OLEH :
2. ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak
diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat edema yang
terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif juga menjadi
faktor penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari 2005, h.220 otitis media terjadi
karena mekanisme pertahanan humoral yang belum matang sehingga meningkatkan
terjadinya infeksi, pemberian susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan
memudahkan terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan limfoid
yang menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan
horisontal, perkembangan saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii terbuka
lebih awal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa
yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus tubarius
dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid pada anak dapat mengisi
nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius
serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba eustakius secara normal
tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius melindungi telinga tengah dari sekresi
nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan memungkinkan keseimbangan tekanan
udara dengan tekanan atmosfer dalam telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun
fungsional tuba eustakius dapat mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik
intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat
adenoid atau tumor nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago
penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi tuba
eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika menetap
mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami obstruksi
tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi
karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi,
atau karena peniupan selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma
yang cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi
dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan dewasa, yang
mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks sekresi nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran nafas
yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi dan edema
mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis
media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis, Menurut Siegel RM and Bien JP (2004) dalam IKA Unair .
3. EPIDEMIOLOGI
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran
pernapasan atas. pada penelitian Zackzouk dan kawan-kawan di Arab Saudi tahun 2001
terhadap 112 pasien infeksi saluran pernapasan atas (6-35 bulan), didapatkan 30%
mengalami otitis media akit dan 8% sinusitis. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya
otitis berusia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di
Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media
sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalami tiga kali atau lebih.
Insiden Otitis Media Akut (OMA) tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan,
dan yang kedua pada waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami otitis Media Akut (OMA) di dapatkan pertengahan
tahun pertama sekolah, di Swedia mendapatkan 16.611 anak penderita Otitis Media Akut
(OMA) dan didapatkan usia 7 tahun dengan prevalensi terbanyak. resiko kekambuhan
otitis media terjadi pada beberapa faktor, antara lain usia < 5 tahun, otitis prone (pasien
yang mengalami otitis pertama kali pada usia < 6 bulan, 3 kali dalam 6 bulan terakhir),
infeksi pernapasan, perokok dan laki-laki.
Indonesia sebagai negara berkembang perlu memperhatikan masalah kesehatan
ini, namun hal ini tidak didukung dengan pendataan yang jelas tentang insidensi otitis
Media Akut (OMA) itu sendiri. data yang didapat dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan
Kota bekasi, Otitis Media Akut (OMA) selalu ada pada 20 besar penyakit dengan
insidensi tersering.
4. KLASIFIKASI
Menurut Djafar ZA, Helmi dan Restuti RD dalam Noverta (2013) Tanda dan gejala pada
OMA bergantung pada stadium penyakit pasien, dimana pada umumnya OMA memiliki lima
stadium, antara lain :
1) Stadium oklusi tuba Eustachius
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat adanya
tekanan negatif didalam telinga tengah yang terjadi karena absorpsi udara. Membran
timpani kadang tampak normal atau berwarna keruh pucat.
2) Stadium hiperemis ( stadium pre-supurasi)
Pada stadium ini dapat dilihat adanya pelebaran pembuluh darah pada membran timpani
atau seluruh membran timpani tampak hiperemis disertai edema.
3) Stadium supuratif
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya sel epitel
superfisial, dan telah terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani sehingga
menyebabkan penonjolan (bulging) membran timpani ke arah liang telinga luar
merupakan tanda yang dapat ditemukan pada stadium supuratif ini. Pada keadaan ini
pasien tampak sangat sakit, terjadi peningkatan suhu dan nadi, serta adanya nyeri telinga
yang dirasakan bertambah berat.
4) Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah yang berada di dalam
kavum timpani mengalir ke liang telinga luar. Pasien tampak lebih tenang dari
sebelumnya dan terjadi penurunan suhu.
5) Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali normal secara perlahan-
lahan tanpa pengobatan jika daya tahan tubuh pasien baik atau virulensi kuman rendah.
5. PATOFISIOLOGI
Otitis media terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang
mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut
memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah
dan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar.
Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam telinga tengah. Udara,
tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga diserap ke dalam sirkulasi yang
menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka,
perbedaan tekanan ini menyebabkan bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat
organisme cepat berproliferasi dan menembus mukosa (Wong et al 2008, h.944)
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
1) Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
2) Otalgia (sakit telinga)
3) Demam
4) Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.
Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :
1) Menangis
2) Rewel, gelisah, sensitif
3) Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit
4) Menggeleng-gelengkan kepala
5) Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
6) Kehilangan nafsu makan
Manifestasi klinis pada anak yang lebih besar :
1) Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman
2) Iritabilitas
3) Letargi
4) Kehilangan nafsu makan
5) Limfadenopati servikal anterior
6) Pada pemeriksaan otoskopi menunjukkan membran utuh yang tampak merah
terang dan menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik
sebagaiberikut :
1) Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif.
Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung
besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim
penghantaran suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan
pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi
produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga
menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang
pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek
kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang
berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test
berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan
intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964
yangekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang
pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
8. PENATALAKSANAAN
1) Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya :
a. Stadium oklusi tuba
a) Berikan antibiotik selama 7 hari :
- Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari
atau
- Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari
atau
- Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
d) Antipiretik
b. Stadium hiperemis
a) Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
- Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari
atau
- Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari
atau
- Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
d) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
c. Stadium supurasi
a) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
b) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral selama
3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik
peroral selama 14 hari.
c) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk
dilakukan miringotomi.
2) Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005, h.221 ialah :
a. Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi yang
mungkin terjadi.
b. Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas
pakainan anak yang berlebihan.
c. Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan
makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah makanan,
dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada telinga yang sakit.
d. Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang sakit
tergantung.
e. Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
f. Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
a) Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping obat.
b) Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan antibiotik
c) Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan
pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
d) Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak posisi
tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan perlahan,
permainan meniup.
e) Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah menyelesaikan
terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi persisten.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata : Nama, umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
b. Riwayat Penyakit sekarang
c. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
d. Riwayat penyakit dahulu :
a) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
b) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c) Pernah menderita sakit gigi geraham
e. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang
lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
f. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas atau sedih)
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
g. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b) Pola nutrisi dan metabolisme :
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c) Pola istirahat dan tidur
d) Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
e) Pola Persepsi dan konsep diri
f) Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun
g) Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus
menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
h. Pemeriksaan Fisik
a) Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b) Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi
(mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif :
1) Observasi nafas :
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah, frekwensinya,
lamanya.
2) Sekret hidung :
a. Warna, jumlah, konsistensi secret
b. Epistaksis
c. Ada tidaknya krusta atau nyeri hidung.
3) Riwayat Sinusitis :
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
b. Hubungan sinusitis dengan musim atau cuaca.
4) Gangguan umum lainnya :
a) Kelemahan
Data Obyektif
1) Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen
2) Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan Pucat,
Odema keluar dari hidung atausinus yang mengalami radang mukosa
3) Kemerahan dan Odema membran mukosa
4) Pemeriksaan penunjung :
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan.
b. Pemeriksaan rongent sinus
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Resiko cidera berhubungan dengan ketidakseimbangan labirin : vertigo
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
penatalaksanaan OMA yang tepat
3. ansietas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan
B. INTERVENSI
Arsyad, ES & Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. FKUI:
Jakarta.
Betz, CL. 2002. Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.
Dowshen et al. 2002. Petunjuk lengkap untuk orang tua. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Muscari, ME. 2005. Panduan belajar: keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.
Schwartz, M. 2004. Pedoman klinis pediatri. EGC: Jakarta.
Wong, DL et al. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.
Anonim, 1998, Otitis Media Chronic, http://www.healthcentral.com
Fung, K., 2004, Otitis Media Chronic, http://www.medline.com
Mansjoer, Arif. dkk. (2001). Kapita Selwkta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Rothrock, C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Tarwoto, Aryani. Ratna, Wartonah. (2009). ANATOMI DAN FISIOLOGI untuk
MAHASISWA KEPERAWATAN. Jakarta : Trans Info Media.