Anda di halaman 1dari 24

Laporan Pendahuluan Fraktur Femur Intracondyler

A. Anatomi Fisiologi
Femur adalah tulang terpanjang dan terkuat pada tubuh. Tulang
femur menghubungkan antara tubuh bagian panggul dan lutut. Kata “ femur”
merupakan bahasa latin untuk paha. Femur pada ujung bagian atasnya
memiliki caput, collum, trochanter major dan minor. Bagian caput merupakan
lebih kurang dua pertiga berbentuk seperti bola dan berartikulasi dengan
acetabulum dari tulang coxae membentuk articulation coxae. Pada pusat
caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat
perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput
femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada
fovea.17 Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur,
berjalan ke bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125
derajat, pada wanita sedikit lebih kecil dengan sumbu panjang batang femur.
Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat berubah karena penyakit.17
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas
leher dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea
intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di
bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum.18 Bagian
batang femur umumnya berbentuk cembung ke arah depan. Berbentuk licin
dan bulat pada permukaan anteriornya, pada bagian belakangnya terdapat
linea aspera, tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah. Tepian
medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju
tuberculum adductorum pada condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke
bawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan postertior
batang femur, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang
ke bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar kearah
ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar pada permnukaan
posteriornya, disebut fascia poplitea.18
Ujung bawah femur memilki condylus medialis dan lateralis, yang di
bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan
anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua
condylus ikut membentuk articulation genu. Di atas condylus terdapat
epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorium berhubungan
langsung dengan epicondylus medialis.17,18

B. Definisi
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, dan dapat
mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.15
Fraktur intercondylar femur, adalah fraktur dimana, garis fraktur
diantara condylus medialis dan lateralis, umumnya terjadi bentuk T fraktur
atau Y fraktur.1,19
C. Etiologi
Menurut (Wijaya & Putri 2013) penyebab fraktur adalah :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemutiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
4. Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) fraktur dapat disebabkan oleh
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahakan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami
cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen
tulang.

D. Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat
terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya
pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang
bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan, tetap
pada tempatnya sampai sembuh (Sylvia, 2015).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena ada
cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detah jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu
peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga
dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin,
bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin
lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas
pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme
kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan
cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik. Cara yng paling
efektif untuk memulihkan krdiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan
oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat
diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada
keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme
anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laknat dan berkembangnya
asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat
untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka
membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum endoplasmic
merupakan tanda ultra struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu
tidak lama lagi akan cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan
enzim yang mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah pembengkakan sel . juga terjadi penumpukan kalsium intra-seluler.
Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang progresif,
penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat
dampak kehilangan darah dan hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas
astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2013).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer, 2013). Pasien yang
harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain :
nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2009). Reduksi terbuka
dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan
pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan
lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price &
Wilson, 2012).
E. Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tekanan sumsum tulang


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot lebih tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tekanan


kapiler Melepaskan katekolamin

Gangguan fungsi Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak


ekstremitas

Protein plasma hilang Bergabung dengan


Hambatan mobilitas fisik trombosit
Edema
Emboli
Penekanan pembuluh
darah Menyumbat pembuluh
darah

Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer

Perdarahan Resiko infeksi

Kehilangan volume cairan

Resiko syok hipovolemik


hipohip(hipovolemik)
A. Manifestasi Klinik
Manifestasi fraktur menurut (Brunner & Suddarth, 2013) adalah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan local dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fregmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas atau dibawah tempat fraktur.
Fraktur sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm
(1-2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya.
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

B. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut (Price & Wilson, 2013) :
1. Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan tekanan
yang berlebihan didalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan
masif pada suatu tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
6. Fat embolisme syndroma tetesan lemak masuk kedalam pembuluh
darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada
laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70-80 tahun.
7. Tromboembolik komplication trombo vena dalam sering terjadi pada
individu uang imobilisasi dalam waktu yang lama karena trauma atau
ketidakmampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas
bawah atau trauma komplikasi palinh fatal bila terjadi pada bedah
ortopedi.
8. Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan
masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan
plat.
9. Avascular nekrosis pada umumnya berkaitan dengan aseptik atau
nekrosis iskemia.
10. Reflek simphathethik dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem
saraf simpatik abnormal syndroma ini belum bayak dimengerti. Mungkin
karena nyeri, perubahan tropik dan vasomontor instability.

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik fraktur yaitu :
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi dan luasnya fraktur
2. Scan tulang, tonogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
taruma multiple).
5. Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk kliren ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple atau cedera hari.

D. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatakansanaan perawat menurut (Masjoer, 2010) adalah sebagai
berikut :
a. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan
kesadaran, baru periksa patah tulang.
b. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
kompikasi
c. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini,
dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera adalah:
1) Merabah lokasi apakah masih hangat
2) Observasi warna
3) Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali
kapiler
4) Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi
pada lokasi cedera
5) Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri.
6) Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
e. Mempertahankan kekuatan kulit
f. Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan
intake protein 150-300 gr/hari.
g. Memperhatikan immobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan
tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap
pada tempatnya sampai sembuh.
Tahap-tahap penyembuhan fraktur menurut (Brunner & Suddart, 2013) :
a. Inflamasi tubuh berespon pada tempat cedera terjadi hematom
b. Poliferasi sel terbentuknya barang-barang fibrin sehingga terjadi
revaskularisasi
c. Pembentukan kalus jaringan fibrus yang menghubungkan efek tulang
d. Opsifikasi merupakan proses penyembuhan pengambilan jaringan
tulang yang baru
e. Remodeling perbaikan patah yang meliputi pengambilan jaringan
yang mati dan reorganisai.
2. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi
fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan
reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk
mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya traksi
dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada
fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya samapai
penyembuhan tulang solid terjadi. Tahapan selanjutnya setelah fraktur
direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan fiksasi eksterna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontin,
pin dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi
interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang dapat
dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskuler,
latihan isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki kemnadirian dan harga diri (Brunner & Suddarth, 2013).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu:
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian
dan kemudian dirumah sakit.
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang
dipasang untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi
diatas fraktur dan dibawah fraktur.
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price &
Wilson, 2012).
E. Pengkajian Keperawatan
1. Identifikasi Pasien
Meliputi : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, tgl. MRS, diagnosa medis, no. registrasi.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut/kronik tergantung dari lamanya serangan. Unit
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien
digunakan :
a. Provoking inciden: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b. Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
c. Region radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakag rasa
sakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Saverity (scale of pain): seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari/siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma/kecelakaan, degeneratif dan patologis yang didahului dengan
perdarahan, kerusakan jaringan sekirat yang mengakibatkan nyeri,
bengkak, kebiruan, pucat/perubahan warna kulit dan kesemutan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (Fraktur Costa)
atau pernah punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita esteoporoses,
arthritis dan tuberkulosis/penyakit lain yang sifatnya menurut dan
menular.
6. Pola Fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada fraktur akan mengalami perubahan/ gangguan pada personal
hygien, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB, dan BAK.
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan,
meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap sama
sedangkan di RS disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien.
c. Pola Eliminasi
Kebiasaan miksi/defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi
dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning dan konsistensi
defekasi, pada miksi pasien tidak mengalami gangguan.
d. Pola Istirahat dan Tidur
Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan yang
disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.
e. Pola Aktivitas dan Latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan akibat dari
fraktur femur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh
perawat / keluarga.
f. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena terjadi
perubahan pada dirinya, pasien takut cacat seumur hidup/tidak dapat
bekerja lagi.
g. Pola Sensori Kognitif
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedang pada pola
kognitif atau cara berpikir pasien tidak mengalami gangguan.
h. Pola Hubungan Peran
Terjadinya perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan
interpersonal yaitu pasien merasa tidak berguna lagi dan menarik
diri.
i. Pola Penanggulangan Stres
Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stres dan
biasanya masalah dipendam sendiri / dirundingkan dengan keluarga.
j. Pola Reproduksi Seksual
Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka akan
mengalami pola seksual dan reproduksi, jika pasien belum
berkeluarga pasien tidak akan mengalami gangguan.
k. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan pasien
meminta perlindungan / mendekatkan diri dengan Tuhan.
F. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Agen injury fisik
2. Kerusakan integritas kulit b.d Tekanan pada tonjolan tulang
3. Hambatan mobilitas fisik b.d Penurunan kekuatan otot
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d Kurang pengetahuan tentang
proses penyakit
5. Resiko syok hipovolemik
6. Risiko infeksi
G. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
1 Nyeri akut  Pain level  Pain Management
b.d Agen Kriteria Hasil : 1. Lakukan
injury fisik 1. Mampu mengontrol pengkajian nyeri
nyeri (tahu penyebab nyeri, secara
mampu menggunakan komprehensif
tehnik nonfarmakologi untuk termasuk lokasi,
mengurangi nyeri, mencari karakteristik,
bantuan) durasi, frekuensi,
2. Melaporkan bahwa kualitas dan
nyeri berkurang dengan faktor presipitasi
menggunakan manajemen 2. Observasi reaksi
nyeri nonverbal dari
3. Mampu mengenali ketidaknyamana
nyeri (skala, intensitas, n
frekuensi dan tanda nyeri) 3. Gunakan teknik
4. Menyatakan rasa komunikasi
nyaman setelah nyeri terapeutik untuk
berkurang mengetahui
5. Tanda vital dalam pengalaman
rentang normal nyeri pasien
4. Kaji kultur yang
mempengaruhi
respon nyeri
5. Evaluasi
pengalaman
nyeri masa
lampau
6. Evaluasi
bersama pasien
dan tim
kesehatan lain
tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri
masa lampau
7. Bantu pasien
dan keluarga
untuk mencari
dan menemukan
dukungan
8. Kontrol
lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri seperti
suhu ruangan,
pencahayaan
dan kebisingan
9. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan
nyeri
(farmakologi,
non farmakologi
dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
12. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik
untuk
mengurangi
nyeri
14. Evaluasi
keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan
istirahat
16. Kolaborasikan
dengan dokter
jika ada keluhan
dan tindakan
nyeri tidak
berhasil
17. Monitor
penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
 Analgesic
Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik,
kualitas, dan
derajat nyeri
sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi
dokter tentang
jenis obat, dosis,
dan frekuensi
3. Cek riwayat
alergi
4. Pilih analgesik
yang diperlukan
atau kombinasi
dari analgesik
ketika pemberian
lebih dari satu
5. Tentukan pilihan
analgesik
tergantung tipe
dan beratnya
nyeri
6. Tentukan
analgesik pilihan,
rute pemberian,
dan dosis
optimal
7. Pilih rute
pemberian
secara IV, IM
untuk
pengobatan
nyeri secara
teratur
8. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik
pertama kali
9. Berikan
analgesik tepat
waktu terutama
saat nyeri hebat
10. Evaluasi
efektivitas
analgesik, tanda
dan gejala (efek
samping)

2 Kerusakan  Tissue Integrity : Skin  Pressure


integritas and Mucous Management
kulit b.d Membranes 1. Anjurkan pasien
Tekanan  Hemodyalis Akses untuk
pada Kriteria Hasil : menggunakan
tonjolan 1. Integritas kulit yang pakaian yang
tulang baik bisa longgar
dipertahankan 2. Jaga kebersihan
(sensasi, elastisitas, kulit agar tetap
temperature, hidrasi, bersih dan kering
pigmentasi) 3. Mobilisasi pasien
2. Tidak ada luka/ lesi (ubah posisi
pada kulit pasien) setiap
3. Perfusi jaringan dua jam sekali
baik 4. Monitor kulit
4. Menunjukan akan adanya
pemahaman dalam kemerahan
proses perbaikan 5. Oleskan lotion
kulit dan mencegah atau minyak
terjadinya sedera /baby oil pada
berulang daerah yang
5. Mampu melindungi tertekan
kulit dan 6. Monitor aktivitas
mempertahankan dan mobilisasi
kelembapan kulit pasien
dan perawatan alami 7. Monitor status
nutrisi pasien
8. Mandikan pasien
dengan sabun
dan air hangat
 Insision Site Care
1. Bersihkan,
pantau,dan
tingkatkan
proses
penyembuhan
pada luka yang
ditutup dengan
jahitan, klip atau
straples
2. Monitor proses
kesembuhan
area insisi
3. Monitor tanda
dan gejala infeksi
pada area insisi
4. Bersihkan area
sekitar jahitan
atau staples,
menggunakan
lidi kapas steril
5. Gunakan
preparat
antiseptic, sesuai
program
6. Ganti balutan
pada interval
waktu yang
sesuai atau
biarkan luka
tetap terbuka
(tidak dibalut)
sesuai program.
3 Hambatan  Mobility Level  Exercise Therapy:
mobilitas Kriteria Hasil : Ambulation
fisik b.d 1. Klien mampu 1. Kaji tingkat
Penurunan melakukan aktifitas dbn. mobilisasi fisik
kekuatan 2. Kekuatan otot klien.
otot meningkat. 2. Ubah posisi
3. Tidak terjadi secara periodik.
kontraktur. 3. Lakukan ROM
aktif/pasif.
4. Dukung
ekstremitas pada
posisi fungsional.
5. Kolaborasi
dengan ahli
fisioterapi.
4 Ketidakefekti  Circulation Status  Peripheral
fan perfusi  Tissue Perfusion : Sensation
jaringan Cerebral Management
perifer b.d Kriteria Hasil : 1. Monitor adanya
Kurang 1. Tekanan sistol dan daerah tertentu
pengetahuan diastol dalam rentang yang yang hanya peka
tentang diharapkan terhadap
proses 2. Tidak ada ortostatik panas/dingin/taja
penyakit hipertensi m/tumpul
3. Tidak ada tanda- 2. Monitor adanya
tanda peningkatan paratese
3. Instruksikan
keluarga untuk
mengobservasi
kulit jika ada lesi
atau laserasi
4. Gunakan sarung
tangan untuk
proteksi
5. Batasi gerakan
pada kepala,
leher, dan
punggung
6. Monitor
kemampuan
BAB
7. Kolaborasi
pemberian
analgetik
8. Monitor adanya
tromboplebitis
9. Diskusikan
mengenai
penyebab
perubahan
sensasi
5 Resiko syok  Syok Prevention  Syok Management
hipovolemik Kriteria Hasil : 1. Monitor fungsi
1. TTV dalam batas neurologis
normal 2. Monitor fungsi
2. Irama jantung dalam renal
batas yang 3. Monitor tekanan
diharapkan nadi
3. Frekuensi nafas 4. Monitor status
dalam batas yang cairan, input
diharapkan output
4. Mata cekung tidak 5. Catat gas darah
ditemukan arteri dan
5. Demam tidak oksigen
ditemukan dijaringan
6. Hematokrit dalam 6. Memonitor gejala
batas normal gagal pernafasan
6 Resiko  Immune Status  Infection Control
infeksi  Knowledge: Infection 1. Bersihkan
Control lingkungan
 Risk Control setelah dipakai
Kriteria Hasil : pasien lain
1. Pasien bebas dari 2. Pertahankan
tanda dan gejala infeksi teknik isolasi
2. Mendeskripsikan 3. Batasi
proses penularan penyakit, pengunjung bila
faktor yang mempengaruhi perlu
penularan serta 4. Instruksikan
penatalaksanaannya pada pengunjung
3. Menunjukkan untuk mencuci
kemampuan untuk tangan saat
mencegah timbulnya infeksi berkunjung dan
4. Jumlah leukosit setelah
dalam batas normal berkunjung
5. Menunjukkan 5. Gunakan sabun
perilaku hidup sehat antimikroba
untuk mencuci
tangan
6. Cuci tangan
setiap sebelum
dan sesudah
tindakan
keperawatan
7. Gunakan baju,
sarung tangan
sebagai
pelindung
8. Pertahankan
lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
9. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan
infeksi kandung
kencing
10. Berikan terapi
antibiotik bila
perlu Infection
Protection
11. Monitor tanda
dan gejala infeksi
sistemik dan
lokal
12. Monitor hitung
granulosit, WBC
13. Monitor
kerentanan
terhadap infeksi
14. Pertahankan
teknik asepsis
pada pasien
berisiko
15. Instruksikan
pasien untuk
minum antibiotik
sesuai resep
16. Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
17. Ajarkan cara
menghindari
infeksi

DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2013. Keperawatan Medical Bedah Edisi 12. Jakarta:
EGC
Carpenito, J. L. 2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.
Edisi 9. Jakarta: EGC.

Herdman, T.Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC

Joanne, dkk. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition.


Amerika: Mosby

Mansjoer, A. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Media


Aesculapius

Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth


Edition. Amerika: Mosby

Price, S.A, Wilson, L.M. 2012. Patofisiologi. Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth


Edisi 12. Jakarta: Kedokteran EGC

Sylvia, A, Lorraine, M. 2015. Patofisiologi Edisi 6 Vol 2 Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Wijaya, A.S, Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2: Keperawatan


Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai