Anda di halaman 1dari 16

PEMENUHAN OKSIGENASI

Modul Pembelajaran
Untuk memenuhi tugas dokumentasi keperawatan
Yang dibina oleh Ibu Ririn Anantasari, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp, Mat

Dibuat Oleh :
Nur Cholif Wahyu Ningtyas
(P17220194080)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
D-III KEPERAWATAN LAWANG
FEBRUARI 2019
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Majunder . N (2015) Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu
proses mulai dari pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan
energi di dalam tubuh. Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas
dan membuang karbon dioksida ke lingkungan.
Kebutuhan akan oksigenasi merupakan kebutuhan dalam hirarki maslow yang
paling dasar atau merupakan kebutuhan fisiologi. Salah satu kebutuhan yang sangat
penting merupakan kebutuhan akan oksigenasi jika kebutuhan oksigenasi itu tidak
terpenuhi maka akan berakibat pada kematian. Untuk itu kebutuhan oksigenasi
merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Kebutuhan oksigenasi merupakan
kebutuhan dasar manusia yang di gunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh
mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel.
Dalam keadaan biasa manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen setiap hari (24
jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Respirasi berperan dalam mempertahakan
kelangsungan metabolisme sel. Sehingga di perlukan fungsi respirasi yang adekuat.
Respirasi juga berarti gabungan aktifitas  mekanisme yang berperan dalam proses suplai
O² ke seluruh tubuh dan pembuangan CO² (hasil pembakaran sel) (Hidayat, 2012) .hasil
dari riset kesehatan daerah insiden dan prevelensi penyakit saluran pernapasan akut di
Indonesia tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4, 5 persen. Lima provinsi yang mempunyai
insiden dan prevelensi pada penderita gangguan pernapasan atau oksigenasi tertinggi
untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
dan Sulawesi Selatan (Risdeskas, 2013)

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi berkaitan dengan oksigenasi?
2. Bagaimanakah gangguan pernafasan yang lazim terjadi?
3. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
oksigenasi?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi pada system pernafasan
2. Untuk mengetahui gangguan pernafasan yang lazim terjadi seperti batuk,
wheezing dan sesak nafas
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan oksigenasi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pernafasan

Anatomi Sistem Pernafasan
a. Rongga Hidung
Sebelum udara masuk ke dalam tubuh manusia dan di proses, ketika pertama kali
memasuki system pernafasan, udara yang dihirup manusia melalui hidung kemudian di
dalam hidung akan mengalami 3 hal yaitu :
 Dihangatkan
 Disaring
 Dilembabkan

Di dalam hidung terdapat selaput lendir respirasi, psedostrafied ciliated columnar


epitelium berfungsi untuk menggerakkan partikel-partikel halus yang dibawa oleh udara
kearah faring sedangkan partikel-partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel
goblet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh
darah yang berfungsi menghangatkan udara. Hidung bertanggung jawab terhadap
olfaktorius (penciuman) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung dan hidung
juga membantu dalam persengauan

b. Faring
Adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum
vertebra. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S
Joshi, 2011)
c. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan tuba eustachius)
Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di belakangan
hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Dan terletak di bagian
lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung. Nasofaring berfungsi untuk
melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan yang akhirnya ke paru-paru
(American Cancer Society, 2013).
d. Orofaring
Orofaring merupakan pertemuan antara rongga mulut dengan faring, bagian
aksesoris ini terdapat pada pangkal lidah yang keberadaannya berfungsi untuk mengatur
makanan agar tidak masuk ke saluran pernapasan, klep tersebut disebut epiglotis.
e. Laring
Merupakan struktur yang lengkap dari kartilago, kartilago tiroid, epiglottis,
kartilago krikoid, dan dua buah kartilago arytenoid. Fungsi utama laring adalah untuk
memungkinkan terjadinya vokalisasi, laring juga melindungi jalan nafas bawah dari
obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
f. Trakhea
Merupakan tuba yang lentur atau fleksibel dengan panjang sekitar 10 cm dan
lebar 2,5 cm menjalar dari kartilago krikoid ke bawah depan leher dan ke belakang
manubrium sternum untuk berakhir pada sudut dekat sternum.
g. Bronkhus
Bagian ini merupakan percabangan trakhea ke kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini dikenal sebagai Carina. Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, lebih
dekat dengan trakhea di banding bronkus kiri. Bronkus kanan bercabang 3 : lobus
superior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus kiri bercabang 2: lobus superior dan
lobus inferior
h. Bronkhiolus
Bronkhiolus membentuk percabagan menjadi bronkhiolus terminalis, yang tidak
mempunyai kelenjar lerdir dan silia. Bronkhiolus terminalis kemudian menjadi
bronkhiolus respiratori yang dianggap menjadi saluran transisional antara jalan udara
konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
i. Alveolus
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam klaster antara
15-20 alveoli. Sel-sel alveolar yang aktif secara metabolic mensekresi surfuktan suatu
fosfolid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps.

 Fisiologi Sistem Pernafasan


a. Ventilasi
Ventilasi adalah gerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru. Gerakan
dalam pernafasan adalah ekspansi dan inspirasi. Pada inspirasi otot
daifragma berkontraksi dan kubah dari diafragma menurun, pada waktu
yang bersamaan otot-otot intercostal interna berkontraksi dan mendorong
dinding dada sedikit kea rah luar. Pada ekspirasi diafragma dan otot-otot
interkosta eksterna relaksasi. Diafragma naik dinding-dinding dada jatuh ke
dalam dan ruang di dalam dada hilang.
b. Difusi
Difusi adalah gerakan diantara udara dan karbondioksida di dalam alveoli
dan darah didalam kapiler sekitarnya. Dalam cara difusi ini gas mengalir
dari tempat yang tinggi tekanan partialnya ke tempat lain yang lebih
rendah tekanan parsialnya.
c. Transportasi Gas Dalam Darah
Oksigen ditransportasi dalam darah, dalam sel-sel darah merah, oksigen
bergabung dengan hemoglobin untuk membentuk oksihemoglobin, yang
berwarna merah terang. Karbondioksida ditransportasi dalam darah
sebagai natrium bikarbonat dalam dan kalium bikarbonat dalam sel-sel
darah merah dalam larutan bergabung dengan hemoglobin dan protein
plasma
d. Pertukaran Gas Dalam Jaringan
Metabolisme jaringan meliputi pertukaran oksigen dan karbondioksida
diantara darah da jaringan
 Oksigen
Bila darah yang teroksigenisasi mencapai jaringan, oksigen mengalir
dari darah masuk ke dalam cairan jaringan karena tekanan parsial
oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan
jaringan.
 Karbondioksida
Karbondioksida dihasilkan dalam sel mengalir ke dalam cairan
jaringan. Tekanan parsial karbondioksida dalam cairan jaringan
lebih besar daripada tekanannya dalam darah.

2.2 Gangguan Pernafasan Yang Lazim Terjadi


Di samping menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang dihirup
pada saat inspirasi, saluran napas bawah melindungi paru-paru melalui beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pembersihan (klirens) meliputi reflex batuk dan
system mukosiliaris. Sitem mukosiliaris memproduksi mucus (lender) yang menangkap
partikel-partikel asing. Lalu benda asing disapu ke saluran napas atas untuk kemudian
mengalami ekspektorasi oleh tonjolan-tonjolan khusus yaitu silia. Gangguan epitelium
paru-paru atau system mukosiliaris dapat menyebabkan malfungsi mekanisme
pertahanan sehingga polutan dan iritan dapat masuk ke dalam paru-paru dan
menyebabkan inflamasi pada system pernafasan. Manifestasi patofisiologis penyakit
pernafasan yang lazim terjadi adalah sebagai berikut :
a. Sesak Nafas (Asma)
Asma (bronkial) merupakan gangguan inflamasi pada jalan napas yang
ditandai oleh obstruksi aliran udara napas dan respons jalan napas yang
berlebihan terhadap berbagai bentuk rangsangan. Obstruksi jalan napas yang
menyebar luas tetapi bervariasi ini disebabkan oleh bronkospame, edema
mukosa jalan napas dan peningkatan produksi mucus disertai penyumbatan
serta remodeling jalan napas.
Pada asma dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan terhadap
berbagai rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodic dan
menimbulkan kontriksi jalan napas berat. Penyebab allergen asma secara
ekstrinsik meliputi adanya serbuk sari bunga, bulu binatang, debu rumah atau
kapang, bantal kapuk, zat adiktif lain yang menimbulkan sensitisasi. Selain itu
penyebab allergen intrinsic meliputi adanya iritan, stress emosi, kelelahan,
perubahan endokrin, perubahan suhu,kelembaban, batuk, faktor genetic.
Tanda dan gejala asma meliputi :
 Dyspnea mendadak, mengi, dan rasa berat pada dada
 Batuk dengan sputum kental, jernih, ataupun kuning
 Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi
aksesoris
 Denyut nadi yang cepat
 Pengeluaran keringat yang banyak
 Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
 Bunyi napas yang berkurang
b. Batuk

Batuk adalah adalah ekspirasi paksa terhadap glotis yang mulanya


tertutup. Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme
yang penting untuk membersihkan saluran nafas paling bawah. Batuk juga
merupakan gejala tersering penyakit pernafasan. Rangsangan yang biasanya
menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia dan peradangan. Inhalasi
asap, debu dan benda-benda asing merupakan penyebab batuk yang paling
sering. Batuk dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

1. Batuk Produktif (Berdahak) adalah batuk yang mengeluarkan lendir atau


bahan lain. Rangsangan ini dapat disebabkan oleh infeksi misalnya pilek, flu
dan bronchitis yang paling banyak terjadi dan mengakibatkan meradangnya
selaput lendir. Selaput ini mengembang dan membentuk ekstra lendir yang di
keluarkan dengan membatuk.
2. Batuk tidak Produktif (Kering) adalah batuk yang tidak menghasilkan sekresi
apapun. Pada batuk kering rangsangan juga dapat di sebabkan oleh
pengotoran udara, yang tersering adalah debu dan asap rokok.
3. Hemoptisis (Batuk Berdarah) merupakan keadaan batuk dengan pengeluaran
sputum bercak darah atau pengeluaran darah yang tampak jelas dari dalam
traktus respiratorius. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk
menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang
mengganggu kesinambungan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan
pendarahan. Jika darah atau sputum yang mengandung darah di batukkan,
perlu ditentukan apakah sumbernya memang berasal dari saluran nafas
bagian bawah bukan dari saluran hidung atau saluran cerna. Darah yang
berasal dari saluran cerna (hematemesis) biasanya berwarna gelap (seperti
warna kopi) dan disertai dengan mual, muntah dan anemia. Darah yang
berasal dari saluran nafas bawah (dibawah glotis) biasanya berwarna merah
cerah, berbusa dan terdapat riwayat batuk dengan atau tanpa anemia.
4. Batuk Psikogenik, batuk tidak produktif ini terjadi pada orang dengan stress
emosional. Bila perhatian di tujukan kepada stress itu, batuknya meningkat.
Selama tidur atau sewaktu perhatian pasien dialihkan, batuknya berhenti.
Batu psikogenik adalah diagnosis pereksklusionam, diagnosis ini dapat di buat
hanya setelah semua penyasebab batuk lainnya disisihkan.
5. Batuk Perokok, disebabkan oleh inhalasi iritan di dalam tembakau dan paling
jelas di pagi hari. Selaput lendir paru-paru juga ditutupi bulu getar yang
menyapu lendir dengan debu keluar (jurusan mulut). Merokok merusak bulu
getar ini, lendir tidak bergerak lagi dan teriritasi.
6. Batuk Alergi, batuk juga bisa diakibatkan oleh kepekaan berlebihan terhadap
suatu zat (alergi), misalnya pada asma

c. Wheezing

Suara mengi (wheezing) merupakan suara nafas seperti musik yang


terjadi karena adanya penyempitan jalan udara atau tersumbat sebagian.
Obstruksi seringkali terjadi sebagai akibat adanya sekresi atau edema. Bunyi
yang sama juga terdengar pada asma dan banyak proses yang berkaitan dengan
bronkokonstriksi. Mengi dapat dihilangkan dengan membatukannya. Kondisi ini
biasanya disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa, hilangnya penyokong
elastik, dan berlikunya saluran nafas. Asma maupun obstruksi oleh bahan
intralumen, seperti benda asing atau sekresi yang diaspirasi, merupakan
penyebabnya pula.

Wheezing yang tidak berubah dengan batuk, mungkin menunjukan


bronkus yang tersumbat sebagian oleh benda asing atau tumor. Mengi berasal
dari bronki oleh osilasi kontinyu dari dinding jalan nafas yang menyempit. Mengi
cenderung menjadi lebih keras pada ekspirasi. Ini disebabkan penyempitan jalan
nafas terjadi bila tekanan paru lebih tinggi seperti pada ekspirasi. Mengi inspirasi
menunjukan penyempitan jalan nafas yang berat.

Mengi dapat berasal dari bronki dan bronkiolus yang kecil. Bunyi yang
terdengar mempunyai puncak suara tinggi dan bersiul. Ronki berasal dari bronki
yang lebih besar atau trakea dan mempunyai bunyi yang berpuncak lebih rendah
dari sonor. Bunyi-bunyi tersebut terdengar pada klien yang mengalami
penurunan sekresi. Mengi merupakan petunjuk yang buruk untuk menentukan
berat ringannya obstruksi jalan nafas. Pada obstruksi jalan napas berat, mengi
dapat menghilang karena ventilasi sangat rendah sehingga kecepatan aliran
udara berkurang di bawah tingkat kritis yang diperlukan untuk menimbulkan
bunyi napas. Obstruksi bronkus menetap seperti pada karsinoma paru,
cenderung menyebabkan mengi terlokalisasi atau unilateral yang memiliki nada
tunggal yang musikal (monofonik) dan tidak menghilang dengan batuk. Suatu
dada yang sunyi pada pasien dengan serangan asma akut biasanya merupakan
tanda buruk dan menunjukan beratnya obstruksi.

2.3 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gangguan Oksigenasi


 JURNAL 1

e-Jurnal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017 PENGARUH TERAPI OKSIGENASI NASAL
PRONG TERHADAP PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PASIEN CEDERA KEPALA DI INSTALASI GAWAT
DARURAT RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO

Febriyanti W. Takatelide Lucky T. Kumaat Reginus T. Malara

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email :
febriyantitakatelide@gmail.com

Abstrack: One of the emergency management at the head injury is the provision of oxygenation therapy
such as by using nasal prongs to maintain the stability of oxygenation in the tissues of the body and
brain. Adequate oxygenation to the tissues of the body can be seen with the results of measurements of
oxygen saturation. Oxygen saturation is the percentage of oxygen which has been joined by a molecule
of hemoglobin (Hb). The purpose of this study to determine the effect of oxygenation nasal prongs to
changes in oxygen saturation head injury patients in the RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. The
research design is quasi-experimental design with time series. A sampling technique that consecutive
sampling by the number of 16 samples. The results using paired t test SaO2 before and after the first 10
minutes, the first 10 minutes and 10 minutes both got value p-value = 0.000 <α 0.05. The results of the
second test between 10 minutes and 10 third-obtained p-value = 0.005 <α 0,05 and repeated ANOVA
test. Conclusion The results of this study indicate there are significant oxygenation therapy nasal prongs
to changes in oxygen saturation head injury patients in the RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Suggestions are expected as a health worker to attend to the emergency oxygen as the initial action on
head injury patients to avoid hypoxia. Keywords: Oxygenation Therapy, Nasal Prong, Oxygen Saturation,
Head Injuries

Abstrak: Salah satu pengelolaan kedaruratan pada cedera kepala adalah dengan pemberian terapi
oksigenasi diantaranya dengan mengunakan nasal prong untuk menjaga kestabilan oksigenasi di
jaringan tubuh dan otak. Oksigenasi yang adekuat pada jaringan tubuh dapat dilihat dengan hasil
pengukuran saturasi oksigen. Saturasi oksigen adalah persentase oksigen yang telah bergabung dengan
molekul hemoglobin (Hb). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh oksigenasi nasal prong
terhadap perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan rancangan time
series. Teknik pengambilan sampel yaitu consecutive sampling dengan jumlah 16 sampel. Hasil
penelitian menggunakan paired t test SaO2 sebelum dan sesudah 10 menit pertama, 10 menit pertama
dan 10 menit kedua didapat nilai p- value = 0,000 < α 0,05. Hasil uji antara 10 menit kedua dan 10 ketiga
didapat nilai p-value = 0,005 < α 0,05 serta uji repeated ANOVA. Kesimpulan hasil penelitian ini
menunjukkan terdapat pengaruh terapi oksigenasi nasal prong terhadap perubahan saturasi oksigen
pasien cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Saran diharapkan
sebagai tenaga kesehatan untuk memperhatikan pemenuhan oksigen sebagai tindakan awal
kegawatdaruratan pada pasien cedera kepala untuk menghindari terjadinya hipoksia.
Kata kunci : Oksigenasi Nasal Prong, Saturasi Oksigen, Cedera Kepala

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan
interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan
adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Wijaya
& Putri, 2013). Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala paling
sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi
epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalai cedera cukup berat yang memerlukan perawatan
di rumah sakit. Pada kelompok ini, antara 50.000 sampai 90.000 orang setiap tahun mengalami
penurunan intelektual atau tingkah laku yang menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan
normal. Dua pertiga dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari
wanita (Smeltzer & Bare, 2002). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang
pernah mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera 942.984 orang. Prevalensi cedera secara
nasional adalah 8,2% dan prevalensi angka cedera kepala di Sulawesi utara sebesar 8,3%. Prevalensi
cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%),
dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Pengelolaan cedera kepala yang baik harus dimulai dari tempat kejadian,
selama transportasi, di instalasi gawat darurat, hingga dilakukannya terapi definitif. Pengelolaan yang
benar dan tepat akan mempengaruhi outcome pasien. Tujuan utama pengelolaan cedera kepala adalah
mengoptimalkan pemulihan dari cedera kepala primer dan mencegah cedera kepala sekunder. Proteksi
otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel
otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Iskemia otak adalah suatu gangguan hemodinamik yang
akan menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang akan menyebabkan
kerusakan otak yang irreversibel. Metode dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara
membebaskan jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat (Safrizal, Saanin, Bachtiar, 2013). Oksigen
merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme, untuk
mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh. Secara normal elemen ini diperoleh dengan
cara menghirup udara ruangan dalam setiap kali bernapas. Penyampaian oksigen ke jaringan tubuh
ditentukan oleh interaksi sistem respirasi, kardiovaskuler, dan keadaan hematologis. Adanya kekurangan
oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian
jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan (Anggraini & Hafifah, 2014). Nasal prong adalah salah
satu jenis alat yang digunakan dalam pemberian oksigen. Alat ini adalah dua lubang “prong” pendek
yang menghantar oksigen langsung kedalam lubang hidung. Prong menempel pada pipa yang
tersambung ke sumber oksigen, humidifier, dan flow meter. Manfaat sistem penghantaran tipe ini
meliputi cara pemberian oksigen yang nyaman dan gampang dengan konsentrasi hingga 44%. Peralatan
ini lebih murah, memudahkan aktivitas/mobilitas pasien, dan sistem ini praktis untuk pemakaian jangka
lama (Terry & Weaver, 2013). Pada penelitian mengenai hubungan antara oksigenasi dengan tingkat
kesadaran pada pasien cedera kepala non trauma di ICU RSU Ulin Banjarmasin
e-Jurnal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017 yang dilakukan oleh Anggraini & Hafifah
(2014) didapat hasil bahwa terdapat hubungan antara oksigenasi dengan tingkat kesadaran pada pasien
cedera kepala non trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Safrizal, Saanin dan Bachtiar (2013) untuk
melihat hubungan oxygen delivery dengan outcome rawatan pasien cedera kepala sedang di RSUP dr.
M. Djamil Padang, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara nilai oxygen
delivery dengan outcome pasien cedera kepala sedang di RSUP dr. M. Djamil Padang. Berdasarkan survei
data awal yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selama bulan
September 2016 jumlah pasien yang datang ke rumah sakit dengan diagnosa cedera kepala sebanyak
138 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang perawat pelaksana di Instalasi Gawat Darurat
sebagian besar pasien cedera kepala yang datang mendapatkan terapi oksigen. Commotio cerebri
(cedera kepala ringan sampai sedang) masuk dalam 10 penyakit terbanyak di Instalasi Gawat Darurat
Bedah dan berada pada urutan pertama, dimana commotio serebri di Instalasi Gawat Darurat Bedah
berjumlah 127 pasien dan data yang didapatkan di ruangan resusitasi gawat darurat terdapat 11 pasien
dengan cedera kepala berat. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh oksigenasi nasal prong terhadap nilai saturasi oksigen pasien
cedera kepala di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode Quasi eksperimen atau eksperimen semu dengan rancangan Time
Series. Penelitian dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Waktu
penelitian dilakukan pada tanggal 17 November 2016 – 09 Desember 2016. Populasi dalam penelitian ini
adalah pasien cedera kepala Commotio cerebri (cedera kepala ringan sampai sedang) yang
mendapatkan perawatan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado yang
berjumlah 127 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling yaitu
consecutive sampling. Jumlah sampel untuk penelitian ini sebanyak 16 orang. Instrumen yang digunakan
untuk intervensi penelitian adalah untuk pengukuran nilai saturasi oksigen menggunakan alat pulse
oxymetri. Sedangkan instrumen pengumpulan data nilai saturasi oksigen berupa lembar observasi. Data
diambil dari hasil pemeriksaan saturasi oksigen menggunakan pulse oxymetri. Pada kelompok intervensi
sebelum dilakukan pemasangan oksigen menggunakan nasal prong atau nasal kanul dilakukan
pemeriksaan saturasi oksigen terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemasangan oksigen menggunakan
nasal prong atau nasal kanul setelahnya dilakukan pemeriksaan saturasi oksigen lagi. Untuk pengukuran
dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 10 menit pertama, 10 menit kedua dan 10 menit berikutnya. Hal
ini dilakukan untuk melihat perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala selama 30 menit setelah
diberikan oksigen nasal prong. Pada pemeriksaan saturasi oksigen untuk melihat berapa persen jumlah
saturasi oksigen pasien. Analisa data yaitu analisis univariat yang digunakan untuk menganalisis tiap
variabel dari penelitian dan analisis bivariat menggunakan uji T berpasangan untuk menguji perbedaan
mean antara dua kelompok data yang dependen dan uji Repeated Measures Anova yaitu uji untuk
membandingkan lebih dari dua rata-rata, dengan tingkat kepercayaan 95% (α= 0,05).

e-Jurnal Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 1, Februari 2017


HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarkan umur Kriteria Usia N % Masa remaja akhir (17 – 25 tahun) 14
87,5 Masa dewasa awal (26 – 35 tahun) 2 12,5 Total 16 100,0 Sumber : Data Primer 2016 Tabel 2.
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin N % Laki- laki 12 75,0 Perempuan 4 25,0
Total 16 100,0 Sumber: Data Primer 2016 Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan jumlah oksigen
yang diberikan Volume Oksigen N % 3 Liter/menit 9 56,2 4 Liter/menit 7 43,8 Total 16 100,0 Sumber:
Data Primer 2016 Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan saturasi oksigen sebelum diberikan terapi
oksigenasi nasal prong Keadaan Klinis n % Normal (SaO2 95% - 100%) 5 31,2 Hipoksia ringan-sedang
(SaO2 90% - <95%) 7 43,8 Hipoksia sedang – berat (SaO2 85% - <90%) 4 25,0 Total 16 100,0 Sumber :
Data Primer 2016 Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan saturasi oksigen setelah diberikan terapi
oksigenasi nasal prong. Keadaan Klinis 10 menit pertama 10 menit kedua 10 menit ketiga n % n % n %
Normal 12 75,0 15 93,8 16 100 Hipoksia ringansedang 4 25,0 1 6,2 Total 16 100 16 100 16 100 Sumber
: Data Primer 2016 Tabel 6. Hasil uji T saturasi oksigen sebelum dan sesudah 10 menit pertama
pemberian terapi oksigenasi nasal prong Variabel Mean Paired Differences P value Mean SD SaO2
pretest SaO2 10' pertama 91,50, 95,81, 4,313, 1,922, 0,000

Tabel 7. Hasil uji T saturasi oksigen10 menit pertama dan 10 menit kedua setelah pemberian terapi
oksigenasi nasal prong Variabel Mean Paired Differences P value Mean SD SaO2 10' pertama 95,81
1,875, 1,147, 0,000 SaO2 10' kedua 97,69

Tabel 8. Hasil uji T saturasi oksigen10 menit pertama dan 10 menit kedua setelah pemberian terapi
oksigenasi nasal prong Variabel Mean Paired Differences P value Mean SD SaO2 10' kedua 97,69 1,063
1,289, 0,005 SaO2 10' ketiga 98,75

Tabel 9. Hasil uji repeated ANOVA perbandingan ketiga mean hasil pengukuran saturasi oksigen 10
menit pertama sampai 10 menit ketiga (I) waktu (J) waktu Mean Differe nce (IJ) Sig. 1 2 -1,875 ,000 3
-2,938 ,000 2 1 1,875 ,000 3 -1,063 ,005 3 1 2,938 ,000 2 1,063 ,005

Dari hasil analisa menggunakan uji t paired sample untuk rata-rata saturasi oksigen sebelum dan
sebelum dan sesudah diberikan oksigenasi nasal prong selama 10 menit pertama dan rata-rata saturasi
oksigen 10 menit pertama dan 10 menit kedua didapat nilai P value yang sama yaitu 0,000 dimana P
value < α (0,05). Rata-rata saturasi oksigen antara 10 menit kedua dan 10 ketiga didapat P value 0,005
dimana P value < α (0,05). Berdasarkan analisa menggunakan uji t paired sample pada variabel-variabel
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi oksigenasi nasal prong terhadap
perubahan saturasi oksigen pasien cedera kepala. Hasil yang sama juga didapatkan dengan
menggunakan uji repeated measures ANOVA dimana didapatkan rata-rata saturasi oksigen 10 menit
pertama dan 10 menit kedua setelah pemberian terapi oksigen berbeda secara signifikan dimana P value
< α ( 0,000 < 0,05) maka H0 ditolak dan Ha diterima. Rata-rata saturasi oksigen 10 menit pertama dan
10 menit ketiga setelah pemberian terapi oksigen juga berbeda secara signifikan dimana P value < α
( 0,000 < 0,05) maka H0 ditolak dan Ha diterima. Dan hasil yang sama juga didapatkan pada perbedaan
ratarata saturasi oksigen 10 menit kedua dan 10 menit ketiga setelah pemberian terapi oksigen, dimana
P value < α ( 0,005 < 0,05) maka H0 ditolak dan Ha diterima. Sehingga berdasarkan hasil uji repeated
ANOVA dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai saturasi oksigen pada 10
menit pertama, 10 menit kedua dan 10 menit ketiga setelah diberikan terapi oksigenasi nasal prong
pada pasien cedera kepala. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan terapi oksigenasi nasal
prong dapat mengembalikan saturasi oksigen dari kondisi hipoksia sedang- berat ke hipoksia ringan-
sedang dan hipoksia ringan-sedang ke kondisi normal secara bermakna. Hasil penelitian ini sejalan
dengan teori yang dikemukakan oleh Hudak & Gallo (2010) dalam Widiyanto & Yamin (2014) disebutkan
bahwa meningkatkan FiO2 (presentase oksigen yang diberikan) merupakan metode mudah dan cepat
untuk mencegah terjadinya hipoksia jaringan, dimana dengan meningkatkan FiO2 maka juga akan
meningkatkan PaO2 yang merupakan faktor yang sangat menentukan saturasi oksigen, dimana pada
PaO2 tinggi hemoglobin membawa lebih banyak oksigen dan pada PaO2 rendah hemoglobin membawa
sedikit oksigen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendrizal (2014) didapat hasil bahwa terapi
oksigen menggunakan non rebreathing mask berpengaruh terhadap tekanan parsial CO2 darah pada
pasien cedera kepala untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial pada pasien cedera
kepala. Penelitian ini dilatar belakangi oleh teori tekanan gas campuran Dalton yang mengatakan bahwa
jika salah satu tekanan gas dalam campuran gas bertambah maka tekanan parsial gas lain akan
menurun. Dengan kata lain jika tekanan parsial CO2 bertambah maka tekanan parsial O2 akan menurun
dan sebaliknya. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanto & Yamin
(2014) dimana mereka meneliti mengenai terapi oksigen terhadap perubahan saturasi oksigen melalui
pemeriksaan oksimetri pada pasien Infark Miokard Akut (IMA) didapatkan hasil bahwa terdapat
pengaruh terapi oksigen terhadap perubahan saturasi oksigen pada pasien Infark Miokard Akut (IMA).

Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka hal tesebut akan menimbulkan terjadinya
hipoksia yang mana hal tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak yang akan
diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak meningkat sehingga kondisi tersebut akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (Hendrizal, 2014). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Chang dkk, 2009; Narotam dkk, 2009; Spiotta dkk, 2010; dalam Ratnasari dkk (2015)
dimana mereka berkesimpulan bahwa oksigenasi jaringan otak sangat berhubungan dengan beberapa
parameter outcome dan prognosa pasien. Penerapan terapi intervensi untuk tetap menjaga oksigenasi
jaringan otak diatas ambang tertentu dapat memperbaiki angka mortalitas dan outcome neurologis
pada pasien-pasien cedera otak. Stiefel dkk (2005) melaporkan bahwa angka kematian lebih tinggi pada
pasien dengan oksigenasi jaringan otak yang rendah. Beberapa penelitian lain melaporkan bahwa
hipoksia jaringan otak dibawah 10 mmHg berhubungan dengan outcome yang buruk setelah cedera otak
(Bardt dkk, 1998; Kiening dkk, 1997 dalam Ratnasari dkk, 2015). Van den Brink dkk (2000) melaporkan
bahwa angka kematian lebih dari 50% pada pasien dengan oksigenasi jaringan otak kurang dari 10 mm
Hg selama 30 menit (Ratnasari, 2015). Perlunya menjaga kestabilan PaO2 dengan terapi oksigen dimana
meningkatkan FiO2 maka juga akan meningkatkan PaO2 yang merupakan faktor yang sangat
menentukan saturasi oksigen, dimana pada PaO2 tinggi hemoglobin membawa lebih banyak oksigen
dan pada PaO2 rendah hemoglobin membawa sedikit oksigen. Dengan demikian kejadian hipoksia
khususnya pada otak dapat dihindari untuk pencegahan terjadinya cedera sekunder pada pasien cedera
kepala. Pada penelitian ini saturasi oksigen terus menerus meningkat hingga SpO2 semua responden
optimal sejak 10 – 30 menit setelah pemberian terapi oksigen nasal prong. Pencapaian saturasi oksigen
(SpO2) tersebut karena konsentrasi oksigen yang diberikan. Disamping itu kondisi pasien juga
menentukan, termasuk kepatenan alat dan konsentrasi oksigen yang diperlukan. Pencapaian saturasi
oksigen (SpO2) yang optimal 100% karena berbagai faktor, diantaranya responden masih berusia muda
dan kondisi hemodinamik pasien baik, tanda – tanda vital dalam batas normal dan hemoglobin dalam
batas normal sehingga transportasi oksigen dapat adekuat ke seluruh tubuh. Keterbatasan dalam
penelitian ini adalah peneliti belum dapat mengontrol faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
meningkatnya saturasi oksigen.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden datang ke rumah sakit
dengan keadaan hipoksia ringan–sedang dengan SaO2 90% - < 95%. Setelah pemberian oksigenasi nasal
prong selama 30 menit berada dalam kondisi normal dengan saturasi oksigen 95% - 100%. Semakin lama
pemberian oksigenasi nasal prong semakin meningkatkan saturasi oksigen. Berdasarkan hasil analisis
menggunakan uji t dependen dan uji repeated ANOVA, didapat HO ditolak, yang dapat disimpulkan
bahwa terapi oksigenasi nasal prong berpengaruh terhadap perubahan saturasi oksigen pasien cedera
kepala di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini & Hafifah. (2014). Hubungan Antara Oksigenasi Dan Tingkat Kesadaran Pada Pasien Cedera
Kepala Non Trauma Di ICU RSU Ulin Banjarmasin. Semarang: Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. www.keperawatan.undip.ac.id ( Diakses 12 Oktober 2016).


Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan
Dasar 2013. http://www.depkes.go.id/resources /download/general/Hasil%20Riske sdas%202013.pdf
(Diakses 25 September 2016). Hendrizal. (2014). Pengaruh Terapi Oksigen Menggunakan
NonRebreathing Mask Terhadap Tekanan Parsial CO2 Darah Pada Pasien Cedera Kepala. Jurnal
Kesehatan Andalas. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.p hp/jka/article/download/23/18 (Diakses 09
Desember 2016) Ratnasari. (2015). Hubungan Penanganan Oksigenasi Pasien Gawat Dengan
Peningkatan Kesadaran Kuantitatif Pada Pasien Cedera Otak Sedang Di IGD RSUD DR Abdoer Rahem
Situbondo. Jurnal Keperawatan Fikes UMJ. http://digilib.unmuhjember.ac.id/fi les/disk1/67/umj-1x-
destyyurit3312-1-jurnalf-x.pdf (Diakses 09 Desember 2016) Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Vol. 3. Edisi 8. Jakarta : EGC. Safrizal, Saanin, & Bachtiar. (2013).
Hubungan Oxygen Delivery Dengan Outcome Rawatan Pasien Cedera Kepala Sedang. Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang. http://www.angelfire.com/nc/neur
osurgery/Safrizal.pdf (Diakses 12 Oktober 2016) Terry & Weaver. (2013). Keperawatan Kritis
Demystified. Yogyakarta: Rapha Publishing Widiyanto & Yamin. (2014). Terapi Oksigen Terhadap
Perubahan Saturasi Oksigen Melalui Pemeriksaan Oksimetri Pada Pasien Infark Miokard Akut (IMA).
Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah. http://jurnal.unimus.ac.id/index.ph
p/psn12012010/article/viewFile/11 35/1189 (Diakses 12 Oktober 2016). Wijaya & Putri. (2013).
Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai