Anda di halaman 1dari 8

UTS

SOSIAL DAN POLITIK C2

DEMOKRASI ERA ORDE LAMA HINGGA REFORMASI

Oleh :

Ni Luh Putu Prawerti Widhari 1707521077

PROGRAM REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

JIMBARAN

Tahun: 2020
A. Pengertian Demokrasi

Istilah demokrasi berawal dari bahasa Yunani, yakni demokratia. Kata ini terbentuk
dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Jadi,
demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Kekuasaan itu mencakup sektor sosial,
ekonomi, budaya, dan politik.

Secara umum demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang memberikan


kesempatan kepada seluruh warga negara dalam suatu proses pengambilan keputusan.
Dimana keputusan itu akan berdampak bagi kehidupan seluruh rakyat. Dapat juga diartikan
bahwa rakyat bertindak sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sistem pemerintahan ini,
mengizinkan seluruh warga negara untuk berpartisipasi aktif. Peran serta itu bisa diwakilkan
atau secara langsung dalam perumusan, pengembangan, dan penetapan undang-undang.
Abraham Lincoln berpendapat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan, yang
dirancang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan bagi Charles Costello,
demokrasi termasuk sistem sosial dan politik, yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan
hukum. Demi melindungi hak selruuh warga negara.

Secara umum terdapat dua jenis demokrasi demokrasi langsung (direct democracies)
dan demokrasi tak langsung (indirect democracies). Demokrasi langsung yaitu setiap orang
memiliki hak untuk membuat hukum bersama. Salah satu contoh modern dari demokrasi
langsung adalah referendum. Referendum merupakan istilah untuk jenis cara pengesahan
undang-undang di mana setiap orang di masyarakat memberikan suara untuk itu. Demokrasi
langsung biasanya tidak digunakan untuk menjalankan negara, karena sulit untuk membuat
jutaan orang berkumpul bersama setiap saat untuk membuat undang-undang dan keputusan
lain.  Demokrasi tak langsung yaitu orang memilih perwakilan untuk membuat undang-
undang bagi mereka. Orang-orang yang terpilih sebagai wakil adalah walikota, anggota
dewan, anggota parlemen atau pejabat pemerintah lainnya. Ini adalah jenis demokrasi yang
jauh lebih umum. Biasanya komunitas besar seperti kota dan negara menggunakan metode
ini, tetapi mungkin ini tidak diperlukan bagi kelompok kecil.

B. Demokrasi Era Orde Lama

Orde Lama merupakan sebutan bagi masa pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno. Pemerintahan Orde Lama berlangsung antara tahun 1945 hingga 1968, pada masa
ini menggunakan dua sistem demokrasi yakni, sistem demokrasi liberal dan sistem demokrasi
terpimpin. Demokrasi Orde Lama masih didominasi oleh sistem yang dipengaruhi
liberalisme bangsa penjajah.

1. Demokrasi Liberal/Parlementer (1950-1959)

Sistem parlementer merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen


memegang peran yang penting dalam proses pemerintahan. Dalam sistem tersebut
presiden hanyalah sebagai simbol kepala negara saja dan tak memiliki kewenangan
apapun terhadap proses pemerintahan dan tata negara. Karena semua hal tersebut di
kendalikan oleh Perdana menteri selaku kepala pemerintahanan dalam sistem
parlementer. Jadi setiap kewenangan dalam pemerintahan berada di tangan perdana
menteri.

Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,PNI,dan PKI


mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet
yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang
merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.

Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam


parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet,
maka kabinet harus mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah
kabinet baru untuk mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu
ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih
bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan.

Dari tahun 1950 hingga tahun 1959 telah berganti tujuh kabinet dalam kurun
waktu sembilan tahun saja. Dimulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet
Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo 1, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali
Sastroamidjojo 2, hingga Kabinet Djuanda yang menjadi kabinet terakhir pada masa
itu. Kondisi Indonesia pada saat itu sangatlah rentan, dikarenakan dalam kurun waktu
pemerintahan ketujuh kabinet tersebut, kinerja kabinetnya sering mengalami deadlock
dan ditentang oleh para parlemen. Hal itu terjadi karena adanya kelompok oposisi
yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses
perumusan dan pembuatan kebijakan negara. Bukan hanya itu, kehidupan politik di
masa demokrasi liberal juga diwarnai dengan gagalnya lembaga konstituante dalam
membuat undang-undang yang baru bagi Indonesia. Dikarenakan, terdapatnya sikap
mementingkan kepentingan golongan atau partai politik yang berada di dalam
konstituante. Pada akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5
Juli 1959, untuk mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari Demokrasi Liberal
menjadi Demokrasi Terpimpin.

2. Demokrasi Terpimpin (1959-1966)


Demokrasi terpimpin muncul dari ketidaksenangan Presiden Soekarno
terhadap partai-partai politik yang dinilai lebih mementingkan kepentingan partai dan
ideologinya masing-masing daripada kepentingan yang lebih luas. Presiden Soekarno
menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dan perjuangan
revolusi Indonesia yang belum selesai.

Menurut ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 pengertian dasar demokrasi


terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara
gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan
berporoskan Nasakom. Ciri-ciri demokrasi terpimpin adalah sebagai berikut :
a. Terbatasnya peran partai politik.
b. Berkembangnya pengaruh PKI dan militer sebagai kekuatan sosial politik
di Indonesia
c. Dominannya peran presiden, yaitu Presiden Soekarno, yang menentukan
penyelenggaraan pemerintahan negara.

Undang-Undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden


untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS
No. III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini yang ditentukan oleh Undang-
Undang Dasar. Selain itu banyak sekali tindakan yang menyimpang atau
menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam
tahun 1960 Ir.Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang dasar 1945 secara
eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat
demikian.

Selain perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah


dilaksanakan melalui penetapan presiden (penpres) yang memakai dekrit presiden
sebagai sumber hukum. Partai politik dan pers yang sedikit menyimpang dari “rel
revolusi” tidak dibenarkan, sedangkan politik mercusuar dibidang hubungan luar
negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi
tambah seram.

Akhir dari demokrasi pada masa orde lama dengan sistem Demokrasi
Terpimpin berawal dari terjadinya pemberontakan peristiwa G 30 S PKI, yang
membuat Presiden Soekarno dianggap gagal dalam mempertahankan keseimbangan
kedua kekuatan di sisinya yaitu kekuatan PKI dan militer. Peristiwa itu menjadi salah
satu penyimpangan pada masa orde lama yang berakibat fatal. Penanda berakhirnya
Demokrasi Terpimpin adalah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang berisi mandat dari
Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil alih mengatasi
keadaan yang semakin tidak kondusif.

B. Demokrasi Era Orde Baru

Wajah demokrasi mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan tingkat


ekonomi, poltik dan, ideologi. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh
adanya kebebasan politik yang besar. Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden
Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI, menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu
disebut Demokrasi Pancasila (Orde baru), penamaan Demokrasi Pancasila juga bertujuan
untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sejatinya tepat dengan
ideologi negara Pancasila. Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan seolah-
olah akan didistribusikan kepada rakyat. Oleh karena itu kalangan elit politik, aktivis dan
organisasi sosial politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk
berpartisipasi mendukung program-program pembaruan pemerintahan baru.

Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat terutama dalam pembangunan
disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V. Namun lama kelamaan perkembangan yang
terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat.
Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, sementara
masyarakat semakin terasingkan dari lingkungan kekuasaan dan proses pembuatan kebijakan.
Kedaan ini tidak lain adalah akibat dari:

 Intervensi negara secara berlebihan terhadap perekonomian dan pasar yang


memberikan keleluasaan lebih kepada negara untuk mengakumulasikan modal dan
kekuatan ekonomi.
 Kemenangan mutlak Partai Golkar dalam pemilu yang memberi legitimasi politik
yang kuat kepada negara.
 Dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasai, depolitisasai, dan
institusionalisasi.
 Dipakai pendekatan keamanan
 Tersedianya sumber biaya pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas
serta dari bantuan luar negeri, dan akhirnya sukses menjalankan kebijakan pemenuhan
kebutuhan pokok rakya sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensinya
muncul karena sebab struktural.

Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh dominannya peranan ABRI,
birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi
partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik,
monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah.

Legitimasi pemerintahan otoriter Suharto terutama berasal dari pembangunan


ekonomi yang terjadi pada masa pemerintahannya. Dari keputusasaan di tahun 1960an,
proses industrialisasi merubah Indonesia menjadi negara yang ekonominya menjanjikan.
Institusi-institusi internasional berpengaruh (seperti Bank Dunia) menyatakan Indonesia
sebagai 'Keajaiban Asia Timur' pada tahun 1990an.

Gaya pemerintahan Suharto adalah sistem politik patronase. Sebagai ganti untuk
dukungan di bidang politik atau keuangan, ia membujuk para pengkritiknya dengan
memberikan mereka posisi yang bagus di pemerintahan maupun kesempatan bisnis yang
lukratif. Namun, perlakuan pilih kasih ini tidak hanya diberikan pada para pengkritiknya.
Selama dekade terakhir pemerintahan Suharto, anak-anak maupun teman-teman dekatnya
bisa membentuk sebuah kerajaan bisnis hanya karena kedekatan mereka dengan Suharto.
Meskipun banyak orang Indonesia yang frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
tingkat tinggi di lingkaran pemerintahan ini, pemerintah selalu bisa merujuk pada
pembangunan ekonomi yang mengesankan dan pada saat yang sama melakukan lip service
kepada masyarakat dengan mengklaim bahwa ada usaha-usaha memberantas korupsi di
negara ini.

Namun, pilar ekonomi yang menjadi alat legitimasi ini menghilang ketika Krisis
Finansial Asia melanda pada tahun 1997-1998 (penjelasan lebih mendetail ada di bagian
Krisis Finansial Asia). Indonesia menjadi negara yang paling terpukul akibat krisis ini yang
kemudian menimbulkan efek bola salju. Dari sebuah krisis ekonomi, efeknya berlanjut
menyebabkan krisis sosial dan juga politik. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh
dan masyarakat Indonesia menjadi bertekad menuntut adanya pemerintahan yang baru (tanpa
kehadiran Suharto). Jakarta berubah menjadi medan pertempuran tempat kerusuhan-
kerusuhan menghancurkan ribuan gedung, sementara lebih dari seribu orang dibunuh. Pada
21 Mei 1998, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sekutu dekat Suharto, menjadi
presiden ketiga Indonesia. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tuntutan
masyarakat Indonesia untuk memulai era Reformasi.

C. Demokrasi Era Reformasi

Sejak berakhirnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden
Soeharto, maka indonesia memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil
dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini diawali dengan di
amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) sebab dinilai sebagai sumber utama
kegagalan tatanan kehidupan kenegaraan di masa Orde Baru.

Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara,


khususnya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar
lembaga-lembaga negara, akibat amandemen tersebut sehingga dengan sendirinya terjadi
perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksanakan dibandingkan dengan model
Demokrasi Pancasila di era Orde Baru. Saat masa pemerintahan Habibie mulai nampak
beberapa indicator kedemokrasian di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers
sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua,
diberlakunya system multi partai dalam pemilu tahun 1999.

Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah Demokresi
Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan Demokresi Pancasila yang
diterapkan pada masa orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-
1959. Perbaikan ke arah positif Perkembangan Demokrasi pada masa Reformasi ini dapat
tercermin dalam beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:

 Pemilu yang dilaksanakan tahun 1999 jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya
serta pelaksanaan pemilu setelah tahun 1999 juga berjalan demokratis dan lebih baik
daripada pelaksanaan pemilu sebelum 1999.
 Sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan
pendapat.
 Pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
 Rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat
desa.

Namun dibalik perkembangan demokrasi yang menuju ke arah positif, penerapan


demokrasi oleh sebagian kalangan dianggap tidak memberikan kesejahteraan tetapi justru
melahirkan pertikaian dan pemiskinan. Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai penguasa
tertinggi, ironisnya justru sering dipinggirkan. Kondisi buruk diperparah oleh elite politik dan
aparat penegak hukum yang menunjukkan aksi-aksi blunder. Banyak perilaku wakil rakyat
yang tidak mencerminkan aspirasi pemilihnya, bahkan opini publik sengaja disingkirkan
guna mencapai aneka kepentingan sesaat. Banyak kasus-kasus yang amat mencederai
perasaan rakyat mudah ditampilkan dan mengundang kemarahan publik.

Oleh karenanya di tengah eforia demokrasi, kita semua harus berhati-hati akan
kepentingan sempit yang sangat mungkin menjadi penumpang gelap. selain itu sinkronisasi
antara demokrasi dengan pembangunan nasional haruslah sejalan bukan malah sebaliknya
demokrasi yang ditegakkan hanya untuk pemenuhan kepentingan partai dan kelompok
tertentu saja. Jadi, demokrasi yang kita terapkan sekarang haruslah mengacu pada sendi-sendi
bangsa Indonesia yang berdasarkan filsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta
bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan bangsa indonesia secara umum.

Anda mungkin juga menyukai