Anda di halaman 1dari 3

Kajian Surat al-Ashr

َّ
ِ‫َلصْبر‬
َّ ‫اص ْواِب‬
َ ‫اص ْواِبَلْ َحق َِوتَ َو‬
َ ‫اِالصَل َحَت َِوتَ َو‬
َّ ‫اِو َعملْو‬ َ ‫ِإالَِّالذ‬. ِ‫خِس ْار‬
َ ‫ينِءَ َامنْو‬ ْ ‫إ َّنِالِسْنْ َاَ َنِلَي‬. ِ‫صر‬
ْ ‫َوالْ َع‬
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, nasihat-menasihati supaya
menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS al-
'Ashr [103]: 1-3).
Dinamakan al-‘Ashr karena pada awal surat ini Allah  bersumpah dengan
menggunakannya. 1 Menurut Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan jumhur surat ini
tergolong surat makiyyah. 2 Dengan kalimat yang ringkas, surat ini menjelaskan
faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan dan kesengsaraan manusia,
keberhasilan dan kerugiannya dalam kehidupan.3
ِ‫صر‬
ْ ‫ َوالْ َع‬
Kata al-`ashr bermakna ad-dahr atau az-zamân (masa atau waktu). 4 Me-
mang, ada yang menafsirkannya : bagian dari waktu siang (waktu antara terge-
lincirnya matahari hingga sebelum terbenam), shalat ashar, atau masa kehidup-an
Nabi  (bagaikan waktu ashar jika dikaitkan dengan datangnya Hari Kiamat).
Namun, menurut ath-Thabari, Ibnu Katsir dan asy-Syaukani, yang lebih râjih (kuat)
dan masyhûr adalah makna pertama, yakni masa atau waktu secara umum, baik
siang maupun malam.5
Waw di ayat ini adalah waw qasam. Dalam bahasa Arab, tujuan digunakan
qasam (sumpah) adalah untuk mengukuhkan dan menandaskan muqsam ‘alaih
(jawâb al-qasam, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan). Dan ayat beri-
kutnya berkedudukan sebagai jawâb al-qasam.
ْ ‫ إ َّنِالسْنْاَ َنِلَي‬
ِ‫خِس ْار‬ َ
Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.
Huruf alif-lâm di depan kata insân lebih tepat dikategorikan sebagai
jinsiyyah, yang menunjukkan pengertian : seluruh jenis manusia.6 Oleh karena itu,
pendapat sebagian mufasir yang mengkhususkan ayat ini hanya untuk Walid bin
al-Mughirah, ‘Ash bin Wail, Aswad bin Muthallib, Abu Lahab, atau Abu Jahal 7
sangat tidak tepat. Hal itu lebih diperkuat dengan adanya istitsnâ (pengecualian)
pada orang-orang yang memiliki karakter tertentu sebagaimana disebutkan
dalam ayat berikutnya. 8 Dengan demikian, menurut ayat tersebut, seluruh
manusia benar-benar dalam kerugian (khusr[in]).
Secara bahasa, kata khusr atau khusrân berarti berkurang atau hilangnya
modal (ra’s al-mâl).9 Meskipun istilah ini sering dipakai dalam perniagaan, makna
kerugian yang ditunjukkan al-Quran tidak berdimensi duniawi dan berdasarkan
kalkulasi materi. Kerugian (khusr) yang dimaksud lebih berdimensi ukhrawi.
Dalam pandangan al-Quran, orang yang merugi adalah orang yang menda-
patkan murka Allah  dan azab-Nya di akhirat (neraka). Allah  berfirman :
ِ‫ين‬ َّ ‫قْلِإ َّنِالْ َخَسر‬
ْ ‫خ ْاَرا ْنِالْ ْمب‬
ِْ ْ‫ِه َوِال‬
ْ‫ك‬ َ ‫ِسا ْرواِأَسْنْ ْي َا ْه ْم َِوأ َْهليه ْمِيَ ْوَمِالْقيَ ََمةِأَالَِ َذل‬
َ ‫ين‬
َ ‫ينِالذ‬
َ ْ
Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang yang
merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada Hari Kiamat.” Ingatlah, yang
demikian adalah kerugian yang nyata. (QS az-Zumar [39]: 15).

1 Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj , 15/390.


2 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth vol. 8. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 507
3 Ali ash-Shabuni, Shafwah al-Tafâsîr, vol. 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, 574.
4 Al-Qurtubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur'ân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 122
5 Tafsîr ath-Thabari, 12/684; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 5/5; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, 4/2070.
6 Abu Hayyan, op. cit., 508.
7 Fakhruddin al-Razi, Atl-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh al-Ghayb. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990, 82.
8 Abu Hayyan, op. cit., 508.
9 Az-Zuhaili, op. cit., 392; ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfâdz al-Qur’ân. 148.
1
Dalam ayat tersebut juga ditegaskan bahwa kerugian yang diderita manusia
itu amat besar. Sebagai indikatornya, kata khusr yang digunakan berbentuk
nakîrah. Bentuk ini menunjukkan ancaman menakutkan (li tahwîl), seolah-olah
manusia dalam kerugian yang amat besar; atau menurut ash-Shabuni berarti li
ta‘zhîm sehingga dapat diartikan sebagai sebuah kerugian besar atau kehancuran
yang parah.10 Di samping itu, kata khusr[in] juga disertai huruf inna dan la yang
berfungsi sebagai ta’kîd (penguat).11
Setelah dinyatakan bahwa seluruh manusia dalam keadaan merugi, ayat
selanjutnya menyebutkan pengecualiannya :
َّ
ِ‫اِالصَل َحَت‬
َّ ‫اِو َعملْو‬ َ ‫ إالَِّالذ‬
َ ‫ينِءَ َامنْو‬
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Secara bahasa, kata al-îmân bermakna at-tashdîq (pembenaran).12 Sedang-
kan makna iman dalam ayat tersebut adalah makna syar‘i, yakni at-tashdîq al-jâzim
al-muthâbiq li al-wâqi ‘an dalîl (pembenaran yang pasti; bersesuaian dengan fakta
; bersumber dari dalil).13
Selanjutnya, keimanan tersebut dibuktikan dengan ketaatan kepada semua
hukum-hukum Allah, baik dalam perbuatan maupun ucapannya. Ketaatan inilah
yang dimaksud dengan amal shalih. Sebab, mengerjakan amal shalih adalah me-
nunaikan kewajiban, meninggalkan kemaksiatan, dan mengerjakan kebaikan.14
ِ‫َلصْبر‬
َّ ‫اص ْواِب‬
َ ‫اص ْواِبَلْ َحق َِوتَ َو‬
َ ‫ َوتَ َو‬
Saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya
menetapi kesabaran.
Sebenarnya, dua aktivitas ini —yakni saling menasihati dalam kebenaran dan
kesabaran— dapat dikategorikan sebagai amal shalih. Sebab, kedua aktivitas
tersebut termasuk amal perbuatan yang diperintahkan oleh syariat. Penyebutan
tersendiri dua aktivitas tersebut menunjukkan adanya penekanan khusus pada
keduanya. Dalam bahasa Arab, yang demikian dikenal dengan athf al-khâshsh ‘ala
al-‘âmm (menambahkan yang khusus pada yang umum). Menurut ash-Shabuni,
jika iman dan amal shalih menyempurnakan diri sendiri, sementara berwasiat
dalam kebenaran dan kesabaran dapat menyempurnakan orang lain.15
Adapun kata al-haqq merupakan lawan dari batil atau sesat.
َّ َّ‫فَ َذل ْك ْمِاللهْ َِربُّ ْك ْمِالْ َح ُّقِفَ َمَذَاِبَ ْع َدِالْ َحقِإال‬
ِ‫ِالضالَ ْل‬
Itulah Allah Tuhan kalian yang sebenarnya. Karena itu, tidak ada sesudah
kebenaran itu melainkan kesesatan. (QS Yunus [10]: 32).
Menurut ath-Thabari, yang dimaksud dengan al-haqq adalah Kitabullah. 16
Secara lebih luas, al-haqq bisa diartikan sebagai Dîn al-Islâm. Sebab, Islam satu-
satunya agama yang benar dan wajib diikuti setelah diutusnya Rasulullah .
Sedangkan ash-shabr, kata ash-shabru menurut bahasa maknanya adalah
ِْ ‫ال ح ب‬/al-habsu (penahan-an).17 Karena itu orang yang tertimpa musibah disebut
sabar karena dia menahan dirinya dari kesedihan (al-jaza’u). Bulan Ramadhan
disebut bulan sabar karena menahannya orang-orang dari memperturuti hawa
nafsu dan syahwat. Orang yang berperang di jalan Allah juga diperintahkan sabar,
yakni menahan diri dari lari menghadapi musuh, tetap menghadapinya kendati

10 Ali ash-Shabuni, op. cit., vol. 3, 575


11 Lihat: ar-Razi, op. cit., 83; az-Zuhayli, op. cit., 393.
12 Abu Bakr ar-Razi, op. cit., Tartîb Mukhtâr al-Shihâh, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, 50.
13 Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 Beirut: Dar al-Ummah, 2003, 29.
14 Az-Zuhayli, op. cit., 395; al-Qurtubi, op. cit., 122.
15 Ali al-Shabuni, op. cit., 575
16 Ath-Thabari, op. cit., 685
17
Lisan Al-Arab, 7/276
2
mengandung konsekwensi terbunuh.18 Dan perlu dicatat bahwa sabar itu tidak
sama dengan sikap pasif.
Lebih lanjut, sabar itu digambarkan ulama sebagai berikut :
Pertama, sabar dalam menjauhi maksiyat. Ini adalah mujâhid. Kedua, sabar
dalam menaati perintah Allah . Ini adalah `âbid (ahli ibadah). Al-Khawâsh men-
jelaskan, sabar adalah keteguhan di atas hukum-hukum al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ruwaim menjelaskan, sabar itu meninggalkan mengeluh (asy-syakwâ). Dzun Nûn
al-Mashri berkata, sabar itu meminta tolong kepada Allah . Abu Ali berkata :
Sabar itu batasnya adalah sepanjang tidak memprotes taqdir. Adapun mencerita-
kan al-balwâ (musibah, ujian, cobaan) bukan untuk tujuan syakwâ (pengaduan),
maka itu tidak meniadakan sabar.19 Allah  berfirman tentang kisah Ayyub 
bahwa ia termasuk orang yang sabar (lihat QS. Shâd : 41 - 44).
)44(ِِ‫صَبًراِسْن ْع َِمِالْ َعْب ِْدِإِسْن َِّهِْأ ََّواب‬
َ ِْ‫ثِإسْنََِّ َو َج ْدسْنَ َِه‬
ِْ َ‫بِبهِِ َوالِتَ ْحن‬
ِْ ‫َضر‬
ْ َ‫َو ْس ِْذِبيَد َِكِض ْغثًَِف‬
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu
dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub)
seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepa-
da Tuhan-nya). (QS. Shâd : 44).
Padahal ia pernah mengutarakan bahwa ia telah ditimpa penyakit.
)38(ِ‫ين‬
َِ ‫الراحم‬
َّ ِ‫تِأ َْر َح ِْم‬
َِ ْ‫ُّرِ َوأَسْن‬
ُِّ‫وبِإ ِْذِسْنَ ََدىِ َربَِّهِْأَسْنخِ َم َّان َِخِالض‬
َِ ُّ‫َوأَي‬
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya : "(Ya Tuhanku),
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang". (QS. Al-Anbiyâ’ : 38).
Namun perlu dicatat bahwa tidak dikatakan sabar dalam perkara maksiat.
An-Nuhas berkata : Tidak dikatakan untuk seseorang sabar dalam kemaksiatan.20
Sabar juga bukan bermakna enggan mencegah kemungkaran.
Di antara bentuk sabar adalah sabar dalam menghadapi musibah. Tentang
pahala kesabaran ini, hanya diberikan pada hantaman yang pertama. Dari Anas bin
Malik  bercerita : Pernah Nabi  melewati seorang wanita yang menangis di sisi
kubur, maka beliau bersabda (kepada wanita itu) : Bertaqwalah kepada Allah dan
sabarlah. Wanita itu berkata : Pergilah Engkau dariku, karena sesungguh-nya
Engkau tidak tertimpa musibah sebagaimana yang aku alami. Wanita itu belum tahu
beliau. Ketika dikatakan kepadanya bahwa yang mengatakan itu adalah Nabi .
Wanita itu lalu menuju pintu rumah Nabi  dan ia tidak menda-pati para penjaga
pintu. Wanita itu berkata : Saya tidak tahu bahwa yang berkata tadi adalah Engkau.
Maka beliau  bersabda :
»ِ‫الص ْد َمةِِاألْولَى‬
َّ ِ‫الصْب ِْرِعنْ َِد‬
َّ َِ‫«ِإسْن ََّم‬
Sesungguhnya sabar itu hanyalah pada hantaman/pukulan pertama.21
Sesungguhnya sabar itu hanyalah pada hantaman/pukulan pertama. Yakni
ketikat kuat & sangatnya musibah itu menimpa. Al-Hafidz dalam al-Fath berkata :
Sabar ketika hantaman pertama itulah yang diperintahkan, yang mana pelakunya
diberi kabar gembiran dengan ampunan dan rahmat.22 Imam An-Nawawi menje-
laskan maknanya, itu adalah sabar yang sempurna yang diberi atasnya pahala
yang banyak karena banyaknya kesulitan/kepayahan di dalamnya.23
Wal-Lâhu a`lam bi ash-shawâb [ ].

18
Lihat Tafsir Ath-Thabari, 1/11
19
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, 2/174
20
Tafsir al-Qurthubi, 1/371
21
HR. Al-Bukhari, 2/99, no. 1283 ; Muslim, 3/40, no. 926
22
Tuhfatu al-Ahwadzi, 3/44
23
Syarh an-Nawawi `ala Muslim, 3/337
3

Anda mungkin juga menyukai