Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA AKUT

OLEH :

KADEK KEMBAR AYU MANIK SUKRAENY


P07120218 014
SEMESTER IV/STr.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA AKUT

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Otitis media adalah infeksi telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (Otitis
Eksternal), saluran telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan telinga bagian
dalam (labyrinthitis). Otitis media, suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan
efusi telinga tengah. (Rahajoe, 2012)
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga
tengah, tuba eustachii, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Biasanya terjadi karena
peradangan saluran napas atas dan sering mengenai bayi dan anak-anak. Telinga tengah
adalah organ yang memiliki penghalang yang biasanya dalam keadaan steril. Bila
terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme
pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-
bulu halus yang dimiliki oleh tuba eustachii. OMA terjadi akibat tidak berfungsinya
sistem pelindung tadi. Sumbatan atau peradangan pada tuba eustachii merupakan faktor
utama terjadinya otitis media (Husni T.R, 2011).
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum
telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 2002).
Otitis media akut ialah radang akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi
atau anak yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas (Schwartz 2004,
h.141).

2. ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak
diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat edema yang
terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif juga menjadi
faktor penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari 2005, h.220 otitis media terjadi
karena mekanisme pertahanan humoral yang belum matang sehingga meningkatkan
terjadinya infeksi, pemberian susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan
memudahkan terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan limfoid
yang menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan
horisontal, perkembangan saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii terbuka
lebih awal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa
yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus tubarius
dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid pada anak dapat mengisi
nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius
serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba eustakius secara normal
tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius melindungi telinga tengah dari sekresi
nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan memungkinkan keseimbangan tekanan
udara dengan tekanan atmosfer dalam telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun
fungsional tuba eustakius dapat mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik
intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat
adenoid atau tumor nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago
penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi tuba
eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika menetap
mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami obstruksi
tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi
karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi,
atau karena peniupan selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma
yang cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi
dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan dewasa, yang
mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks sekresi nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran nafas
yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi dan edema
mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis
media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis, Menurut Siegel RM and Bien JP (2004) dalam IKA Unair .

           
3. EPIDEMIOLOGI
Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran
pernapasan atas. pada penelitian Zackzouk dan kawan-kawan di Arab Saudi tahun 2001
terhadap 112 pasien infeksi saluran pernapasan atas (6-35 bulan), didapatkan 30%
mengalami otitis media akit dan 8% sinusitis. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya
otitis berusia 1 tahun sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun  sekitar 83%. Di
Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media
sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalami tiga kali atau lebih.
Insiden Otitis Media Akut (OMA) tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan,
dan yang kedua pada waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami otitis Media Akut (OMA) di dapatkan pertengahan
tahun pertama sekolah, di Swedia mendapatkan 16.611 anak penderita Otitis Media Akut
(OMA) dan didapatkan usia 7 tahun dengan prevalensi terbanyak. resiko kekambuhan
otitis media terjadi pada beberapa faktor, antara lain usia < 5 tahun, otitis prone (pasien
yang mengalami otitis pertama kali pada usia < 6 bulan, 3 kali dalam 6 bulan terakhir),
infeksi pernapasan, perokok dan laki-laki.
Indonesia sebagai  negara berkembang perlu memperhatikan masalah kesehatan
ini, namun hal ini tidak didukung dengan pendataan yang jelas tentang insidensi otitis
Media Akut (OMA) itu sendiri. data yang didapat dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan
Kota bekasi, Otitis Media Akut (OMA) selalu ada pada 20 besar penyakit dengan
insidensi tersering.

4. KLASIFIKASI
Menurut Djafar ZA, Helmi dan Restuti RD dalam Noverta (2013) Tanda dan gejala pada
OMA bergantung pada stadium penyakit pasien, dimana pada umumnya OMA memiliki lima
stadium, antara lain :
1) Stadium oklusi tuba Eustachius
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat adanya
tekanan negatif didalam telinga tengah yang terjadi karena absorpsi udara. Membran
timpani kadang tampak normal atau berwarna keruh pucat.
2) Stadium hiperemis ( stadium pre-supurasi)
Pada stadium ini dapat dilihat adanya pelebaran pembuluh darah pada membran timpani
atau seluruh membran timpani tampak hiperemis disertai edema.

3) Stadium supuratif
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya sel epitel
superfisial, dan telah terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani sehingga
menyebabkan penonjolan (bulging) membran timpani ke arah liang telinga luar
merupakan tanda yang dapat ditemukan pada stadium supuratif ini. Pada keadaan ini
pasien tampak sangat sakit, terjadi peningkatan suhu dan nadi, serta adanya nyeri telinga
yang dirasakan bertambah berat.

4) Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah yang berada di dalam
kavum timpani mengalir ke liang telinga luar. Pasien tampak lebih tenang dari
sebelumnya dan terjadi penurunan suhu.
5) Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali normal secara perlahan-
lahan tanpa pengobatan jika daya tahan tubuh pasien baik atau virulensi kuman rendah.

5. PATOFISIOLOGI
Otitis media terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang
mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut
memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah
dan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar.
Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam telinga tengah. Udara,
tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga diserap ke dalam sirkulasi yang
menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka,
perbedaan tekanan ini menyebabkan bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat
organisme cepat berproliferasi dan menembus mukosa (Wong et al 2008, h.944)

6. MANIFESTASI KLINIS
 Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
1) Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
2) Otalgia (sakit telinga)
3) Demam
4) Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.
 Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :
1) Menangis
2) Rewel, gelisah, sensitif
3) Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik telinga yang sakit
4) Menggeleng-gelengkan kepala
5) Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
6) Kehilangan nafsu makan
 Manifestasi klinis pada anak yang lebih besar :
1) Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman
2) Iritabilitas
3) Letargi
4) Kehilangan nafsu makan
5) Limfadenopati servikal anterior
6) Pada pemeriksaan otoskopi menunjukkan membran utuh yang tampak merah
terang dan menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik
sebagaiberikut :
1) Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif.
Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung
besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim
penghantaran suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan
pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi
produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga
menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang
pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek
kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang
berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test
berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan
intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964
yangekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang
pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran
   Normal : -10 dB sampai 26 dB
   Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
   Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
   Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
   Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
   Tuli total : lebih dari 90 dB.

Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi


kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang
serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat
diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk
perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bias
membantu :
a. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
b. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif30-
50 dB apabila disertai perforasi.
c. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih
utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
d.   Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan
hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.

Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian


pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur
dengan maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli
campur.
2) Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis
nilaidiagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,
lebih kecil dengan pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya
atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan
kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :
a.  Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dariarah
lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan
posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran
radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus
lateral.
b. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah.
Akantampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
c. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosusdan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis
semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang
sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibatkolesteatom.
d. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT
scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau
tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis
semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan
hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus
lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit mastoid.

8. PENATALAKSANAAN
1) Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan stadiumnya :
a. Stadium oklusi tuba
a) Berikan antibiotik selama 7 hari :
- Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari
atau
- Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari
atau
- Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
d) Antipiretik
b. Stadium hiperemis
a) Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
- Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari
atau
- Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari
atau
- Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
b) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
c) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
d) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
c. Stadium supurasi
a) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
b) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral selama
3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik
peroral selama 14 hari.
c) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT untuk
dilakukan miringotomi.
2) Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005, h.221 ialah :
a. Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi yang
mungkin terjadi.
b. Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas
pakainan anak yang berlebihan.
c. Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan
makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah makanan,
dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada telinga yang sakit.
d. Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang sakit
tergantung.
e. Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
f. Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
a) Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping obat.
b) Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan antibiotik
c) Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan
pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
d) Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak posisi
tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan perlahan,
permainan meniup.
e) Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah menyelesaikan
terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi persisten.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata : Nama, umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
b. Riwayat Penyakit sekarang
c. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
d. Riwayat penyakit dahulu :
a) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
b) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c) Pernah menderita sakit gigi geraham
e. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang
lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
f. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas atau sedih)
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
g. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b) Pola nutrisi dan metabolisme :
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c) Pola istirahat dan tidur
d) Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
e) Pola Persepsi dan konsep diri
f) Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep diri
menurun
g) Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus
menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
h. Pemeriksaan Fisik
a) Status kesehatan umum : keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b) Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi
(mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif :
1) Observasi nafas :
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah, frekwensinya,
lamanya.
2) Sekret hidung :
a. Warna, jumlah, konsistensi secret
b. Epistaksis
c. Ada tidaknya krusta atau nyeri hidung.
3) Riwayat Sinusitis :
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
b. Hubungan sinusitis dengan musim atau cuaca.
4) Gangguan umum lainnya :
a) Kelemahan
Data Obyektif
1) Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen
2) Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan  Pucat,
Odema keluar dari hidung atausinus yang mengalami radang  mukosa
3) Kemerahan dan Odema membran mukosa
4) Pemeriksaan penunjung :
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan.
b. Pemeriksaan rongent sinus
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Resiko cidera berhubungan dengan ketidakseimbangan labirin : vertigo
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
penatalaksanaan OMA yang tepat
3. ansietas berhubungan dengan prosedur tindakan pembedahan
B. INTERVENSI

DX SLKI SIKI RASIONAL

Sebutkan tujuan keperawatan Pencegahan cedera


Resiko cidera selama ...X 24 jam diharapkan
observasi
risiko cedera pasien menurun
berhubungan dengan
dengan kriteria hasil: ❏ Identifikasi area lingkungan ❏ Agar bisa menjauhkan pasien
ketidakseimbangan yang berpotensi menyebabkan dari lingkungan yang berpotensi
❏ Toleransi aktivitas
labirin : vertigo meningkat cedera menyebabkan cidera
❏ nafsu makan meningkat
❏ toleransi makan
meningkat
❏ kejadian cedera ❏ Identifikasi obat yang ❏ agar bisa menjauhkan pasien
berpotensi menyebabkan dari obat yang berpotensi
menurun
❏ luka atau lecet menurun cidera menyebabkan cidera
❏ ketegangan otot
menurun
❏ fraktur menurun
❏ perdarahan menurun ❏ identifikasi kesesuaian alas ❏ agar pasien jauh dari alat-alat
yang mengakibatkan cedera
❏ agitas menrun kaki pada ekstremitas bawah
❏ ekspresi wajah terapiutik
kesakitan menurun ❏ agar penglihatan pasien baik
❏ Sediakan pencahayaan yang
❏ iritabilitas menurun
memadai
❏ gangguan mobilitas
❏ Gunakan lampu tidur ❏ agar pasien tidak berada di
menurun
selamanya tidur tempat gelap
❏ gangguan kognitif
❏ gunakan alas kakilantai Jika ❏ agar pasien tidak tergelincir
menurun
berisiko mengalami cedera
❏ tekanan darah
serius
membaik ❏ agar pasien tidak tergelincir
❏ sediakan alas kaki anti slip
❏ frekuensi nadi membaik Saat berjalan
anti slip
❏ frekuensi nafas
membaik ❏ agar pasien bisa memenuhi
❏ denyut jantung apikal ❏ sediakan Pisces atau urinal kebutuhan eliminasi di tempat
untuk eliminasi di tempat tidur
membaik tidur
❏ denyut jantung radialis
membaik ❏ pertahankan posisi tempat ❏ agar pasien tidak berada
❏ pola tidur membaik tidur di posisi terendah saat ditempat tinggi dan mudah
digunakan jatuh
❏ pastikan barang-barang ❏ agar pasien dapat mudah untuk
pribadi mudah dijangkau menjangkau barang-barang
pribadinya

❏ gunakan pengaman tempat ❏ agar pasien tidak mudah jatuh


tidur dari tempat tidur
❏ diskusikan mengenai latihan ❏ agar pasien dapat bergerak
dan terapi fisik yang secara normal
diperlukan
❏ diskusikan mengenai alat ❏ agar pasien dapat mobilisasi
bantu mobilitas yang sesuai aktif secara mandiri
Kurang pengetahuan setelah dilakukan asuhan edukasi aktivitas/istirahat
keperawatan selama ...x24 jam
berhubungan dengan Diharapkan Asian dapat observasi
kurangnya informasi mengerti tentang informasi- ❏ identifikasi kesiapan dan ❏ agar iformasi yang nanti akan
informasi mengenai OMA media pengaturan aktifitas disampaikan tersampaikan
tentang penatalaksanaan dengan kriteria hasil :
dan istirahat dengan baik
OMA yang tepat ❏ Perilaku sesuai anjuran ❏ sediakan materi dan media ❏ agar proses pemberian
pengaturan aktivitas dan informasi bejalan lebih efektif
meningkat
❏ verbalisasi minat dalam istirhat
❏ jadwalkan peberian
belajar meningkat ❏ agar perawat dan pasien dapat
❏ kemampuan pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan waktu luang yang cukup
menjelaskan
pengetahuan tentang ❏ berikan kesempatan pasien
dan keluarga bertanya ❏ agar pasien merasa dihargai
suatu topik meningkat
❏ kemampuan edukasi
menggambarkan ❏ jelaskan pentingnya melakuan ❏ agar pasien mau melakukan
pengalaman sebelumnya aktivitas secara mandiri
aktivitas fisik atau olahraga
yang sesuai topik secara rutin
meningkat ❏ anjurkan menyusun jadwal ❏ agar aktivitas pasien terstruktur
❏ perilaku sesuai dengan aktivitas dan istirahat
pengetahuan meningkat ❏ ajarkan cara mengidentifikasi
❏ pertanyaan tentang kebutuhan istirahat ❏ agar pasien bia beristirahat
masalah yang dihadapi dengan cukup
menurun
❏ persepsi yang keliru
menurun
❏ menjalani pemeriksaan
yang tidak tepat
menurun
❏ perilaku
ansietas berhubungan Setelah dilakukan asuhan terapi relaksasi
dengan prosedur tindakan keperawatan selama ...x24 jam
pembedahan diharapkan ansietas px menurun observasi
Kriteria hasil : ❏ identifikasi penurunan tingkat ❏ untuk mengetahui tingkat
energi, ketidakmamuan energi pasien
❏ verbalisasi kebingungan
berkonsentrasi, atau gejala
menurun
❏ verbalisasi kekhawatiran lain yang memganggu
kemampuan kognitif
akibat kondisi yang di
hadapi menurun ❏ identifikasi teknik relaksasi ❏ agar bisa menerapkan teknik itu
yang pernah efektif digunakan lagi
❏ perilaku gelisah
menurun ❏ identifikasi kesedihan, ❏ agar bisa mengetahui mood
kemampuan, da penggunaan pasien
❏ perilaku tegang
menurun teknik sebelumnya
❏ periksa ketegangan otot,
❏ keluhan pusing menurun ❏ untuk mengetahui keadaan
❏ anoreksia menurun frekuensi nadi, td, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan umum pasien
❏ palpitasi menurun
❏ frekuensi pernapasan ❏ monitor respon terhadap
terapi relaksasi ❏ untuk mengetahui efek yng
membaik terjadi akibat terapi
❏ frekuensi nadi membaik terapiutik
❏ tekanan darah membaik ❏ ciptakan lingkungan tenang
❏ diaforesis menurun ❏ agr pasien merasa nyaman
dan tanpa gangguan dengan
❏ tremor menurun pencahayaan dan suhu ruang
❏ pucat menurun yaman, jika memungkinkan
❏ konsentrasi membaik ❏ berikan informasi tertulis
❏ pola tidur membaik tentang persiapan dan ❏ agar pasien tahu apa saja
❏ perasaan keberdayaan prosedur teknik relaksasi tindakan yang akan dilakukn
membaik ❏ gunakan pakaian longgar untuk penyembuhan
❏ kontak mata membaik ❏ gunakan nada suara lembut ❏ untuk kenyamanan pasien
❏ pola berkemih mmbaik edukasi
❏ orientasi membaik
❏ jelaskan tujuan, manfaat,
batasan, dan jenis relaksasi ❏ agar pasien tahu apa yang
❏ jelaskan secara rinci intervensi dilakukan
relaksasi yang dipilih
❏ anjurkan mengambil posisi
nyaman ❏ agar intervensi berjaan lancar
❏ anjurkan rileks dan merasakan
sensasi relaksasi
❏ anjurkan sering mengulangi
teknik
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, ES & Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. FKUI:
Jakarta.
Betz, CL. 2002.  Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.
Dowshen et al. 2002. Petunjuk lengkap untuk orang tua. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Muscari, ME. 2005. Panduan belajar: keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.
Schwartz, M. 2004. Pedoman klinis pediatri. EGC: Jakarta.
Wong, DL et al. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.
Anonim, 1998, Otitis Media Chronic, http://www.healthcentral.com
Fung, K., 2004, Otitis Media Chronic, http://www.medline.com
Mansjoer, Arif. dkk. (2001). Kapita Selwkta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.
Rothrock, C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Tarwoto, Aryani. Ratna, Wartonah. (2009). ANATOMI DAN FISIOLOGI untuk
MAHASISWA KEPERAWATAN. Jakarta : Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai