Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelapa sawit (Elaeis Gueneensis Jacq) bukan tanaman asli Indonesia.
Namun ada dugaan kuat tanaman ini berasal dari dua tempat yaitu Amerika
Selatan dan Afrika. Sampai saat ini tanaman kelapa sawit sudah menyebar
keseluruh nnegara beriklim tropis, termasuk Indonesia.
Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah berupa minyak
kelapa sawit mentah (CPO atau crude palm oil)yang berwarna kuning dan
minyak inti sawit (PKO atau palm karnel oil) yang tidak berwarna (jernih).
CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak
goreng dan margarin), industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja
(bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik dan sebagai bahan bakar
alternative (minyak diesel) (Irianto & Apriyanto, 2012).
Minyak kelapa sawit mentah masih mengandung bahan ikutan seperti
asam lemak lemak bebas, pospat, pigmen, bau, air dan sebagainya. Kualitas
minyak kelapa sawit bias ditingkatkan dengan menghilangkan pengotor-
pengotor yang terkandung pada minyak kelapasawit. Menurut Widyanto
(2014) Salah satu parameter yang digunakan sebagai standar kualitas
minyak kelapa sawit adalah kandungan asam lemak bebas. Menurut Yusu
(2013) adanya senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dalam CPO salah
satunya kandungan asam lemak bebas, sangat menentukan kualitas minyak.
Menurut Kurniawan (2011) sebelum minyak sawit dijual kepasaran atau
diolah menjadi bahan pasar industri, terlebih dahulu senyawa- senyawa yang
tidak diinginkan ini harus dihilangkan (Ifa dkk, 2018).
Menurut Alfiah, dkk (2015) standar mutu CPO di atur melalui Badan
Standar Indonesia yang di muat dalam SNI-01- 2901-2006. Dalam Standar
tersebut ditetapkan kadar ALB, air, dan kotoran maksimum di dalam CPO
adalah 0,5%. Asam Lemak Bebas secara alami akanmeningkat pada buah
kelapa sawit yang telah dipanen seiring dengan bertambahnya waktu (Ali
dkk, 2014). Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini diperlukan perlakuan
khusus terhadap buah kelapa sawit, yaitu penambahan bahan antimikroba
(Maimun, Arahman, Hsb, & Rahayu, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah kulit biji mete yang tanpa diaktivasi, serta aktivasi menggunakan
HCl atau H3PO4 dapat dimanfaatkan untuk menjernihkan CPO ?
2. Manakah perlakuan kulit biji mete yang lebih efektif untuk menjernihkan
CPO yang tanpa diaktivasi, serta aktivasi menggunakan HCl atau
H3PO4 ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui apakah kulit biji mete yang tanpa diaktivasi, serta aktivasi
menggunakan HCl atau H3PO4 dapat dimanfaatkan untuk menjernihkan
CPO dengan mutu dan kejernihan yang baik.
2. Mengetahui manakah yang lebih efektif kulit biji mete yang tanpa
diaktivasi, serta aktivasi menggunakan HCl atau H3PO4.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Memanfaatkan CPO untuk di olah kembali menjadi minyak berkualitas
dengan kadar minyak yang rendah.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang proses pemurnian
CPO dengan adsorben kulit biji mete.
3. Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CPO (Crude Palm Oil)


Crude palm oil (CPO) merupakan minyak yang disintesis di dalam
buah sawit hingga berumur 22-24 minggu setelah pembuahan. CPO
diekstraksi dari bagian mesokarp buah sawit secara mekanis dan fisika di
pabrik kelapa sawit (PKS). Banyaknya jumlah ataupun tingginya mutu CPO
sangat dipengaruhi dari jenis dan kematangan buah yang diolah (Lubis,
2008; Basiron et al., 2000). Secara visual, CPO mudah dikenali dengan
warna orange kemerahan karena kandungan karoten yang tinggi berkisar
antara 500-700 ppm. Selain itu, pada temperatur ruang, wujudnya semi
padat dengan 2 fraksi yaitu fraksi cair dan padat yang disebabkan oleh
trigliseridanya mengandung komponen utama asam palmitat dan oleat
dengan komposisi yang berimbang.
Tahun 2013, total produksi CPO dunia meningkat menjadi 58,4 juta
ton dari 30 juta ton pada 2004 (USDA, 2014). Dari total tersebut, sekitar 31
juta ton dikontribusikan oleh Indonesia. Selain sebagai negara produsen
terbesar, Indonesia juga menempati posisi teratas sebagai negara pengekspor
CPO di dunia setelah Malaysia. CPO Indonesia telah diekspor ke beberapa
negara di Asia, Amerika, dan Eropa. Oleh sebab itu, sebagai produk
unggulan perkebunan, komoditas ini telah memberikan devisa negara
terbesar selain migas (Hasibuan, 2016)
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mempunyai peran yang sangat
strategis dari sisi ekonomi antara lain sebagai komoditas ekspor, penyerapan
kesempatan kerja, menekan jumlah penduduk miskin, mendorong pusat
pertumbuhan wilayah, mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, dan
lain-lain. Menurut Berita Iptek (2007) Berdasarkan data tahun 2007,
Indonesia telah menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia dengan
total produksi sekitar 16 juta ton. Sementara negara tetangga kita Malaysia
yang selama ini berada pada posisi no.1, saat ini berada pada posisi ke-2
dengan total produksi sebesar 15,8 juta ton. Yang menarik dari data ini
adalah ternyata Indonesia mampu menjadi negara penghasil CPO nomor 1 di
dunia, 4 tahun lebih cepat dari prediksi sebelumnya, dimana Indonesia
diperkirakan baru akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun
2010.
Kalimantan Barat termasuk ke dalam daerah yang memproduksi
kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit itu sendiri telah dimulai di
Kalimantan Barat. sejak tahun 1983 dan sampai saat ini Kalimantan Barat
termasuk salah satu provinsi penghasil utama minyak kelapa sawit bagi
Indonesia. Minyak kelapa sawit bagi Provinsi Kalimantan Barat merupakan
salah satu komoditi yang cukup menunjang pembangunan. Perkembangan
sector perkebunan kelapa sawit untuk daerah Kalimantan mengalami
kemajuan yang cukup baik dari tahun 1999 luas areal 290.732 hektar dan
produksi buah kelap sawitnya mencapai 301.868 ton/tahun mengalami
peningkatan untuk tahun 2011 dengan luas areal perkebunan kelapa sawit
880.767 hektar dan produksinya 967.626 ton/tahun (Dinas Perkebunan
Kalimantan Barat: 2011). Kabupaten Ketapang juga merupakan salah satu
penghasil kelapa sawit terbesar didaerah Kalimantan memiliki luas areal
perkebunan kelapa sawit yang masih belum menghasilkan 14.963 Ha dan
luas areal yang telah menghasilkan 81.436 Ha dengan jumlah produksi
sebesar 1.213.330 ton pertahun dengan Persentase luas areal perkebunan
kelapa sawit ketapang di lingkup Kalimantan barat sebesar 11 % (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Ketapang, 2009). PT. Bumitama Gunajaya Agro
merupakan salah satu perusahaan Kelapa Sawit yang memiliki jumlah areal
seluas 16.000 Ha dengan persentase 17 % dari 70 perusahaan perkebunan
yang berada dikabupaten Ketapang dengn areal yang luas. PT BGA
memiliki permasalahan dalam hal mutu CPO yang masih belum sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia)
(Prawiro, Kusrini, & Nurliza, 2016).
Bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah
buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah
(Crude Palm Oil) yang dapat diolah menjadi bahan baku minyak goreng
(Morad, et al., 2010). Kelebihan minyak nabati dari kelapa sawit adalah
harga yang murah dan rendah kolesterol. Minyak sawit juga memiliki
beberapa manfaat diantaranya.
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan dan minyak
goreng mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan
kadar, kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua
berhubungan dengan rasa, aroma, kejernihan serta kemurnian produk.
Minyak Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung
asam lemak bebas (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat
pengapalan. Sedangkan kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung
tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, minyak kelapa sawit bermutu
akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 %‐22,2 % dan kadar asam lemak
bebas 1,7 %‐2,1 % (Baharin, et al., 2001). Perbedaan kemurnian pada
minyak goreng dapat dikarenakan adanya air, zat pengotor yang dapat
menyebabkan emulsi dan dapat menyebabkan warna minyak goreng menjadi
keruh dan pekat (Che Man, et al., 1999). Sehingga untuk menghasilkan
minyak goreng yang murni dibutuhkan pengadsorpsi warna minyak tersebut.
Proses pemurnian diperlukan untuk menghilangkan rasa serta bau yang
tidak enak, warna yang tidak menarik sehingga memperpanjang masa
simpan minyak ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 3 (Martianto, et
al., 2009). Pada pengolahan minyak pengerjaan yang dilakukan tergantung
pada sifat alami minyak tersebut dan juga tergantung dari hasil akhir yang
dikehendaki. Umumnya tahap-tahap pemurnian minyak terdiri dari
degumming, netralisasi, bleaching (pemucatan), deodorisasi dan
pendinginan (Ketaren, 1986). Kualitas minyak kelapa sawit ditentukan oleh
tingkat kemurnian CPO. Minyak kelapa sawit mentah masih mengandung
beberapa impurities baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut dalam
minyak serta suspensi yang turut terekstraksi pada waktu pengepresan
kelapa sawit (Ketaren, 1986). Impurities pada minyak kelapa sawit ini
sangat merugikan karena dapat menyebabkan warna merah gelap yang tidak
diinginkan pada minyak. Dalam industri minyak kelapa sawit, warna
merupakan parameter utama dalam penentuan kualitas minyak dan
digunakan sebagai dasar dalam penentuan apakah minyak tersebut diterima
atau tidak dalam dunia perdagangan (Rahadjeng, 1991). Semakin gelap
warna CPO maka akan semakin mahal biaya yang dibutuhkan dalam proses
pemurnian, selain itu warna yang gelap juga menandakan kualitas minyak
yang rendah (Kusuma, 2012).
Untuk menentukan apakah mutu minyak itu termasuk baik atau tidak
diperlukan standard mutu. Ada beberapa faktor yang menentukan standard
mutu yaitu: kandungan air dan kotoran dalam minyak kandungan asam
lemak bebas (ALB), warna dan bilangan peroksida. Faktor lain yang
mempengaruhi standar mutu adalah titik cair kandungan gliserida, refining
loss, plastisitas dan supreadability, kejernihan kandungan logam berat dan
bilangan penyabunan (Kusuma, 2012).
Perdagangan CPO baik untuk tujuan domestik maupun ekspor
disesuaikan dengan persyaratan mutunya. Indonesia memiliki standar
nasional untuk CPO yaitu SNI 01-2901-2006 yang mempersyaratkan kadar
asam lemak bebas (ALB), air dan kotoran masing-masing maksimum 5%,
0,25% dan 0,25% (BSN, 2006). Selain ketiga parameter tersebut, ada
parameter lain yang dapat menentukan baik atau buruknya mutu CPO yaitu
deterioration of bleachability index (DOBI). Walaupun belum menjadi suatu
ketetapan dalam SNI CPO, parameter ini telah digunakan oleh beberapa
perusahaan di Indonesia dan pembeli (buyer) dari negara pengimpor.
Nilai DOBI merupakan indeks daya pemucatan CPO yang berguna
pada proses rafinasi untuk menentukan jumlah bleaching earth yang
digunakan dan waktu proses pengolahannya. Selain itu, DOBI juga dapat
menjadi salah satu parameter untuk mengukur tingkat kerusakan minyak
yang disebabkan oleh oksidasi. Rendahnya nilai DOBI mengindikasikan
naiknya kandungan produk oksidasi sekunder.
Menurut Lin (2004) bahwa CPO yang bermutu baik apabila nilai
DOBI-nya minimum 2,31. Hasil kajian yang pernah dilakukan oleh Pusat
Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menunjukkan bahwa rata-rata nilai DOBI
CPO Indonesia relatif rendah yaitu kurang dari 2 (dengan kisaran 0,4-2,9)
(Siahaan, dkk., 2009 dan Hasibuan, 2012). Nilai DOBI pada CPO Indonesia
dapat ditingkatkan dengan memperbaiki beberapa faktor khususnya
pengolahan buah hingga CPO. Faktor lainnya yang terpenting adalah
penetapan nilai DOBI sebagai salah satu syarat mutu CPO dalam SNI 01-
2901-2006. Dengan demikian, produsen akan berupaya untuk menghasilkan
CPO sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Makalah ini menyajikan
informasi tentang DOBI pada CPO, hubungan DOBI terhadap parameter
mutu CPO, dan faktor-faktor yang mempengaruhi DOBI (Hasibuan, 2016).
Tabel 2.1 Komposisi Minyak Kelapa Sawit
Trigiserida Jumlah (%)
Tripalmitin 3-5
Dipalmito-Stearine 1-3
Oleo-Miristopalmitin 0-5
Oleo-Dipalmitin 21-43
Oleo-Palmitostearin 10-11
Palmito-Diolein 32-48
Stearo-Diolein 0-6
Linoleo-Diolein 3-12
Sumber: (Kusuma, 2012)
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawi
Asam Lemak Jumlah
Asam Kaprilat -
Asam kaproat -
Asam Miristat 1,1 – 2,5
Asam Palmitat 40 – 46
Asam Stearat 3,6 – 4,7
Asam Oleat 30 – 45
Asam Laurat -
Asam Linoleat 7 – 11
Sumber: (Kusuma, 2012)
2.2 Kulit Biji Mete
Tanaman Jambu mete biasa tumbuh di hutan-hutan dan ladang-ladang
(di daerah kering, panas) pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut.
Tetapi ada juga yang ditanam di halaman sebagai tanaman buah-buahan.
Jambu mete termasuk tumbuhan berkeping biji dua (tumbuhan berbiji
belah). Diklasifikasikan sebagai tumbuhan yang berdaun lembaga dua atau
dikotil

Gambar 2.1 Tanaman Jambu Mete


Jambu mede memiliki cabang dan ranting serta tumbuh dengan tinggi
9-12 m. Batang pohonnya tidak rata dan berwarna coklat tua. Daunnya
bertangkai pendek, berbentuk lonjong dengan tepian berlekuk dan guratan
rangka daunnya terlihat jelas. Bunganya berhulu, terkumpul dalam bentuk
malai dan daun tunjangnya lebar. Daun mahkota berwarna putih. Bagian
buah yang membesar berdaging lunak, berair dan berwarna kuning
kemerahan merupakan tangkai buah yang membesar. Sedangkan buahnya
(jambu mete), berukuran 3 cm, berbentuk ginjal dan bijinya berkeping dua
terbungkus kulit yang mengandung getah (Rasjiddin, 2006).
Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan tanaman
yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia yang beriklim tropis.
Produknya yaitu kacang mete merupakan produk ekspor yang potensial.
Pengembangan tanaman jambu mete di Indonesia pada tahun 2014 mencapai
± 577.168 ha, yang tersebar di 21 provinsi (BPS, 2014). Perkebunan jambu
mete sebagian besar (± 98%) merupakan perkebunan rakyat dengan sentra
pengembangan jambu mete adalah Jawa, NTT, Bali, dan Sulawesi. Adapun
luas lahan terbesar di Nusa Tenggara dan Bali (45.18%), Sulawesi (34.68%)
dan Jawa (16.5%). Produksi jambu mete dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, dan pada tahun 2014 mencapai 118.174 ton gelondong (BPS,
2015). Sejak Tahun 2010, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan
telah melaksanakan berbagai program untuk memacu perluasan dan
peningkatan produksi jambu mete, khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
Tanaman jambu mete memiliki keunggulan karena dapat dikembangkan
pada daerah yang memiliki kondisi agroekologi marginal dan beriklim
kering, sehingga merupakan komoditas andalan di Kawasan Timur
Indonesia.
Produk utama tanaman jambu mete adalah kacang mete, sedangkan
limbahnya adalah buah semu dan cangkang jambu mete. Sampai saat ini,
baik buah semu maupun cangkang mete belum dimanfaatkan secara
maksimal. Potensi limbah cangkang jambu mete di Indonesia cukup besar,
bila diekstrak akan diperoleh cairan (minyak) yang disebut Cashew Nut
Shell Liquid (CNSL). Menurut Muljohardjo (1991), persentase cangkang
jambu mete di dalam gelondong sekitar 45-50%, sehingga bila produksi
gelondong mete pada tahun 2013 sebesar 117.537 ton, maka diperoleh
cangkang jambu mete sekitar 52.891- 58.767 ton (Saenab, Wiryawan, Y, &
E.Wina, 2016).
Pemanfaatan jambu mete selama ini terbatas hanya pada biji metenya
saja, terutama pemanfaatannya sebagai makanan ringan dan untuk bahan
pengisi kue. Bagian dari tanaman jambu mete yang belum banyak dikenal
masyarakat luas adalah potensi kulit bijinya. Biji jambu mete terdiri dari
70% kulit biji dan 30% daging biji. Kulit biji (shell) diduga mengandung
minyak sekitar 50% yang terdiri dari senyawa fenolat berupa 90% asam
anakardat dan 10% berupa kardol dan kardanol. Asam anakardat, kardol,
dan kardanol merupakan senyawa fenolat dengan rantai samping panjang
(Kartika, Suyati, & Nuryanto, 2012).
Disisi lain kulit biji mete mempunyai kadar karbon aktif yang tinggi
yaitu 91, 51% dan kadar selulosa yang baik yaitu 34, 36 % dengan struktur
pori berada pada tingkat tingkat mesopor. Hal ini mengidentifikasikan
bahwa kulit biji mete dapat digunakan sebagai biomassa dalam proses
adsorpsi limbah logam (Fayanto, Toifur, & Anas, 2018).
Tanaman jambu mete, Anacardium occidentale L. merupakan salah
satu komoditi perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi, namun
pemanfaatan jambu mete selama ini terbatas hanya pada biji metenya saja,
terutama pemanfaatannya sebagai makanan ringan dan untuk bahan pengisi
kue. Bagian dari tanaman jambu mete yang belum banyak dikenal
masyarakat luas adalah potensi kulit bijinya. Biji jambu mete terdiri dari
70% kulit biji dan 30% daging biji . Kulit biji (shell) diduga mengandung
minyak sekitar 50% yang terdiri dari senyawa fenolat berupa 90% asam
anakardat dan 10% berupa kardol dan kardanol. Asam anakardat, kardol,
dan kardanol merupakan senyawa fenolat dengan rantai samping panjang.
Senyawa ini dapat dipecah menjadi senyawa dengan rantai lebih pendek
melalui proses degadrasi termal tanpa kehadiran oksigen yang disebut
dengan pirolisis. Penggunaan teknologi pirolisis untuk menghasilkan sumber
energi hidrokarbon alternatif telah dikembangkan saat ini. Pirolisis biomassa
beserta limbahnya telah dilakukan untuk memproduksi gas bahan bakar
alternatif, bahan-bahan kimia serta karbon aktif. (Tsamba dkk) melaporkan
bahwa pirolisis kulit biji jambu mete menghasilkan produk cair dengan
kandungan rantai hidrokarbon banyak dan produk padat yang sedikit
(Kartika et al., 2012).

2.3 Adsorpsi
Adsorpsi adalah peristiwa pengumpulan molekul-molekul suatu zat
pada permukaan zat lain akibat adanya ketidakseimbangan dan karena
adanya gaya tarik antar atom atau molekul pada permukaan zat padat.
Adsorpsi digolongkan menjadi adsorpsi kimia dan adsorpsi fisika, keduanya
dibedakan berdasarkan homogenitas adsorben dan adsorbat, energi adsorpsi,
reversibilitas, dan ketebalan lapis adsorben. Beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap adsorpsi adalah konsentrasi, luas permukaan, suhu,
faktor ukuran partikel, pH dan waktu kontak. Adsorpsi bersifat selektif,
karena yang diadsorpsi hanya zat terlarut atau pelarut. Jumlah zat yang
diserap tegantung pada konsentrasi zat terlarut dan ketergantungan jumlah
zat yang diserap pada konsentrasi kesetimbangan disebut isoterm adsorpsi
(Yustinah & Hartini, 2011)..
Adsorpsi adalah proses pemisahan komponen-komponen tertentu
dalam fasa cair atau gas melewati suatu permukaan padat yang disebut
adsorben, sedangkan komponen-komponen yang diserap disebut adsorbat
(Wardhani dan Aini, 2016; Yusuf, 2013, La Ifa et al 2017). Adsorpsi adalah
suatu proses penyerapan suatu gas atau cairan pada permukaan padatan atau
fasa padat antarmuka. Proses ini melibatkan fasa padat (adsorben, material
biologi) dan fasa cair (pelarut, air) yang mengandung zat terlarut yang akan
diserap (adsorban/zatwarna/logamberat).
Secara umum adsorpsi adalah proses pemisahan komponen tertentu
dari satu fasa fluida (larutan) ke permukaan zat padat yang menyerap
(adsroben). Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau
porositas, menyebabkan sebagian molekul terikat lebih kuat pada permukaan
dari pada molekul lainnya. Adapun syarat-syarat untuk berjalannya suatu
proses adsorbsi, yaitu terdapat :
1. Zat yang mengadsorbsi (adsorben),
2. Zat yang teradsorbsi (adsorbat),
3. Waktu pengocokan sampai adsorbsi berjalan seimbang.
Adsorpsi dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu adsorpsi secara
kimia dan secara fisika. Adsorpsi secara kimia (kemisorbsi) adalah adsorbsi
yang terjadi karena adanya gaya-gaya kimia dan diikuti oleh reaksi kimia.
Adsorpsi jenis ini mengakibatkan terbentuknya ikatan secara kimia,
sehingga diikuti dengan reaksi berupa senyawa baru. Pada kemisorbsi
permukaan padatan sangat kuat mengikat molekul gas atau cairan sehingga
sukar untuk dilepas kembali, sehingga proses kemisorbsi sangat sedikit.
Adsorpsi fisika (fisiosorbsi) adalah adsorpsi yang terjadi karena adanya
gaya-gaya fisika. Adsorpsi ini dicirikan adanya kalor adsorpsi yang kecil (10
kkal/mol). Molekul-molekul yang diadsorpsi secara fisik tidak terikat secara
kuat pada permukaan dan biasanya terjadi pada proses reversible yang cepat,
sehingga mudah diganti dengan molekul lain (Yustinah & Hartini, 2011).
Adsorpsi dapat terjadi karena adanya energy permukaan dan gaya
tarik-menarik permukaan. Sifat dari masing-masing permukaan berbeda,
tergantung pada susunan dalam molekul-molekul zat. Setiap molekul dalam
interior dikelilingi oleh molekul-molekul lainnya, sehingga gaya tarik
menarik antar molekul akan sama besar, setimbang ke segala bagian.
Sedangkan untuk molekul dipermukaan hanya mempunyai gaya tarik kearah
dalam (Asip, Mardhiah, & Husna, 2008).
Beberapa contoh adsorben (zat penjerap) yang dapat digunakan pada
proses adsorpsi adalah karbon aktif, silika dan alumina, zeolit, arang tulang,
dan oksida-oksida logam (Mulyono & Kusuma, 2010).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi yaitu (Asip,
Mardhiah, & Husna, 2008) :
1. Proses pengadukan
Kecepatan adsorpsi selain dipengaruhi oleh film diffusion dan pore
diffusion juga dipengaruhi oleh pengadukan. Jika proses pengadukan
relatif kecil maka adsorbant sukar menembus lapisan film antara
permukaan adsorben dan film diffusion yang merupakan faktor
pembatas yang memperkecil kecepatan penyerapan. Dan jika
pengadukan sesuai maka akan menaikkan film diffusion sampai titik
pore diffusion yang merupakan faktor pembatas dalam sistem batch
dilakukan pengadukan yang tinggi
2. Karakteristik Adsorbant
Adsorpsi dipengaruhi oleh dua sifat permukaan yaitu energi
permukaan dan gaya tarik permukaan. Oleh karena itu sifat fisik yaitu
ukuran partikel dan luas permukaan merupakan sifat yang terpenting dari
bahan yang akan digunakan sebagai adsorben
3. Kelarutan adsorbant
Proses adsorpsi terjadi pada molekul-molekul yang ada dalam
larutan harus dapat berpisah dari cairannya dan dapat berikatan dengan
permukaan adsorben. Sifat unsur yang terlarut mempunyai gaya tarik-
menarik terhadap cairannya yang lebih kuat bila dibandingkan dengan
unsur yang sukar larut. Dengan demikian unsur yang terlarut akan lebih
sulit terserap pada adsorben bila dibandingkan dengan unsur yang tidak
larut.

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Serap Adsorpsi


a. Jenis dan Sifat Adsorben
Arang aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan
berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-
masing berikatan secara kovalen. Permukaan arang aktif dan struktur
pori merupakan faktor yang penting. Permukaan arang aktif bersifat non
polar.
Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil
pori-pori arang aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar dan
kecepatan adsorpsi bertambah (Sembiring, 2003). Luas permukaan
berpengaruh terhadap tersedianya tempat adsorpsi. Luas permukaan
adsorben adalah luas persatuan masa adsorben (m2/g).
b. Sifat adsorbat
Kelarutan zat terlarut dalam jumlah besar merupakan faktor
penting dalam adsorpsi. Kelarutan besar maka ikatan zat terlarut dengan
pelarut lebih kuat sehingga dapat menyebabkan jumlah yang teradsorpsi
kecil.
c. Temperatur
Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena
itu adsorpsi akan besar jika temperatur rendah.
d. pH (Derajat Keasaman)
Jumlah adsorpsi dipengaruhi pH larutan, oleh karena itu pH
menentukan derajat disosiasi adsorbat. pH juga dapat mempengaruhi
muatan permukaan adsorben sehingga mengubah kemampuannya untuk
menyerap senyawa dalam bentuk ion.
e. Waktu kontak
Arang aktif yang ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan
waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan
berbanding terbalik dengan jumlah arang yang digunakan. Larutan yang
mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih
lama (Mu’jizah, 2010).

2.5 Arang Aktif


Arang aktif merupakan senyawa karbon amorph yang dapat dihasilkan
dari bahan-bahan yang mengandung karbon seperti kayu, sekam padi,
tongkol jagung, dan tempurung kelapa atau dari arang yang diperlakukan
dengan khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas.
Kapasitas adsorpsi arang aktif bergantung pada karakteristik arang
aktifnya, seperti: tekstur (luas permukaan, distribusi ukuran pori), kimia
permukaan (gugus fungsi pada permukaan), dan kadar abu. Selain itu juga
bergantung pada karakteristik adsorpsi: bobot molekul, polaritas, pKa,
ukuran molekul, dan gugus fungsi. Kondisi larutan juga berpengaruh,
seperti: pH, konsentrasi, dan adanya kemungkinan adsorpsi terhadap zat
lain.
Arang aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu arang aktif sebagai pemucat dan
sebagai penyerap uap (Evika, 2011).
1. Arang aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk powder yang sangat
halus, diameter pori mencapai 1000Ǻ, digunakan dalam fase cair,
berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan
warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat
penganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia dan industri
baru. Diperoleh dari serbuk-serbuk gergaji, ampas pembuatan kertas atau
dari bahan baku yang mempunyai densitas kecil dan mempunyai struktur
yang lemah.
2. Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau
pellet yang sangat keras diameter pori berkisar antara 10-200 Å , tipe
pori lebih halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh
kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Diperoleh dari
tempurung kelapa, tulang, batu bata atau bahan baku yang mempunyai
bahan baku yang mempunyai struktur keras.
Proses aktifasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping
bahan baku yang digunakan. Aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang
yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan
ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul- molekul permukaan
sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu
luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya
adsorpsi (Evika, 2011).
Metoda aktifasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif
1. Aktifasi Kimia Adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa
organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia. Untuk aktifasi kimia,
aktifator yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti: hidroksida,
logam alkali, garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam
alkali tanah dan khususnya ZnCl2 , asam-asam anorganik seperti H2SO4
dan H4PO4.
2. Aktifasi Fisika Proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik
dengan bantuan panas, uap dan CO2.

2.6 Adsorben
Luasnya permukaan spesifik, sangat mempengaruhi besarnya kapasitas
penyerapan dari adsorben. Semakin luas permukaan spesifik dari adsorben,
maka semakin besar pula kemampuan penyerapannya. Volume
adsorben membatasi jumlah dan ukuran pori-pori pembentuk permukaan
dalam (internal surface) yang menentukan besar atau kecilnya permukaan
penyerapan spesifik. Karakteristik adsorben yang dibutuhkan untuk
adsorpsi :
1. Luas permukaannya besar, sehingga kapasitas adsorpsinya tinggi.
2. Memiliki aktifitas terhadap komponen yang diadsorp.
3. Memiliki daya tahan guncang yang baik.
4. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan
desorpsi.
Macam-macam adsorben yang umum digunakan, antara lain :
a. Silika gel

Gambar 2.2 Bentuk butiran silika gel


Silika gel cenderung mengikat adsorbat dengan energi yang relatif
lebih kecil dan membutuhkan temperatur yang rendah untuk proses
desorpsinya, dibandingkan jika menggunakan adsorben lain seperti
karbon atau zeolit. Kemampuan desorpsi silika gel meningkat dengan
meningkatnya temperatur. Silika gel terbuat dari silika dengan ikatan
kimia mengandung air kurang lebih5%. Pada umumnya temperatur kerja
silika gel sampai pada 200 °C, jika dioperasikan lebih dari batas
temperatur kerjanya maka kandungan air dalam silika gel akan hilang
dan menyebabkan kemampuan adsorpsinya hilang. Bentuk butiran silika
gel yang banyak digunakan untuk proses adsorpsi adalah seperti gambar
2.
b. Aktif Karbon
Aktif karbon dapat dibuat dari batu bara, kayu, dan tempurung
kelapa melalui proses pyrolizing dan carburizing pada temperatur 700
sampai 800 °C. Hampir semua adsorbat dapat diserap oleh karbon aktif
kecuali air. Aktif karbon dapat ditemukan dalam bentuk bubuk dan
granular. Pada umumnya karbon aktif dapat mengadsorpsi metanol atau
amonia sampai dengan 30%, bahkan karbon aktif super dapat
mengadsorpsi sampai dua kalinya. Bentuk butiran karbon aktif adalah
seperti gambar 3.

Gambar 2.3 Bentuk butiran karbon aktif


Persyaratan kualitas
Uraian
Butiran Serbuk
Bagian yang hilang pada pemansan Maks. 15 Maks. 25
950oC , % Maks. 4,5 Maks. 15
Kadar Air, % Maks. 2,5 Maks. 10
Kadar Abu, % 0 0
Bagian tidak mengarang Maks. 750 Min. 750
Daya serap terhadap I2, mg/g Min. 80 Min. 65
Karbon aktif murni, % Min. 25 -
Daya serap terhadap benzene, % Min. 60 Min. 120
Daya serap terhadap biru metilen, mg/g 0,45-0,55 0,3-0,35
Berat jenis curah, g/ml - Min. 90
Lolos mesh 325, % 90 -
Jarak mesh, % 80 -
Kekerasan

c. Zeolit
Zeolit mengandung kristal zeolit yaitu mineral aluminosilicate
yang disebut sebagai penyaring molekul. Mineral aluminosilicate ini
terbentuk secara alami. Zeolit buatan dibuat dan dikembangkan untuk
tujuan khusus, diantaranya 4A, 5A, 10X, dan 13X yang memiliki
volume rongga antara 0.05 sampai 0.30 cm3/gram dan dapat dipanaskan
sampai 500 °C tanpa harus kehilangan mampu adsorpsi dan
regenerasinya. Zeolit 4A (NaA) digunakan untuk mengeringkan dan
memisahkan campuran hydrocarbon. Zeolit 5A (CaA) digunakan untuk
memisahakan paraffins dan beberapa Cyclic hydrocarbon. Zeolit 10X
(CaX) dan 13X (NaX) memiliki diameter pori yang lebih besar sehingga
dapat mengadsorpsi adsorbat pada umumnya. Bentuk butiran zeolit
adalah seperti gambar 2. 4.

Gambar 2.4 Bentuk butiran zeolite (Riyadh et al., 2009)


Adsorban adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang
sangat besar.Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori
pori yang halus pada padatan tersebut. Disamping luas spesifik dan
diameter pori, maka kerapatan unggun, distribusi ukuran partikel
maupun kekerasannya merupakan data karekteristik yang penting dari
suatu adsorbant (Asip, Mardhiah and Husna, 2008).
Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen
tertentu dari suatu fase fluida. Kebanyakan adsorben adalah bahan –
bahan yang sangat berpori dan adsorbsi berlangsung terutama pada
dinding–dinding pori atau pada letak–letak tertentu didalam partikel itu.
Oleh karena pori–pori biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalam
menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada permukaan luar dan
bisa mencapai 2000 m/g. Adsorben yang digunakan secara komersial
dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar dan non polar.
1. Adsorben polar disebut juga hydrophilic
2. Adsorben non polar disebut juga hydrophobic Menurut IUPAC
(Internationl Union of Pure and Applied Chemical) ada beberapa
klasifikasi pori yaitu (Rahmayani and Mz, 2013). :
a. Mikropori : diameter < 2 nm
b. Mesopori : diameter 2 – 50 nm
c. Makropori : diameter > 50 nm
BAB III
METODE PENELITIAN

2.5 Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan alat kolom kromatografi yang telah di
desain untuk proses adsorpsi.

2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Laboratorium
PEngolahan Air dan Limbah Teknologi Industri Universitas Muslim
Indonesia jurusan Teknik Kimia selama 1 bulan.

2.7 Alat dan Bahan


a. Alat
Penelitian ini menggunakan alat–alat sebagai berikut :
1. Kromatografi kolom,
2. Erlenmeyer,
3. Gelas ukur
4. Statif
5. Timbangan analitik
6. Corong
7. Piknometer
8. Vikometer Ostwald
9. Oven
2

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Kolom Kromatografi

Keterangan Alat :
1. Statif
2. Kolom kromatografi
3. Elenmeyer
b. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu :
1. CPO (Crude Palm Oil)
2. Kuit biji mete
3. HCl (Asam Klorida)
4. H3PO4 (Asam Phospat)
5. Kertas saring

3.4 Variabel Penelitian


a. Variabel tetap :
Massa minyak jelantah : 100 ml
b. Variabel berubah
Jenis Adsorben :
1. Kulit biji mete tanpa aktifasi (gr) : 2, 10
2. Kulit biji mete aktifasi HCl (gr) : 2, 5, 7, 10
3. Kulit biji mete aktifasi H3PO4 (gr) : 2, 5, 7, 10

3.5 Prosedur Penelitian


a. Preparasi Sampel dengan HCL
Melakukan persiapan dan preparasi adsorben dengan cara
menghaluskan kulit biji mete, untuk mendapatkan ukuran-ukuran yang
sesuai dengan variable ukuran yang diinginkan. Proses aktivasi secara
kimia menggunakan larutan HCl dan secara fisika menggunakan
pemanasan. Kulit biji mete yang halus di tambah aquades dan HCl pekat
hingga pH = 3. Campuran tersebut didihkan selama 15 menit dan diaduk.
Dinginkan campuran, kemudian saring dan cuci dengan aquadest sampai
pH netral = 7. Keringkan kulit biji mete dalam oven 150 oC selama 2 jam
setelah itu dingingankan di desikator
b. Preparasi Sampel dengan H3PO4
Melakukan persiapan dan preparasi adsorben dengan cara
menghaluskan kulit biji mete, untuk mendapatkan ukuran-ukuran yang
sesuai dengan variable ukuran yang diinginkan. Proses aktivasi secara
kimia menggunakan larutan H3PO4. Kulit biji mete yang halus di rendam
ke dalam larutan H3PO4 dengan konsentrasi 20%. Campuran tersebut
didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam, kemudian saring dan cuci
dengan aquadest. Keringkan kulit biji mete dalam oven 150oC selama 2
jam setelah itu dingingankan di desikator

3.6 Prosedur kerja


a. Prinsip Kerja Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan
kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam
campuran. Absorben bertindak sebagai fase diam dan fase geraknya
adalah cairan yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang
kolom.
Cara kerja
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Kolom dipasang tegak lurus pada statif.
3. Kolom diberi kapas menggunakan batang pengaduk sebagai lapisan
adsorben.
4. Dimasukkan adsorben yaitu serbuk kulit biji mete sebanyak gram
yang telah ditentukan kedalam kolom, kemudian mengetuk kolom
secara perlahan hingga adsorben tidak ada tertinggal di dinding
kolom.
5. Dimasukkan CPO yang sudah diendapkan terlebih dahulu kedalam
kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit
hingga masuk semua, sambil kran kolom dibuka dan diatur
tetesannya. CPO dialirkan hingga adsorben merapat.
6. Setelah adsorben merapat, CPO dibiarkan mengalir hingga batas
adsorben.
7. Kran kolom ditutup apabila minyak telah berhenti menetes.
8. Mendiamkan beberapa saat minyak hasil adsorpsi dan mengamati
perubahan warna.
9. Analisa karakteristik minyak goreng bekas hasil adsorpsi.

3.7 Analisa karakteristik minyak goreng (SNI 3741-2013)


a. Bilangan asam
Pereaksi
1. Ishopropil
Ishopropil ditambah dengan beberapa tetes indikator fenolftalein dan
di titar dengan NaOH 0,5 N sampai terbentuk warna merah muda;
2. Indikator fenolftalein (pp) sebanyak 3 tetes
3. Larutan standardisasi larutan Natrium Hidroksida, NaOH 0,5 N.
Cara kerja
1. Timbang 5 g contoh (W) ke dalam Erlenmeyer 250 mL. Larutkan
dengan 50 ml ishopropil hangat dan tambahkan 3 tetes larutan
fenolftalein sebagai indikator;
2. Titrasi larutan tersebut dengan Natrium Hidroksida 0,5 N (N) sampai
terbentuk warna merah muda. (Warna merah muda bertahan selama
30 detik.)
3. Lakukan pengadukan dengan cara menggoyangkan Erlenmeyer
selama titrasi.
4. Catat volume larutan NaOH yang diperlukan (V).
Perhitungan
ml NaOH x N x BM
%FFA= x 100 %
bobot sampel ( g ) x 1000
Keterangan:
dimana,
N = Normalitas larutan NaOH
BM = Bobot molekul asam laurat
g = Bobot sampel yang diuji
b. Kadar air
Cara kerja
1. Panaskan petridiks dalam oven pada suhu 120°C selama kurang lebih
30 menit dan dinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian
timbang dengan neraca analitik (W0);
2. Masukkan sampel contoh ke dalam petridiks, tutup, dan timbang
(W1);
3. Panaskan petridiks yang berisi sampel tersebut dalam oven pada
suhu 120°C selama 30 menit setelah suhu oven 120°C;
4. Pindahkan segera ke dalam desikator dan dinginkan selama 10 menit
sehingga suhunya sama dengan suhu ruang kemudian timbang (W2);
5. Lakukan pekerjaan c) dan d) hingga diperoleh bobot tetap; dan
Hitung kadar air dan bahan menguap dalam contoh.
Perhitungan
W 1−W 2
×100 %
Kadar air dan bahan menguap (%) = W1
Keterangan:
W1 = adalah bobot petridiks dinyatakan dalam gram (g);
W2 = adalah bobot petridik dinyatakan dalam gram (g).
Ketelitian
Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 10 % dari nilai rata-rata hasil
kadar air dan bahan menguap. Jika kisaran lebih besar dari 10 %, maka
uji harus diulang kembali.
c. Viskositas
Viskositas merupakan ukuran kekentalan fluida yang meyatakan
besar kecilya gesekan didalam fluida. Semakin besar viskositas suatu
fluida maka semakin sulit suatu fluida mengalir dan makin sulit suatu
benda bergerak didalam fluida tersebut. Penentuan viskositas larutan
menggunakan viskometer ostwald, yang mana pada metode ini
dilakukan dengan mengukur waktu alir yang dibutuhkan oleh suatu
cairan pada konsentrasi tertentu untuk mengalir antara dua tanda pada
pipa viskometer. Keunggulan dari metode ini adalah lebih cepat, lebih
mudah, alatnya murah, serta perhitungannya lebih sederhada.
Perhitungan
ŋ=t/v
Keterangan :
ŋ = nilai viskositas
t = waktu
v = volume (ml)

3.7 Diagram Alir Proses

CPO

Pemanasan kotoran

Hasil Pemanasan
Minyak CPO +
Kulit biji mete

(Proses Adsorpsi)

Hasil Adsorpsi

Analisa Karakteristik
Minyak Hasil Adsorpsi

Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Pemurnian Minyak Jelantah


Variabel tetap :
Massa CPO : 100 ml
Variabel berubah
Jenis Adsorben :
Kulit biji mete tanpa aktifasi (gr) : 2, 10
4. Kulit biji mete aktifasi HCl (gr) : 2, 5, 7, 10
5. Kulit biji mete aktifasi H3PO4 (gr) : 2, 5, 7, 10

Anda mungkin juga menyukai

  • Wirausahan Nani
    Wirausahan Nani
    Dokumen15 halaman
    Wirausahan Nani
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Ujian Hasil
    Ujian Hasil
    Dokumen20 halaman
    Ujian Hasil
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • ISI Hasil Edit
    ISI Hasil Edit
    Dokumen53 halaman
    ISI Hasil Edit
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Proposal
    Bab 3 Proposal
    Dokumen6 halaman
    Bab 3 Proposal
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Data Ekspor Impor Etilen Glikol
    Data Ekspor Impor Etilen Glikol
    Dokumen2 halaman
    Data Ekspor Impor Etilen Glikol
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Proposal Penelitian
    Proposal Penelitian
    Dokumen13 halaman
    Proposal Penelitian
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • F09dpr PDF
    F09dpr PDF
    Dokumen115 halaman
    F09dpr PDF
    Satrio Febriansyah
    Belum ada peringkat
  • Aik Absorpsi
    Aik Absorpsi
    Dokumen10 halaman
    Aik Absorpsi
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Tugas Pap Tangki-1
    Tugas Pap Tangki-1
    Dokumen11 halaman
    Tugas Pap Tangki-1
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Cat Tembok
    Cat Tembok
    Dokumen20 halaman
    Cat Tembok
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • ABSORP
    ABSORP
    Dokumen11 halaman
    ABSORP
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Makalah AIK New
    Makalah AIK New
    Dokumen16 halaman
    Makalah AIK New
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Perancangan Alat Proses
    Perancangan Alat Proses
    Dokumen12 halaman
    Perancangan Alat Proses
    Ruriw Indobroker Serang
    Belum ada peringkat
  • Vessel Cap
    Vessel Cap
    Dokumen17 halaman
    Vessel Cap
    Aris Purniawan
    100% (1)
  • Makalah Transportasi
    Makalah Transportasi
    Dokumen25 halaman
    Makalah Transportasi
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • ABSORP
    ABSORP
    Dokumen11 halaman
    ABSORP
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • MAkalah AIK Transportation
    MAkalah AIK Transportation
    Dokumen10 halaman
    MAkalah AIK Transportation
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Ekstraksi Cair-Cair OTK 3 PDF
    Ekstraksi Cair-Cair OTK 3 PDF
    Dokumen88 halaman
    Ekstraksi Cair-Cair OTK 3 PDF
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • AIK Adsorbsi
    AIK Adsorbsi
    Dokumen14 halaman
    AIK Adsorbsi
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • Laporan Dinamika Proses Fix-1
    Laporan Dinamika Proses Fix-1
    Dokumen40 halaman
    Laporan Dinamika Proses Fix-1
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • AIK Adsorbsi
    AIK Adsorbsi
    Dokumen17 halaman
    AIK Adsorbsi
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat
  • AIK Adsorbsi
    AIK Adsorbsi
    Dokumen17 halaman
    AIK Adsorbsi
    Dyand Narcissus OrchidLibra
    Belum ada peringkat