HUBUNGAN INTERNATIONAL
Disusun oleh:
NIM: 1403617127
Dalam bab ini akan dibahas riwayat pemikiran politik yang berkembang pada era Yunani
Klasik yang merentang sejak Homeros sekitar 1000 SM sampai dengan Aristoteles sekitar
300 SM. Tentu saja pengertian “Klasik” yang digunakan disini sangat longgar (sebab 1100-
800 SM lazimnya disebut Zaman Kegelapan, 750-500 SM sebagai Zaman Arkhaik dan
baru 500-300 SM yang disebut sebagai era “Klasik”).
Apa sejumlah latar belakang yang perlu diingat sebelum kita mencermati pemikiran politik
Yunani Klasik. Yang pertama ialah bahwa orang Yunani berpikir tentang politik selalu
dalam kerangka polis. Yang kedua ialah bahwa hampir seluruh pandangan politik yang
diketengahkan pada era Yunani Klasik selalu berakar pada masalah distribusi daya politik.
Yang ketiga adalah bahwa para pemikir politik Yunani Klasik merumuskan pandangannya
dengan asumsi tertentu tentang pelapisan sosial berbasis kodrat.
Mengapa penelitian tentang polis ini demikian penting? Sebabnya, tak pelak, karena
orang Yunani Klasik sendiri selalu berpikir tentang politik dalam kerangka polis. Mogens
Herman Hansen, penyunting buku tersebut sekaligus salah satu penelitinya, menyatakan
bahwa “mustahil bagi orang Yunani untuk berpikir, berbicara atau menulis apapun tentang
masalah publik tanpa terus-menerus menggunakan kata polis dan turunannya” (Hansen
2004: 12). Namun apa itu polis sebenarnya? Menurut Hansen (2004: 16), kata polis secara
etimologis terhubung dengan kata púr dalam bahasa India kuno, kata pilìs dalam bahasa
Lithuania dan kata pils dalam bahasa Latvia. Dalam ketiga bahasa kuno itu, kata itu berarti
“benteng” atau “kastil”. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh dua alasan. Pertama,
masyarakat Yunani Klasik tak mengenal negara. Polis bukanlah lembaga yang kini akan
kita identifikasikan sebagai negara. Polis tidak mengenal pemisahan kekuasaan, tidak
memiliki angkatan kepolisian, dan tidak memiliki partai-partai yang terlembaga dengan
jelas dan perangkat kelembagaan lain yang kini menyusun definisi negara. Kedua, kerangka
acuan politik Yunani Klasik bukanlah individu, melainkan masyarakat secara keseluruhan.
Pemikiran politik Yunani Klasik berangkat dari pertanyaan dasar dan sehari-hari
tentang siapa yang bisa menjalankan apa dalam konteks polis. Distingsi antara rhētor dan
idiotēs yang baru saja kita lihat sebetulnya juga untuk berangkat dari pertanyaan di muka.
Rhētor dianggap punya kapabilitas untuk bicara politik, sementara idiotēs dianggap tak
memiliki keahlian atau pengetahuan yang memadai untuk bicara politik. Dalam konteks
inilah kita mesti menempatkan pengertian nomos. Kata nomos umumnya diartikan sebagai
“hukum”. Pengertian inilah yang jamak dipakai para pemikir politik Yunani Klasik. Kata
nomos berakar pada verba nemein yang artinya “membagi” (to share, to divide, to
distribute). Disinilah terletak akar distributif pemikiran politik Yunani Klasik.
Isonomia adalah tentang pembagia time bagi setiap orang sesuai dengan porsinya.
Agama Yunani adalah apa yang kini lazim kita sebut “mitologi Yunani”, yakni
kepercayaan pada dewa Zeus, Poseidon, dan dewa-dewi lain dalam deretan pantheon dewa-
dewi Yunani. Cartledge (2007: 14-15) menyatakan bahwa beragama bagi orang Yunani
merupakan kebiasaan saja bagian dari menjaga tradisi dan manusialah yang memilih dewa
mana yang perlu disembah, demikian pula dengan bagaimana cara dewa itu disembah.
Ada beberapa situs peramal yang terkenal, seperti di Dhelpoi, Dodona, dan
Lebadea. Namun yang terkenal adalah tradisi peramal dalam kuil Apollo di Dhelpoi. Salah
satu ramalan yang paling terkenal adalah jawaban atas pertanyaan Kroesus, raja Lydia,
tentang apakah ia akan memenangkan perang melawan Persia. Kata sōphrosynē biasanya
diartikan sebagai sikap “tahu diri”, “waras”, “ugahari”, dan “moderasi” (menghindari hal-
hal yang ekstrem atau berlebihan).
Kendati para pemimpin Yunani dalam Ilias disebut “raja” (basileus), faktanya,
dalam perspektif antropologi modern, mereka lebih tepat disebut sebagai “datu” (chief),
yakni kepala persatuan suku-suku di sebuah wilayah tertentu. Puisi epik itu dibuka dengan
sebuah agon (persaingan). Latarnya ialah kemarahan Akhilleus akibat perkara distribusi
hasil rampasan perang yang tidak adil. Dalam pengepungannya atas benteng Troia, pasukan
Yunani dirundung bencana. Mereka dihujani panah oleh dewa Apollo.
Sebagai lembaga politik, demokrasi Yunani adalah produk belakangan yang baru
muncul sekitar abad ke-6 SM dan dibubarkan sejak invasi Philip dan Alexander Agung
sekitar abad ke-4 SM (yang lalu muncul dalam wujud yang berbeda sepeninggal
Alexander).
Sparta atau kerap juga disebut Lakedaemon, lazimnya dikenal sebagai polis yang
memiliki kecenderungan konservatif. Fondasi konstitusi Sparta dikenal dalam tradisi
sebagai “Deklarasi Akbar” (Megalē Rētra). Deklarasi itu dikaitkan dengan sosok ahli
hukum legendaris, Lykourgos. Menurut Ploutarkhos, sejarawan Yunani yang hidup sekitar
abad pertama Masehi, Lykourgos kemungkinan hidup sezaman dengan Homeros disekitar
abad ke-8 SM. Artinya kita bisa menaruh waktu pembuatan Megalē Rētra pada sekitar
abad ke-8 SM.
Pada akhir abad ke-7 SM, Athena dirundung perselisihan antara pendukung tiran
Kylon dan keluarga Alkmeonidai. Solon sering disebut juga sebagai “bapak demokrasi
Athena”. Apabila sebutan itu tepat, alasannya karena dēmokratia mulanya adalah bentuk
pemerintahan yang punya kemampuan untuk membangun kompromi diantara kepentingan
berbagai kelas sosial di Athena. Kemunculan Solon sebagai legislator dilatari oleh
pertarungan antar dua fraksi, yakni fraksi orang kaya dan fraksi orang miskin.
Orang kaya sebagai orang yang “berasal dari bapak yang baik” (eupatridai), “orang
terbaik” (aristoi), “pemimpin rakyat” (dēmou hēgemones), :orang baik” (agathoi).
Orang miskin sebagai “orang jahat” (kakoi), “budak hutang” (hektēmoroi),
harfiahnya: “manusia seperenam”), “hamba” (pelatai), “rakyat jelata” (dēmos).
Pembagian kelas dan akses ke lembaga pemerintahan itu adalah sebagai berikut
Kelas pentakosiomedimnoi
Kelas hippeis
Kelas zeugitai
Kelas thēthēs
Politik Drama
Sopokhles (497-406 SM) adalah dramawan Yunani yang namanya paling akrab di
telinga kita berkat karyanya, trilogi “Oedipus”, yang tersusun oleh tiga drama: Oidipous
Tyrannos, Oidipous epi Kolōnō, dan Antigonē. Oidipous Tyrannos berkisah tentang
bagaimana Oidipous menjadi raja Thebes. Oidipous epi Kolōnō berkisah tentang kematian
Oidipous ditemani putrinya Antigone dan Ismene. Antigonē berkisah tentang suasana di
Thebes sepeninggal Oidipous.
Euripides dan Keadilan Perempuan
Euripides (480-406 SM) adalah seorang dramawan tragedi yang unik. Ketika
dramawan yang lain begitu sibuk memenuhi karya mereka dengan pesan moral, Euripides
seperti abai pada moral kisahnya. Karena itu, masyarakat Athena pada zamannya kurang
menyukai warna dramanya terkesan “modern”.
Diskusi tentang nomos dan phusis pada mulanya diawali dari wacana di seputar
metafisika. Apa yang dimaksud dengan “metafisika” ialah kajian rasional tentang hakikat
seluruh kenyataan.
Thoukydides (460-395 SM) adalah seorang mantan jenderal Athena yang kemudia
beralih profesi menjadi sarjana sejarah dan politik. Karya besarnya, Perang Peloponnesos,
lazimnya dilihat sebagai suatu hasil refleksi pemikiran politik biarpun Thoukydides
menyajikan paparan historis atas perang antara Athena dan Sparta.
Dari tiga variasi kronologi, satu-satunya benang merah yang bisa ditarik adalah
kronologi tiga karya utama Plato dalam hal politik, yakni Politeia,Politikos, dan Nomoi.
Ketiganya merupakan dialog Plato yang secara sistematis berbicara tentang politik.
Apologia Sōkratous merupakan risalah pidato Sokrates dihadapan para juri dalam
pengadilan (dikasteria). Ia diadili atas tuduhan “tidak percaya pada para dewa yang diakui
polis” dan “meracuni pikiran para pemuda” dengan filsafat. Ada tegangan yang sebangun
dalam kedua teks tersebut:
Dialog panjang Politeia ditulis pada waktu antara kunjungan Plato pertama (± 387
SM) dan kedua (± 367 SM) ke Sirakusa, Sisilia (Schofield 2007: 199). Menurut surat
ketujuh, Plato mengunjungi Sirakusa tiga kali:
Kunjungan pertama (± 387 SM): Plato berkenalan dan mengikat persahabatan erat
dengan Dion, saudara ipar tiran Dionysios Tua.
Kunjungan kedua (± 367 SM): Ketika Dionysios Tua wafat dan digantikan oleh
putranya, Dionysios Muda, Dion mengundang Plato kembali ke Sirakusa untuk
menerapkan visi politiknya yang tertuang dalam Politeia ke dalam pemerintahan
Dionysios Muda.
Kunjungan ketiga (± 360 SM): Dionysios Muda mengirim surat kepada Plato untuk
memintanya kembali ke Sirakusa guna meneruskan eksperimen politiknya.
Sokrates mengajak mitra wicaranya untuk beranjak dari level analisis individual ke
level analisis polis. Alasannya, permasalahan keadilan akan lebih terlihat dalam objek yang
besar seperti polis ketimbang dalam skala orang per orang.
Pikiran (nous atau logistikon): kapasitas jiwa yang mendorong pemikiran dan
pencarian kebijaksanaan
Emosi (thumos): kapasitas jiwa yang mendorong pengejaran kehormatan dan
ambisi
Nafsu (epithumia atau alogistikon): kapasitas jiwa yang mendorong pemenuhan
hasrat badani yang tak terhingga jumlahnya
Bagian akhir Politeia membahas tentang bentuk-bentuk konstitusi yang buruk atau
tahap-tahap degenerasi polis ideal menjadi polis yang buruk dan tidak adil. Disinilah Plato
mengajukan teorinya tentang peralihan bentuk-bentuk pemerintahan yang di kemudian hari
akan banyak di contoh dalam sejarah pemikiran politik. Ia menyebut tatanan politik
idealnya sebagai “aristokrasi” (aristokratia). Kelima tahap degenerasi konstitusi itu adalah:
Nomoi adalah dialog terakhir yang dikarang Plato. Kata nomoi berarti “hukum-
hukum” (bentuk jamak dari nomos). Nomoi tersusun oleh dialog antara tiga orang: Klinias
dari Krete, Megillos dari Sparta, dan seorang asing dari Athena.
Demokrasi dimana kaum kaya dan miskin punya hak politik yang sama dan
memiliki akses yang sama ke pemerintahan dikelola berdasarkan hukum
Demokrasi dimana kriteria pemilihan pejabat dibasiskan pada persyaratan kekayaan
Demokrasi dimana semua warga punya hak politik yang sama karena semuanya
dapat memenuhi persyaratan kekayaan
Demokrasi dimana massa menguasai pemerintahan dan menundukkan hukum pada
kepentingan mayoritas
Bab 4
Periode Helenis
Menurut konvensi di kalangan para ahli, periode ini merentang sejak kematian Alexander
Agung (323 SM) sampai dengan peralihan dari Republik Romawi ke Kaisaran Romawi
yang ditandai dengan Perang Actium antara Octavianus dan Marcus Antonius (31 SM).
Pemikiran politik Helenis kerapkali dianggap sebagai pemikiran yang tak punya orisinalitas
dan karya-karyanya lebih menyerupai kumpulan pedoman praktis ketimbang refleksi
teoretis yang mendalam. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam kaitannya dalam konteks
dan kecenderungan pemikiran politik pada masa Helenis. Pertama, surutnya peran polis
akibat dominasi monarki Makedonia, Alexander Agung, atas Yunani dan sebagian besar
negeri di Mediterania sampai Asia minor. Kedua, bergesernya fokus kajian politik ke dalam
aspek-aspek kosmopolitanisme akibatnya hilangnya polis sebagai kerangka acuan politik.
Ketiga, munculnya kecenderungan untuk memisahkan etika dari politik dan bergulat
dengan masalah-masalah hubungan sosial yang diselesaikan melalui pertimbangan personal
tentang “pilihan hidup”.
Peralihan ke Monarki
Mulai dari pemikir abad ke-3 SM seperti Pseudo-Aristoteles sampai dengan pemikir dari
abad pertama SM seperti Diodoros Sikeliotes, banyak pemikir Helenis yang meluangkan
perhatiannya pada perkara seputar monarki. Pseudo-Aristoteles, atau “Aristoteles-palsu”,
menulis naskah pedoman pelajaran retorika bagi Alexander Agung berjudul Tekhnē
rētorikē yang kemudian dikenal dalam versi Latin sebagai Rhetorica ad Alexandrum
(“Retorika untuk Alexander”).
Paham ini mempengaruhi tiga mazhab utama pemikiran politik Helenis, yakni Sinisisme,
Epikureanisme, dan Stoisisme. Ada dua sumber yang bisa dirujuk apabila kita hendak
memeriksa akar doktrin kosmopolitanisme Helenis. Sumber pertama berkenaan dengan
teori kodrat (phusis). Sumber kedua berkenaan dengan konteks historis kemunculan
gagasan kosmopolitanisme.
Alhasil, apa yang diwejangkan oleh para pemikir politik Helenis adalah apa yang kini akan
disebut sebagai “mikro-politik” atau politik pada skala indivual. Contoh yang paling terang
adalah kaum Sinis.
Diogenes Sinopeus (412-323 SM) adalah seorang pemikir politik eksentrik yang dilahirkan
di Sinopeus, Turki. Ia kerap dianggap sebagai pendiri Mazhab Sinis. Secara etimologis,
kata “sinis” (kynikos) berasal dari kata Yunani untuk menyebut “anjing” (kynos).
Epikuros (341-270 SM) adalah pendiri sebuah mazhab pemikiran yang kemudian dikenal
sebagai Epikureanisme. Salah satu risalahnya yang lenyap berjudul Peri Biōn (“Tentang
Cara Hidup”). Menurut kesaksian para penulis zaman Helenis, disana Epikuros berpendapat
bahwa orang bijak tidak semestinya turun ke dalam hiruk-pikuk politik praktis.
Salah satu risalah Epikuros yang tersisa dan berbicara tentang padangan umumnya,
termasuk juga dalam perkara politik adalah Kuriai Doxai. Dalam risalah tersebut, bisa kita
saksikan bagaimana Epikuros membangun teorinya tentang keadilan dan cara hidup apolitis
berdasarkan pertimbangan psikologis. Apabila Aristoteles menekankan “kebahagiaan”
(eudaimonia) sebagai tujuan hidup manusia, Epikuros lebih khusus lagi menunjuk pada
“kenikmatan” (hēdonē).
Titik tolak teori keadilan Epikuros selaras dengan asumsinya tentang anatomi psikologis
manusia. Dengan menyatakan bahwa keadilan adalah perkara perjanjian (symbolon) antar
manusia, Epikuros dekat dengan pandangan kontraktualitas yang dipelopori oleh kaum
sofis seperti Antiphon. Bedanya, apabila Atiphon menganggap hukum sebagai hasil
kesepakatan yang sifatnya buatan manusia saja, tidak kodrati, sehingga bisa dilanggar
sejauh perlu, Epikuros justru menganggap keadilan secara kodrati berakar pada perjanjian
dan dengan itu tidak menyarankan untuk melanggarnya seperti yang dilakukan sang sofis.
“Hidup Tersembunyi”
Terlepas dari konsekuensi pandangannya yang bisa mengarah pada tindakan politik,
Epikuros sendiri tidak mengedepankan kehidupan aktif dalam politik. Bahkan salah satu
ucapannya yang terkenal adalah “hidup tersembunyi” (lathe biōsas).
Dalam pembicaraannya tentang politik dan etika, kaum Stoik berangkat dari asumsi
bahwa manusia secara kodrati merupakan “makhluk sosial” (politika zōia). Adalah fakta
kodrati bahwa manusia digerakkan oleh motivasi mengejar “keuntungan” atau
“kepentingan” (ōpheleia; sumpheron).
Pada intinya, bagi kaum Stoik, “tidak ada yang merupakan milik pribadi secara
kodrati” (sunt autem privata nulla natura). Setiap benda menjadi milik pribadi hanya
karena kelima sebab berikut:
Mengapa visi tentang kosmos-polis dianggap sebagai deskripsi atas situasi riil?
Alasannya, karena Khrysippos mengartikan polis secara longgar. Menurut kesaksian
Eusebios dari abad ke-4 M, Khrysippos memahami polis dalam dua arti:
Ditengah kecenderungan pemikiran yang menarik jarak terhadap politik actual tersebut,
Polybios (200-118 SM) adalah sebuah kekecualian. Sebagai seorang sejarawan Yunani, ia
menyaksikan bagaimana Republik Romawi tumbuh menjadi kekuatan besar menggantikan
hegemoni Makedonia dibawah Alexander Agung.
Siklus Konstitusi
Hal penting yang membedakan Polybios dari para pendahulunya adalah bahwa pemikir
Helenis ini menyajikan teorinya tentang perubahan konstitusi dalam wujud siklus, alih-alih
sebagai suatu proses degeneratif yang linier seperti Plato. Polybios menyajikan tahap-tahap
yang ia sebut sebagai ”siklus konstitusi” (politeiōn anakuklōsis):
Monarki (monarkhia)
Kerajaan (basileia)
Tirani (tyrannia)
Aristokrasi (aristokratia)
Oligarki (oligarkhia)
Demokrasi (dēmokratia)
Pemerintahan massa (okhlokratia)
Apabila kita mencermati logika yang menyusun siklus konstitusi Polybios, kita akan
menemukan bahwa setiap penyimpangan dalam konstitusi selalu diawali dengan terbitnya
rasa aman (aspheleia) dalam benak pemimpinnya. Keamanan ini datang dari pelembagaan
jabatan atau hak politik secara turun-temurun yang mengimplikasikan akses yang
terprivilesekan atas kekuasaan. Kerajaan turun derajat jadi tirani karena raja merasa aman
dengan wewenangnya sebagai raja yang turun-temurun. Aristokrasi menyimpang menjadi
oligarki karena para bangsawan merasa aman dengan wewenangnya sebagai aristokrat
yangj turun-temurun. Demikian pula, demokrasi memburuk menjadi pemerintahan massa
karena rakyat merasa aman dengan hak-haknya untuk mengutarakan pendapat dan
pengakuan yang setara atasnya.
Pemisahan Kekuasaan
Konstitusi Sparta adalah contoh dari konstitusi terbaik yang diwujudkan lewat
kebijaksanaan dan nalar perumusnya, Lykourgos. Polybios mengidentifikasi adanya tiga
agen kekuasaan dalam kosntitusi Romawi dengan yurisdiksi kekuasaan masing-masing:
Identitas Buku:
Judul Buku : Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern
Penulis : Dr. Franz Magnis-Suseno SJ
Penerbit : PT. Gramedia Jakarta
Tahun Terbit: 2014
Tebal Buku : 424 halaman
1. Pengantar
Kita melihat bahwa kedaulatan merupakan suatu kenyataan faktual: negara
adalah lembaga yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan dalam
amsyarakat yang dikuasainya. Akan tetapi, wewenang faktual itu menimbulkan
pertanyaan tentang pertanggungjawaban penggunaannya.
Fakta bahwa negara berwenang untuk mengatur segalanya tidak berarti bahwa
negara secara moral berhak untuk mempertanggungjawabkan apa yang mau
dilakukannya. Penggunaan kekuasaan dan kedaulatan negara menuntut legitimasi
moral.
Dalam bab ini saya membicarakan (1) filsafat politik Yunani klasik yang
justru tidak sampai merumuskan tuntutan legitimasi kekuasaan; (2) teologi politik
Agustinus yang memperlihatkan akar religius paham legitimasi etis; (3) etika politik
Thomas Aquinas yang berhasil untuk merumuskan tuntutan itu secara filosofis dan
universal.
Komentar :
Dari segi buku cetakan sudah bagus. Kalimat dan penuturan kata baku sudah jelas
dan mudah dipahami. Selain itu buku ini sudah menjelaskan inti dan pembaca
sangat mudah memahami isi buku ini. Buku ini juga membantu para pembaca
memahami masalah-masalah ideologis secara kritis berdasarkan argumen-argumen
yang dapat dipertanggungjawabkan
Penutup :
Dalam buku sejarah pemikiran politik klasik membahas tentang sejarah pemikiran
Yunani Klasik dan Helenis sedangkan dalam buku etika politik membahas tentang
Tuntutan Legitimasi Moral.