Della Rahmadhani
1812030070
Dosen Pembimbing:
Dra. Rahima Zakia, M. Pd
B. Pengelolaan Masjid
Pengelolaan atau idarah masjid, disebut juga Manajemen Masjid, pada garis
besarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu Manajemen Pembinaan Fisik Masjid
(Physical Management) dan Pembinaan Fungsi Masjid (Functional Management).
(Ayyub,1996:35-36).
Manajemen Pembinaan Fisik Masjid meliputi kepengurusan, pembangunan dan
pemeliharaan fisik masjid, pemeliharaan kebersihan dan keanggunan masjid
pengelolaan taman dan fasilitas-fasilitas yang tersedia.
Pembinaan fungsi masjid adalah pendayagunaan peran masjid sebagai pusat
ibadah, dakwah dan peradaban Islam sebagaimana masjid yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Sebagai pusat ibadah mahdhah, masjid disiapkan sedemikian rupa
sehingga pelaksanaan ibadah itu seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at dan shalat-
shalat sunnah berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran Islam. Pengelolaan
pelaksanaan zakat, ibadah puasa dan ibadah haji diberikan bimbingan pelaksanaannya
melalui masjid. Sebagai pusat dakwah, masjid hendaknya memprakarsai kegiatan
dakwah baik secara tulisan, lisan, elektronik dan dakwah bil hal. Hal ini bisa
dilakukan misalnya dengan pembentukan lembaga dakwah.
Kegiatan dan pengelolaan masjid memerlukan dana yang besar, karena itu tidak
cukup bila hanya mengandalkan hasil dari tromol yang diadakan setiap Jum'at dan
setiap pengajian. Masjid haru memiliki sumber dana tetap dan bergengsi, misalnya
mengembangkan usaha-usaha tertentu dengan memanfaatkan pangsa pasar.
Organisasi masjid dengan berbagai kebijaksanaannya termasuk masalah
keuangan yang harus dikelola secara transparan, sehingga para jama'ah dapat
mengikuti perkembangan masjidnya secara baik. Masjid yang dirasakan sebagai milik
bersama dan dirasakan manfaatnya secara maksimal oleh para jama'ah akan mendapat
dukungan yang kuat, baik dari segi pembangunan maupun dana.
C. Problematika Pengelolaan Masjid
Beberapa kendala yang ditemukan dalam upaya menjadikan masjid sebagai
pusat pembinaan umat dan pengembanagn risalah. kendala ini tidak terjadi begitu saja
tanpa penyebab, baik akibat kesalahan umat kita maupun akibat faktor luar diluar
kontrol dan jangkauan kita. Beberapa penyebab dapat dikemukaakan sebagai berikut:
1. Perbedaan Pandangan
Polalirasi umat islam akibat pertikaian politik baik aliran politik zaman
mengakibatkan masjid menjadi salah satu penyebab perbedaan “kami dan kamu”.
Sehingga masjid di Indonesia membuat pengelompokan sendiri ada masjid
muhamadiyah, masjid NU, masjid Alwashiliyah, masjid persisi dan lain lain. Lebih
aneh lagi dalam suatu kampung tidak jarang yang memiliki dua atau tiga buah masjid.
Akhirnya timbul konflik sehingga kekuatan umat islam terbagi menjadi lebih kecil
dan akhirnya melemah dan bermuara pada kelemahan umat islam secara keseluruhan.
2. Faktor Ekonomi
Tingkat kesejahteraan ekonomi ummat yang masih bergelut dengan kemiskinan
juga merupakan kendala pengembangan masjid sebagai pusat kebudayaan ibadah.
3. Faktor Keahlian
Tingkat intelektualitas dan keakhlian rata-rata ummat islam pada awalnya
memang cukup menyedihkan, sehingga tidak terfikir bagaimana sebaiknya mengelola
masjid secara professional.
4. Ketiadaan Perencanaan
Tidak adanya konsep manajemen termasuk konsep perencanaan tentang fungsi
masjid juga mengurangi optimalisasi masjid.
5. Jamaah dan Struktur Organisasi
Sulit kadangkala mengidentifikasi siapa pemilik dan penguasa masjid jugan dapat
menjadi kendala. Setiap orang merasa ikut memiliki masjid, pada saat yang sama
setiap orang merasa tidak bertangggung jawab pada masjid. Keadaan ini
menimbulkan kesulitan dan menentukan siapa mengtur siapa dan siapa yang harus
kita dengar.
6. Pemahaman Fiqih
Bebera pendapat yang sangat ketat tentang masjid pada masa lalu seperti
banyaknya yang tidak boleh daripada yang boleh. Seperti tidak boleh hiburan, tidak
boleh rebut, anak-anak tidak boleh dibawa kemasjid, tidak boleh pemuda main-main
dimasjid. Sehingga masjid dibiarkan sendiri sebagai pusat ibadah saja, dan tempat
yang soleh saja.
7. Pengetahuan Umat
Kurangnya pengetahuan pada konsep islam, khususnya tentang bagaimana
peranan masjid dalam membangun umat, menimbulkan keengganan dalam memenej
masjid.
8. Dominasi Ulama
Aggapan yang salah dalam mengurus masjid juga memberikan andilnya. Ada
anggapan yang menyatakan masjid hanya boleh diurus oleh para kyai atau mereka
yang menguasai agama, sehingga mereka yang mempunyai potensi dan kemauan
tetapi bukan ulama tidak berani tampil.(Harahab.1993:40-37).
Selain yang di atas ada juga problematika masjid yang lain yaitu:
1. Pengurus Tertutup
Pengurus dengan corak kepemimpinan tetutup biasanya tidak peduli terhadap
apresiasi jamaahnya. Mereka mengaggap diri lebih tahu dan bersikap masa bodoh atas
usulan dan pendapat. Apabila pengurus berwatak seperti ini sangat riskan
mengharapkan masjid yang maju dan makmur sesuai dengan fungsinya.
2. Jemaah Pasif
Dalam pembangunan ataupun dalm pelaksanaan kegiatan-kegiatan masjid,
dukungan dan partisifasi dari jamaah sangat diharapkan. Dinamika sebuah masjid
hanya terjadi aktif mau peduli, mau berbagi, ringan langkahnya dan sudi berderma.
Kebanyakan jamaah pasif cederung tidak menyimak khutbah khotib ketika salat
jum’at. Mereka malah tidur di masjid; suatu pemandangan meyedihkan tetapi kerap
kita jumpai.
3. Berpihak pada Satu Golongan atau Paham
Pengurus masjid yang dalam melaksanakan tugas pembangunan ataw kegiatan
pelaksanaan ibadah memihak satu golongan atau paham akan mengakibatkan jemaah
itu pasif. Menolak sikap / paham golongan yang kebetulan tidak sehaluan, disamping
tidak memperlihatkan jiwa besar, juga akan menjadikan kegiatan masjid kehilangan
gairah.
4. Kegiatan Kurang
Memfungsikan masjid semata-mata sebagai ibadah solat jum’at otomatis
menisbikan inisiatif untuk menggelorakan kegiatan-kegiatan lain. Masjid hanya ramai
dalam seminggu, di luar jadwal itu barangkali hanya para musafir yang dating untuk
salat dan beristirahat. Masjid seperti ini namanya tetap masjid tapi sugguh jauh dari
status maju apalagi makmur. Masjid “nganggur” semacam ini memerlukan suntikan
program untuk lebih berfungsi.
5. Tempat Wudhu Kotor
Kurangnya pemeliharaan mengakibatkan masjid kotor dan rusak. Bila tepat
mengambil air wudlu dan Wc-nya kurang dirawat dan dibersihkan, dari situ meruyak
bau yang menyengat. Bau tidak sedap itu dapat menganggu orang-orang yang hendak
beribadah di masjid.
Diantara jamaah masjid tentu ada golongan tua dan muda, banyak masjid yang mengalami
konflik antara golongan tua dengan yang muda itu, anak muda dianggap sok tahu oleh orang tua,
sedang orang tua dianggap kolot dan sulit diajak maju oleh orang muda. Yang ingin saya tanyakan
adalah: bagaimana upaya mengatasi konflik dan kesenjangan hubungan ini?.
Jawaban :
Konflik hubungan antara yang tua dengan yang muda semestinya tidak perlu terjadi
kalau kedua belah pihak berpegang teguh pada akhlak Islam. Di dalam Islam, adab hubungan
ini diatur sehingga yang muda harus hormat pada yang tua dan yang tua harus sayang pada
yang muda. Sebagai wujud dari rasa hormat, maka yang muda bukan harus menggugat
apalagi menghujat yang tua, tapi meminta masukan dan saran tentang bagaimana seharusnya
suatu aktivitas harus berjalan, yang muda juga perlu meminta persetujuan dari yang tua
tentang aktivitas yang dicanangkan. Adapun yang tua semestinya senang apabila anak-anak
muda di masjidnya memiliki gagasan-gagasan cemerlang untuk mengembangkan berbagai
aktivitas kemasjidan, sehingga tidak ada alasan baginya untuk menghambat anak muda untuk
mengembangkan akivitas.
Kalau anak muda melakukan kesalahan, maka orang tua harus menasihati dan
meluruskan bukan melarangnya sama sekali. Kalau anak muda berbicara kurang sopan maka
orang tua mengarahkan bagaimana bersopan santun dan begitulah seterusnya. Orang tua tidak
ada salahnya belajar kepada anak muda, apalagi anak muda terhadap orang tua. Yang terjadi
sekarang umumnya tidak demikian, anak muda menganggap orang tua kolot, picik dan
ketinggalan zaman, sementara orang tua menganggap anak muda tidak tahu apa-apa. Padahal
Rasulullah saw sudah mencontohkan kepada kita bagaimana beliau menjalin kerjasama
dengan kalangan muda, bahkan dengan mereka yang jauh lebih muda seperti Ali bin Abi
Thalib yang kemudian menjadi menantunya, dengan Arqam bin Abi Arqam yang dalam usia
13 tahun rumahnya dijadikan oleh Nabi sebagai tempat pengajian atau pengkaderan para
sahabat. Bahkan yang lebih mengharukan lagi, Rasulullah saw tidak segan-segan
memberikan kepercayaan dan tugas besar kepada sahabat muda yang telah menunjukkan
prestasi dan kemampuannya seperti menunjuk Usamah bin Zaid yang berumur 17 tahun
menjadi panglima perang. Dengan demikian, konflik antara yang tua dengan yang muda lebih
kepada masalah komunikasi yang kurang mengena.
Karena itu dalam struktur kepengurusan masjid biasanya ada seksi pembinaan
pemuda atau remaja masjid yang pengurusnya adalah orang yang dari segi usia ditengah-
tengah antara yang tua dengan yang muda, sekitar usia 30-45 tahun sehingga bisa
menjembatani hubungan antara generasi tua dengan generasi muda. Orang seperti inilah yang
bisa memahami pikiran dan jiwa anak muda dengan orang tua. Orang ini tidak memiliki
keberpihakan pada salah satu, tapi berpihak pada setiap kebaikan dan kebenaran yang ingin
diwujudkan di masjid.