Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH POLITIK DAN

HUBUNGAN INTERNATIONAL

Disusun oleh:

Nama: Muhammad Zanu Rahmadhani

Kelas: Sejarah C 2017

NIM: 1403617127

Prodi: Pendidikan Sejarah


Bab 3

Periode Yunani Klasik

Dalam bab ini akan dibahas riwayat pemikiran politik yang berkembang pada era Yunani
Klasik yang merentang sejak Homeros sekitar 1000 SM sampai dengan Aristoteles sekitar
300 SM. Tentu saja pengertian “Klasik” yang digunakan disini sangat longgar (sebab 1100-
800 SM lazimnya disebut Zaman Kegelapan, 750-500 SM sebagai Zaman Arkhaik dan
baru 500-300 SM yang disebut sebagai era “Klasik”).

Konteks Pemikiran Politik Yunani Klasik

Apa sejumlah latar belakang yang perlu diingat sebelum kita mencermati pemikiran politik
Yunani Klasik. Yang pertama ialah bahwa orang Yunani berpikir tentang politik selalu
dalam kerangka polis. Yang kedua ialah bahwa hampir seluruh pandangan politik yang
diketengahkan pada era Yunani Klasik selalu berakar pada masalah distribusi daya politik.
Yang ketiga adalah bahwa para pemikir politik Yunani Klasik merumuskan pandangannya
dengan asumsi tertentu tentang pelapisan sosial berbasis kodrat.

Polis sebagai Titik Berangkat

Mengapa penelitian tentang polis ini demikian penting? Sebabnya, tak pelak, karena
orang Yunani Klasik sendiri selalu berpikir tentang politik dalam kerangka polis. Mogens
Herman Hansen, penyunting buku tersebut sekaligus salah satu penelitinya, menyatakan
bahwa “mustahil bagi orang Yunani untuk berpikir, berbicara atau menulis apapun tentang
masalah publik tanpa terus-menerus menggunakan kata polis dan turunannya” (Hansen
2004: 12). Namun apa itu polis sebenarnya? Menurut Hansen (2004: 16), kata polis secara
etimologis terhubung dengan kata púr dalam bahasa India kuno, kata pilìs dalam bahasa
Lithuania dan kata pils dalam bahasa Latvia. Dalam ketiga bahasa kuno itu, kata itu berarti
“benteng” atau “kastil”. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh dua alasan. Pertama,
masyarakat Yunani Klasik tak mengenal negara. Polis bukanlah lembaga yang kini akan
kita identifikasikan sebagai negara. Polis tidak mengenal pemisahan kekuasaan, tidak
memiliki angkatan kepolisian, dan tidak memiliki partai-partai yang terlembaga dengan
jelas dan perangkat kelembagaan lain yang kini menyusun definisi negara. Kedua, kerangka
acuan politik Yunani Klasik bukanlah individu, melainkan masyarakat secara keseluruhan.

Akar Distributif Politik Yunani Klasik

Pemikiran politik Yunani Klasik berangkat dari pertanyaan dasar dan sehari-hari
tentang siapa yang bisa menjalankan apa dalam konteks polis. Distingsi antara rhētor dan
idiotēs yang baru saja kita lihat sebetulnya juga untuk berangkat dari pertanyaan di muka.
Rhētor dianggap punya kapabilitas untuk bicara politik, sementara idiotēs dianggap tak
memiliki keahlian atau pengetahuan yang memadai untuk bicara politik. Dalam konteks
inilah kita mesti menempatkan pengertian nomos. Kata nomos umumnya diartikan sebagai
“hukum”. Pengertian inilah yang jamak dipakai para pemikir politik Yunani Klasik. Kata
nomos berakar pada verba nemein yang artinya “membagi” (to share, to divide, to
distribute). Disinilah terletak akar distributif pemikiran politik Yunani Klasik.

Istilah isonomia berarti “pembagian yang setara/sepantasnya” (isos: “setara”,


“proporsional”; nomos: “pembagian”). Suatu tatanan sosial dikatakan “isonomis” bila
dalam tatanan tersebut terwujud pembagian timē yang setara antar anggota masyarakat.

Orakel Delphoi dan Moralitas Baru: Kelas dan Kodrat

Isonomia adalah tentang pembagia time bagi setiap orang sesuai dengan porsinya.
Agama Yunani adalah apa yang kini lazim kita sebut “mitologi Yunani”, yakni
kepercayaan pada dewa Zeus, Poseidon, dan dewa-dewi lain dalam deretan pantheon dewa-
dewi Yunani. Cartledge (2007: 14-15) menyatakan bahwa beragama bagi orang Yunani
merupakan kebiasaan saja bagian dari menjaga tradisi dan manusialah yang memilih dewa
mana yang perlu disembah, demikian pula dengan bagaimana cara dewa itu disembah.

Ada beberapa situs peramal yang terkenal, seperti di Dhelpoi, Dodona, dan
Lebadea. Namun yang terkenal adalah tradisi peramal dalam kuil Apollo di Dhelpoi. Salah
satu ramalan yang paling terkenal adalah jawaban atas pertanyaan Kroesus, raja Lydia,
tentang apakah ia akan memenangkan perang melawan Persia. Kata sōphrosynē biasanya
diartikan sebagai sikap “tahu diri”, “waras”, “ugahari”, dan “moderasi” (menghindari hal-
hal yang ekstrem atau berlebihan).

Homeros dan Akar Imajinasi Politik Klasik

Homeros adalah pujangga besar Yunani yang karya-karyanya menyediakan latar


bagi tumbuh-kembangnya berbagai aspek pemikiran Yunani Klasik, termasuk dalam hal
politik. Dua karya besarnya, Ilias dan Odysseia mengambil latar Perang Troia (sekitar abad
ke-13 SM). Perang itu terjadi karena Paris, anak raja Priamos dari Ilion atau Troia, kawin
lari bersama dengan Helene yang merupakan istri sah raja Sparta, Menelaos.

Masalah distribusi Timē dalam Ilias

Kendati para pemimpin Yunani dalam Ilias disebut “raja” (basileus), faktanya,
dalam perspektif antropologi modern, mereka lebih tepat disebut sebagai “datu” (chief),
yakni kepala persatuan suku-suku di sebuah wilayah tertentu. Puisi epik itu dibuka dengan
sebuah agon (persaingan). Latarnya ialah kemarahan Akhilleus akibat perkara distribusi
hasil rampasan perang yang tidak adil. Dalam pengepungannya atas benteng Troia, pasukan
Yunani dirundung bencana. Mereka dihujani panah oleh dewa Apollo.

Tegangan antara Oikos dan Polis dalam Odysseia

Odysseia berkisah tentang perjalanan Odysseus pulang ke Itakhe yang memakan


waktu tak kurang dari 20 tahun. Karena kutukan Poseidon, ia dirundung bertubi-tubi nasib
buruk sehingga perjalanannya tak pernah tuntas. Ia terdampar di pulau para Kyklops
(raksasa bermata satu), ditahan di pulau penyihir Kirke, kapal-kapal dan seluruh awaknya
dilumat oleh karang dan ditelan ombak, menyisakan Odysseus terdampar di pulau asing.

Hesiodos dan Teogoni Politik

Hesiodos dianggap sebagai sastrawan yang sezaman dengan Homeros, aktif


disekitar 700 SM. Berbeda dengan Homeros yang menutupi informasi atau acuan tentang
dirinya sendiri dalam karya-karyanya, Hesiodos secara terbuka melibatkan dirinya, dan
latar belakang biografisnya, dalam karya sastranya. Dua karya besarnya, Theogonia dan
Ergai kai Hēmera, amat berpengaruh dalam tradisi pemikiran Yunani, khususnya berkaitan
dengan mitologi Yunani. Theogonia memuat uraian tentang teogoni dan kosmogoni.
Teogoni adalah narasi tentang “asal-usul para dewa”, semestara kosmogoni adalah narasi
tentang “asal-usul alam semesta”. Ergai kai Hēmera (diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai Works and Days) mengandung paparan soal formasi masyarakat manusia dan peran
serta para dewa.

Riwayat Konstitusi Polis Yunani

Sebagai lembaga politik, demokrasi Yunani adalah produk belakangan yang baru
muncul sekitar abad ke-6 SM dan dibubarkan sejak invasi Philip dan Alexander Agung
sekitar abad ke-4 SM (yang lalu muncul dalam wujud yang berbeda sepeninggal
Alexander).

Sparta dan ”Konstitusi Campuran” Lykourgos

Sparta atau kerap juga disebut Lakedaemon, lazimnya dikenal sebagai polis yang
memiliki kecenderungan konservatif. Fondasi konstitusi Sparta dikenal dalam tradisi
sebagai “Deklarasi Akbar” (Megalē Rētra). Deklarasi itu dikaitkan dengan sosok ahli
hukum legendaris, Lykourgos. Menurut Ploutarkhos, sejarawan Yunani yang hidup sekitar
abad pertama Masehi, Lykourgos kemungkinan hidup sezaman dengan Homeros disekitar
abad ke-8 SM. Artinya kita bisa menaruh waktu pembuatan Megalē Rētra pada sekitar
abad ke-8 SM.

Konstitusi Athena: dari Drako ke Perikles

Dokumen historis yang memaparkan secara sistematis evolusi konstitusi Athena


adalah teks bertajuk Athēnaiōn politeia (“Konstitusi Athena”) yang kemungkinan ditulis
oleh Aristoteles atau muridnya. Disitu, penulisnya menerangkan bagaimana konstitusi
Athena sampai dengan abad ke-4 SM berkembang dalam tak kurang dari sebelas fase, yang
darinya empat fase akan penulis uraikan dalam paparan berikut:
 Era pra-Drakon (sebelum akhir abad ke-7 SM)
 Era Drakon (akhir abad ke-7 SM)
 Era Solon (awal abad ke-6 SM)
 Era Kleisthenes (akhir abad ke-6 SM)

Pada fase pra-Drakon, menurut penulis teks Konstitusi, penguasa ditunjuk


berdasarkan keturunan bangsawan (aristindēn) dan berdasarkan jumlah kekayaan
(ploutindēn). Kepemimpinan dikelola melalui tiga jabatan, yakni raja (basileus), panglima
(polemarkhos), dan hakim (arkhōn).

Pada akhir abad ke-7 SM, Athena dirundung perselisihan antara pendukung tiran
Kylon dan keluarga Alkmeonidai. Solon sering disebut juga sebagai “bapak demokrasi
Athena”. Apabila sebutan itu tepat, alasannya karena dēmokratia mulanya adalah bentuk
pemerintahan yang punya kemampuan untuk membangun kompromi diantara kepentingan
berbagai kelas sosial di Athena. Kemunculan Solon sebagai legislator dilatari oleh
pertarungan antar dua fraksi, yakni fraksi orang kaya dan fraksi orang miskin.

 Orang kaya sebagai orang yang “berasal dari bapak yang baik” (eupatridai), “orang
terbaik” (aristoi), “pemimpin rakyat” (dēmou hēgemones), :orang baik” (agathoi).
 Orang miskin sebagai “orang jahat” (kakoi), “budak hutang” (hektēmoroi),
harfiahnya: “manusia seperenam”), “hamba” (pelatai), “rakyat jelata” (dēmos).

Pembagian kelas dan akses ke lembaga pemerintahan itu adalah sebagai berikut

 Kelas pentakosiomedimnoi
 Kelas hippeis
 Kelas zeugitai
 Kelas thēthēs

Klesithenes menekankan semangat kerakyatan Peisistratos. Ia menetapkan sejumlah


perubahan dalam konstitusi Athena yang mendorong ke arah demokrasi:
 Pelembagaan dēme dan restrukturisasi suku
 Perluasan dan restrukturisasi boulē
 Penerapan sistem pemilihan berbasis undian (sortation)
 Penerapan sistem ostrakismos

Politik Drama

Contoh perwujudan partisipasi politik dalam pertunjukkan teater tampak dalam


festival teater tahunan terbesar di Yunani, yakni festival Dionysia. Dihadiri sampai sekitar
17000 warga polis, kepesertaan festival Dionysia tersusun oleh representasi dari jabatan-
jabatan politik dan sepuluh suku yang ada. Dalam kompetisi teater tragedi dan komedi yang
diselenggarakan disana, para juri pun dipilih secara acak berdasarkan representasi setiap
suku.

Aiskhylos dan Masalah Dikē

Aiskhylos (523-456 SM) adalah dramawan paling senior dari dramawan-dramawan


Yunani yang karyanya masih tersisa hingga kini. Karyanya paling terkenal ialah trilogi
Oresteia yang tersusun oleh tiga drama: Agamemnon, Khoēphoroi, dan Eumenides.

Sophokles dan Universalitas Hukum

Sopokhles (497-406 SM) adalah dramawan Yunani yang namanya paling akrab di
telinga kita berkat karyanya, trilogi “Oedipus”, yang tersusun oleh tiga drama: Oidipous
Tyrannos, Oidipous epi Kolōnō, dan Antigonē. Oidipous Tyrannos berkisah tentang
bagaimana Oidipous menjadi raja Thebes. Oidipous epi Kolōnō berkisah tentang kematian
Oidipous ditemani putrinya Antigone dan Ismene. Antigonē berkisah tentang suasana di
Thebes sepeninggal Oidipous.
Euripides dan Keadilan Perempuan

Euripides (480-406 SM) adalah seorang dramawan tragedi yang unik. Ketika
dramawan yang lain begitu sibuk memenuhi karya mereka dengan pesan moral, Euripides
seperti abai pada moral kisahnya. Karena itu, masyarakat Athena pada zamannya kurang
menyukai warna dramanya terkesan “modern”.

Komedi Politik Aristophanes

Aristophanes (446-386 SM) adalah seorang dramawan komedi. Lysistratē adalah


salah satu karya Aristophanes yang mengandung muatan politik yang unik. Komedi ini
dikarang pada masa berkecamuknya Perang Peloponnesos antara Athena dan Sparta.

Sumbangan Para Metafisikawan Awal

Diskusi tentang nomos dan phusis pada mulanya diawali dari wacana di seputar
metafisika. Apa yang dimaksud dengan “metafisika” ialah kajian rasional tentang hakikat
seluruh kenyataan.

Para metafisikawan awal seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Herakleitos,


dan Pitagoras memandang alam semesta sebagai kosmos yang berarti juga “tatanan”.
Artinya, mereka beranggapan bahwa ada hukum yang mengatur alam semesta. Hukum
yang dimaksud bukanlah buatan manusia tetapi bersifat kodrati.

Thoukydides, Ōpheleia, dan Oligopoli

Thoukydides (460-395 SM) adalah seorang mantan jenderal Athena yang kemudia
beralih profesi menjadi sarjana sejarah dan politik. Karya besarnya, Perang Peloponnesos,
lazimnya dilihat sebagai suatu hasil refleksi pemikiran politik biarpun Thoukydides
menyajikan paparan historis atas perang antara Athena dan Sparta.

Xenophon dan “Tirani yang Baik”


Xenophon (430-354 SM) adalah seorang mantan prajurit sekaligus salah seorang
pemikir politik Yunani Klasik yang banyak mengangkat tema seputar monarki dan
aristokrasi. Ia dikenal sebagai pemikir pertama yang memelopori genre literatur politik
yang pada era Renaisans nantinya akan disebut sebagai speculum principum (mirrors for
princes), yakni tulisan yang berisi petuah tentang cara praktis bagi seorang raja atau
pangeran dalam menjalankan kekuasaan.

Isokrates dan Kecakupan Politik

Isokrates (436-338 SM) adalah seorang orator (rhētor) dan “Iogografer”


(logographos) atau penulis teks pidato pembelaan di pengadilan yang disewa oleh orang-
orang yang tengah berperkara.

Plato dan Politik Kebijaksanaan

Dari tiga variasi kronologi, satu-satunya benang merah yang bisa ditarik adalah
kronologi tiga karya utama Plato dalam hal politik, yakni Politeia,Politikos, dan Nomoi.
Ketiganya merupakan dialog Plato yang secara sistematis berbicara tentang politik.

Pemikiran Politik Sebelum Politeia

Apologia Sōkratous merupakan risalah pidato Sokrates dihadapan para juri dalam
pengadilan (dikasteria). Ia diadili atas tuduhan “tidak percaya pada para dewa yang diakui
polis” dan “meracuni pikiran para pemuda” dengan filsafat. Ada tegangan yang sebangun
dalam kedua teks tersebut:

 Dalam Antigonē, tegangan antara hukum oikos (untuk menguburkan Polyneikes


sebagai saudara) dan hukum polis (untuk mematuhi perintah raja Kreon dengan
tidak menguburkan Polyneikes)
 Dalam Apologia Sōkratous, tegangan antara etika (untuk menjalani hidup secara
filosofis dengan mempertanyakan segala sesuatu) dan politik (untuk menjalani
hidup sesuai hukum polis dengan mempercayai para dewa dan tidak mengajarkan
hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan polis pada para pemuda)
Politeia (I): Ragam Teori Keadilan

Dialog panjang Politeia ditulis pada waktu antara kunjungan Plato pertama (± 387
SM) dan kedua (± 367 SM) ke Sirakusa, Sisilia (Schofield 2007: 199). Menurut surat
ketujuh, Plato mengunjungi Sirakusa tiga kali:

 Kunjungan pertama (± 387 SM): Plato berkenalan dan mengikat persahabatan erat
dengan Dion, saudara ipar tiran Dionysios Tua.
 Kunjungan kedua (± 367 SM): Ketika Dionysios Tua wafat dan digantikan oleh
putranya, Dionysios Muda, Dion mengundang Plato kembali ke Sirakusa untuk
menerapkan visi politiknya yang tertuang dalam Politeia ke dalam pemerintahan
Dionysios Muda.
 Kunjungan ketiga (± 360 SM): Dionysios Muda mengirim surat kepada Plato untuk
memintanya kembali ke Sirakusa guna meneruskan eksperimen politiknya.

Demikianlah Plato mengawali Politeia dengan menyajikan empat posisi teoretis


tentang keadilan:

 Posisi Khepalos: keadilan adalah soal memberikan pada masing-masing


sepantasnya
 Posisi Polemarkhos: keadilan adalah soal berbuat baik kepada teman dan berbuat
jahat kepada musuh
 Posisi Thrasymakhos: keadilan adalah keuntungan orang yang kuat
 Posisi Glaukon: keadilan adalah kesepakatan hasil konspirasi orang-orang lemah
untuk menundukkan orang yang kuat

Politeia (II): Tatanan Politik Ideal

Sokrates mengajak mitra wicaranya untuk beranjak dari level analisis individual ke
level analisis polis. Alasannya, permasalahan keadilan akan lebih terlihat dalam objek yang
besar seperti polis ketimbang dalam skala orang per orang.

Politeia (III): Filsuf-Raja, Filsuf-Ratu, dan Teori Emansipasi


Salah satu ciri yang menandai Politeia adalah gerak bolak-balik dari ranah makro ke
mikro, dari ranah politik (polis) ke ranah personal (psykhē). Ketiganya kerap disebut
sebagai “bagian” jiwa, walaupun sebetulnya lebih tepat bila diartikan sebagai “daya” atau
“kapasitas”, yaitu:

 Pikiran (nous atau logistikon): kapasitas jiwa yang mendorong pemikiran dan
pencarian kebijaksanaan
 Emosi (thumos): kapasitas jiwa yang mendorong pengejaran kehormatan dan
ambisi
 Nafsu (epithumia atau alogistikon): kapasitas jiwa yang mendorong pemenuhan
hasrat badani yang tak terhingga jumlahnya

Politeia (IV): Degenerasi Politik dan Eskatologi Politik

Bagian akhir Politeia membahas tentang bentuk-bentuk konstitusi yang buruk atau
tahap-tahap degenerasi polis ideal menjadi polis yang buruk dan tidak adil. Disinilah Plato
mengajukan teorinya tentang peralihan bentuk-bentuk pemerintahan yang di kemudian hari
akan banyak di contoh dalam sejarah pemikiran politik. Ia menyebut tatanan politik
idealnya sebagai “aristokrasi” (aristokratia). Kelima tahap degenerasi konstitusi itu adalah:

 Aristokrasi (aristokratia): pemerintahan oleh orang-orang terbaik


 Timokrasi (timokratia): pemerintahan oleh orang-orang terhormat
 Oligarki (oligarkhia): pemerintahan oleh orang-orang berpunya
 Demokrasi (dēmokratia): pemerintahan oleh semua orang
 Tirani (tyrannia): pemerintahan oleh satu orang

Nomoi (I): Hukum, Konstitusi, dan Preambule

Nomoi adalah dialog terakhir yang dikarang Plato. Kata nomoi berarti “hukum-
hukum” (bentuk jamak dari nomos). Nomoi tersusun oleh dialog antara tiga orang: Klinias
dari Krete, Megillos dari Sparta, dan seorang asing dari Athena.

Nomoi (II): Teori tentang Konstitusi Campuran


Sebagian besar dialog nomoi berisi saran yang diberikan seorang asing dari Athena
kepada Klinias tentang pokok-pokok konstitusional sebuah polis. Saran ini diberikan
karena Klinias baru saja diserahi wewenang untuk membentuk sebuah koloni baru di
Minos. Dengan demikian, Nomoi memuat saran tentang bagaimana semestinya sebuah polis
didirikan.

Landasan Etis dan Politik

Aristoteles mengawali Ēthika Nikomakheia dengan mengartikan “pengetahuan


politik” (politikē epistēmē) sebagai pengetahuan yang “paling tinggi” (malista
arkhitektonikēs). Alasannya, karena objek pengetahuan politik adalah kebaikan (agathos)
yang paling utama. Aristoteles menjabarkan pengertian keutamaannya melalui pemilahan
atas dua bagian umum jiwa, yakni bagian rasional dan bagian irasional. Bagian rasional
jiwa adalah pikiran yang mengarahkan tindakan manusia, sementara bagian irasional
tersusun oleh dua komponen, yakni bagian vegetatif yang berkenaan dengan metabolisme
tubuh dan bagian apetitif yang berurusan dengan mekanisme penghasratan dalam diri
manusia.

“Negara”, Pemerintah, dan Bentuk Pemerintahan

Aristoteles menyajikan enam bentuk pemerintahan:

 Bentuk-bentuk pemerintahan yang benar


- Monarki (basileia): pemerintahan oleh satu orang untuk kepentingan
bersama
- Aristokrasi (aristokratia): pemerintahan oleh sebagian orang untuk
kepentingan bersama
- Pemerintahan konstitusional (politeia): pemerintahan oleh semua orang
untuk kepentingan bersama
 Bentuk-bentuk pemerintahan yang menyimpang
- Tirani (tyrannis): pemerintahan oleh satu orang untuk kepentingan pribadi
- Oligarki (oligarkhia): pemerintahan oleh sebagian orang untuk kepentingan
pribadi
- Demokrasi (dēmokratia): pemerintahan oleh semua orang untuk
kepentingan pribadi

Teori tentang Perubahan Politik

Aristoteles menyebut adanya empat bentuk demokrasi:

 Demokrasi dimana kaum kaya dan miskin punya hak politik yang sama dan
memiliki akses yang sama ke pemerintahan dikelola berdasarkan hukum
 Demokrasi dimana kriteria pemilihan pejabat dibasiskan pada persyaratan kekayaan
 Demokrasi dimana semua warga punya hak politik yang sama karena semuanya
dapat memenuhi persyaratan kekayaan
 Demokrasi dimana massa menguasai pemerintahan dan menundukkan hukum pada
kepentingan mayoritas

Aristoteles juga memilah empat bentuk oligarki:

 Oligarki dimana persyaratan kekayaan untuk menduduki jabatan politik masih


sangat rendah sehingga setiap orang bisa berpartisipasi
 Oligarki dimana persyaratan kekayaan dipatok tinggi sehingga pemerintahan
dikuasai oleh orang kaya
 Oligarki dimana jabatan politik diwariskan secara turun-temurun
 Oligarki dimana pejabat kaya dan dianggap bangsawan menguasai pemerintahan
serta menundukkan hukum pada kepentingan minoritas

Bab 4

Periode Helenis

Menurut konvensi di kalangan para ahli, periode ini merentang sejak kematian Alexander
Agung (323 SM) sampai dengan peralihan dari Republik Romawi ke Kaisaran Romawi
yang ditandai dengan Perang Actium antara Octavianus dan Marcus Antonius (31 SM).

Konteks Pemikiran Politik Helenis

Pemikiran politik Helenis kerapkali dianggap sebagai pemikiran yang tak punya orisinalitas
dan karya-karyanya lebih menyerupai kumpulan pedoman praktis ketimbang refleksi
teoretis yang mendalam. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam kaitannya dalam konteks
dan kecenderungan pemikiran politik pada masa Helenis. Pertama, surutnya peran polis
akibat dominasi monarki Makedonia, Alexander Agung, atas Yunani dan sebagian besar
negeri di Mediterania sampai Asia minor. Kedua, bergesernya fokus kajian politik ke dalam
aspek-aspek kosmopolitanisme akibatnya hilangnya polis sebagai kerangka acuan politik.
Ketiga, munculnya kecenderungan untuk memisahkan etika dari politik dan bergulat
dengan masalah-masalah hubungan sosial yang diselesaikan melalui pertimbangan personal
tentang “pilihan hidup”.

Peralihan ke Monarki

Mulai dari pemikir abad ke-3 SM seperti Pseudo-Aristoteles sampai dengan pemikir dari
abad pertama SM seperti Diodoros Sikeliotes, banyak pemikir Helenis yang meluangkan
perhatiannya pada perkara seputar monarki. Pseudo-Aristoteles, atau “Aristoteles-palsu”,
menulis naskah pedoman pelajaran retorika bagi Alexander Agung berjudul Tekhnē
rētorikē yang kemudian dikenal dalam versi Latin sebagai Rhetorica ad Alexandrum
(“Retorika untuk Alexander”).

Kodrat dan Kosmopolitanisme

Paham ini mempengaruhi tiga mazhab utama pemikiran politik Helenis, yakni Sinisisme,
Epikureanisme, dan Stoisisme. Ada dua sumber yang bisa dirujuk apabila kita hendak
memeriksa akar doktrin kosmopolitanisme Helenis. Sumber pertama berkenaan dengan
teori kodrat (phusis). Sumber kedua berkenaan dengan konteks historis kemunculan
gagasan kosmopolitanisme.

Mikro-politik dan Pemisahan Etika dari Politik

Alhasil, apa yang diwejangkan oleh para pemikir politik Helenis adalah apa yang kini akan
disebut sebagai “mikro-politik” atau politik pada skala indivual. Contoh yang paling terang
adalah kaum Sinis.

Diogenes Sinopeus dan Wacana Antipolitik

Diogenes Sinopeus (412-323 SM) adalah seorang pemikir politik eksentrik yang dilahirkan
di Sinopeus, Turki. Ia kerap dianggap sebagai pendiri Mazhab Sinis. Secara etimologis,
kata “sinis” (kynikos) berasal dari kata Yunani untuk menyebut “anjing” (kynos).

Epikuros dan Kehidupan Apolitis

Epikuros (341-270 SM) adalah pendiri sebuah mazhab pemikiran yang kemudian dikenal
sebagai Epikureanisme. Salah satu risalahnya yang lenyap berjudul Peri Biōn (“Tentang
Cara Hidup”). Menurut kesaksian para penulis zaman Helenis, disana Epikuros berpendapat
bahwa orang bijak tidak semestinya turun ke dalam hiruk-pikuk politik praktis.

Akar Psikologis Politik

Salah satu risalah Epikuros yang tersisa dan berbicara tentang padangan umumnya,
termasuk juga dalam perkara politik adalah Kuriai Doxai. Dalam risalah tersebut, bisa kita
saksikan bagaimana Epikuros membangun teorinya tentang keadilan dan cara hidup apolitis
berdasarkan pertimbangan psikologis. Apabila Aristoteles menekankan “kebahagiaan”
(eudaimonia) sebagai tujuan hidup manusia, Epikuros lebih khusus lagi menunjuk pada
“kenikmatan” (hēdonē).

Asal-Usul Teori Kontak Sosial

Titik tolak teori keadilan Epikuros selaras dengan asumsinya tentang anatomi psikologis
manusia. Dengan menyatakan bahwa keadilan adalah perkara perjanjian (symbolon) antar
manusia, Epikuros dekat dengan pandangan kontraktualitas yang dipelopori oleh kaum
sofis seperti Antiphon. Bedanya, apabila Atiphon menganggap hukum sebagai hasil
kesepakatan yang sifatnya buatan manusia saja, tidak kodrati, sehingga bisa dilanggar
sejauh perlu, Epikuros justru menganggap keadilan secara kodrati berakar pada perjanjian
dan dengan itu tidak menyarankan untuk melanggarnya seperti yang dilakukan sang sofis.

“Hidup Tersembunyi”

Terlepas dari konsekuensi pandangannya yang bisa mengarah pada tindakan politik,
Epikuros sendiri tidak mengedepankan kehidupan aktif dalam politik. Bahkan salah satu
ucapannya yang terkenal adalah “hidup tersembunyi” (lathe biōsas).

Stoisisme dan Kosmopolitanisme


Sebagai sebuah gerakan pemikiran, Stoisisme dilahirkan oleh Zenon (334-262 SM) dan
berkembang terus sampai dengan era Romawi. Selain Zenon, para pemikir Stoik era
Helenis adalah Khrysippos (279-206 SM) dan Poseidonios (135-51 SM).

Kepentingan, Kepemilikan, dan Hukum Kodrat

Dalam pembicaraannya tentang politik dan etika, kaum Stoik berangkat dari asumsi
bahwa manusia secara kodrati merupakan “makhluk sosial” (politika zōia). Adalah fakta
kodrati bahwa manusia digerakkan oleh motivasi mengejar “keuntungan” atau
“kepentingan” (ōpheleia; sumpheron).

Pada intinya, bagi kaum Stoik, “tidak ada yang merupakan milik pribadi secara
kodrati” (sunt autem privata nulla natura). Setiap benda menjadi milik pribadi hanya
karena kelima sebab berikut:

 Melalui pendudukan turun-temurun (vetere occupatione)


 Melalui penaklukan (victoria)
 Melalui hukum (lege)
 Melalui kesepakatan (pactione)
 Melalui undian (sorte)

Polis dan Kosmopolis


Polis yang ideal adalah asosiasi antar orang-orang bijak yang paham akan kodrat
semesta. Kemudian Khrysippos memperluas konsepsi komunitas konsepsi komunitas
politik Zenon untuk mencakup juga seluruh alam semesta sehingga polis berubah menjadi
kosmos-polis.

Mengapa visi tentang kosmos-polis dianggap sebagai deskripsi atas situasi riil?
Alasannya, karena Khrysippos mengartikan polis secara longgar. Menurut kesaksian
Eusebios dari abad ke-4 M, Khrysippos memahami polis dalam dua arti:

 Polis sebagai ”tempat tinggal” (oiktērion)


 Polis sebagai “struktur” atau “organisasi” (systēma)

Polybios dan Stabilitas Politik

Ditengah kecenderungan pemikiran yang menarik jarak terhadap politik actual tersebut,
Polybios (200-118 SM) adalah sebuah kekecualian. Sebagai seorang sejarawan Yunani, ia
menyaksikan bagaimana Republik Romawi tumbuh menjadi kekuatan besar menggantikan
hegemoni Makedonia dibawah Alexander Agung.

Siklus Konstitusi

Hal penting yang membedakan Polybios dari para pendahulunya adalah bahwa pemikir
Helenis ini menyajikan teorinya tentang perubahan konstitusi dalam wujud siklus, alih-alih
sebagai suatu proses degeneratif yang linier seperti Plato. Polybios menyajikan tahap-tahap
yang ia sebut sebagai ”siklus konstitusi” (politeiōn anakuklōsis):

 Monarki (monarkhia)
 Kerajaan (basileia)
 Tirani (tyrannia)
 Aristokrasi (aristokratia)
 Oligarki (oligarkhia)
 Demokrasi (dēmokratia)
 Pemerintahan massa (okhlokratia)

Prinsip Akuntabilitas Politik

Apabila kita mencermati logika yang menyusun siklus konstitusi Polybios, kita akan
menemukan bahwa setiap penyimpangan dalam konstitusi selalu diawali dengan terbitnya
rasa aman (aspheleia) dalam benak pemimpinnya. Keamanan ini datang dari pelembagaan
jabatan atau hak politik secara turun-temurun yang mengimplikasikan akses yang
terprivilesekan atas kekuasaan. Kerajaan turun derajat jadi tirani karena raja merasa aman
dengan wewenangnya sebagai raja yang turun-temurun. Aristokrasi menyimpang menjadi
oligarki karena para bangsawan merasa aman dengan wewenangnya sebagai aristokrat
yangj turun-temurun. Demikian pula, demokrasi memburuk menjadi pemerintahan massa
karena rakyat merasa aman dengan hak-haknya untuk mengutarakan pendapat dan
pengakuan yang setara atasnya.

Pemisahan Kekuasaan

Konstitusi Sparta adalah contoh dari konstitusi terbaik yang diwujudkan lewat
kebijaksanaan dan nalar perumusnya, Lykourgos. Polybios mengidentifikasi adanya tiga
agen kekuasaan dalam kosntitusi Romawi dengan yurisdiksi kekuasaan masing-masing:

 Konsul: berkuasa atas penyusunan strategi perang dan mengepalai dinas-dinas


pemerintahan
 Senat: berkuasa atas manajemen keuangan negara, pengadilan, pemilihan konsul,
dan perancangan undang-undang
 Tribun: berkuasa atas pengesahan undang-undang dan keputusan untuk berperang
atau berdamai

 Identitas Buku:
Judul Buku : Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern
Penulis : Dr. Franz Magnis-Suseno SJ
Penerbit : PT. Gramedia Jakarta
Tahun Terbit: 2014
Tebal Buku : 424 halaman

Tuntutan Legitimasi Moral

1. Pengantar
Kita melihat bahwa kedaulatan merupakan suatu kenyataan faktual: negara
adalah lembaga yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan dalam
amsyarakat yang dikuasainya. Akan tetapi, wewenang faktual itu menimbulkan
pertanyaan tentang pertanggungjawaban penggunaannya.
Fakta bahwa negara berwenang untuk mengatur segalanya tidak berarti bahwa
negara secara moral berhak untuk mempertanggungjawabkan apa yang mau
dilakukannya. Penggunaan kekuasaan dan kedaulatan negara menuntut legitimasi
moral.
Dalam bab ini saya membicarakan (1) filsafat politik Yunani klasik yang
justru tidak sampai merumuskan tuntutan legitimasi kekuasaan; (2) teologi politik
Agustinus yang memperlihatkan akar religius paham legitimasi etis; (3) etika politik
Thomas Aquinas yang berhasil untuk merumuskan tuntutan itu secara filosofis dan
universal.

2. Etika Politik Yunani: Platon dan Aristoteles


a. Platon: Negara dan Keadilan
Platon menulis pada zaman masyarakat Yunani mengalami perubahan-
perubahan yang mendalam. Athena, pusat kebudayaan Yunani dan kota
tempat tinggal Platon, semakin merosot dalam semua bidang sebagai akibat
kekalahannya dalam perang Pelopones. Atas dasar pengertian itu Platon
dapat membangun suatu model negara. Dalam negara terdapat tiga
golongan: (1) para penjamin makanan, (2) para “penjaga”, dan (3) para
pemimpin. Golongan pertama adalah mereka yang bekerja agar barang
kebutuhan manusia dapat tersedia. Golongan kedua seluruhnya
mengabdikan diri pada kepentingan umum.
b. Aristoteles: Kebahagiaan
Aristoteles (384-322 SM) membahas polis dalam rangka permasalahan
tentang tujuan manusia. Tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan
(eudaimonia), karena hanya kebahagiaan diusahakan demi dirinya sendiri.
c. Etika Kebijaksaan
Bagi Platon, negara yang baik adalah negara yang merealisasikan keadilan,
artinya yang ditata secara selaras dan seimbang, dan dipimpin dengan
berorientasi pada idea metafisik kebaikan. Aristoteles menolak orientasi
pada idea-idea metafisik. Tujuan negara adalah menunjang kebahagiaan
masyarakat. Maka negara yang paling baik adalah negara yang
organisasinya sesuai dengan fungsinya itu dan dipimpin oleh orang yang
berpengalaman dan memiliki keutamaan-keutamaan yang diperlukan.

3. Augustinus: Kedaulatan Allah


Pemikir pertama yang dengan jelas mengajukan tuntutan legitimasi etis terhadap
negara adalah Aurelius Augustinus. Augustinus membedakan dua civitas atau
masyarakat: civitas Dei (“negara Allah”) dan civitas terrena (“negara duniawi”).

4. Thomas Aquinas: Kedaulatan Hukum Kodrat


Thomas Aquinas (1224-1274 SM) tidak dapat diragukan merupakan pemikir abad
pertengahan di Eropa yang paling besar dan paling berpengaruh sampai hari ini.
Hukum kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan hukum
kebijaksanaan ilahi. Hukum positif sebagai hukum buatan manusia hanyalah sah
sejauh berdasarkan hukum kodrat. Jadi tindakan legislatif negara hanya legitimasal
sesuai dengan norma-norma moral. Kesimpulannya ialah bahwa suatu penetapan
negara yang tidak berdasarkan hukum kodrat, jadi yang bertentangan dengan
norma-norma moral dasar, tidaklah sah. Secara kongkret tujuan negara itu dapat
diterjemahkan ke dalam tiga tugas pokok. Pertama, negara harus menciptakan
perdamaian karena perdamaian adalah unsur terpenting dalam kesejahteraan umum.
Kedua, negara harus menciptakan keadaan yang memungkinkan bahwa masing-
masing orang dan anggota masyarakat dapat hidup sesuai dengan hukum kodrat dan
dengan demikian sesuai dengan tuntutan agar kelak mencapai kebahagiaan abadi.
Ketiga, negara harus mengusahakan sarana-sarana material yang dibutuhkan agar
dua tugas pertama dapat terlaksana dan masyarakat dapat hidup dengan baik.

 Komentar :
Dari segi buku cetakan sudah bagus. Kalimat dan penuturan kata baku sudah jelas
dan mudah dipahami. Selain itu buku ini sudah menjelaskan inti dan pembaca
sangat mudah memahami isi buku ini. Buku ini juga membantu para pembaca
memahami masalah-masalah ideologis secara kritis berdasarkan argumen-argumen
yang dapat dipertanggungjawabkan

 Penutup :
Dalam buku sejarah pemikiran politik klasik membahas tentang sejarah pemikiran
Yunani Klasik dan Helenis sedangkan dalam buku etika politik membahas tentang
Tuntutan Legitimasi Moral.

Anda mungkin juga menyukai