereng 14 %, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun
(Abdurachman et al., 1985).

Erosi tanah oleh air (water erosion) menurunkan produktivitas


melalui penurunan kesuburan  fisika, kimia, dan biologi tanah. Menurut
Langdale et al. (1979)  dan Lal (1985) hasil jagung berkurang 0,07-0,15
t/ha setiap kehilangan tanah setebal 1 cm. Degradasi ini  bukan saja
berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi juga daerah
hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan cadangan
air, saluran-saluran irigasi, dan pendangkalan sungai. Dengan demikian
bukan saja lahan yang menjadi rusak, tetapi juga kondisi sumberdaya air
menjadi lebih buruk.

2. Banjir dan Longsor

Akhir-akhir ini banjir dan longsor makin sering terjadi,


mengakibatkan makin tingginya degradasi lahan pertanian. Banjir dan
longsor membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke tempat di
bawahnya, sehingga  menimbulkan kerusakan baik di  lokasi kejadian,
maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta  alur di antara kedua
tempat  tersebut. Di Indonesia, selama periode 1998-2004 terjadi 402 kali
banjir dan 294 kali  longsor, yang mengakibatkan kerugian materiil
sebagai tangible product sebanyak Rp. 668 M (Kartodiharjo, 2006).

3. Pencemaran Tanah
Lahan-lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas oleh
penggunaan bahan-bahan agrokimia, seperti insektisida, pestisida, dan
herbisida. Penggunaan bahan-bahan tersebut meninggalkan residu zat
kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun dan umbi. 
Data penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan
tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin dan karbamat
(Ardiwinata et al., 1999; Jatmiko et al., 1999; Harsanti et al., 1999).
Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti
pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang tercemar air raksa (Hg)
dengan kadar 1,27 – 6,73 ppm, sampai jarak 7-10  km dari lokasi
penambangan. Pencemaran tanah ditemukan juga  di kawasan industri,
seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat.  Bahan pencemar antara
lain: Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti  Baku Mutu
Tanah, 2000).

4. Kebakaran hutan dan lahan

Degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap


tahun, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Menurut
Bakornas-PB (dalam Kartodihardjo, 2006), dari tahun 1998-2004 di
Indonesia terjadi kebakaran hutan dan lahan sebanyak 193 kejadian, yang
mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda senilai Rp
647 M. BAPPENAS (1998) mencatat sekitar 1,5 juta ha lahan gambut
terbakar selama MK 1997/1998.  Parish (2002) melaporkan terjadinya
kebakaran gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan, pada MK 1982 dan
1983. Selain tanaman dan sisa tanaman yang ada di permukaan tanah,
berbagai material turut hangus terbakar, seperti humus dan gambut.
Kebakaran hutan juga menimbulkan gangguan terhadap keaneka¬ragaman
hayati, lingkungan hidup, kesehatan, dan transportasi (Musa dan Parlan,
2002).

5. Konservasi lahan pertanian


Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya),
yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan menghilangkan sama
sekali  produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan non-
pertanian. Dari tahun 1981-1999, di Indonesia  terjadi konversi lahan
sawah seluas 1,6 juta hektar; dan sekitar 1 juta hektar di antaranya terjadi
di P. Jawa (Irawan et al., 2001).  Winoto (2005) menyatakan bahwa sekitar
42,4 % lahan sawah beririgasi (3,1 juta hektar) telah direncanakan untuk
dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, di mana 1,67 juta
hektar atau 49,2 % dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi.

 Faktor-Faktor terjadinya Degradasi Tanah

Degradasi tanah pada umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor


alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Degradasi tanah dan lingkungan,
baik oleh ulah manusia maupun karena ganguan alam, semakin lama semakin
meningkat. Lahan subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian. Sebagai akibatnya kegiatan-kegiatan budidaya pertanian bergeser ke
lahan-lahan kritis yang memerlukan infut tinggi dan mahal untuk menghasilkan
produk pangan yang berkualitas (Mahfuz, 2003).
Menurut Firmansyah (2003) faktor alami penyebab degradasi tanah antara
lain: areal berlereng curam, tanah yang muda rusak, curah hujan intensif, dan lain-
lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun
tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain:
perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah
kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi
sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak
tepat.
 Lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia
secara langsung, yaitu : deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, ekploitasi
berlebihan, serta aktivitas industri dan bioindustri. Sedangkan faktor penyebab
tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain : deforestasi,
mekanisme dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan
penanaman secara monokultur (Lal, 2000). Faktor-faktor tersebut di Indonesia
pada umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah
langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas
berikutnya apakah ditolerenkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan
terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali
(Firmansyah, 2003).

 Karakteristik Tanah yang Terdegradasi

Kondisi iklim di Indonesia seperti curah hujan dan suhu yang tinggi,
khususnya Indonesia bagian barat, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia
didominasi oleh tanah marginal dan rapuh serta mudah terdegradasi menjadi lahan
kritis. Namun degradasi lebih banyak disebabkan karena adanya pengaruh
intervensi manusia dengan pengelolaan yang tidak mempertimbangkan
kemampuan dan kesesuian suatu lahan. Kemampuan tanah untuk mendukung
kegiatan usaha pertanian atau pemanfaatn tertentu bervariasi menurut jenis tanah,
tanaman dan faktor lingkungan. Oleh karenanya pemanfaatan tanah ini harus hati-
hati dan disesuaikan dengan kemampuannya, agar tanah dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan dan tanpa merusak lingkungan (Subika, 2002).
Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan
dengan tanah non terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah hutan
sebagai tanah non terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua
unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang
atau keluar dari sistem siklus hutan. Sedangkan selain tanah hutan merupakan
sistem terbuka dimana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan
sifat pada tanah untuk penggunaan non hutan akan menunjukkan memburuknya
sifat-sifat dari tanah tersebut (Firmansyah, 2003).

Tanah Ultisol Bengkulu di vegetasi hutan habis tebang 4 bulan dan tanah
pertanian yang diusahakan 3 tahun terjadi penurunan kemampuan menyediakan N
anorganik sebesar 12-13% dubandingkan tanah hutan. Selain itu terjadi penurunan
intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39% pada kedalaman tanah
0-10 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pertanian. Konversi penggunaan lahan
hutan ke lahan pertanian telah menyebabkan degradasi pada siklus N. Mengingat
begitu luasnya lahan kritis serta laju degradasi yang semakin tinggi, maka usaha-
usaha restorasi dan menekan laju lahan kritis sudah menjadi kebutuhan yang
cukup mendesak (Subiksa, 2002).

 Proses terjadinya Degradasi  Tanah

Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang terdegradasi,
yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat,
memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian
unsur hara (Firmansyah, 2003). Khusus untuk tanah-tanah tropika basa terdapat
tiga proses penting yang menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1)
degradasi fisik yang berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga
memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat, 2)
degradasi kimia yang berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan
unsur-unsur lainnya, dan 3) degradasi biologi yang berhubungan dengan
menurunya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan
keragaman spesies fauna tanah yang juga menurun ikut menurun (Lal, 2000).
 Klasifikasi Tanah yang Terdegradasi

Klasifikasi tanah terdegradasi cukup banyak dimunculkan oleh para ahli


diantaranya adalah GLASOD (Globall Aseeemen of Soil Degradation), suatu 
proyek yang dirancang UNEP. Klasipikasi GLASOD didasarkan atas
keseimbangan antara kekuatan rusak iklim dan resisensi alami kelerengan
terhadap kekuatan merusak akibat intervensi manusia. Sehingga dihasilkan
penurunan kapasitas tanah saat ini atau kedepan untuk mendukung kehidupan
manusia (Firmansyah, 2003).
Tipe degradasi tanah dibagi 2 macam, yaitu :
1. Berhubungan dengan displasemen bahan tanah yang terdiri dari erosi
air dan erosi angin
2. Berdasarkan deterosiasi in situ terdiri dari degradasi kimia (hilangnya
unsur hara/bahan organik, salinasi dan polusi), dan degradasi fisik.

 Pengaruh Degradasi Tanah terhadap Produktivitas

Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah.


Kehilanagn produktivitas dicirikan dengan terjadinya erosi akibat tanah
terdegradasi diperkirakan 272 juta Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat
produksi tahun 1996 (Lal, 2000).
Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia
dan maupun biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi
mencapai sekitar 22% pada lahan semi kitis, 32 % pada lahan kritis, dan
diperkirakan sekitar 38% pada lahan sangat kritis. Sedangkan untuk kacang tanah
mengalami penurunan sekitar 9%, 46%, 58% masing-masing pada tanah semi
kritis, kritis dan tanah yang sangat kritis. Sifat tanah yang berkorelasi nyata
terhadap produksi padi adalah kedalaman solum, kandungan bahan organik
(Sudirman dan Vadari, 2000).

 Pentingnya Rehabilitasi Tanah Terdegadasi dalam Upaya Memperpendek


Tercapainya Resiliensi dan Meningkatkan Produktivitas
Seybold (1999) menyatakan terdapat 3 pendekatan untuk mengkaji
resiliensi tanah antara lain:
a. Mengukur secara lngsung recovery setelah terjadinya gangguan
b. Melakukan kuantifikasi terpadu mekanisme recovery setelah terjadinya
gangguan
c. Mengukur sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme recovery
tersebut.

Rehabilitasi tanah terdegradasi dapat ditinjau dari sifat tanah yang


mengalami penurunan dan diupayakan dilakukan perbaikan dengan menggunakan
amelioran. Menurut Firmansyah (2003) bentuk degradasi tanah yang terpenting di
Kawasan Asia antara lain adalah adanya erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa
penurunan bahan organik tanah dan pencucian unsur hara.

2.2. Konsolidasi Lahan

Konsolidasi Tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan


kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan
pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat
(Peraturan KaBPN No. 4 tahun 1991 pasal 1 ayat 1).

 Tujuan dan Sasaran Konsolidasi Tanah

Kegiatan konsolidasi tanah memiliki tujuan untuk mencapai pemanfaatan


tanah secara optimal melalui peningkatkan efisiensi dan produktifitas penggunaan
tanah. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya suatu tatanan
penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur dan dilengkapi dengan
prasarana-sarana lingkungan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

 Begitu banyak sekali permasalahan-permasalahan yang terjadi dibidang


pertanahan tersebut,semua erat kaitannya dengan tingkah atau pola
perilaku manusia.Manusia terkadang hanya memikirkan kepntingan
sesaat,dan terkadang pula sering membuat kebijakan sendiri yang buruk
pada akhirnya.

 Negara kita merupakan Negara agraris,mayoritas penduduk


menggantungkan hidup mereka pada pertanian.Seharusnya petani-petani
kita dapat hidup aman sejahtera layaknya para petani di luar negri.Dapat
mencukupi semua kebutuhan hidupnya dari hasil bercocok tanamnya.

 Degradasi lahan juga erat kaitannya dengan pertanian,yaitu dari pola


pertanian kita. Penggunaan pupuk pupuk kimia yang berlebih,perusakan
lahan melalui pembakaran,dan lain sebagainya,merupakan salaha satu hal
yang menyebabkan degradasi atau penurunan kualitas akan lahan.

 Degradasi tanah pada umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor


alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Degradasi tanah dan
lingkungan, baik oleh ulah manusia maupun karena ganguan alam,
semakin lama semakin meningkat.

 Lahan subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian. Sebagai akibatnya kegiatan-kegiatan budidaya pertanian
bergeser ke lahan-lahan kritis yang memerlukan infut tinggi dan mahal
untuk menghasilkan produk pangan yang berkualitas

Saran

Sebaiknya segala kebijakan tidak perlu selalu ditarik kepusat,ada kalanya


pemerintah daerah yang bertindak.karena tidak dapat dipungkiri,bahwa
pemerintah daerah lebih kenal akan masyarakat dan daerahnya,sehingga
pemecahan maslah akan lebih cepat dan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, S. 2003. Degradasi tanah pertanian Indonesia. http://www. sinar tani-


online.co.id. 29 Maret 2009

Dephut. Statistik Kehutanan, http://www.dephut.org.id/.

Firmansyah, M. A. 2003. Resiliensi tanah terdegradasi. Makalah pengantar

Falsapah sain. IPB

Garcia, E. G. V. Andreu, dan J. L. Rubio. 2000. Chanhe in organic matter,


nitrogen, phosporous and cations in soil as aresult of fire and water erosion
In a Mediteranean landscape. European Jornal of Soil Science. 51:201-210

Handayani, I. P. 1999. Kuantitas dan variasi nitrogen tersedia pada tanah setelah
penebangan hutan. J. Tanah Trop. 8:215-226

Mahfuz. 2003. Peningkatan produktivitas lahan kritis untuk pemenuhan pangan


melalui usaha tani konservasi. Makalah Falsafah Sains. IPB

Pujianto. 2001. Sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. http://www.hayati-


ip6.com/rudyet/indiv 2001/pujianto.htm.

Seybold, C. A. J. E. Herrick, and J. J. Brejda. 1999. Soil resilience: afundamental


componenet of soil quality. Soil science. 164(4):224-234

Subiksa, I. 2002. Pemanfaatan mikoriza untuk penanggulangan lahan kritis. http://


rudyet.triped.com/sem2-012/igm-subiksa.htm.

Suprayogo, D., Widianto,. P. Purnomosidi, R. H. Widodo, F. Rusiana, Z. Z. Aini,


N. Khasanah, dan Z. Kusumah. 2001. Degradasi sifat fisisk tanah sebagai
akibat alih guna lahan Jurnal Penelitian Pertanian Universitas Brawijaya.
60-68

Widjaja, H. 2002. Peningkatan karbon pada lahan terdegradasi. http://rudyct.


Tripop com/sem2 012/hermanu w.htm.

Anda mungkin juga menyukai