Dahulu kala ada seorang sudagar kaya raya bernama Ki Deksa. Sebagai
orang kaya dia punya banyak kawan yang sering berkunjung. Kawan-
kawan di Deksa ini sering mengajak ki Deksa berjudi. Sebenarnya Ki
Deksa sendiri tidak pernah berjudi dan selalu menolak, tapi kawan-
kawan selalu mengajak sambil sesekali meledek.
Karena risih dan tak tahan ejekan suatu ketika Ki Deksa menerima
ajakan itu. Ternyata Ki Deksa menang dan girang bukan main. Keesokan
harinya Ki Deksa ikut lagi, dan lagi sampai ketagian. Namun akhir-
akhirnya Ki Deksa selalu kalah. Hal itu tidak membuatnya kapok, malah
membuatnya semakin penasaran. tiap kali menerima hasil perdagangan
dari tokonya dia membawa ke tempat perjudian dan lagi-lagi kalah. Rasa
penasarannya semakin bertambah.
Ketika uangnya habis, dia tidak berhenti. Dia masih berharap akan
menang dan membalikkan keadaan. Namun yang diharapkan tak kunjung
didapatkan. Dia terlilit utang yang sangat besar hingga bangkrut.
Setelah harta bendanya habis dan banyak utang, dia baru menyadari
bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Seperti baru kemarin saja dia
menjadi orang kaya, dan sekarang dia mendapati dirinya miskin. Semua
hartanya habis seolah seperti: uyah kecemplung segara.
Ada peribahasa yang artinya mirip dengan paribasan ini. Yakni; Cina
didoli dom.
kang? Biasanya rumah Ki Bekel selalu dijaga ketat oleh Jagabaya dan
anak buahnya. Kok kemarin pas hujan deras itu apa semua penjaganya
pada ngantuk atau gimana. Kebetulan Ki Bekel tertidur pulas karena
siangnya baru mengantar tamu ke kotaraja.”
Si Naya menjawab, “Ya, namanya pencuri itu tidak bodoh. Dia
mengamat-amati saat semua orang lengah. Si Pencuri tampaknya sudah
beberapa hari mengintai dan angon mangsa.”
“Iya kang, tampaknya si pencuri menunggu saat yang tepat untuk
masuk!” Jawab Si Suta.
mandi dia memasak air di kompor gas. Ketika selesai mandi jam sudah
hampir pukul 7. Sodrun langsung lari sambil memakai baju. Akhirnya
sampai juga ke sekolah tepat waktu.
Di tengah waktu mengajar mendadak Sodrun ingat kalau belum
mematikan kompor gas yang menyala. Dia begitu khawatir kalau-kalau
kompor meledak karena airnya habis menguap.
Sepanjang mengajar dia sangat was-was, khawatir sesuatu akan terjadi.
Perasaannya seperti seorang ibu yang: ninggal bocah ana ing waton.
Paribasan ini punya varian lain, yakni; cêcak anguntal kalapa (cicak
hendak mencaplok kelapa), utawi kate pan ngrangsang rêdi, (ayam kate
hendak menyerang gunung). Makna kedua paribasan terakhir ini sama
dengan paribasan di atas.
Pak Durna seorang kaya raya. Dia mempunyai teman yang gemar
menghisap candu, namanya Pak Bondet. Suatu ketika Pak Durna sakit
parah beberapa bulan. Setelah sembuh badanya terasa tidak sekuat dulu.
Gampang lelah dan rasanya lesu.
Pak Bondhet menengok Pak Durna sambil membawa candu. Katanya,
“Mungkin sampeyan perlu mencoca ini sedikit saja. Barangkali lesu dan
lemah badanmu hilang.”
Karena sudah putus asa Pak Durna menurut. Dia coba satu linting candu
seharga seratus ribu. Keesokan harinya tubuhnya terasa segar. Dia
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 20
“Ya Pak, tapi saya sudah merasa berat untuk bertugas. Penyakit encok
saya sering kambuh sekarang ini. Membuat saya tak bisa bekerja dengan
enak. Sakit seluruh badan Pak.” Alasan Pak Drana.
Pak Lurah kemudian menugaskan seorang anak magang untuk
menggantikan tugas Pak Drana sebagai carik. Karena sekarang Pak
Drana tidak bertugas maka tanah lungguhnya diambil oleh Pak Lurah.
Dan Pak Drana hanya diberi sepertiganya saja. Namun Pak Drana
ternyata tidak mau. Dia menuntut dua pertiga tanah lungguh itu sebagai
haknya.
Menanggapi hal itu Pak Lurah hanya tertawa, “Pak Drana ini
bagaimana to? Kan sampeyan sudah bebas tugas dan sebentar lagi
pensiun. Masa masih mengharap lungguh seluas itu? Itu namanya arep
jamure emoh watange! Hahaha..”
Pak Tanta senang sekali dan juga merasa sudah saatnya melupakan
perselisihan mereka. Akhirnya melalui WA si Bambang keduanya sudah
ngobrol ngalor ngidul dan tertawa-tawa.
Bambang berhasil nyambung watang putung.
Puguh adalah orang yang beruntung. Sejak ada proyek jaringan saluran
listrik tengangan ekstra tinggi (sutet) dia mendapat rejeki nomplok.
Setiap tanah yang di atasnya dilewati kabel sutet akan diberi ganti rugi
yang lumayan setiap meternya. Tanah Puguh yang dua hektar tegalan
kering tak produktif itupun mendapat ganti rugi juga. Puguh kaya
mendadak.
Karena lama menjadi orang miskin Puguh gagap dalam membelanjakan
uangnya. Dikiranya uang ganti rugi yang jumlahnya 500 juta itu adalah
uang yang banyak. Dalam sekejab wataknya berubah 180 derajat. Dia
merenovasi rumahnya yang reyot dan mengisi dengan perabot yang
mewah. Lemari bagus dia pesan dari perajin mebel di Mireng di bengkel
Milik Pak Khusen. Bufet, meja tamu, meja makan lengkap dan lemari
dhapur yang mewah.
“Semua pakai kayu jati kelas satu ya!” jelas Puguh.
Pak Khusen hanya manthuk-manthuk, sambil membatin, “Wah Puguh ini
kok sekarang anggajah elar!”
mengundurkan diri dari jabatan menteri besar. Namun jeruji besi segera
menantinya sebagai buah dari kecurangannya.
lapangan bola volli. Dan yang sungguh mengiurkan, istrinya tiga, cantik-
cantik pula.
Walau begitu tak banyak yang tahu kalau dahulu hidupnya susah dan
sengsara. Ibarat mau bernapas saja tak ada udara yang mau masuk
hidungnya. Semua menjauhinya, baik sanak saudara atau kawan
sepermainan.
Semua diawali ketika orang tuanya dijebloskan ke penjara oleh KPK.
Harta benda disita dan keluarganya dimiskinkan. Dia bersama ibunya
dan adik-adik harus menempati sepetak kios di pasar sapi yang hanya
muat untuk tidur dua orang. Untuk bertahan hidup ibunya membuat
pisang goreng, dan Sutrim menjadi kuli di pasar, kadang menjual rumput
di hari pasaran. Karena setiap hari mengenal sapi dia menjadi hapal
mana sapi baik atau buruk. Dia kemudian mendapat upah untuk saran-
saran kepada pembeli sapi. Seorang sudagar kemudian merekrutnya
sebagai kepala anak kandang di peternakannya.
Anak saudagar itu rupanya menaruh hati kepada Sutrim yang pekerja
keras itu. Namun ada banyak pemuda yang mengincar anak gadis
saudagar. Mereka menfitnah Sutrim mencuri sapi sang saudagar.
Akhirnya Sutrim dipecat dan harus hengkang dari peternakan. Nasib
Sutrim sungguh malang karena dia ditolak pula di pasar sapi, tempat dia
mencari maka selama ini. Dia kemudian merantau ke kota dan menjadi
tukang tambal ban.
Dasar Sutrim anak berbakat bengkel tambal bannya ramai sekali. Ini pun
mengundang rasa cemburu tukang tambal ban lain sehingga beramai-
ramai mengusir Sutrim. Nasib Sutrim sungguh malang. Celaka selalu
menghampirinya. Nasibnya; ketula-tula katali.
Lalu bagaimana bisa dia menjadi kaya? Yang sabar to. Ini kan baru
membahas tentang katula-tula katali.
itu. Tapi makin hari fisiknya makin parah. Bosnya mengetahui kalau dia
seorang pemadat. Dia dipecat.
Kini dia hidup dari sisa tabungan yang semula akan dikirim ke desa.
Namun esok pagi tabungan itu sudah habis. Dia bingung harus mencari
uang kemana lagi. Sedang bekerja pun sekarang dia tak mampu. Tiap
hari tubuhnya sakau dan harus dipenuhi. Dia bingung untuk memikirkan
itu semua.
Pikirannya mulai tidak waras. Dia tak bisa berpikir jernih lagi. Hanya
tinggal satu jalan keluarnya. Mencuri! Dia harus melakukan itu
sekarang. Kalau tidak tubuhnya akan menggigil esok pagi.
Maka dia ke pasar sapi dekat terminal. Seorang bapak tani yang baru
saja menjual sapi menjadi kurban pertamanya. Tas besar wadah uang
yang dibawanya koyak oleh silet Burhan. Burhan telah masuk ke dalam
golongan pencopet. Ibarat pepatah ilang jarake kari jaile.
siang dan malam. Gadis itu bernama Siti Zulaikha, anak Kyai Kasan
Besari dari tembayat. Tentiu saja Pak Broto tidak keberatan, wong
anaknya cantik dan shalihah kok. Calon besannya juga pintar mengaji.
Wis pokoke mantu ideal.
Maka Pak Broto menyerahkan salah satu los tembakaunya supaya
dikelola Gareng. Maksudnya agar si Gareng ini mandiri dan punya
penghasilan.
“Reng los tembakau yang di Bayat itu kau kelola ya. Ada tanaman 40
hektar di sana!”
“Ogah Pak!” kata Gareng singkat.
“Lho bagaimana to. Itu buat bekal kamu kalau kawin sama Zulaikhah
tahun depan. Apa kamu mau menunda lagi? Bapak tidak akan
melamarkan kalau kamu tak bisa cari uang sendiri!”
Gareng kaget, kok bapaknya tahu. Secepat kilat dia bangkit
meninggalkan video gamenya.
“Kapan Pak saya berangkat ke Bayat?”
“Wah kamu Reng, kalau sudah ada maunya, ibarat rindhik asu ginitik!
Tanpa disuruh langsung jalan! Hahahah...
Boko paling 200 meter saja, terus melalu jalur tikus lagi di Berbah.
Aman wis pokoke.
Baru saja mau masuk jalan besar 50 ke depan meter mendadak Lontong
mengerem motor. Indah kaget dan menubruk Lontong. “Adhuh!” Pekik
Lontong ketika kuku Indah mencubit pahanya.
“Nakal kamu! Sengaja ya?” Teriak Indah.
“Bu..bukan! Itu di depan ada razia. Wah kita nggak bisa balik lagi!”
Wah kena mereka berdua. Maksud hati bersembunyi di jalan tikus malah
begitu keluar pas kena razia. Ibarat singidan nemu macan. Apes!
Namun kedua orang tua Karin harus menelan pil pahit ketika tiga tahun
kemudian mendapati anaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Karin pulang
dengan rambut terurai berwarna blonde, sepati hak tinggi selutut,
memakai rok mini dan aduhai bajunya pun tak berlengan.
Para sanak saudara dan tetangga pun kaget bukan kepalang. Mereka
berbisik-bisik, “Lihat tuh si Karin jadi kayak gitu! Dia ibarat mrucut
saka gendhongan!”
Dr. Durjo dan Dr. Durmo adalah kolega satu kantor. Sama-sama
memegang mata kuliah teknik Pondasi. Keduanya seringkali terlihat
bersama-sama, juga seringkali membimbing mahasiswa bersama-sama.
Yang tak banyak diketahui orang, keduanya sebenarnya saling bersaing
dan selalu ingin menjadi yang nomer satu. Saling ingin mengalahkan dan
tak mau dikalahkan di antara keduanya.
Jika sudah demikian yang pusing adalah mahasiswa yang menjalani
bimbingannya. Karena dosen pembimbing harus dua dan salah satunya
menjadi asisten maka seringkali menjadi problem tersendiri, seperti yang
dialami Paijo, mahasiswa yang mengambil tugas akhir penelitian daya
dukung tanah gambut.
Semula dari ketua jurusan mengarahkan agar Dr. Durjo yang menjadi
pembimbing dan Dr. Durmo yang menjadi asisten pembimbing. Namun
Dr Durmo tidak mau. masalah dapat diatasi dengan menulis keduanya
sebagai dosen pembimbing saja tanpa embel-embel asisten.
Namun masalah kembali timbul ketika kedua nama harus dituliskan urut.
Semula Dr. Durjo ditulis duluan dan Dr. Durmo ditulis belakangan.
Namun lagi-lagi Dr Durmo tidak mau.
“Itu sama saja menomor duakan saya!” kata Dr. Durmo.
Persoalan itu diatasi dengan menuliskan nama keduanya sejajar, dengan
demikian harus ditulis atas dan bawa dalam tanda kurung. Lagi-lagi
keduanya minta ditulis di atas.
“Sama saja dik, kalau ditulis di bawah berarti menomorduakan juga.
Maaf dik saya tak mau!”
Paijo akhirnya mundur, memilih ganti dosen. Dia meninggalkan kantor
keduanya sambil berguman, “Dosen wis tuwa-tuwa kok isih kaya asu
rebutan balung. Kakrekane tenan!”
Begitulah celetukan orang melihat kakek tua, lumpuh, bisu dan kayaknya
juga tuli itu.
Namun mereka sungguh terkejut ketika si kakek tua itu tiba-tiba sakit.
Terkejutnya bukan karena sakitnya. Sakitnya sih biasa saja, hanya sedikit
terlambat ditangani. Maka perlu dibawa ke RS untuk mondok beberapa
hari. Yang membuat terkejut adalah ketika orang-orang telah bersiap
urunan untuk membayar biaya RS. Mereka terkejut ketika si kakek itu ke
RS dengan tetap memegang tas bututnya, seolah tak mau berpisah
dengannya. Orang-orang menjadi penasaran dan kemudian berhasil
memisahkan kakek dari tasnya. Mereka terbelalak ketika melihat isinya:
uang kertas seratus ribuan yang diikat dengan karet yang setelah
dihitung berjumlah 150 juta. Alamak! Si kakek ini sudah punya segitu
banyak kok masih menggelandang di jalan hidup dengan cara orang
fakir.
Ibaratnya asu belang kalung wang.
Sudah dua kali dia tidak naik kelas. Dan kalau sampai tidak naik lagi
alamat bakal DO. Dia tak ingin itu terjadi. Malu lah kepada orang di
kampung halaman.
Di tengah lamunan, tiba-tiba pak Kepsek memanggil, “Muk besok kamu
piket di kantor. Ini kuncinya. Petugas kebersihan tidak masuk karena
sakit. Kamu yang menggantikan! Siap?”
“Siap!” Jawab Gemuk mantap. Ini kan ibarat ati bengkong oleh oncong.
Batin Gemuk sambil menimang-nimang kunci ruang Kepsek. Bajigur
tenan kowe Muk!
Mengetahui hal itu Poni tak terima, kemudian dia minta cerai dan keluar
dari group lawak.
Rumah tangga Pole dan Inem tidak langgeng karena Inem kepergok juga
menyukai Paimo, yang sering memerankan drakula. Pole dan Inem
akhirnya bercerai juga.
Pole kini sendiri lagi dan merasa kesepian. Tiba-tiba kenangan bersama
Poni hadir di pelupuk mata. Bagaimana mereka berdua dulu bersusah
payah merintis jalan menuju sukses. Pole menyesal dan ingin kembali.
Namun apa jawaban Poni?
“Tidak bisa mas. Hatiku terlanjur luka. Sudahlah kita lebih baik
berteman saja. Toh kita takkan mampu mengulang semua keindahan
yang telah lalu. Ibarat beras wutah arang mulih marang takere, begitu
pula cinta kita yang terlanjur tumpah, takkan mampu kembali ke hati kita
masing-masing.”
Puitis ya jawaban Poni. Sayang Pole malah mewek mendengarnya..
rumah tak kunjung cair. Sudah seminggu ini dia mondar-mandir mencari
pembeli sawah depan rumah yang menjanjikan komisi 75 juta. Namun
hasilnya nihil.
“Orangnya ke Belanda mas!” Kata satpam rumahnya.
“Lha kapan pulangnya?” Tanya Kancil.
“Mungking nanti kalau lebaran kuda.” Kata satpam.
Aduh, kasihan Pak Kancil, seminggu uangnya hilang kalau lebaran kuda
tak jadi ada. Kemana lagi dia harus mengejar orang itu, serba gelap
seperti memburu kidang mlayu.
Mbok Dariyah hanya punya satu anak, itupun sudah besar. Maka dia
girang bukan main ketika adiknya hendak menitipkan anaknya untuk
tinggal bersama Mbok Dariyah.
“Wah itung-itung jadi anak perempuanku yang bungsu.” Begitu pikirnya.
Maka Mbok Dariyah begitu sayang dengan keponakannya. Disekolahkan
di TK favorit yang pulangnya jam 3 sore. Diberi pakaian yang bagus-
bagus. Pokoknya diistimewakan layaknya seorang yang lama tak punya
anak. Maklum memang Mbok Dariyah sudah lama tidak merawat anak,
anaknya sendiri sudah bekerja dan jarang pulang.
Maka ketika ada anak kecil sayangnya bukan main. Ibaratnya
kemanapun selalu dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk.
Dul yang jumlahnya 1000 ekor itu. Kini Mbah Dul tidak kuat lagi untuk
mengelolanya.
Yang menjadi keinginannya adalah anak-anaknya yang berjumlah empat
orang laki-laki gagah itu mau menggantikan dirinya untuk mengurus
bebek-bebek itu. Menggembalakan bila musim panen tiba. Agar bebek itu
tetap kecukupan nutrinya. Toh selama ini telur-telur bebek itu juga
sampai ke dapur masing-masing anak.
Ketika telah berkumpul semua, putra tertua Makdum mempunyai usulan
yang katanya cemerlang.
“Bapak kan sudah tidak mampu mengembalakan bebek-bebek itu. Jadi
sebaiknya dijual saja semuanya. Beres kan?”
Tentu saja Mbah Dul marah besar. Bukan itu solusi yang diinginkan.
Katanya,”Kalian ini saya undang ke sini untuk menggantikanku
mengembala. Silakan atur sendiri giliran kalian. Bukan malah menyuruh
menjual bebek-bebek. Kalian ini bagaimana, dudu berase kok
ditempurke. Kurang ajar kalian!”
“Dan jangan membuat repot saya lgi nanti ya?” kata kakak Sukro.
“Ah saya tak membuat repot, buktinya kini kita punya motor baru,
yakan?” Jawab Sukro.
Sang kakak meninju kepalanya, “Dasar tak tahu di untung. Tapi kok iya
kamu malah beruntung ya. Hem..benar-benar gemblung jinurung edan
kawarisan.”
Itulah Sukro yang edan kuwarisan, tapi jangan ditiru ya sobat, kerja
dong kalau mau bonceng cewek. Lebih bagus lagi kalau dihalalin dulu
gih...
saudara, guci ini milik negara dan harus kita serahkan. Lhah kita
berharap saja negara mau mengganti jerih payah kita ini dengan
memberi ganti yang pantas. Setuju saudara?”
“Setujuuuu...” Serentak mereka menjawab.
Petugas dari dinas purbakala kemudian membuka guci itu dengan hati-
hati. orang-orang berdebar-debar menantikan sambil saling ribut.
“Pasti emas!” kata seseorang.
“Bukan, pasti batu permata simbol negara!”
“Jelas bukan cuk! Paling isinya kelereng!” timpal yang lain. Gerr,
semua tertawa.
Akhirnya guci berhasil dibukan setelah segel kayu berhasil dicopot. Pak
Purbakala melongok isi guci dan tertawa.
“Saudara, guci ini isinya beras dari zaman kuno. Tampak masih bagus
bulir-bulirnya. Luar biasa! Ini penemuan arkeolgi yang langka. Jangan
khawatir saudara, negara akan mengganti penemuan ini dengan harga
seratus kali lipat. Yang berarti satu kuintal gabah kering giling. Besok
bisa diambil di gudang Bulog terdekat!”
Orang-orang tak dapat menahan tawa. Sementara delapan belas pemuda
gotot tiba-tiba menjadi lunglai. Usaha kerasnya sejak pagi seolah hanya
nggepuk kemiri kopong.
“Iya pak. Sesuai ukuran kamar tamu. Jadi harus pesan ini Pak. Tak ada
di toko.” Jawab Rudi.
“Oh pesan ini ya? Mengapa tidak minta warna yang bagus pak kalau
pesan. Sayang ini Pak. Coba kalau warnanya agak sedikit gelap. Cocok
Pak untuk mebel ruang tamu itu.”
Pak Rudi memperhatikan dengan seksama dan mengangguk-angguk.
“Kok iya to. Wah ini gak cocok kalau di kamar tamu.”
“Betul kan Pak kata saya?” kata penupang mobil sedan itu, yang
ternyata pegawai Bank Plecit Rakyat.
Akhirnya Pak Rudi menyuruh membawa mebel itu kembali untuk dicat
ulang. Pak Khusen geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Gagal
bayaran dah! Sambil ngeloyor dia mendenkati pegawai bank dan
berkata, “Sampeyan itu tega nampel puluk. Saya hampir bayaran lho,
jadi gagal. Sialan sampeyan!”
Ada-ada saja mereka itu. Namun memang ayah Juan Jin, Baba Juan tak
ambil pusing.
“Sudahlah, kau jualan saja. Rugi pun tak apa. Yang penting kau tahu
caranya jualan.”
Apa yang dilakukan Juan Jin dan saudara-saudaranya memang
membuahkan hasil. Ketika dewasa mereka semua menjadi pengusaha
sukses. Semua dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada orang
tuanya. Di masa tuanya Baba Juan malah mewakafkan sebagian
hartanya untuk kepentingan umum. Semua anaknya sudah bisa
menjalankan prinsip hidup opor bebek mateng awak dhewek, berdikari
sampai mandiri dengan usaha sendiri.
Salut Baba Juan.
Bobby Leach dan tong yang dia pakai untuk mengarungi sungai-sungai
(Sumber: nationalgeographic.grid.id)
tombol digital itu, tersebarlah apa yang baru saja dibaca ke seluruh
penjuru jejaring sosial yang bersangkutan.
Banyak orang yang tidak peduli lagi, apakah berita yang di-share tadi
benar atau tidak. Mereka menganggap remeh validitas sebuah berita.
Toh kalau tidak benar juga berita baik akan menginspirasi, begitu pikir
mereka. Orang-orang ini telah meremehkan kenyataan bahwa jika berita
itu tidak benar maka itu berarti sebuah kebohongan.
Namun sejatinya perilaku demikian sudah dilakukan oleh orang-orang
sejak zaman dahulu. Oleh karena itu para leluhur mengingatkan agar
kita tidak melakukan hal tersebut. Mereka mempunyai ungkapan untuk
menggambarkan hal tersebut, yakni aja sok kulak warta adol
pangrungon.
“Oh ya nak!”
Malam harinya Dul Kempul ditemani Dul Robot kembali untuk
mengambil tas itu. Masih utuh. Tapi isinya kok...tinggal 800.000? lha
lainnya kemana? Waduh, pasti si bapak itu tadi!
Dul Robot yang menyertai Dul Kempul tertawa, “Bodoh kamu Pul, orang
tidak tahu kok kamu kasih tahu. Ibarat kuping budheg dikoroki. Tentu
saja dia penasaran. Tapi mending kau masih kebagian Pul. Hahaha...”
Lha iyo to, kuping budheg kok dikoroki. Salahmu dhewe Dul...