Oleh :
PROGRAM REGULER
UNIVERSITAS UDAYANA
JIMBARAN
Tahun: 2020
A. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berawal dari bahasa Yunani, yakni demokratia. Kata ini terbentuk
dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Jadi,
demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Kekuasaan itu mencakup sektor sosial,
ekonomi, budaya, dan politik.
Secara umum terdapat dua jenis demokrasi demokrasi langsung (direct democracies)
dan demokrasi tak langsung (indirect democracies). Demokrasi langsung yaitu setiap orang
memiliki hak untuk membuat hukum bersama. Salah satu contoh modern dari demokrasi
langsung adalah referendum. Referendum merupakan istilah untuk jenis cara pengesahan
undang-undang di mana setiap orang di masyarakat memberikan suara untuk itu. Demokrasi
langsung biasanya tidak digunakan untuk menjalankan negara, karena sulit untuk membuat
jutaan orang berkumpul bersama setiap saat untuk membuat undang-undang dan keputusan
lain. Demokrasi tak langsung yaitu orang memilih perwakilan untuk membuat undang-
undang bagi mereka. Orang-orang yang terpilih sebagai wakil adalah walikota, anggota
dewan, anggota parlemen atau pejabat pemerintah lainnya. Ini adalah jenis demokrasi yang
jauh lebih umum. Biasanya komunitas besar seperti kota dan negara menggunakan metode
ini, tetapi mungkin ini tidak diperlukan bagi kelompok kecil.
Orde Lama merupakan sebutan bagi masa pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno. Pemerintahan Orde Lama berlangsung antara tahun 1945 hingga 1968, pada masa
ini menggunakan dua sistem demokrasi yakni, sistem demokrasi liberal dan sistem demokrasi
terpimpin. Demokrasi Orde Lama masih didominasi oleh sistem yang dipengaruhi
liberalisme bangsa penjajah.
Dari tahun 1950 hingga tahun 1959 telah berganti tujuh kabinet dalam kurun
waktu sembilan tahun saja. Dimulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet
Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo 1, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali
Sastroamidjojo 2, hingga Kabinet Djuanda yang menjadi kabinet terakhir pada masa
itu. Kondisi Indonesia pada saat itu sangatlah rentan, dikarenakan dalam kurun waktu
pemerintahan ketujuh kabinet tersebut, kinerja kabinetnya sering mengalami deadlock
dan ditentang oleh para parlemen. Hal itu terjadi karena adanya kelompok oposisi
yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses
perumusan dan pembuatan kebijakan negara. Bukan hanya itu, kehidupan politik di
masa demokrasi liberal juga diwarnai dengan gagalnya lembaga konstituante dalam
membuat undang-undang yang baru bagi Indonesia. Dikarenakan, terdapatnya sikap
mementingkan kepentingan golongan atau partai politik yang berada di dalam
konstituante. Pada akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5
Juli 1959, untuk mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari Demokrasi Liberal
menjadi Demokrasi Terpimpin.
Akhir dari demokrasi pada masa orde lama dengan sistem Demokrasi
Terpimpin berawal dari terjadinya pemberontakan peristiwa G 30 S PKI, yang
membuat Presiden Soekarno dianggap gagal dalam mempertahankan keseimbangan
kedua kekuatan di sisinya yaitu kekuatan PKI dan militer. Peristiwa itu menjadi salah
satu penyimpangan pada masa orde lama yang berakibat fatal. Penanda berakhirnya
Demokrasi Terpimpin adalah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang berisi mandat dari
Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil alih mengatasi
keadaan yang semakin tidak kondusif.
Awal Orde baru memberi harapan baru pada rakyat terutama dalam pembangunan
disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V. Namun lama kelamaan perkembangan yang
terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat.
Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, sementara
masyarakat semakin terasingkan dari lingkungan kekuasaan dan proses pembuatan kebijakan.
Kedaan ini tidak lain adalah akibat dari:
Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh dominannya peranan ABRI,
birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi
partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik,
monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah.
Gaya pemerintahan Suharto adalah sistem politik patronase. Sebagai ganti untuk
dukungan di bidang politik atau keuangan, ia membujuk para pengkritiknya dengan
memberikan mereka posisi yang bagus di pemerintahan maupun kesempatan bisnis yang
lukratif. Namun, perlakuan pilih kasih ini tidak hanya diberikan pada para pengkritiknya.
Selama dekade terakhir pemerintahan Suharto, anak-anak maupun teman-teman dekatnya
bisa membentuk sebuah kerajaan bisnis hanya karena kedekatan mereka dengan Suharto.
Meskipun banyak orang Indonesia yang frustasi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme
tingkat tinggi di lingkaran pemerintahan ini, pemerintah selalu bisa merujuk pada
pembangunan ekonomi yang mengesankan dan pada saat yang sama melakukan lip service
kepada masyarakat dengan mengklaim bahwa ada usaha-usaha memberantas korupsi di
negara ini.
Namun, pilar ekonomi yang menjadi alat legitimasi ini menghilang ketika Krisis
Finansial Asia melanda pada tahun 1997-1998 (penjelasan lebih mendetail ada di bagian
Krisis Finansial Asia). Indonesia menjadi negara yang paling terpukul akibat krisis ini yang
kemudian menimbulkan efek bola salju. Dari sebuah krisis ekonomi, efeknya berlanjut
menyebabkan krisis sosial dan juga politik. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh
dan masyarakat Indonesia menjadi bertekad menuntut adanya pemerintahan yang baru (tanpa
kehadiran Suharto). Jakarta berubah menjadi medan pertempuran tempat kerusuhan-
kerusuhan menghancurkan ribuan gedung, sementara lebih dari seribu orang dibunuh. Pada
21 Mei 1998, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, sekutu dekat Suharto, menjadi
presiden ketiga Indonesia. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tuntutan
masyarakat Indonesia untuk memulai era Reformasi.
Sejak berakhirnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden
Soeharto, maka indonesia memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil
dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini diawali dengan di
amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) sebab dinilai sebagai sumber utama
kegagalan tatanan kehidupan kenegaraan di masa Orde Baru.
Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah Demokresi
Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan Demokresi Pancasila yang
diterapkan pada masa orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-
1959. Perbaikan ke arah positif Perkembangan Demokrasi pada masa Reformasi ini dapat
tercermin dalam beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pemilu yang dilaksanakan tahun 1999 jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya
serta pelaksanaan pemilu setelah tahun 1999 juga berjalan demokratis dan lebih baik
daripada pelaksanaan pemilu sebelum 1999.
Sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan
pendapat.
Pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
Rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat
desa.
Oleh karenanya di tengah eforia demokrasi, kita semua harus berhati-hati akan
kepentingan sempit yang sangat mungkin menjadi penumpang gelap. selain itu sinkronisasi
antara demokrasi dengan pembangunan nasional haruslah sejalan bukan malah sebaliknya
demokrasi yang ditegakkan hanya untuk pemenuhan kepentingan partai dan kelompok
tertentu saja. Jadi, demokrasi yang kita terapkan sekarang haruslah mengacu pada sendi-sendi
bangsa Indonesia yang berdasarkan filsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta
bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan bangsa indonesia secara umum.