Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ILMU MUNASABAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an


Dosen Pengampu: Lc Dony Burhan Noor Hasan, M.A

Disusun Oleh :

1. Ratih Herawati (190721100043)


2. Alfi Layli (190721100047)
3. M. Nur Suffahurrohman (190721100110)
4. Dyah Ayu Rahmawati (190721100146)

EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan rahmat,
taufiq dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Studi Al-
Qur’an yang berjudul “ILMU MUNASABAH. Makalah ini berisi Pengertian
Munasabah, Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah, Langkah-Langkah
Seorang Penafsir dalam Mengungkap Munasabah, Bentuk Munasabah, Urgensi
Ilmu Munasabah, Macam-Macam Munasabah, Metode dalam Menyingkap
Munasabah dan lain sebagainya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah membimbing
kami dalam kegiatan belajar mengajar.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang
telah mendukung kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, Kami mengharapkan kritik serta saran yang dapat
kami koreksi agar kedepannya kami lebih baik lagi dan Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
Demikian makalah ini Kami susun, apabila ada kekurangan dalam
peyusunan kata, atau kata yang tidak berkenan di hati pembaca kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya karena manusia tak luput dari kesalahan.

Bangkalan, 24 Maret 2020

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................... ii


Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................ 2
1.3 Tujuan................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Munasabah......................................................... 3
2.2 Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah...................... 5
2.3Langkah Seorang Penafsir Mengungkap Munasabah......... 7
2.4 Bentuk Munasabah.............................................................. 7
2.5 Urgensi Ilmu Munasabah..................................................... 14
2.6 Macam-Macam Munasabah................................................. 16
2.7 Metode dalam Menyingkap Munasabah.............................. 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................
19
3.2 Saran....................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 20
LAMPIRAN.................................................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an adalah kitab pedoman umat Islam yang berisi petunjuk
dan tuntunan komperhensif untuk mengatur kehidupan di dunia maupun di
akherat. Al-Qur’an juga merupakan sumber acuan nilai, sikap serta
perilaku umat islam. Sebagai acuan tentunya al-qur’an harus dipahami
terlebih dahulu, baru kemudian diamalkan. Upaya pemahaman al-qur’an
tersebut dapat dilakukan berbagai cara, salah satunya dengan munasabah.
Fokus perhatian ilmu munasabah mengaitkan aspek peraturan antar
ayat dan surat menurut urutan teks. Bagi para mufassir, ilmu munasabah
lebih penting dari pada ilmu asbab nuzul. Subthi as-Salih mengatakan,
wajar jika penjelasan tentang munasabah di dahulukan daripada asbab
nuzul, mengingat begitu banyak manfaat yang timbul dari ilmu munasabah,
apalagi kaidah tafsir mengatakan, ukuran dalam memahami ayat adalah
redaksinya yang bersifat umum, bukan penyebab turunnya ayat yang
bersifat khusus.
Munasabah adalah ilmu yang baru dibandingkan dengan ilmu-ilmu
al-qur’an lainnya. Tidak banyak mufassir yang menggunakan ilmu ini di
dalam kitab tafsir mereka, karena ilmu ini dipandang sulit dan rumit.
Selain itu ilmu ini juga kurang diminati untuk dikembangkan.
Seorang muslim tidak dapat menghindarkan diri dari
keterkaitannya dengan al-qur’an. Seorang muslim mempelajari al-qur’an
tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga mencari isi dan
kandungan al-qur’an.1

1
Hasani Ahmad Said.“Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Misbah”. Cetakan
pertama.(Jakarta: Bumi Aksara.2015).hlm.166

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Munasabah?
2. Bagaimana Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah?
3. Apa Langkah-Langkah yang harus diperhatikan Seorang Penafsir
dalam Mengungkap Munasabah?
4. Apa Saja Bentuk Munasabah?
5. Apa Urgensi Ilmu Munasabah?
6. Apa Saja Macam-Macam Munasabah?
7. Bagaimana Metode dalam Menyingkap Munasabah?

1.3 Tujuan
1. Agar Memahami Pengertian Munasabah
2. Agar Memahami Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah
3. Agar Memahami Langkah-Langkah yang harus diperhatikan Seorang
Penafsir dalam Mengungkap Munasabah
4. Agar Memahami Bentuk Munasabah
5. Agar Memahami Urgensi Ilmu Munasabah
6. Agar Memahami Macam-Macam Munasabah
7. Agar Memahami Metode Dalam Menyingkap Munasabah

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Munasabah


Munasabah berasal dari bahasa arab yang berarti dekat, serupa,
mirip, dan rapat. Kesamaan kata munasabah dapat mengacu pada tiga kata
kunci yaitu: al-muqarabat (berdekatan), al-musyakalat (berkemiripan), al-
irtibat (bertalian). Secara istilah, munasabah berarti pengetahuan tentang
berbagai hubungan di dalam al-Qur’an. Lebih rincinya dapat dijelaskan
bahwa munasabah adalah usaha pemikiran dalam menggali rahasia
hubungan antara ayat atau surat dalam al-Qur’an ang dapat diterima oleh
akal.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, munasabah berarti
menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu
bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif
(khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan,
dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara
ayat- ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah
ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan
tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan al-Qur’an, rahasia retorika,
dan segi keterangannya yang mandiri2.
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul yang mempunyai
pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan
tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan
surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik
dan cermat. 3 Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk
menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain
dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan

2
Hasani Ahmad Sani. Op.cit.hlm.178
3
Ibid.hlm.181

3
urutan surat dalam al-Qur’an) adalah wajar jika teori munasabah al-Qur’an
kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-
Qur’an walaupun keadaan sebenarnya munasabah ini masih terus dibahas
oleh para mufassir yang menganggap al-qur’an adalah mukjizat secara
keseluruhan baik redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
Ilmu munasabah ini dapat berperan mengganti ilmu Asbabun Nuzul,
apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tapi
seseorang dapat mengetahui relevansi / hubungan ayat itu dengan ayat
lainnya. Ada beberapa pendapat di kalangan ulama tenteng ilmu Tanasubul
Ayat Was-Suwar ini. Diantanranya ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat
atau surat selalu ada relevansinya atau hubungannya dengan ayat atau surat
lain. Sementara ulama yang lain berpendapat, bahwa hubungan itu tidak
selalu ada, hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada
hubungannya satu sama lain.4
Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa mudah mencari
hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tapi sukar sekali mencari
hubungan antara suatu surat dengan surat lain. Hal yang demikian ini tidak
berarti bahwa seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat,
karena Al-Qur’anul Karim turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, terkadang seorang mufassir
menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak.
Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan
memaksakan diri, sebab jika memaksakannya juga akan menghasilkan
kesesuaian yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai, pernyataan ini senada
dengan pendapat Syaikh ‘Izz Ibn Abdus-Salam.5

4
Ibid.hlm.183
5
Fauzul Iman, “Munasabah Al-Qur’an”, Jurnal Al-Qalam No. 63/XII/1997.hlm.45

4
2.2 Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal
dari kenyataan bahwa bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat
dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis
turunnya Al-Qur’an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama-ulama salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Pendapat
pertama bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan
kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat
setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat
adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan
pertama, kecuali surat Al-Anfal dan Al-Bara’ah yang dipandang bersifat
ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar
dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn
Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam
pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-
Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf
ulama salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang menyusunya
berdasarkan kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan
ayat iqra’, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan tempat turunya
Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan
surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa’, lalu surat Ali Imran.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah
jika masalah korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para
ulama’ yang menekuni Ulum Al-Qur’an. Tokoh yang disebut-sebut
sebagai orang yang pertama yang melopori keberadaan Ilmu Munasabah
ialah Abu Bakar An-Naisaburi, seorang alim bekebangsaan Irak yang
sangat ahli dalam ilmu syariah dan kesustraan arab. Dalam berbagai
kesempatan perbincangan ayat Al-Qur’an, An-Naisaburi konon selalu
mempertanyakan perihal segi hubungan antara bagian demi bagian dan
antara ayat demi ayat Al-Qur’an, serta selalu mempertayakan apa hikmah

5
yang terjadi di balik rangkaian ayat yang seperti ini?6 Namun kitab tafsir
An-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang. Sebagaimana
dinyatakan Adh-Dhahabi, besarnya perhatian An-Naisaburi terhadap
munasabah nampak dari ungkapan As-Suyuti yaitu;
“Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila
dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini
diletakkan di samping ayat ini, dan apa rahasia diletakkan surat ini di
samping surat ini? Beliau mengkritik para ulama’ Baghdad lantaran
mereka tidak mengetahui”.
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru
dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk
menyingkap persesuaian, baik antar ayat maupun antar surat, terlepas dari
segi tepat atau tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai
bapak Ilmu Munasabah. Dalam perkembangannya, Ilmu Munasabah
meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ulama-
ulama yang datang kemudian menyusun pembahasan ilmu munasabah
secara khusus.7
Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bemanfaat dalam
memahami keserasian antar makna, mukjizat Al-Qur’an secara retorik,
kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan
gaya bahasanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan firman Allah:

artinya: “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan


secara terinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha bijaksana dan Maha
mengetahui.” (QS. Hud/11:1).8

6
Fauzul Iman, opcit., hlm. 89
7
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, “Studi al-Qur’an”, (Surabaya:IAIN Sunan Ampel
Press, 2011), hlm. 218-219.
8
Mohammad Nor Ichwan, “Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an”, RaSAIL Media Group:Semarang, hlm. 145.

6
2.3 Langkah-Langkah yang harus diperhatikan Seorang Penafsir dalam
Mengungkap Munasabah
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah
bersifat ijtihadi.Yang artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan
berdasarkan ijtihad, karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi
maupun dari sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari
munasabah pada setiap ayat. Alasannya, karena Al-Qur'an diturunkan
secara berangsur angsur atau mutawattir mengikuti berbagai kejadian dan
peristiwa yangada. Untuk meneliti keserasian susunan ayat dalam surah
(munasabah) dalam Al-Qur'an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang
mendalam.
As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu
diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu : Kita Harus
memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi obyek
pencarian.Kita harus memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan
tujuan yang dibahas dalam surat. Dan menentukan tingkatan uraian-uraian
itu, apakah ada hubungannya atau tidak.Dalam mengambil kesimpulannya
hendaknya memperhatikan ungkapanungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan.9
2.4 Bentuk Munasabah
Dari makna munâsabah secara harfiah dapat diklasifikasikan
menjadi hubungan dari segi fisik (lahir) dan dari segi makna yang
mengaitkan antara keduanya: sebab akibat, umum atau khusus, rasional
intuitif atau imajinatif dan hubungan yang lain. Jadi munâsabah seperti
yang digambarkan itu bisa dalam bentuk konkret (hissi) dan dapat pula
bersifat abstrak (‘aqli atau khayali). Namun dari makna istilah ulama
cenderung mendefinisikannya lebih umum, yaitu segala aspek apa pun
dan dari berbagai aspeknya yang mengaitkan bagian-bagian, ayat-ayat
dan surat-surat dalam al-Qur’an. Meskipun begitu, beberapa ulama telah
merumuskan persesuaian-persesuaian tersebut dalam beberapa point
9
Fauzul Iman, opcit., hlm. 102

7
yang akan di bahas kemudian. Sedangkan mereka berbeda pendapat
dalam menentukan bentuk-bentuk ilmu munâsabah tersebut.
Dalam pembagiannya munâsabah ini, para ulama juga berbeda
pendapat mengenai pengelompokan munâsabah dan jumlahnya, hal ini
dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat
dari segi yang berbeda. Menurut Chaerudji A. Chalik munâsabah dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu sifat dan materinya.
a) Sifat10
Dilihat dari sisi sifatnya, terbagi menjadi dua bagian, yaitu
1) Ẓahir al-irtibâṭ (tampak jelas Munâsabah-nya), dan 2) Khafî al-

irtibâṭ (tampak samar Munâsabah- nya). Pertama ẓahir al-irtibâṭ,

yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan


kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu
tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan
kalimat lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan
yang sama. Misalnya, dapat kita cermati ayat surat al-A’raf ayat 26:

ٰ ٰ
‫ّللا لَ َهلَّ ُ ْم‬ ِ ‫اس التَّ ْق َو ٰى َذلِ َك َخ ْي ٌر ۚ َذلِ َك ِمنْ آيَا‬
ِ َّ ‫ت‬ ُ َ‫س ْوآتِ ُك ْم َو ِريشًا ۖ َولِب‬ ً ‫يَا بَنِي آ َد َم قَ ْد أَ ْنزَ ْلنَا َعلَ ْي ُك ْم لِبَا‬
َ ‫سا يُ َوا ِري‬
َ‫يَ َّذ َّك ُرون‬

Artinya : Hai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan


kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan
bagimu. Tetapi pakaian takwa itulah yang paling baik. Demikianlah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat. (Q.S al-A’raf : 26)

Munâsabah dalam ayat di atas tampak jelas, hubungan antara


pakaian biasa dan pakaian taqwa dalam menutupi aurat manusia. Allah
telah memberi kenikmatan berupa pakaian, libâs. Ada banyak jenis
pakaian yang ada di alam semesta, namun hanya satu di hadapan Allah

10
Ari Hendri, “Problematika Teori Munasabah Al-Qur’an”,Jurnal Tafsere Vol. 7. No. 1. 2019, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.hlm.28

8
pakaian yang dikaruniai yaitu pakaian taqwa, libâs at-taqwâ. Hal tersebut
terlihat dari kalimat żâlika khair. Adanya tambahan keterangan tersebut,
makin jelas bahwa pakaian yang efektif yang diperintahkan Allah dalam
memelihara seseorang dari hal-hal negatif lahir-batin, terhindar dari
godaan syaitan dan perbuatan keji adalah pakaian taqwa. Yaitu sikap
mental yang selalu tunduk dan patuh melak-sanakan perintah dan
meninggalkan larangannya agar terhindar dari siksa neraka.
Kedua khafî al-irtibâṭ, yaitu munâsabah yang tampak samar,
sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-
olah masing-masing ayat/surat berdiri sendiri, baik karena yang pertama
di’atafkan kepada yang lain maupun karena yang pertama bertentangan
dengan yang lain. Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 189 dan 190:

‫ُوا ٱ ْلبُيُوتَ ِمن ُُ ُو ِرهَا َو ٰلَ ِكنَّ ٱ ْلبِ َّر َم ِن‬


۟ ‫س ٱ ْلبِ ُّر بِأَن تَأْت‬
َ ‫س َوٱ ْل َح ِّج ۗ َولَ ْي‬ ِ ‫َن ْٱْلَ ِهلَّ ِة ۖ قُ ْل ِه َى َم ٰ َوقِيتُ لِلنَّا‬
ِ ‫سـَلُونَ َك ع‬ ْ َ‫ي‬
َ‫ٱَّللَ لَ َهلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬
َّ ‫وا‬۟ ُ‫ُوا ٱ ْلبُيُوتَ ِمنْ أَ ْب ٰ َوبِ َا ۚ َوٱتَّق‬
۟ ‫ٱتَّقَ ٰى ۗ َو ْأت‬

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan


sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;
dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu- pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. al-Baqarah: 189)

َ‫ّللاَ ََل يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْهتَ ِديْن‬


َّ َّ‫ّللاِ الَّ ِذينَ يُقَاتِلُونَ ُك ْم َو ََل تَ ْهتَدُوا ۚ إِن‬ َ ‫َوقَاتِلُوا فِي‬
َّ ‫سبِي ِل‬

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi


kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS. al-Baqarah: 190)

Munâsabah antara keduanya adalah ketika musim haji


umat Islam dilarang berperang, namun jika umat Islam diserang
terlebih dahulu, maka larangan berperang menjadi gugur

9
meskipun pada musim haji dan diperbolehkan melawan serangan
tersebut selama tidak melampaui batas.

b) Materi11
Banyak mufassir yang memiliki konsen dalam hal
munâsabah al-Qur’an saat ini, seperti Quraish Shihab. Ia
mengklasifikasikan korelasi kalimat, ayat, surat dalam teks al-
Qur’an dalam tujuh point penting. Dan seperti sebelumnya perlu
diingat bahwa tujuh point dalam munâsabahnya memiliki
keterikatan erat dengan tema pokok surat-surat dalam al-Qur’an,
ketujuh point tersebut adalah sebagai berikut:

1) Munâsabah antar surat.


Seperti munâsabah antara surat al-Fatihah, al-
Baqarah dan Ali Imran. Penempatan ketiga surat ini secara
berurutan menunjukkan bahwa ketiganya mengacu pada tema
sentral yang memberikan kesan, masing-masing surat saling
menyempurnakan bagi tema tersebut. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh imam as-Suyuthi bahwa al-Fatihah
mengandung tema sentral: ikrar ketuhanan, perlindungan
kepada Tuhan dan keterpeliharaan dari agam Yahudi dan
Nasrani. Sedangkan surat al-Baqarah mengandung tema
sentral pokok-pokok (akidah) agama, sementara Ali Imran
mengandung tema sentral menyempurnakan maksud yang
terdapat dalam pokok-pokok agama itu.
Beberapa ulama mengatakan bahwa al- Fatihah
memang cocok ditempatkan pada awal muṣḥaf karena
fungsinya sebagai pembuka; kemudian diikuti oleh al-Baqarah,
setelah itu Ali Imran. Ditempatkannya Ali Imran setelah al-
Baqarah serasi dengan isi masing-masing surat tersebut.
Dalam surat ali Imran lebih banyak membicarakan umat

11
Ari Hendri. Op.cit.hlm.51

10
Nasrani, sebaliknya surat al-Baqarah lebih terfokus pada
pembahasan umat Yahudi. Karena itu al-Baqarah ditempatkan
sebelum Ali Imran sesuai dengan historisitas agama Yahudi
lebih dahulu lahir dari agama Nasrani. Selain itu yang pertama
kali diseru oleh Nabi saw di Madinah adalah kaum Yahudi,
baru kemudian beliau berhadapan dengan kaum Nasrani.
Contoh lain adalah surat Muhammad, yang nama lainnya
adalah surat al-Qital (peperangan), diletakkan sebelum surat
al-Fath yang berarti kemenangan dan selanjutnya
mengakibatkan al-Hujurat yang memiliki maksud pembagian
atau pembatasan tugas-tugas. Begitulah antara surat- surat al-
Qur’an itu ada korelasi satu dengan yang lain sari segi urutan
surat.
2) Munâsabah antara nama surat dengan tujuan turunnya.
Keserasian serupa itu kata al-Biqa’i merupakan inti
pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan
surat itu. Sebagaimana diketahui surat kedua dalam al-Qur’an
diberi nama al-Baqarah (sapi betina). Cerita tentang sapi betina
yang terdapat dalam surat itu pada hakikatnya menunjukkan
kekuasaan tuhan dalam membangkitkan orang mati, sehingga
dengan demikian tujuan dsari surat al-Baqarah adalah
mengenai kekuasaan tuhan dan keimanan kepada hari akhir
(hari kiamat).
3) Munâsabah antara kalimat dalam satu ayat.
Munâsabah antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam
satu ayat dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
a) Munâsabah yang dapat dilihat dan diperkuat dengan huruf aṭaf (kata
penghubung). Contohnya, munâsabah dalam bentuk al-madhaddhat
(berlawanan). Sebagaimana dalam ayat 178 surat al-Baqarah:

‫س ٍن ۗ ٰ َذلِ َك ت َْخفِيفٌ ِّمن‬


َ ٰ ‫وف َوأَ َد ٓا ٌء إِلَ ْي ِه بِإ ِ ْح‬ ٌ ٌۢ ‫فَ َمنْ ُعفِ َى لَ ۥهُ ِمنْ أَ ِخي ِه ش َْى ٌء فَٱتِّبَا‬
ِ ‫ع بِٱ ْل َم ْه ُر‬

11
‫اب أَلِي ٌم‬ ٰ
ٌ ‫َّربِّ ُك ْم َو َر ْح َمةٌ ۗ فَ َم ِن ٱ ْعتَد َٰى بَ ْه َد َذلِ َك فَلَ ۥهُ َع َذ‬

Kata al-rahmah (‫ )رحمة‬disebut secara eksplisit sebelum kata al-‘azab


(‫ )عداب‬atau menyebut janji sebelum ancaman. Sehingga tergambar
dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa Allah sebenanya
menurunkan peraturan hukum itu bukan atas dasar zalim atau berlaku
aniaya melainkan karena sayang (rahmah) kepada umat manusia. Tapi
agar rahmat atau sayang yang besar itu tidak diselewengkan oleh umat
untuk melakukan kejahatan, maka Allah menegaskan bahwa azab-Nya
sangat keras dan pedih. Bagi yang berani melanggar akan ditindak keras
dan disiksa dengan azab yang pedih. Begitulah kebiasaan Allah jika
membicarakan masalah hukum.
b) Munâsabah dari dua kalimat dalam satu ayat tanpa huruf ‘athaf
Contohnya, dalam bentuk penjelasan lebih lanjut. Dapat dilihat seperti
hubungan antara pakaian taqwa dengan pakaian biasa dalam menutup
aurat, sebagaimana dalam surat al-A’raf ayat 26:

ٰ ٰ
‫ّللا لَ َهلَّ ُ ْم‬ ِ ‫اس التَّ ْق َو ٰى َذلِ َك َخ ْي ٌر ۚ َذلِكَ ِمنْ آيَا‬
ِ َّ ‫ت‬ ُ َ‫س ْوآتِ ُك ْم َو ِريشًا ۖ َولِب‬ ً ‫يَا بَنِي آ َد َم قَ ْد أَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْي ُك ْم لِبَا‬
َ ‫سا يُ َوا ِري‬
َ‫يَ َّذ َّك ُرون‬

Artinya : Hai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan


kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan
bagimu. Tetapi pakaian takwa itulah yang paling baik. Demikianlah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat. (Q.S al-A’raf : 26)

Ayat ini diawali dengan penjelasan nikmat Allah berupa pakaian


yang menutupi tubuh. Kemudian di pertengahan ayat itu muncul kata
libas at-taqwa yang disisipkan sebagai tambahan penjelasan lebih lanjut
dari libas yang terdapat sebelumnya. Dengan tambahan keterangan itu,
maka makin jelas bahwa pakaian yang lebih efektif dalam memelihara
seseorang dari hal-hal yang negatif lahir-batin ialah pakaian taqwa,

12
yakni pakaian yang menuntun sikap mental untuk selalu tunduk dan
patuh melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
4) Munâsabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat
Sebagai contoh dapat diperhatikan ayat-ayat pada awal
surat al-Baqarah mulai ayat 1-20. Ayat- ayat tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: a) keimanan, merupakan
ayat 1-5; b) kekufuran, perhatikan ayat 6-7; dan c) kemunafikan
dari ayat 8-20. Dalam membedakan ketiga kelompok tersebut
secara jelas dengan menarik hubungan antara ayat-ayat tersebut.
Misalnya dengan menyebut sifat-sifat mukmin, kafir dan munafik
secara runtun dan berdekatan maka akan memberikan pemahaman
yang lebih gamblang dan utuh tentang watak ketiga golongan itu.
Oleh karenanya akan amat masuk akal ketika ketiga golongan
tersebut disebut secara berurutan, sehingga memudahkan dalam
menyerap informasi.
5) Munâsabah antara faṣilah (penutup) ayat dengan isi ayat
tersebut. Beberapa formasi penutup ayat dengan isi ayat tersebut
adalah: Pola tamkin (memperkokoh), artinya dengan faṣilah suatu
ayat maka makna yang terkandung di dalamnya menjadi lebih
kokoh dan mantap seperti kata ‫( قف يا عزيز‬Maha Kuat dan
Perkasa) dalam penutup ayat 25 surat al-Ahzab. Dijelaskan dalam
ayat ini bahwa Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan. Hal itu bukan dikarenakan mereka lemah, melainkan
semata-mata untuk menunjukkan kemahakuasaan dan keperkasaan
Allah. Inilah pemahaman yang tersirat dalam faṣilah ayat itu..
Dengan demikian terasa sekali keserasiannya dengan makna yang
terkandung oleh ayat tersebut.
6) Munâsabah antara awal surat dengan akhir surat. Seperti tampak
dalam surat al-Mukminun, dengan awal surat yang berbunyi
(sungguh beruntung orang-orang yang beriman) statement awal
pada surat ini memilikikorelasi dengan akhir surat yang berbunyi:

13
َ‫سابُهُ ِع ْن َد َربِّ ِه ۚ إِنَّهُ ََل يُ ْفلِ ُح ا ْل َكا ِفرُون‬ َ ‫ّللاِ إِ ٰلَ ًا‬
َ ‫آخ َر ََل بُ ْرهَانَ لَهُ بِ ِه فَإِنَّ َما ِح‬ َّ ‫ع َم َع‬
ُ ‫َو َمنْ يَ ْد‬

Artinya: Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping


Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang
itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.
(QS. Al- Mukminun/23: 117)
Korelasi itu terjadi atas sunnatullah, bahwa jika dikatakan
bahwa orang yang beriman sungguh beruntung maka dengan
sendirinya kaum kafir akan merugi. Kerugian itu secara eksplisit
dinyatakan Allah di akhir surat al-Mukminun.
7) Munâsabah antara akhir surat dengan awal surat selanjutnya.

Misalnya, akhir surat an-Nisa’ yang berisi perintah agar


mentauhidkan Allah dan beribadah hanya kepada Allah, berlaku adil
pada sesama manusia, khususnya dalam pembagian harta warisan
(QS 4: 172-172 dan 176). Kemudian di awal surat al- Maidah disusul
perintah untuk memenuhi semua janji-janji baik janji kepada Allah
maupun kepada manusia. Dengan demikian tampak terasa dalam
benak pembaca dan pendengarnya suatu hubungan yang erat dan
selaras antara kedua surat tersebut.12

2.5 Urgensi Ilmu Munasabah

Munasabah di dalam memahami al-Qur’an sangatlah penting,


karena dengan dikuasainya ilmu ini maka akan dapat merasakan secara
mendalam bahwa al- Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dalam
untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat dan
akurat sehingga sedikitpun tak ada cacat. Selain itu, dengan munasabah

12
Ari Hendri, “Problematika Teori Munasabah Al-Qur’an”,Jurnal Tafsere Vol. 7. No. 1. 2019, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.hlm.89

14
dapat memberikan gambaran yang semakin terang bahwa l- Qur’an itu
betul-betul kalam Allah, tidak hanya teksnya, melainkan susunan dan
urutan ayat-ayat dan surat-suratnya pun atas petujuk-Nya.
Tanpa adanya munasabah, seseorang akan kesulitan dalam
memahami al- Qur’an dan ada kemungkinan keliru dalam memahami dan
menafsirkannya seperti kekeliruan Guillaume yang menganggap
sistematika susunan al-Qur’an kacau karena ayat-ayat madaniyat masuk
ke kelompok ayat makiyyat dan sebaliknya.

Dengan dikuasainya ilmu tanasub, seseorang akna merasakan suatu


mukjizat yang luar biasa dalam susunan ayat-ayat dan surat-surat al-
Qur’an. Mengetahui penempatan suatu kata atau kalimat dalam untaian
ayat-ayat al-Qur’an betul-betul sangat tepat dan akurat, baik dari segi
susunan dan uslub, maupun makna dan pesan- pesan yang terkandung di
dalamnya.
Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, urgensi dalam
mempelajari munasabah, antara lain:
a) Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an, sebab
munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena
tidak mengetahui munasabah.
b) Intensifikasi pengertian Al-Qur’an.
Mengingat peran penting munasabah sebagaimana digambarkan di
atas, maka masuk akal bila pakar ulama tafsir seperti Ibn al-‘Arabi
menyatakan bahwa kajian munasabat adalah suatu ilmu yang besar
dan mulia, hanya orang-orang tertentu yang dapat menggalinya. Al-
Zarkasyi juga mengakui pentingnya ilmu ini dengan menyatakan
secara tegas bahwa munasabat adalah ilmu yang amat mulia yang
dapat memelihara dan meluruskan pola pikir serta mengenal kadar
kemampuan seseorang dalam berbicara.

15
2.6 Macam-Macam Munasabah
a. Munasabah antara surat dengan surat sebelumnya. Satu surah
berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, contoh, di dalam Q.S. Al-
Fatihah ayat 6:

)6( ‫ص َراطَ ال ُمستَقِي َم‬


ِّ ‫اه ِدنَا ال‬

“tunjukilah kami kejalan yang lurus”


Lalu dijelsakan di surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk al-Qur’an.
b. Munasabah antara nama surat dengan isi atau tujuan surah. Nama-
nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu
surah,misalnya Q.S.an-Nisa’ (perempuan) karena di dalamnya banyak
menceritakan tentang persoalan perempuan.
c. Hubungan antara fawatih as-suwar (ayat pertama yang terdiri dari
beberapa huruf) dengan isi surah. Hubungan fawatih as-suwar dengan
isi surahnya bisa dilacak dari jumlah huruf-huruf yang dijadikan
sebagai fawatih as-suwar. Misalnya jumlah huruf alif, lam, dan mimi
pada surah-surah yang dimulai dengan alif-lam-mim semuanya dapat
dibagi 19 (Sembilan belas).
d. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.
Misalnya Q.S Al-Mu’minun: 1 imulai dengan:
)1( ‫قَ ْد أَ ْفلَ َح ا ْل ُمؤْ ِمنُون‬

“sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”


kemudian di bagian akhir surat ayat 117 ditemukan kalimat;

َ ً ‫ع َم َع ّللاِ إِ ٰل ا‬
)111( ‫َلآخ َربُ ْرهانَ لَهُ بِ ِه فَإِنَّما ِحسابُهُ ِع ْن َد َربِّ ِه َلإِنَّهُ يُفلِ ُح ا ْلكافِ ُرون‬ ُ ‫َو َمنْ يَ ْد‬

“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah,


padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka
sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu tidak beruntung”.

16
e. Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah.
Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah al-Baqarah ayat 2
dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang yang
bertaqwa.
f. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya,
misalnya akhir Q.S. Al-Waqi’ah: 96 :

ِ ‫س ِم َربِّكَ آ ْل َه ِظ‬
)66( ‫يم‬ َ َ‫ف‬
ْ ‫سبِّ ْح بِآ‬

“maka bertasbihlah dengan menyebut nama TuhanMu Yang


Maha Besar”.
Lalu surah berikutnya yakni Q.S. Al-hadid: 1;

)1( ‫ي ا ْل َح ِك ْي ُم‬ ِ ‫ت َو ْاَلَ ْر‬


ْ ‫ض ۨ َو ُه َوا ْل ُز َع ِز‬ ِ ‫سبَّ َح َِّللِ َما فِى السَّمٰ ٰو‬
َ

“semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah


(menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah Maha Kuasa Atas
Segala Sesuatu”.
g. Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan
berdasarkan petunjuk Nabi (tawqifi). Setiap orang bisa saja
menghubung-hubungkan antara berbagai hal di dalam kitab al-
Qur’an. 13

13
John Supriyanto, “Munasabah Al-Quran: Studi Korelatif Antar Surat Shalat-Shalat Nabi”,Jurnal
Intizar Vol. 19. No. 1. 2013, IAIN Raden Fatah Palembang.hlm.52

17
2.7 Metode dalam Menyingkap Munasabah
Menurut Manna’ Al-Qathan, kajian menyingkap Munasabah Al-
Qur’an antara ayat-ayat bukanlah taqlifi (sesuatu yang ditetapkan
Rasulullah), melainkan hasil ijtihad mufassir sebagai buah penghayatan
terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasian retorika, dari segi
keterangannya yang mandiri, apabila korelasi itu maknanya halus,
konteksnya harmonis, dan asas-asas kebahasaannya sesuai korelasi
(Munasabah) itu dapat diterima. Ini bukan berarti bahwa para mufassir
harus mencari kesesuaian setiap ayat. Karena Al-Qur’an turun secara
bertahap dan sesaui dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang
mufassir terkadang dapat membuktikan Munasabah antara ayat dan
terkadang juga tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk
menemukan kesesuaian. Jika demikian, kesesuaian itu hanyalah sesuatu
yang dibuat-buat dan tidak patut.14

14
John Supriyanto. Op.cit.hlm.60

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
a) Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat
keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang lain. Ilmu
ini sepenuhnya bersifat ijtihady, bukan taufiqy
b) Menurut ulama Az-Zarkasy menerangkan bahwa fungsi munasabah,
adalah menggabungkan bagian-bagian kalimat yang lain sehingga
tampak adanya keterkaitan antara keduanya.
c) Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, urgensi dalam mepelajari
munasabah ialah menghindari kekeliruan dalam menafsirkan Al-
Qur’an, sebab munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah karena tidak mengetahui munasabah dan Intensifikasi
pengertian Al-Qur’an.

3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang Ilmu
Munasabah. Apa itu pengertian Munasabah, apa saja Bentuk Munasabah,
Bagaimana ulama salaf dalam ilmu munasabah, ulama kontemporer dan
ilmu munasabah,Apa urgensi ilmu munasabah, Apa saja macam-macam
munasabah dan Bagaimana metode dalam menyingkap munasabah. Dan
semoga kita dapat mengambil manfaatnya dalam proses evaluasi
pendidikan.
Demikianlah makalah yang kami buat semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca. Mohon maaf apabila ada kesalahan
informasi, ejaan, dan penulisan kata. Kami mengharapkan saran dan kritik
untuk dapat lebih baik lagi dalam penulisan makalah.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hendri, Ari. Jurnal Tafsere Vol. 7. No. 1. 2019. Problematika Teori Munasabah
Al-Qur’an. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Iman, Fauzul. Jurnal Al-Qalam No. 63/XII/1997. Munasabah Al-Qur’an.

Said, Hasani Ahmad.2015. Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-


Misbah. Jakarta: Bumi Aksara.

Supriyanto, John. Jurnal Intizar Munasabah Al-Qur’an Vol. 19. No. 1. 2013.
Munasabah Al-Qur’an : Studi Korelatif Antar Surat Shalat-Shalat Nabi. IAIN
Raden Fatah Palembang.

20
LAMPIRAN

21
22

Anda mungkin juga menyukai