Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KONSEP DASAR HIV/AIDS DAN PERILAKU YANG


BERISIKO
DOSEN : HERMANTO, Ners., M.Kep

DISUSUN OLEH :
MAHASISWA TINGKAT II B
LEONARDO 2018.C.10a.0975

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah tentang
Konsep Dasar HIV/AIDS Dan Perilaku Yang Berisiko. Penyusunan makalah
ini bertujuan agar para pembaca dapat menambah wawasan dan pengetahuannya.

saya menyadari bahwa makalah ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca dan mudah-mudahan makalah ini dapat mencapai sasaran yang
diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangkaraya, 16 maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 1
BAB 2
2.2 Perbedaan Antara HIV Dengan
AIDS.............................................................7
2.3 Etiolog.............................................................................................................8
2.4 Epidemiologi...................................................................................................9
2.5 Manifestasi Klinis.........................................................................................13
2.6 Patofisiologi..................................................................................................14
2.7 Penularan HIV/AIDS....................................................................................15
2.8 Pengobatan HIV/AIDS.................................................................................16
2.9 Pencegahan...................................................................................................16
2.10 Perilaku Yang Beresiko
3.1 Kesimpulan...................................................................................................24
3.2 Saran.............................................................................................................24
25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di
dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza,
Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh menurut Kemenkes, 2015 dalam [ CITATION Isw17 \l 1057 ].

Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,


pekerjaan, status perkawinan, dan daerah tempat tinggal penderitanya
(Tangadi,1996 & Budiharto,1997 dalam Desima,2013). Laporan dari Joint United
Nations Programme on HIV and AIDS atau UNAIDS pada tahun 2015terdapat
2,1 juta infeksi HIV baru diseluruh dunia, yang banyak tersebar di wilayah afrika
dan asia. Data ini menambah total penderita HIV menjadi 36.7 juta dan penderita
AIDS sebanyak 1,1 juta orang (UNAIDS, 2016) dalam [ CITATION Isw17 \l 1057 ].

Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di


seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai
dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%)
dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi
HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari
estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443
jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24
tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta
(55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan
Jawa Tengah (24.757). Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap
tahun, sementara jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan
bahwa semakin banyak orang dengan HIV /AIDS (ODHA) yang diketahui
statusnya saat masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk dalam
stadium AIDS. HIV itu ada obatnya, antiretroviral (ARV) namanya. Obat ARV
mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah sehingga kekebalan tubuhnya

4
(CD4) tetap terjaga. Sama seperti penyakit kronis lainnya seperti hipertensi,
kolesterol, atau DM, obat ARV harus diminum secara teratur, tepat waktu dan
seumur hidup, untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA serta dapat mencegah
penularan. ARV dijamin ketersediaannya oleh pemerintah dan gratis
pemanfaatannya. Pelayanan ARV sudah dapat diakses di RS dan Puskesmas di 34
provinsi, 227kab/kota. Total saat ini terdapat 896 layanan ARV, terdiri dari
layanan yang dapat menginisiasi terapi ARV dan layanan satelit. Dukungan sosial
dari keluarga dan lingkungan terdekat sangat dibutuhkan agar ODHA tetap
semangat dan jangan sampai putus obat. Data Kementerian Kesehatan tahun 2017
mencatat dari 48.300 kasus HIV positif yang ditemukan, tercatat sebanyak 9.280
kasus AIDS. Sementara data triwulan II tahun 2018 mencatat dari 21.336 kasus
HIV positif, tercatat sebanyak 6.162 kasus AIDS. Adapun jumlah kumulatif kasus
AIDS sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai dengan Juni 2018
tercatat sebanyak 108.829 kasus menurut Depkes.go.id

Kompetensi perawat pelaksana dalam merawat pasien HIV/AIDS yang


diharapkan sesuai dengan perannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan,
penemu kasus, pendidik, koordinator, konselor, dan panutan atau role model.
Kompetensi ini menunjang pelayanan kesehatan yang diberikan perawat pada
pasien khususnya penderita HIV/AIDS. Prevalensi kasus HIV/AIDS terus
meningkat, oleh karena itu perlu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
mengenai penyakit menular ini melalui pendidikan dan advokasi kepada
masyarakat. Tujuannya untuk mencegah penyebaran epidemi H I V / A I D S .
Berbagai hal telah dilakukan untuk mencegah meluasnya HIV/AIDS antara lain
pendidikan kesehatan tentang pencegahan HIV/AIDS melalui media cetak dan
elektronik maupun melalui metode ceramah dan diskusi menurut Purnomo, 2013
dalam [ CITATION Hus16 \l 1057 ].

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar HIV/ AIDS
2. Apa sajakah perilaku beresiko untuk penyakit HIV/ AIDS

5
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan Umum dari makalah ini adalah menjelaskan konsep dasar HIV/
AIDS dan perilaku beresikonya.
2. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari makalah ini adalah menjelaskan konsep dasar HIV/
AIDS yaitu definisi, perbedaan antara HIV/ AIDS, etiologi, epidemiologi,
manifestasi klinik, patofisiologi, penularan HIV/ AIDS, Pengobatan HIV/
AIDS, Pencegahan HIV/ AIDS dan perilaku beresiko.

1.4 Manfaat Penulisan


Diharap dapat menambah pengetahuan mengenai konsep dasar HIV/AIDS
dan perilaku yang beresiko supaya dapat terhindar dari penyakit HIV/AIDS.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV/AIDS


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh manusia. Terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi
antara agen, host, dan environment. Di tinjau dari kasus HIV-AIDS dari tahun ke
tahun di seluruh bagian dunia terus meningkat, maka penyakit ini menjadi
masalah kesehatan yang mengkhawatirkan bagi masyarakat, karena di samping
belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga
menimbulkan gejala selama perjalanan penyakitnya [ CITATION Nan12 \l 1057 ].

2.2 Perbedaan Antara HIV Dengan AIDS


Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada
tanda fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa
gejala adalah ‘HIV-positif’ atau mempunyai ‘penyakit HIV tanpa gejala.’ Apabila
gejala mulai muncul, orang disebut mempunyai ‘infeksi HIV bergejala’ atau
‘penyakit HIV lanjutan.’ Pada stadium ini seseorang kemungkinan besar akan
mengembangkan infeksi oportunistik. ‘AIDS’ merupakan definisi yang diberikan
kepada orang terinfeksi HIV yang masuk pada stadium infeksi berat. AIDS
didefinisi sebagai jumlah sel CD4 di bawah 200; dan/atau terjadinya satu atau
lebih infeksi oportunistik tertentu.

Istilah AIDS terutama dipakai untuk kepentingan kesehatan masyarakat,


sebagai patokan untuk laporan kasus. Sekali kita dianggap AIDS, berdasarkan
gejala dan/atau status kekebalan, kita dimasukkan pada statistik sebagai kasus,
dan status ini tidak diubah walau kita menjadi sehat kembali. Oleh karena itu,
istilah AIDS tidak penting buat kita sebagai individu.

Orang terinfeksi HIV yang mempunyai semakin banyak informasi,


dukungan dan perawatan medis yang baik dari tahap awal penyakitnya akan lebih
berhasil menangani infeksinya. Terapi antiretroviral (ART) yang sekarang
semakin terjangkau dapat memperlambat kecepatan penggandaan HIV; obat lain
dapat mencegah atau mengobati infeksi yang disebabkan HIV (Kannabus, 2008).

7
2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam


bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit
T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam
sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat
tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif
dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core)
dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua
untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis
prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120).
Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian
luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus
sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet.

Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati
diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak.[ CITATION Sir04 \l 1057 ]

8
2.4 Epidemiologi
1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS
a. Berdasarkan Orang
Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap
infeksi HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS
diasumsikan bersifat umum, tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan
kehamilan, sehingga setiap orang mungkin untuk terserang HIV/AIDS.
Penelitian Hall dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired Immune
Deficiency Sindrome (2009) di 33 negara bagian Amerika Serikat,
diperoleh bahwa Ras Kulit hitam 9 kali berisiko menderita AIDS
dibanding Ras Kulit putih dengan Resiko Relative (RR) 9,16 dan Ras
Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi daripada Ras Kulit Putih
(RR 3,05). Risiko menderita AIDS 2 kali lebih tinggi pada orang Indian
Amerika/penduduk asli Alaska dari pada orang Asia/Kepulauan Pasifik
(RR 2,05). Di Canada, RR AIDS 5,5 kali lebih tinggi pada Ras Kulit
hitam dibandingkan pada Ras Kulit putih (RR 5,54) dan 4 kali lebih
tinggi pada orang Aborigin dibandingkan IR Ras Kulit putih (RR 4,36).
Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di
Sub-Sahara Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68%
terdapat pada orang dewasa. Sebesar 6,4% prevalensi HIV terdapat pada
perempuan. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009),
terdapat 19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat
pada kelompok umur 20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39
tahun, 8,82% pada kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok
umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada
kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15 tahun dan
3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan
adalah 3:1. Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2%
penderita AIDS terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau
IDU. Kumulatif kasus AIDS pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia
hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki

9
(91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis
kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun,
27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-
49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok
umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun
masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), desain
case series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%)
berada pada kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin
perempuan, 37,2% berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan SLTP
33,5%, SLTA 32,3%, SD 19,5%, tidak sekolah 12,2% dan berpendidikan
Akademi/PT 2,4%.26. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan
AIDS (KPA) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2009), sejak
1992 hingga April 2009 terdapat 1.680 jumlah kumulatif HIV/AIDS,
1.339 kasus pada pria (79,70%) dan 341 kasus pada perempuan
(20,30%), 921 kasus pada kelompok umur 20-29 tahun (54,82%) dan 523
kasus pada kelompok umur 30-39 tahun (31,13%), 121 kasus pada
kelompok umur 40-49 tahun (7,20%), 46 kasus pada kelompok umur 10-
19 tahun (2,74%), 41 kasus pada kelompok umur >50 tahun (2,44%), 8
kasus pada kelompok umur 1-4 tahun (0,47%), masing-masing 5 kasus
pada kelompok umur 5-9 tahun dan <1 tahun (0,29%).

b. Berdasarkan Tempat
Menurut data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2008, di kawasan Sub-Sahara Afrika terdapat 22,4
penderita HIV/AIDS, dengan PR pada orang dewasa sebesar 5,2%. Di
Asia Selatan dan Asia Tenggara terdapat 3,8 juta ODHA dengan PR pada
orang dewasa sebesar 0,3%. Di Asia Timur terdapat 850.000 penderita
HIV/AIDS dengan jumlah kematian 59.000 kasus.Menurut Chin (2000),
dari sekitar 33,4 juta penderita HIV/AIDS di dunia tahun 1999, 22,5 juta
diantaranya terdapat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, dan 6,7 juta
ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta terdapat di Amerika
Latin dan 665.000 di AS.

10
Berdasarkan data SEARO (2009), prevalensi HIV/AIDS lebih tinggi di
daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei
rumah tangga yang dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa
prevalensi HIV/AIDS 40% lebih tinggi di perkotaan dibanding dengan
daerah pedesaan. Pada tahun 2008, dari 96 kasus baru yang dilaporkan di
Sri Lanka, 61% berasal dari Colombo yang merupakan ibukota Sri
Lanka.

Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973


kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per
100.000 penduduk tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI
Jakarta (31,67), Kepulauan Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91),
Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua Barat dan Jawa Timur
(8,93) dan Riau (8,36). Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak
hingga Desember 2009 adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur
(16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua (14,05%), dan Bali (8,09%).
Pada kelompok pengguna napza suntik, proporsi AIDS terbanyak
dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa
Timur 12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%.

c. Berdasarkan Waktu
AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu
penyakit yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik).
Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987,
perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sampai dengan tahun 1990
perkembangan kasus AIDS masih lambat, namun sejak tahun 1991
jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kasus
AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai 2.873
kasus mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya.

Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2009), trend


kecenderungan jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan.

11
Pada tahun 2005 terdapat 2.639 kasus baru, tahun 2006 meningkat
menjadi 2.873 kasus baru, tahun 2007 meningkat menjadi 2.947 kasus
baru, pada tahun 2008 meningkat menjadi 4.969 kasus baru, hingga tahun
2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31 Desember 2009 secara
kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus.

2. Determinan HIV/AIDS
a. Agent
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang sangat
mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang
dapat membunuh, virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV
tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin
tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya
penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau
virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan
mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai
temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air.
Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan
detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi
yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain.

b. Host
Distribusi penderita AIDS di Amerika Serikat Eropa dan Afrika tidak
jauh berbeda kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun. Hal ini
membuktikan bahwa transmisi seksual baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi
AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi terbesar terjadi
pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20-30 tahun. Pada
tahun 2000 diperkirakan Virus AIDS menular pada 110 juta orang
dewasa dan 110 juta anak-anak. Hampir 50% dari 110 juta orang itu
adalah remaja dan dewasa muda usia 13 -25 tahun. Informasi yang
diperoleh dari Pusat AIDS International fakultas Kesehatan Masyarakatat
Universitas Harvard, Amerika Serikat sejumlah orang yang terinfeksi

12
virus AIDS yang telah berkembang secara penuh akan meningkat 10 kali
lipat.

c. Environment
Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat
menentukan penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwata ulkus
genitalis, Herpes Simpleks dan STS (Serum Test for Sypphilis) yang
positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini menjadi
tempat masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat
KB. Pada para WTS di Nairobi terbukti bahwa kelompok yang
menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi.

Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama-sama atau


sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat.
Bila semua faktor ini menimbulkan permissiveness di kalangan
kelompok seksual aktif, maka mereka sudah ke dalam keadaan
promiskuitas.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal
yaitu:
1. Manifestasi tumor
a. Sarkoma Kaposi
b. Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
c. Limfoma ganas
d. Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi oportunistik
3. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam
dan demam.

13
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.

c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
4. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per
bulan.
5. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang
biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah
ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.

2.6 Patofisiologi
Patofisiologi menurut [ CITATION Ers18 \l 1057 ] yaitu:

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen
dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya.
Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat
menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan
sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya

14
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel
limfosit itu sendiri.

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral
akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah
CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan
menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada
1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah
virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase
akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti
timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul
komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan
bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun.

2.7 Penularan HIV/AIDS


HIV terdapat di darah seseorang yang terinfeksi (termasuk darah haid), air
susu ibu, air mani dan cairan vagina. Pada saat berhubungan seks tanpa kondom,
HIV dapat menular dari darah, air mani atau cairan vagina orang yang terinfeksi
langsung ke aliran darah orang lain, atau melalui selaput lendir (mukosa) yang
berada di vagina, penis, dubur atau mulut. HIV dapat menular melalui transfusi
darah yang mengandung HIV; saat ini darah donor seharusnya diskrining oleh
Palang Merah Indonesia (PMI), sehingga risiko terinfeksi HIV melalui transfusi
darah seharusnya rendah, walau tidak nol. HIV dapat menular melalui alat suntik
(misalnya yang dipakai secara pergantian oleh pengguna narkoba suntikan),
melalui alat tindakan medis, atau oleh jarum tindik yang dipakai untuk tato, bila
alat ini mengandung darah dari orang yang terinfeksi HIV. HIV dapat menular
pada bayi saat kehamilan, kelahiran, dan menyusui. Bila tidak ada intervensi,
kurang lebih sepertiga bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu dengan HIV akan
tertular. HIV agak sulit menular, dan tidak menular setiap kali terjadi peristiwa
berisiko yang melibatkan orang terinfeksi HIV. Misalnya, walau sangat berbeda-
beda, rata-rata hanya akan terjadi satu penularan HIV dari laki-laki yang terinfeksi
pada perempuan yang tidak terinfeksi dalam 500 kali berhubungan seks vagina.
Namun penularan satu kali itu dapat terjadi pada kali pertama. Risiko penularan
HIV dari seks melalui dubur adalah lebih tinggi, dan penularan melalui

15
penggunaanjarum suntik bergantian lebih tinggi lagi. Risiko penularan dari seks
oral lebih rendah, tetapi tetap ada (Kannabus, 2008).

HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya
bertahan beberapa jam saja di luar tubuh. HIV tidak dapat menular melalui air
ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia dan air kencing, walaupun jumlah
virus yang sangat kecil terdapat di cairan ini. HIV tidak ditemukan di keringat.
HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan
dengan orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh orang terinfeksi
HIV; saling penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau
air mandi bergantian. Perawatan seseorang dengan HIV tidak membawa risiko
apabila tindakan pencegahan diikuti seperti membuang jarum suntik secara aman
dan menutupi luka. HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk atau serangga
pengisap darah yang lain. Kebanyakan serangga tidak membawa darah dari satu
orang ke orang lain ketika mereka menggigit manusia. Parasit malaria memasuki
aliran darah dalam air ludah nyamuk, bukan darahnya (Kannabus, 2008).

2.8 Pengobatan HIV/AIDS


Terapi pengobatan HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga obat yang
dikenal dengan terapi obat antiretroviral atau ARV.Terapi ini harus dipakai terus
menerusagar tetap efektif. Obat antiretroveral (ARV) menghambat proses
pembuatan HIV dalam sel CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang
tersedia untuk menularkan sel CD4 baru. Akibatnya sistem kekebalan tubuh
dilindungi dari kerusakan dan mulai pulih kembali, seperti ditunjukkan oleh
peningkatan dalam jumlah sel CD4 (Green, 2003). Manfaat yang diperoleh
dengan memakai ART, antara lain:
1. Menghambat perjalanan penyakit HIV
2. Meningkatkan jumlah sel CD4
3. Mengurangi jumlah virus dalam darah
4. Merasa lebih baik (Green, 2003)
Pengobatan untuk HIV sampai saat ini masih dengan obat terapi obat
antiretroviral atau ARV.Obat antiretroviral atau ARV fungsinya bukan untuk
menyembuhkan akan tetapi untuk menekan virus HIV agar tidak dapat

16
menggandakan diri. Dengan demikian mengurangi jumlah virus yang tersedia
untuk menularkan sel CD4 baru.

2.9 Pencegahan
1. Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan
HIV secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen
(prong) sebagai berikut.

a. Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.


b. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada
perempuan dengan HIV.
c. Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil (dengan
HIV dan sifilis) kepada janin/bayi yang dikandungnya.
d. Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.

Prog 1: Pencegahan penularah HIV pada perempuan usia produksi


Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV
pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi tertular HIV.
Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan
pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Hal ini
berarti mencegah perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan
pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan demikian, penularan HIV
dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah. Untuk menghindari penularan HIV,
dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut.
A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
bagi yang belum menikah.
B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
(tidak berganti-ganti pasangan).
C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom.
D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.

17
E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar
mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai
berikut.
a. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu
atau kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan
pasangannya.
b. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang
mempunyai perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular
HIV (misalnya penerima donor darah, pasangan dengan
perilaku/pekerjaan berisiko) agar bersedia melakukan tes HIV.
c. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.
Prog 2: Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV.
Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan
seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan
HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas
dan menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat
keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap
penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi.
Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan kehidupannya,
bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan dan
perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari
HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk itu, perempuan
dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang
menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan
yang tidak direncanakan.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.

a. Meningkatkan akses ODHA ke layanan KB yang menyediakan informasi


dan sarana pelayanan kontrasepsi yang aman dan efektif.

18
b. Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang
perencanaan kehamilan dan pemilihan metoda kontrasepsi yang sesuai,
kehidupan seksual yang aman dan penanganan efek samping KB.
c. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan
dengan HIV.
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan.
Prog 3: Mencegah penularan HIV dan Sifilis dari ibu ke bayi

Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar antara
20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur
dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak
yang terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui
bayinya. Pada ibu hamil dengan sifilis, pemberian terapi yang adekuat untuk
sifilis pada ibu dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya.
Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang terinfeksi HIV
dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup langkah-langkah
sebagai berikut.
a. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.
b. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
c. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin
(untuk sifilis) bagi ibu.
d. Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
e. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta
KB.
f. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
g. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
h. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
i. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu
selama hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang

19
paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV dan
sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa
kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.

2.10 Perilaku Yang Beresiko


1. Perilaku Beresiko secara umum
Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan
seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai dari
bergandengan tangan, bercumbu, berpelukan sampai ke hubungan seks.
Objek seksualnya bisa berupa orang lain atau khayalan. Aktivitas yang
dapat menjadikan seseorang melakukan perilaku seksual yaitu:
a. Berfantasi atau berimajinasi seksual yang bertujuan untuk menimbulkan
perasaan erotisme.
b. Bergandengan atau berpegangan tangan
c. Berciuman/ Kissing
d. Oral ( Memasukkan alat kelamin ke dalam tubuh)
e. Petting, melakukan hubungan seksualnya hanya dengan menggesek alat
kelamin
f. Intercourse, melakukan hubungan seksual dengan memasukkan alat
kelamin pria ke wanita.
g. Masturbasi, perilaku seksual dengan menyentuh, menggosok, meraba
kelamin untuk menimbulkan rasa kepuasan.
2. Perilaku Beresiko terhadap anak jalanan
Anak jalanan merupakan kelompok remaja yang beresiko tinggi tertular
infeksi menular seksual termasuk HIV. Tingginya angka infeksi HIV pada
anak jalanan dilatar belakangi oleh perilaku beresiko terinfeksi HIV.
Penelitian di Jakarta tahun 2000 sebanyak 22,3% anak jalanan sudah
berhubungan seksual. Penelitian di Makassar sebanyak 24% anak jalanan
mengkonsumsi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), sebanyak
15,2% memakai tato dan tindik, serta aktivitas seks 2,4% pernah melakukan
seks oral, dan 1,6% pernah melakukan hubungan kelamin (intercourse).
Penelitian di Semarang pada tahun 2005 menyebutkan sebagian besar anak
jalanan memakai zat adiktif (61,76%) menurut [ CITATION Hut141 \l 1057 ].

20
3. Perilaku Seksual Beresiko Pada Supir Angkutan Umum
a. Berdasarkan pasangan seksual
Berdasarkan distribusi perilaku seksual berisiko dilihat dari pasangan
seksual yang berhubungan dengan istri saja sebanyak 33 orang (53.2%),
kemudian yang melakukan hubungan seksual dengan istri dan PSK
sebanyak 16 orang (25.8%). Dari hasil ini bisa dilihat masih ada
kemungkinan melakukan hubungan dengan selain pasangan sendiri
dalam satu bulan yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya penularan
penyakit HIV semakin meluas. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ada
hubungannya jumlah pasangan dengan kejadian HIV. Di mana semakin
banyak pasangan seksual maka semakin banyak pula peluang tertularnya
virus HIV dalam tubuh ke tubuh yang lain. Sehingga virus ini juga
berdampak pada ibu rumah tangga yang memiliki suami dengan risiko
tinggi. Sesuai dengan hasil peta masalah oleh KPA (2008), bahwa jumlah
WPS (wanita pekerja seks) mencapai 221.000 orang yang melayani
sekitar 4 juta pelanggan per tahun. Dari hasil itu, Depkes memperkirakan
ada 12-19 juta orang Indonesia tertular HIV karena perilaku seksualnya
atau dari pasanganya. Dari hal ini sesuai dengan Depkes bahwa jumlah
pasangan termasuk dalam perilaku berisiko tertularnya penyakit HIV
atau IMS lainnya.

b. Berdasarkan frekuensi melakukan hubungan seksual selain dengan istri


Berdasarkan distribusi perilaku seksual berisiko dilihat dari frekuensi
hubungan seksual, kegiatan seks berisiko tanpa menggunakan kondom
serta penggunaan paza suntik yang dilakukan berulang atau sering maka
epidemi HIV akan semakin meluas karena tingkat penularan yang tinggi
dari kelompok napza, ke kelompok penjaja seks lalu ke kelompok
pelanggan seks dan juga ke pasangan seksual. Berdasarkan hasil
penelitian responden yang tidak pernah melakukan hubungan seksual
selain istri selama satu bulan terakhir sebanyak 43 orang (69.4%), dan
yang melakukan hubungan seksual selain istri 1kali dalam satu bulan
terakhir sebanyak 12 orang (19.4%), hal ini menunjukkan bahwa
responden melakukan hubungan dengan selain istri sedikitnya dalam satu

21
bulan satu kali. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ada hubungannya
frekuensi melakukan hubungan seksual selain dengan istri dengan
kejadian HIV. Di mana semakin sering seseorang melakukan hubungan
seksual selain dengan istri maka akan rentan terkena HIV. Sehingga virus
ini juga berdampak pada ibu rumah tangga yang memiliki suami dengan
risiko tinggi. Dimana frekuensi melakukan pertukaran cairan
spermatozoa memberi peluang risiko tertularnya virus HIV dalam tubuh
ke tubuh yang lain. Sesuai dengan Depkes RI dalam laporan KPA (2008)
bahwa Frekuensi melakukan hubungan seksual selain dengan istri atau
kontak seksual komersial termasuk dalam perilaku berisiko. Semakin
sering melakukan hubungan seksual dengan berganti pasangan akan
memperbanyak peluang tertularnya virus dalam tubuh ke tubuh yang
lain. Karena Virus HIV dapat ditularkan pada saat hubungan seksual.

c. Berdasarkan kebiasaan menggunakan kondom


Pencegahan penyakit HIV-AIDS antara lain: Menghindari hubungan
seksual dengan penderita HIV-AIDS, mencegah berganti-ganti pasangan
hubungan seksual, menghindari hubungan seksual dengan pecandu
narkotika obat suntik, melarang orang berisiko tinggi untuk melakukan
donor darah, memastikan sterilisasi alat suntik (Widoyono, 2011).
Berdasarkan distribusi perilaku seksual berisiko dilihat dari kebiasaan
responden menggunakan kondom, salah satu kegiatan penanggulangan
HIV adalah mengupayakan peningkatan penggunaan kondom pada setiap
kegiatan seks berisiko. Survey di banyak Negara menunjukkan semakin
tinggi penggunaan kondom pada kegiatan seks berisiko mampu
mencegah penularan HIV, terlihat dari semakin rendah kasus penularan
infeksi menular seksual, termasuk HIV. Dari hasil penelitian responden
yang menggunakan kondom ketika melakukan hubungan selain istri
sebanyak 39 orang (62,9%) yang tidak menggunakan dikarenakan tidak
berhubungan dengan selain istri, dan dikarenakan alasan yang lain seperti
kurang nyaman atau tidak memiliki kondom. Berbagai alasan digunakan
untuk menolak memakai kondom ketika mereka berhubungan selain
dengan istri. Pencegahan HIV dalam hubungan terletak pada laki-laki di

22
mana penggunaan kondom lebih ditentukan oleh laki-laki. Virus HIV
pada spesmatozoa bisa dicegah dengan kondom agar tidak tertular
kepada pasangan seksual. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kondom bisa
mencegah terjadinya penularan penyakit HIV. Di mana semakin sering
seseorang melakukan hubungan seksual selain dengan istri dengan tidak
menggunakan kondom maka akan memberi peluang risiko tertularnya
virus HIV lebih cepat.

Berdasarkan penelitian dari 62 responden di Kabupaten Sidohardjo,


didapatkan hasil yang positif HIV. Ditinjau dari perilaku seksual berisiko
pada sopir angkutan umum sebagian kecil memiliki hubungan pasangan
seksual selain dengan istri, dalam perilaku seksual tersebut sebagian kecil
melakukan hubungan seksual satu bulan sekali, dan sebagian kecil tidak
menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual selain dengan
istri yang mengakibatkan kejadian HIV menurut [ CITATION Nan12 \l
1057 ].

23
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di
dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza,
Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh menurut Kemenkes, 2015 dalam [ CITATION Isw17 \l 1057 ].

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.

Terapi pengobatan HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga obat yang


dikenal dengan terapi obat antiretroviral atau ARV.Terapi ini harus dipakai terus
menerusagar tetap efektif. Obat antiretroveral (ARV) menghambat proses
pembuatan HIV dalam sel CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang
tersedia untuk menularkan sel CD4 baru.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman bagi
pembaca khususnya mahasiswa/mahasiswi keperawatan. Makalah ini masih

24
banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ersha, R. F., & Ahmad, A. (2018). Human Immunodeficiency Virus-Acquired


Immunodeficiency Syndrome dengan Sarkoma Kaposi.
Husna, C., & Fitriani, I. (2016). Kompetensi Perawat Pelaksana Dalam Merawat
Pasien HIV/ AIDS. Idea Nursing Journal .
Hutami, G. (2014). Hubungan Perilaku Beresiko Dengan Infeksi HIV Pada Anak
Jalanan Di Semarang. Jurnal Media Medika Muda .
Iswandi, F. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan HIV/ AIDS Di
IRNA Non Bedah Penyakit Dalam RSUP DR. M. DJAMIL Padang.
Nandasari, F., & Hendrati, L. Y. (2012). Identifikasi Perilaku Seksual Dan
Kejadian HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada Sopir Angkutan
Umum Di Kabupaten Sidoharjo.
Siregar, Z. A. (2004). Pengenalan Dan Pencegahan AIDS.

25

Anda mungkin juga menyukai