Anda di halaman 1dari 5

HIPERSENSITIFITAS : PROSES IMUN YANG MENYEBABKAN CEDERA JARINGAN

Reaksi imun tubuh yang dapat menimbulkan cedera disebut hipersensitivitas merupakan dasar dari
patologi yang terkait dengan penyakit imunologi. Istilah ini muncul dari individu yang sebelumnya
pernah terpapar antigen memanifestasikan reaksi yang dapat dideteksi terhadap antigen tersebut dan
karena itu disebut tersensitisasi atau menjadi peka atau menjadi sensitif. Hipersensitivitas berdampak
pada sesuatu yang berlebihan atau reaksi berbahaya terhadap antigen. Ada beberapa hal penyebab
gangguan hipersensitivitas secara umum yaitu :

 Reaksi hipersensitivitas dapat ditimbulkan secara eksogen oleh antigen lingkungan (mikroba
dan non mikroba) atau secara endogen oleh antigen diri (self). Manusia hidup di lingkungan
yang penuh dengan zat-zat yang mampu menimbulkan respons imun. Antigen eksogen
meliputi yang ada di debu, serbuk sari, makanan, obat-obatan, mikroba, dan berbagai bahan
kimia. Respon imun akibat antigen eksogen dapat terjadi pada berbagai bentuk, mulai dari
gangguan ringan, seperti gatal-gatal kulit, hingga penyakit yang berpotensi fatal, seperti asma
bronkial dan anafilaksis. Beberapa reaksi yang umum pada antigen lingkungan menyebabkan
kelompok penyakit dikenal sebagai alergi. Respon imun terhadap diri sendiri atau autologous,
antigen, mengakibatkan penyakit autoimun.

 Hipersensitivitas biasanya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara mekanisme efektor


respon imun dan mekanisme kontrol yang berfungsi membatasi respon-respon secara normal.
Faktanya banyak hipersensitivitas diduga penyebab utamanya adalah kegagalan regulasi
normal. Kita akan kembali ke konsep ini saat kita mempertimbangkan autoimmunitas.

 Perkembangan penyakit hipersensitivitas (alergi dan autoimun) sering dikaitkan dengan


pewarisan gen kepekaan tertentu. Gen HLA dan banyak gen non-HLA telah terlibat dalam
berbagai penyakit, contoh spesifik akan dijelaskan dalam konteks penyakitnya.

 Mekanisme cedera jaringan pada reaksi hipersensitivitas sama dengan mekanisme efektor
pertahanan terhadap infeksi patogen. Masalah pada hipersensitivitas adalah karena reaksi-
reaksi ini kurang terkontrol, berlebihan, atau tidak tepat (misalnya secara normal berlawanan
terhadap antigen lingkungan dan antigen diri).

KLASIFIKASI REAKSI HIPERSENSITIFITAS

Penyakit hipersensitivitas dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologi yang


memperantarai penyakit (Tabel 6-1). Klasifikasi ini berguna dalam membedakan mekanisme respon
imun menyebabkan cedera jaringan dan penyakit, dan manifestasi patologis dan klinis yang
menyertainya. Namun, sekarang semakin disadari bahwa beberapa mekanisme mungkin terjadi pada
setiap penyakit hipersensitivitas. Beberapa tipe reaksi hipersensitivitas adalah sebagai berikut:

 Pada hipersensitivitas segera (hipersensitivitas tipe I), cedera disebabkan oleh sel T H2,
antibodi IgE dan sel-sel mast dan leukosit lainnya. Sel mast akan dipicu untuk melepas
mediator yang bekerja pada pembuluh darah dan otot polos dan sitokin proinflamasi yang
merekrut sel inflamasi.
 Pada gangguan yang diperantarai antibodi (hipersensitivitas tipe II), antibodi IgG dan IgM
yang disekresikan menyebabkan cedera sel dengan melalui fagositosis atau lisis dan cedera
jaringan dengan merangsang inflamasi. Antibodi juga bisa mengganggu fungsi seluler dan
menyebabkan penyakit tanpa adanya cedera jaringan
 Pada kelainan yang diperantarai kompleks imun (hipersensitivitas tipe III), antibodi IgG dan
IgM biasanya mengikat antigen di sirkulasi dan penyimpanan kompleks antigen-antibodi
dalam jaringan dan merangsang inflamasi. Leukosit yang dipanggil (neutrofil dan monosit)
menghasilkan kerusakan jaringan dengan melepaskan enzim lysosomal dan generasi radikal-
radikal bebas yang toksik.
 Pada kelainan imun yang diperantari oleh sel (hipersensitivitas tipe IV), sensitisasi oleh
limfosit T (sel TH1 dan sel TH17 sel dan CTLs), menyebabkan cedera jaringan. Sel TH2
menginduksi lesi yang merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas segera dan bukan
bentuk hipersensitivitas tipe IV.
MEKANISME BATUK 
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase
kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi,
inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara,
kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti
dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan
tertentu.

Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat
ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi
jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian
lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume  sampai
50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini.
Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan
ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil
rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah.
Gambar 1. Skema diagram menggambarkan aliran dan perubahan tekanan subglotis selama,
fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi batuk
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2
detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 100 mmHg.
Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi
paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis
tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak
lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.

Gambar 2. Fase Batuk



Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar
dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara
batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 30 50
detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara
yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat
dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%.


KOMPLIKASI 
Komplikasi tersering adalah keluhan non spesifik seperti badan lemah, anoreksia, mual dan
muntah. Mungkin dapat terjadi komplikasi-komplikasi yang lebih berat, baik berupa
kardiovaskuler, muskuloskeletal atau gejala-gejala lain.

Pada sistem kardiovaskuler dapat terjadi bradiaritmia, perdarahan subkonjungtiva, nasal dan di
daerah anus, bahkan ada yang melaporkan terjadinya henti jantung. Batuk-batuk yang hebat
juga dapat menyebabkan terjadinya pneumotoraks, pneumomediastinum, ruptur otot-otot dan
bahkan fraktur iga.
Komplikasi yang sangat dramatis tetapi jarang terjadi adalah Cough syncope  atau Tussive
syncope.  Keadaan ini biasanya terjadi setelah batuk-batuk yang paroksismal dan kemudian
penderita akan kehilangan kesadaran selama ± 10 detik. Cough syncope terjadi karena
peningkatan tekanan serebrospinal secara nyata akibat peningkatan tekanan intratoraks dan
intraabdomen ketika batuk.

Gambar 3. Koplikasi Batuk

 Yoga Aditama T. Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK UI, Unit


Paru RS Persahabatan, Jakarta. 1993.

Anda mungkin juga menyukai