Anda di halaman 1dari 11

Nama : Iza Netiasa Haris

NIM : 04011181621060
Kelas : Beta 2016
Kelompok : B6

Skenario A blok 21
1. Patogenesis AIHA
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme , atau kombinasi keduanya.

Aktivasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan


menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis
intravaskular.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgGl, IgG2, IgG3. Imunoglobulin M disebut sebagai aglutinin tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel
darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin
hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.

a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi CI, suatu
protein yang dikenal sebagai recognition unit. Protein CI akan berikatan
dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu
mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen CI akan mengaktifkan
C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase).
C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubahan konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan
partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi).
C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap
berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final
aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi
C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalann kompleks penghancur
membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke
dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga
permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke
dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivator jalur alternatif akan
mengaktifkan C3, dan C3b yang terbentuk akan berikatan dengan membran
sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan faktor B dipecah
oleh D menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap
melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi
menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran
membran.

Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular.^Jika sel darah


disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan
sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai
IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis

2. Patofisiologi
Proses hemolisis akan menimbulkan, sebagai berikut:
a) Penurunan kadar hemoglobin akan menyebabkan anemia. Hemolisis dapat
terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi
tubuh, tetapi dapat juga terjadi secara tiba-tiba sehingga dapat menurunkan
kadar hemoglobin. Tergantung derajat hemolisis, apabila derajat hemolisis
ringan sampai sedang maka sumsum tulang masih dapat melakukan
kompensasi 6 sampai 8 kali normalsehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini
disebut sebagai keadaan hemolitik terkompensasi (compensated hemolytic
state). Akan tetapi, apabila derajat hemolisis berat maka mekanisme
kompensasi tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga terjadi anemia
hemolitik. Derajat penurunan hemoglobin dapat bervariasi dari ringan sampai
sedang. Penurunan hemoglobin dapat terjadi perlahan-lahan, tetapi sering
sekali sangat cepat (lebih dari 2 g/dL dalam waktu satu minggu).
b) Peningkatan hasil pemecahan eritrosit arena hemolisis ekstravaskular.
Hemolisis ekstravaskular lebih sering dijumpai dibandingkan dengan
hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makroag dari sistem
retikuloendothelial (RES) terutama paa lien, hepar dan sumsum tulang karena
sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan
membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi hemoglobin
dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan
diameter yang relatif kecil dan suasan arelatif hipoksik akan memberi
kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan di kembalikan
ke protein pool, serta besi yang akan dikembalikan ke makrofag (cadangan
besi) selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan
menghasilkan gas CO dan bilirubin Bilirubin dalam darah berikatan dengan
albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati menjadi
bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urine. Sebagian
hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar
haptoglobin juga akan turun tetapi tidak serendah pada hemolisis
intravaskuler.
c) Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritopoesis. Destruksi
eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme biofeedback (melalui
eritropoetin) sehingga sumsum tulang meningkatkan eritropoesis. Sumsum
tulang normal dapat meningkatkan kemampuan eritropoesisnya 6-8 kali lipat.
Peningkatan ini ditandai oleh peningkatan jumlah eritroblast (normoblast)
dalam sumsum tulang sehingga terjadi hiperplasi normoblastik. Peningkatan
normoblast terjadi pada semua tingkatan, baik normoblast basofilik,
normoblast polikromatofilik, ataupun normoblast asidofilik atau
ortokromatik. Normoblast sering dilepaskan ke drah tepi sehingga sering
terjjadi normoblastemia. Sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa inti
(RNA) disebut sebagai retikulosit, akan dilepaskan ke darah tepi sehingga
terjadi retikulositosis dalam darah tepi. Sel-sel eritrosit warnanya tidak merata
(ada sel yang lebih gelap) disebut poikromasia. Produksi sistem lain dalm
sumsum tulang sering ikut terpacu sehingga terjadi leukositosis dan
trombositosis ringan.

3. Manifestasi Klinis
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjungtiva
pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegali, urin berwarna merah gelap.
Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis,
peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct
Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.

4. Klasifikasi
Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun
I. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)
a. AIHA tipe hangat
- Idiopatik
- Sekunder (karena CLL, limfoma, SLE)
b. AIHA tipe dingin
- Idiopatik
- Sekunder (Karen infeksi mikoplasma, mononukleosis virus,
keganasan limforetikuler)
c. Paroxysmal cold hemoglobin
- Idiopatik
- Sekunder (viral dan sifilis)
d. AIHA Atipik
- AIHA tes antiglobulin negatif
- AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
III. AIHA diinduksi aloantibodi

a) Anemia hemolitik autoimun tipe hangat


Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada suhu 37°C. Kurang lebih 50% pasien AIHA
tipe hangat disertai penyakit lain.
Gejala dan Tanda : Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi
perlahanlahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan
penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna
gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada
AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada
30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak
disertai pembesaran organ dan limfonodi.
Laboratorium : Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl.
Pemeriksaan Coomb direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat
biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel
eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen
pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
Prognosis dan kesintasa : Hanya sebagian kecil pasien mengalami
penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang
berlangsung kronik, namun terkendali. Kesintasan 10 tahun berkisar 70%.
Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan kejadian kardiovaskular lain bisa
terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar
15-25%. Prognosis AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.
Terapi :
a. Kortikosteroid : 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar
akan menunjukkan respons klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit
meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatif).
Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90.
Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu
sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/ hari
dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan
terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis per hari
melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu
segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
penurunan dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan
splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama
penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung
setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat
antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan
kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi
mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis
rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
c. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan
respons yang cukup menggembirakan sebagai saivage therapy^''. Dosis
Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan
luas permukaan tubuh.Beberapa literatur menganjurkan rituximab
375/m2 hari 1, 8,15,21.
d. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/ m2), siklofosfamid
50-150 mg/hari (60 mg/m2)
e. Terapi lain: Danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai
bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau
dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg.hari.
Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai
terapi inisial dan memberikan respons pada 80% kasus. Efek danazol
berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome
Siklofosfamid dosis tinggi dilaporkan berhasil pada serial kasus-kasus
dengan AIHA yang refrakter dengan 3 atau lebih terapi. Dosis yang
diberikan adalah 50mg/ kgBB/hari selama 4 hari. Masih diperlukan studi
dengan jumlah kasus yang lebih banyak. Terapi imunoglobulin intravena
(400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada
beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada
beberapa pasien lain. Menurut Flores respons hanya 40%. Jadi terapi ini
diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara.
Mycophenolate mofetil 500 mg perhari sampai 1000 mg per hari
dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter Terapi
plasmafaresis masih kontroversial.
f. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak.
Pada kondisi yang meng-ancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat
diberikan, sambil menunggu efek steroid dan imunoglobulin.
b) Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin
dan antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki
aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah
terhadap antigen I/i. Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap
anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat
pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase
penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mikoplasma
yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan
produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan
oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah
merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.
Gambaran Klinis : Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin.
Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl.
Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali
Laboratorium : anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs
positif, anti-I, anti-I, anti -Pr, anti- M, atau anti-P
Prognosis dan Kesintasan : Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki
kesintasan yang baik dan cukup stabil
Terapi : Menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis,
Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu, Chlorambucil 2-4
mg/hari dapat diberikan, Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM
secara teoritis bisa mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar
dilakukan.

c) Paroxysmal cold hemoglobinuria


Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis
terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu
penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada
kondisi ekstrim autoandibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen
berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37 C, terjadilah lisis
karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain.
Gambaran Klinis : AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai
menggigil. panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa
jam. Sering disertai urtikaria
Laboratorium hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Coombs
positif antibodi Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.
Prognosis dan Kesintasan : pengobatan penyakit yang mendasari akan
memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada
umumnya juga baik dengan kesintasan yang panjang.
Terapi : Menghindari faktor pencetus. glukokortikoid dan splenektomi
tidak ada manfaatnya.

d) Anemia hemolitik imun diinduksi obat


Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat
yaitu: hapten/penyerapan obat yang meiibatkan antibodi tergantung obat,
pembentukan kompleks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent
bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada
lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/adsorpsi protein
nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa
kerusakan eritrosit.
Pada mekanisme hapten/adsorpsi obat, obat akan melapisi
eritrosit.dengan kuat Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi
dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat
tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit
hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang
sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary meiibatkan obat atau
metabolit obat, tempat ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan
aktivasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari
ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan
antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran
eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen
golongan darah tertentu seperti Rh, Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan Coomb
biasanya positif Setelah aktivasi komplemen terjadi hemolisis intravaskular,
hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis
akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamid, sulfonilurea, dan tiazid.
Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit
autolog, seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam plasma
akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan
sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah
autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi
autoantibodi ini tidak diketahui. I
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif Oleh karena
hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami
kerusakan akibat zat oksidatif Eritrosit yang tua makin mudah mengalami
trauma oksidatif Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan
ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister
cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis
oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid.
Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positif
karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin,
fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit.
Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positif Pasien yang
timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya
bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks
ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak
dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut,
maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal.
Laboratorium anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif.
Leukopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering
terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary.
Terapi : Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu,
hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan
pada kondisi berat.

e) Anemia hemolitik aloimun karena transfusi


Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang
disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi
PRC golongan A pada penderita golongan darah O yang memiliki antibodi
IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktivasi komplemen dan terjadi
hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan Die dan infark ginjal. Dalam
beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang, menggigil,
mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah
terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik,
antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis
ekstravaskular.

5. Tatalaksana
- Terapi gawat darurat
Pada AIHA yang disertai hemolisis berat kadang-kadang diperlukan tindakan
darurat karena anemia berat yang terjadi tiba-tiba dapat membahayakan fungsi
jantung sehingga terjadi gagal jantung. Dalam keadaan demikian, transfusi
terpaksa harus dilakukan dengan kehati-hatian. Sebaiknya diberi washed red cell
untuk mengurangi beban antibodi. Pada saat yang sama dapat diberikan steroid
parenteral dosis tinggi untuk menekan fungsi makrofag atau pemberian
hiperimunglobulin dengan fungsi yang sama.

- Terapi suportif-simptomatik
Steroid memberikan respon terhadap kasus imunohemolitik tertentu
terutamayang disertai antibodi panas. Penderita yang tidak memberikan respon
terhadp steroid dapat diberikan obat imunosuprsif lain sepertiazathioprin.

6. Pencegahan
Saat ini, tidak ada pencegahan efektif Anemia Hemolitik Autoimun.
Diagnosis dan perawatan dini dapat membantu mencegah komplikasi

7. Komplikasi
Komplikasi Anemia Hemolitik autoimun dapat meliputi:
a. Pembesaran hati
b. Gagal jantung
c. Kelelahan berlebihan yang mungkin menyulitkan seseorang untuk melakukan
aktivitas sehari-harinya

8. Prognosis
Sudah ada per tipe
9. SKDI
Anemia Hemolitik 3A

10. Bagaimana mekanisme keluhan badan lemas yang dialami Ny. M?


Jawab :
Autoimun > aktivitas komplemen dan/atau aktivasi mekanisme > hemolisis >
eritrosit berkurang > suplai oksigen ke jarirngan berkurang > metabolisme energi
menurun > lemas

11. Bagaimana mekanisme BAK kuning tua pada kasus?


Jawab :
Hemolisis meningkat > pemecahan heme meningkat > bilirubin indirek
meningkat > urobilinogen meningkat > BAK kuning tua

12. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan laboratorium diatas?


Jawab :
Hemoglobin menurun karena banyak terjadi hemolisi aakibat proses auto imun.
Banyaknya eritrosit yang terdestruksi mengaktifkan sistem biofeedback negatif dan
menginduksi sumsum tulang untuk memmproduksi eritrosit lebih banyak dan
mengeluarkan retikulosit.

Daftar Pustaka
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF.2016. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014:1132-53.
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai