Anda di halaman 1dari 77

SERI KAJIAN SASTRA KLASIK

100 Paribasan Jawa

Simpul-Simpul Kearifan Lokal Budaya Jawa

Disajikan Dalam Bahasa Indonesia Oleh:


BAMBANG KHUSEN AL MARIE
2018
Kata Pengantar
Paribasan, Simpul Kearifan Lokal Budaya Jawa

Peribahasa atau pepatah adalah butir-butir kearifan yang dihasilkan sebuah


peradaban tertentu. Setiap bangsa di dunia ini mengenal peribahasa dan
menggunanakannya sebagai alat komunikasi yang efektif dan efisien.
Efektif karena dengan peribahasa makna sesuatu dapat disampaikan
dengan jelas karena umumnya orang sudah sama-sama tahu apa
maknanya. Efisien karena dengan mengungkap satu peribahasa makna
yang luas telah berhasil disampaikan, tanpa harus memberi penjelasan
yang panjang lebar.
Dalam budaya Jawa peribahasa dikenal dengan nama paribasan. Ada
banyak paribasan dalam bahasa Jawa dalam berbagai bentuk dan varian,
antara lain bebasan dan saloka. Namun kita tidak perlu terlalu
membedakannya sekarang. Kali ini kita akan membahas masalah
paribasan ini satu persatu agar makna yang dikandung dapat dimengerti
oleh generasi muda yang sudah tidak begitu paham bahasa Jawa. Dalam
setiap paribasan akan diberi arti harfiahnya, makna yang dikandungnya
serta contoh keadaan yang digambarkan dalam paribasan itu. Contoh-
contoh tersebut dimaksud agar membantu memahami makna paribasan
dengan lebih akurat.
Selamat membaca.
DAFTAR ISI
1. Bocah wingi sore 1
2. Amburu udhèt kelangan wêlut 1
3. Ula marani gitik 2
4. Uyah kêcêmplung ing sagara 2
5. Wêlut didoli udhèt 3
6. Ambuwang rase nêmu kuwuk 4
7. Kêpatèn obor 4
8. Anggênthong umos 5
9. Kêmladheyan ngajak sêmpal 5
10. Cindhil ngadu gajah 6
11. Kacang môngsa ninggala lanjaran 7
12. Awor sambu 7
13. Kalah cacak mênang cacak 8
14. Ambanyu mili 8
15. Sadawan-dawane lurung isih dawa gurung 9
16. Calak ora pacak 10
17. Angon môngsa 10
18. Ora ngubêngake jôntra, têka kêdhayohan wong edan 11
29. Kakèhan galudhuk kurang udan 12
20. Kêriga têkan cindhile abang 12
21. Kêrig lampit 13
22. Kêbo nusu gudèl 13
23. Kere munggah ing bale 14
24. Ninggal bocah ana ing waton 14
25. Nututi layangan pêdhot 15
26. Kurung munggah lumbung 15
27. Sulung malêbu ing gêni 16
28. Alingan wêkasan ngaton 17
29. Uthik-uthik macan dhedhe 17
30. Lêbak ilining banyu 18
31. Cebol anggayuh lintang 19
32. Kêplok ora tombok 19
33. Maling sandi 20
34. Arêp jamure êmoh watange 20
35. Nyambung watang putung 21
36. Numbak tuna matang putung 22
37. Baladewa ilang gapite 22
38. Ambondhan tanpa ratu 23
39. Anggajah êlar 23
40. Kêri tanpa pinêcut 24
41. Rupak jagade 25
42. Ana catur mungkur 25
43. Iwak kalêbu ing wuwu 26
44. Katula-tula katali 26
45. Ilang jarake kari jaile 27
46. Wadhuk bêruk 28
47. Ngêtutake poncoting tapih 29
48. Rindhik asu ginitik 29
49. Emprit abuntut bedhug 30
50. Gajah ngidak rapah 31
51. Asu gedhe menang kerahe 31
52. Kaya klinthing disampar kucing 32
53. Macan guguh 33
54. Kekudhung walulang macan 33
55. Singidan nemu macan 34
56. Sadumuk bathuk sanyari bumi 35
57. Mrucut saka gendhongan 35
58. Cincing-cincing klebus 36
59. Asu arebut balung 36
60. Asu belang kalung wang 37
61. Abang-abang lambe 38
62. Adol lenga kari busik 39
63. Ancik-ancik pucuking eri 39
64. Angin silem ing warih 40
65. Angin ulat umbar tangan 40
66. Anak molah bapa kepradah 41
67. Asor kilang munggwing gelas 42
68. Ati bengkon oleh oncong 42
69. Buyung lokak isine kocak-kocak 43
70. Barung sinang 44
71. Beras wutah arang mulih marang takere 44
72. Mburu kidang lumayu 45
73. Ciri wanci lelai ginawa mati 46
74. Dahwen ati open 47
75. dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk 47
76. Dolanan ula mandi 48
77. Dudu berase ditempurake 48
78. Durung cundhuk acandhak 49
79. Gemblung jinurung edan kawarisan 50
80. Nggepukkemiri kopong 51
81. Nampel Puluk 52
82. Opor bebek mateng awak dhewek 53
83. Suku jaja teken janggut 54
84. Njajah desa milang kori 55
85. Jabung alus 55
86. Kebak sundukane 57
87. Kasandhung ing rata, kabentus ing tawang 58
88. Karubuhan gunung menyan 59
89. Kandhang langit kemul mega 60
90. Cerak Kebo gupak 61
91. Keduwung nguntal wedhung 62
92. Kerot ora duwe untu 63
93. Kulak warta adol pangrungon 63
94. Kuping budheg dikoroki 64
95. Mecel manuk miber 65
96. Nglungguhi klasa gumelar 67
97. Wastra lungset ing sampiran 67
98. Midak telek ora penyek 68
99. Nabok nyilih tangan 69
100. Nggered ori saka pucuk 70
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 1

Paribasan (1): Bocah wingi sore


Arti harfiahnya adalah anak kemarin sore, maknanya anak atau orang yang
masih muda sehingga belum banyak pengalaman atau pengetahuan.
Ketika Lebaran Badrun sekeluarga mudik ke desa. Di desa dia
bersilaturahmi dengan banyak kerabat dan teman-teman. Salah seorang
kerabat, Pakdhe Sutajaya, sangat terharu atas kedatangan Badrun
sekeluarga. Pakdhe Sutajaya memeluk Badrun sambil menangis.
Anak Badrun yang paling besar, Toyib, sangat heran dengan kelakuan
Pakdhe Sutajaya. Dia kemudian bertanya kepada bapaknya, “Pak itu
siapa orang tua yang sudah pikun kok memeluk bapak sambil
menangis?”
Badrun menjawab, “Itu kakek Sutajaya, Pakdhe dari bapakmu ini. Beliau
itu orang yang memelihara bapak sejak kecik sebelum bapak merantau ke
Jakarta!”
Si Thoyib terheran-heran, “Kok aku tidak pernah tahu?”
Jawab si Badrun, “Lha iya, wong kamu kan bocah wingi sore!”

Paribasan (2): Amburu udhèt kelangan wêlut


Arti harfiahnya adalah mengejar udhet kehilangan belut. Udhet adalah
belut kecil. Makna paribasan ini adalah mengejar sesuatu yang kurang
berharga tetapi malah menjadi kehilangan sesuatu yang lebih berharga.
Versi lain paribasan ini adalah: Mburu uceng kelangan dheleg. Uceng
adalah ikan yang sangat kecil yang sebenarnya tak patut menjadi lauk-
pauk, dheleg adalah ikan yang besar, yang cukup pantas untuk dimasak.
Makna dua paribasan tersebut sama.
Ki Ramu sudah seharian ini berburu rusa di hutan. Rusak gemuk berhasil
dia tembak dengan panahnya. Dia bermaksud pulang, dengan menyusuri
jalanan setapak di hutan. Tubuh rusa yang lumayan besar itu dia
panggul di pundaknya yang kekar. Hasil buruan yang lumayan untuk
cadangan lauk-pauk makan seminggu ini.
Di tengah jalan setapak itu mendadak Ki Ramu melihat seekor kelinci
besar menyeberang. Kelinci gemuk itu tampak menggoda. Ki Ramu
berpikir, “Wah lumayan juga itu kelinci buat nambah lauk-pauk!”
Akhirnya Ki Ramu mengejar kelinci itu. Rusa yang pingsan akibat anak
panah Ki Ramu digeletakkan di pinggir jalan setapak. Ki Ramu memburu
kelinci masuk ke hutan. Tetepi ternyata kelinci itu sangat gesit. Berlari
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 2

amat cepat sehingga Ki Ramu kehilangan jejak. Dengan masygul Ki


Ramu kembali. Namun dia kaget ketika mendapati rusanya telah hilang
entah kemana.
Ki Ramu hanya bisa menyesali perbuatannya sambil bergumam, “Wah,
mburu udhet kelangan welut!”

Paribasan (3): Ula marani gitik


Arti harfiahnya adalah ular mendekati pemukul. Maknanya orang yang
mendekati marabahaya bagi dirinya.
Suatu pagi Mas Jono membuka toko kelontongnya dengan lunglai.
Semalam dia kehilangan harta benda berupa sekotak perhiasan.
Pikirannya sungguh kacau sehingga dia terlambat datang ke toko. Sudah
banyak antrian pembeli yang hendak berbelanja.
Setelah selesai melayani pembeli Mas Jono duduk-duduk di teras
tokonya. Seseorang datang dengan tergesa-gesa ke toko Mas Jono.
“Ada apa mas? Kok tampak buru-buru?” tanya Mas Jono.
Orang tersebut menjawab, “Saya mau menukarkan emas. Boleh ditukar
dengan uang atau beras Pak. Murah Pak. Cukup ditukar dengan uang
lima juta atau satu ton beras juga boleh!”
Mas Jono meminta orang tersebut menunjukkan emas yang dimaksud.
Orang tersebut kemudian mengeluarkan kotak perhiasan. Mas Jono
kaget karena kotak itu adalah kotak perhiasannya yang hilang semalam.
Mas Jono menyetujui untuk membayar emas tersebut. Dengan alasan
akan mengambil uang di bank, Mas Jono mengajak orang tersebut
bersamanya. Berangkatlah keduanya membonceng mobil Mas Jono. Di
tengah jalan Mas Jono berbelok ke kantor polisi. Dia kemudian turun
dan menyerahkan si pencuri berserta barang buktinya untuk diproses
hukum.
Kepala Polisi tertawa dan berkata, “Wah Pak Pencuri, sampeyan ki kaya
ula marani gitik, hahaha...”

Paribasan (4): Uyah kêcêmplung ing sagara


Arti harfiahnya adalah garam tercebur ke lautan. Maknanya sesuatu yang
hilang tanpa disadari, seperti hilangnya bongkah garam yang tercebur ke
laut. Baru saja tercebur ketika dicari sudah larut dalam lautan.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 3

Dahulu kala ada seorang sudagar kaya raya bernama Ki Deksa. Sebagai
orang kaya dia punya banyak kawan yang sering berkunjung. Kawan-
kawan di Deksa ini sering mengajak ki Deksa berjudi. Sebenarnya Ki
Deksa sendiri tidak pernah berjudi dan selalu menolak, tapi kawan-
kawan selalu mengajak sambil sesekali meledek.
Karena risih dan tak tahan ejekan suatu ketika Ki Deksa menerima
ajakan itu. Ternyata Ki Deksa menang dan girang bukan main. Keesokan
harinya Ki Deksa ikut lagi, dan lagi sampai ketagian. Namun akhir-
akhirnya Ki Deksa selalu kalah. Hal itu tidak membuatnya kapok, malah
membuatnya semakin penasaran. tiap kali menerima hasil perdagangan
dari tokonya dia membawa ke tempat perjudian dan lagi-lagi kalah. Rasa
penasarannya semakin bertambah.
Ketika uangnya habis, dia tidak berhenti. Dia masih berharap akan
menang dan membalikkan keadaan. Namun yang diharapkan tak kunjung
didapatkan. Dia terlilit utang yang sangat besar hingga bangkrut.
Setelah harta bendanya habis dan banyak utang, dia baru menyadari
bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Seperti baru kemarin saja dia
menjadi orang kaya, dan sekarang dia mendapati dirinya miskin. Semua
hartanya habis seolah seperti: uyah kecemplung segara.

Paribasan (5): Wêlut didoli udhèt


Arti harfiahnya adalah belut hendak ditukar udhet. Udhet adalah sejenis
belut kecil. Maknanya barang yang bernilai tinggi hendak dihargai murah.
Bu Sura Klumpuk mempunyai piutang kepada seoran tetangganya
sejumlah lima ratus ribu rupiah. Karena sudah lama tak kunjung disaur
Bu Sura Klumpuk bermaksud menagih hutang itu. Dia merancang cara
agar di tetangga tidak tersinggung. Maka dia berpura-pura untuk
meminjam kalung emas milik tetangganya itu.
Berkatalah kepada si tetangga, “Tante, saya besok mau jagong ke acara
pernikahan di Solo. Tapi saya tidak punya perhiasan yang pantas untuk
dipakai. Jika berkenan bolehkah aku meminjam kalungmu?”
Si tetangga menjawab, “Aduh Budhe, kebetulan kalung emas saya itu
sedang saya gadaikan. Jadi mohon maaf tidak bisa saya pinjamkan. Maaf
ya Budhe.”
Bu Sura Klumpuk pulang dengan hati masygul karena maksunya tak
kesampaian.
Sementara si tentangga menggerutu, “Orang kok licik betul. Masa
hutang lima ratus ribu saja mau minta kalung emas yang harganya
jutaan. Itu sama dengan: welut didoli udhet!”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 4

Ada peribahasa yang artinya mirip dengan paribasan ini. Yakni; Cina
didoli dom.

Paribasan (6): Ambuwang rase nêmu kuwuk


Arti harfiahnya adalah membuang luwak kembang, dan menemukan
kucing kudisan. Maknanya; menukar hal yang kurang baik untuk
mendapat yang lebih baik, tetapi malah menemui hal yang lebih buruk.
Pak Krama punya istri yang cantik, tapi sayang dia punya kekurangan
yang sangat menganggu, pemalas bukan main. Segala pekerjaan rumah
terbengkelai, melayani suami pun tak becus. Akibatnya rumah menjadi
berantakan, dan Pak Krama sering uring-uringan.
Karena sudah tak tahan lagi Pak Krama menceraikan istrinya itu dan
segera mencari ganti. dia sudah trauma dengan istrinya yang cantik tapi
pemalas. Maka dia menerima apa adanya istri barunya yang tak terlalu
cantik tapi kelihatan gesit dan cekatan.
Sekarang sebagai pengantin baru Pak Karta merasa bahagia karena
impiannya terwujud. Namun selang tiga bulan kemudian watak istri
barunya mulai nampak. Ternyata dia juga tak jauh beda dengan istri
pertamanya, tak pandai mengurus rumah tangga. Urusan banyak yang
tak beres, bahkan sering kali membantah kalau diingatkan. Yang lebih
menyakitkan, istrinya sering ngutang ke tetangga tanpa izin suaminya.
Sering kali Pak Krama menanggung malu karena ditagih.
Para tetangga sangat kasihan dengan Pak Krama, mereka berujar, “Pak
Krama ini ingin ganti istri yang lebih baik malah dapat istri yang lebih
jelek. Ibaratnya: membuang rase nemu kuwuk!”

Paribasan (7): Kêpatèn obor


Arti harfiahnya adalah terlanjur mati obornya. Maknanya sudah tidak bisa
melacak jejak sanak atau saudara yang hilang.
Pak Kerta lan Pak Karta saudara kembar yang hidup di tahun 1800an.
Di jaman itu ada angkatan pekerja ke Suriname. Pak Kerta ikut dalam
rombongan yang dikirim ke Suriname itu. Di sana Pak Kerta menetap
dan berkeluarga, beranak pinak sampai cucu-cucunya. Setelah merdeka
salah seorang cucu bernama Kramayuda bermaksud melacak leluhurnya
di tanah Jawa. Dia kemudian pergi ke Banyumas, wilayah asal Pak
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 5

Kerta. Di sana dia bertanya-tanya kepada orang-orang, tetapi tak


satupun yang mengenal anak keturunan Pak Karta.
Salah seorang pinisepuh, mengatakan kalau tetangganya dulu memang
pernah berkata bahwa ayahnya punya saudara yang pergi ke Suriname
dan tidak pulang-pulang. Namun pinisepuh tadi juga sudah lupa apakah
ayah dari tetangganya tersebut bernama Pak Karta. Si tetangga itu
sudah meninggal. Anaknya kemudian merantau ke Sumatera dan juga
sudah tidak pernah pulang-pulang lagi. Alamatnya pun tak diketahui
lagi.
Pinisepuh tadi berkata, “Nak, aku pun tak yakin kalau tetangga saya itu
adalah orang yang kau maksud. Jadi engkau sudah kepaten obor
sekarang.”

Paribasan (8) Anggênthong umos


Arti harafiahnya adalah genthong bocor. Genthong adalah tempat wadah
air, umos adalah porus atau rembes sehingga airnya keluar perlahan-lahan.
Makna paribasan ini adalah orang yang tidak dapat menjaga harta
bendanya sehingga habis tak berbekas.
Mboh Dhadhap adalah janda satu anak yang sudah lama ditinggal mati
suaminya. Karena tinggal hidup dengan anak semata wayang dia sangat
mengasihi anaknya itu. Rasa kasih sayangnya membuat dia
memaanjakan anaknya itu. Akibatnya anaknya menjadi boros dan banyak
keinginan.
Setelah tua Mbok Dhadhap menyerahkan sebagian harta kekayaan
peninggalan suaminya untuk dikelola anak gadisnya itu. Dengan maksud
agar si anak mandiri. Namun karena sejak kecil sudah berlaku boros,
harta yang dikelolanya tak kunjung bertambah. Bahkan sedikit demi
sedikit harta itu habis.
Mbok Dhadhap kecewa dan menahan sisa harta yang masih ada
padanya. Dia berkata kesal, “Sekarang engkau jangan pegang harta
lagi. Engkau ini seperti genthong umos!”

Paribasan (9): Kêmladheyan ngajak sêmpal


Arti harafiahnya adalah benalu membuat patah. Kemladheyan adalah
sejenis benalu yang menempek pada batang induk. Lama-lama
kemladheyan ini bisa tumbuh besar melebihi cabang yang ditempeli,
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 6

sehingga akhirnya patah. Maksudnya adalah menolong orang lain tetapi


malah menimbulkan celaka.
Ada seorang kaya namanya Pak Sada yang tiba-tiba kedatangan teman
lamanya Durmuka. Si Durmuka mengatakan kalau sedang kesulitan,
menganggur tidak bekerja dan tidak punya uang lagi. Pak Sada
bermaksud menolong dengan mengangkat temanya tadi untuk menjadi
manajer di salah satu cabang tokonya yang baru dibuka di daerah lain.
Setelah beberapa bulan diketahui kalau laporan keuangan toko baru
tersebut jeblok. Toko menderita kerugian terus menerus. Pak Sada
kemudian memeriksa pembukuan secara teliti. Ternyata teman lamanya,
si Durmuka terbukti korupsi.
Pak Sada kemudian melaporkan Durmuka ke pihak berwajib. Setelah
Durmuka ditangkap Pak Sada mengeluarkan isi hatinya. Dia memaki
Durmuka, “Engkau ini kutolong tapi malah merusak usaha saya.
Kelakuanmu itu seperti: kemladheyan ngajak sempal!”

Paribasan (10): Cindhil ngadu gajah


Arti harfiahnya adalah anak tikus mengadu gajah. Maknanya adalah orang
lemah yang sanggup mengadu domba orang besar.
Seorang Bupati mempunyai seorang karyawan yang bertugas sebagai
satpam. Si Satpam ini, bernama Bagor, sangat disayang oleh sang
Bupati. Namun dia punta watak yang kurang baik, sangat gemar
mengutip uang dari para tamu yang datang. Tingkahnya juga sombong
sekali, mentang-mentang dekat dengan Bupati.
Suatu ketika seorang camat amat kecewa hatinya karena sudah satu jam
dibuat menunggu oleh si satpam itu. Hal itu ternyata karena Pak Camat
tidak mau memberi uang tips, sehingga si Bagor tidak melaporkan kalau
Pak Camat akan menghadap.
Pak Camat marah dan menegur Si Bagor, “Kalau kamu kerjanya begitu,
nanti akan saya laporkan pada Bupati agar kamu dipecat!”
Si Bagor khawatir dan kemudian mengadukan kepada Bupati. Dia
berbohong dengan mengatakan kalau Pak Camat datang dengan marah-
marah minta segera ditemui oleh Pak Bupati.
Bupati marah dan memaki-maki Pak Camat. Namun setelah
kemarahannya reda Pak Camat menjelaskan duduk perkaranya. Pak
Bupati menyadari bahwa dia telah diadu domba oleh satpamnya sendiri.
Dia berkata dengan menyesal, “Wow dik Camat, kita ini seperti gajah
diadu cindhil!”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 7

Paribasan (11): Kacang môngsa ninggala lanjaran


Arti harfiahnya adalah pohon kacang tidak dapat meninggalkan lanjaran
agar dapat hidup. Maknanya seorang anak tidak dapat meninggalkan
watak dari orang tuanya, walau mungkin anak tersebut tidak dididik
langsung oleh orang tuanya, tetepi sifatnya dapat menurun.
Yoko seorang anak kecil yatim piatu di desa Wangon. Walau begitu tak
ada orang yang mau merawat. Dia hidup hanya dari belas kasih orang
yang ditemui hari itu. Keadaannya ini membuat prihatin seorang
konglomerat dari kota, Baba Chen. Oleh Baba Chen si Yoko diambil
sebagai anak angkat dan disekolahkan. Orang desa pun senang karena
Yoko akhirnya menemukan orang yang mau merawatnya.
Yoko akhirnya tumbuh besar sebagai anak muda yang cerdas. Setelah
lulus dari universitas dia diserahi mengelola sebuah supermarket milik
Baba Chen. Tapi belum dua tahun supermarket itu bangkrut. Baba Chen
kemudian menyuruh Yoko mengelola Bank. Baru satu tahun bangkrut
juga. Baru kemudian diketahui kalau si Yoko ini sangat glamour
hidupnya. Suka membeli barang mahal dan berjudi, juga suka main
perempuan.
Orang-orang desa yang mendengar nasib Yoko berkata, “Oh, itu
kelakuannya seperti bapaknya dulu, suka mencuri, mabuk-mabukan dan
menganggu istri orang. Makanya setelah mati anak keturunannya tak ada
yang mau merawat. Watak anak kok sama dengan watak bapaknya.
Kacang mangsa ninggala lanjaran!”

Paribasan (12) Awor sambu


Arti harfiahnya adalah bersama-sama baunya, maknanya adalah menyamar
dengan cara bergabung sehingga tak dikenali.
Ada seorang polisi yang ditugaskan untuk mengungkap perdagangan
narkoba. Dia berusaha menangkap bandar besar yang terkenal licin.
Sudah berbagai cara dia lakukan, menghadang, mencegat dan mengejar
bandar itu. Tapi hasilnya nol besar. Bandar itu selalu lolos karena tak
ditemukan barang bukti.
Dia kemudian punya akal dengan berpura-pura menjadi pecandu.
Memakai narkoba beneran dan begabung dengan anak muda pecandu
lainnya. Suatu hari dia menemui bandar itu untuk membeli narkoba. Si
Bandar tidak curiga karena perangainya sudah seperti pecandu beneran.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 8

Si Bandar berkata, “Jangan sekarang kalau mau narkoba. Nanti sore di


jembatan, temui saya di tiang lampu nomer tiga.”
Sore harinya polisi itu benar ke jembatan. Si Bandar benar-benar bawa
narkoba. Setelah transaksi dan terbukti bahwa si Bandar mempunyai
narkoba polisi memanggil temannya yang sudah menunggu di ujung
jembatan untuk menangkap si Bandar.
Si Bandar terkena tipudaya orang yang awor sambu.

Paribasan (13): Kalah cacak mênang cacak


Cacak artinya mencoba-coba. Makna paribasan ini adalah orang yang
mencoba-coba sesuatu yang sebenarnya peluangnya tak diketahui.
Bagong adalah pemuda desa yang sederhana. Tidak ganteng juga tidak
jelek. Ayah Bagong juga bukan orang kaya, meski juga tidak miskin.
Bagong sudah bekerja sebagai pegawai hornorarium kecamatan. Maka
statusnya juga menjadi bekerja juga tidak, wong gajinya kecil. Namun
juga tidak nganggur, wong nyatanya tiap hari dengan rajin Bagong
berangkat pagi-pagi memakai baju seragam dan menenteng tas.
Satu hal yang belum dipunyai Bagong adalah pacar. Walau demikian
sudah umum diketahui kalau si Bagong ini sudah lama menyimpan hati
untuk Jamilah putri Pak Kades Wangon yang cuantiikk dan shalihah itu.
Oleh Pak Camat si Bagong diberi saran, “Gong kamu segera lamar saja
si Jamilah itu!”
Bagong menjawab sambil gugup, “Eh tapi Pak.Kami kan tidak pacaran
Pak!”
Pak Camat menjawab, “Ah tak apa Gong. Siapa tahu karena
ketulusanmu dan kejujuranmu si Jamilah menerima lamaranmu. Kalah
cacak menang cacak Gong! Patut dicoba!”

Paribasan (14): Ambanyu mili


Arti harfiahnya seperti air mengalir. Paribasan ini biasa untuk menyebut
kebaikan yang datang berurutan bertubi-tubi. Atau juga sering dipakai
untuk menyebut hidangan yang keluar bertubi-tubi dalam sebuah jamuan.
Suatu hari Kyai Jalil dan beberapa muridnya dari Funduk Al Ikhlas
sedang melakukan safar ke daerah Bayat untuk berziarah ke makam
Sunan Tembayat. Setelah selesai ziarah Kyai Jalil bermaksud hendak
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 9

pulang. Namun baru sampai di tempat parkir rombongan Kyai Jalil


dicegat oleh seseorang yang tampaknya tidak asing dengan Kyai Jalil.
“Saya Hasan Kyai, dahulu santri Kyai di Funduk Al Ikhlas. Bila
berkenan sudilah Kyai mampir di rumah saya untuk memberi barokah.
Saya baru saja terpilih sebagai kepala desa di sini!”
“Oh ya. Saya ikut senang Hasan. Bolehkah saudara-saudaramu ini ke
rumahmu juga?”
“Tentu saja Kyai, dengan senang hati!”
Mereka kemudian mampir ke rumah Kades Hasan. Di sana sedang ada
acara syukuran dari para pendukung Hasan. Kyai kemudian diminta
untuk memberi nasihat-nasihat kepada Kades Hasan dan para aparat
desa. Sementara murid-murid Kyai Jalil sibuk melahap hidangan yang
tersedia. Pertama ada sop, kemudian keluar sate, setelah itu buah-
buahan, kemudian makan besar, dan setelahnya masih keluar es krim nan
lezat.
Sepulang dari acara itu, seorang murid berkata kepada Kyai Jalil, “Kyai
kami kenyang dan puas. Hidangannya keluar seolah mbanyu mili!”
Kyai Jalil menjawab, “Ya tapi nanti sampai di Funduk kalian harus
menebusnya dengan puasa tiga hari ya? Supaya kalian tidak lalai dari
hidup prihatin. Kalian kan baru belajar!”
Para murid tertawa bersama...

Paribasan (15): Sadawan-dawane lurung isih dawa


gurung
Arti harfiahnya adalah sepanjang-panjangnya jalan masih lebih panjang
kerongkongan. Maknanya omongan orang bisa nebjalar dari mulut ke
mulut, mengular ke mana-mana mengalahkan panjangnya jalan.
Mr Lionel seorang ekspatriat yang bekerja sebagai kepala Divisi
Produksi di sebuah pabrik mebel di Jogja. Pabrik itu bekerja sama
dengan perajin lokal sebagai supplier. Suatu hari dia kedatangan tamu
seorang yang menawarkan kerajian souvenir dengan maksud agar
diterima sebagai supplier di pabrik tersebut. Oleh Mr Lionel si perajin
tersebut disuruh menunggu, dia akan ke belakang sebentar untuk
mendapat persetujuan Direktur.
Ketika Mr Lionel ke belakang, si perajin mengambil laptop dan tas Mr
Lionel yang berisi uang kontan 50 juta. Rupanya si perajin adalah
perampok yang berpura-pura. Maka gegerlah seluruh pabrik. Kabar
Lionel kena rampok menyebar dengan cepat.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 10

Keesokan harinya Mr Lionel banyak mendapat ucapan keprihatinan atas


nasibnya itu. Termasuk dari seorang perajinnya Pak Kusen, yang
rumahnya jauh di Klaten, 50 km dari rumah Lionel. Tentu saja Lionel
kaget bukan kepalang, “Rumahmu 50 km jauhnya dan kamu tahu kabar
ini? Mustahil!”
Pak Kusen menjawab, “Di sini orang saling bertukar informasi secara
lisan tentang apa saja. Jarak yang jauh bukan halangan karena: sadawa-
dawane lurung isih dawa gurung!”

Paribasan (16): Calak ora pacak


Calak artinya menyela-nyela perkataan orang. Pacak artinya pantas, maka
orang yang berhias sering disebut sedang macak. Makna paribasan ini
adalah orang yang menyela-nyela pembicaraan tidak pada tempatnya.
Pak Wangsa punya anak namanya Peyang. Si Peyang ini punya
kebiasaan suka ikut-ikutan pembicaraan orang. Kalau ada orang ngobrol
dia selalu nimbrung. Suatu hari Pak Wangsa kedatangan kakaknya, Pak
Sura, dengan maksud meminta pertimbangan.
Pak Sura berkata, “Dik keponakanmu, anakku si Lindri sudah dilamar
orang desa sebelah yang namanya Surata. Bagaimana pendapatmu
tentang anak muda itu dan asal keturunan dari bapak-bapaknya dulu
apakah seorang yang baik?”
Belum lagi Pak Wangsa menjawab si Peyang sudah mendahului,
“Pakdhe, kalau menurut saya jangan diterima karena Surata itu baru
jadi pekerja magang di kelurahan. Belum berpenghasilan, kasihan
mbakyu Lindri nanti, tidak dapat uang belanja.”
Pak Wangsa marah mendengar perkataan Peyang dan mengusirnya,
“Hush sana pergi. Kamu ini menyela-nyela orang bicara saja. Tidak
patut ikut-ikutan pembicaraan orang-orang tua. Itu namanya: calak ora
pacak!”
Peyang mengeloyor pergi sambil kukur-kukur kepala yang tak gatal.

Paribasan (17): Angon môngsa


Arti harafiahnya adalah menggembala waktu. Maksudnya menunggu saat
yang tepat untuk bertindak.
Di gardu ronda Si Suta berkata kepada Si Naya, “Pencuri yang
membobol rumah Ki Bekel Kramayuda kemarin kok bisa pas waktunya ya
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 11

kang? Biasanya rumah Ki Bekel selalu dijaga ketat oleh Jagabaya dan
anak buahnya. Kok kemarin pas hujan deras itu apa semua penjaganya
pada ngantuk atau gimana. Kebetulan Ki Bekel tertidur pulas karena
siangnya baru mengantar tamu ke kotaraja.”
Si Naya menjawab, “Ya, namanya pencuri itu tidak bodoh. Dia
mengamat-amati saat semua orang lengah. Si Pencuri tampaknya sudah
beberapa hari mengintai dan angon mangsa.”
“Iya kang, tampaknya si pencuri menunggu saat yang tepat untuk
masuk!” Jawab Si Suta.

Paribasan (18): Ora ngubêngake jôntra, têka kêdhayohan


wong edan
Jantra adalah roda atau cakra. Maksud paribasan ini adalah tidak
melakukan apa-apa kok kedatangan orang yang mengungkit-ungkit
kelemahannya.
Suatu hari Pak Dhadhap mengadakan acara kenduri di rumahnya. Acara
itu sebagai ungkapan syukur atas lulusnya anak Pak Dhadhap sebagai
aparat desa. Setelah acara makan-makan selesai para tamu berbincang
dengan santai sekendaknya. Salah seorang tamu berkata kepada Pak
Dhadhap.
“Pak, itu di desa sebelah ada seorang aparat desa yang ditangkap polisi
karena korupsi dana desa. Lha menurut saya anakmu itu berbakat untuk
mencuri juga. Wong sejak kecil sudah nakal kok. Sekarang malah jadi
aparat desa yang megang uang banyak. Salahmu sendiri sih Pak
memanjakan anak. Harus diawasi selalu Pak anakmu itu. Sebelum
terlanjur mencuri.”
Tentu saja Pak Dhadhap marah mendengar perkataan tamunya. Wong
belum-belum kok sudah su’udzan kepada anaknya, “Kamu ini
ngomong apa kok sembarangan menuduhkan sesuatu yang belum
terjadi!”
Pak Dhadhap mengelus dada sambil berguman, “Mimpi apa aku
semalam. Ora ngubengke jantra kok kedhayohan wong edan!”

Paribasan ini mempunyai varian lain yang pengertiannya sama. Car-Cor


kaya wong kurang jangan. Arti harfiahnya berkali-kali mengucurkan
kuah seperti orang kurang sayuran (makanan). Maknanya sama dengan
paribasan di atas.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 12

Paribasan (19): Kakèhan galudhug kurang udan


Arti harfiahnya adalah kebanyakan petir tapi tak pernah hujan. Maknanya;
orang yang terlalu mengumbar janji atau perkataan tetapi tidak pernah
terwujud.
Peyang sering kali menjanjikan kepada teman-temannya sesuatu, tapi
seringkali janjinya tak terwujud. Suatu kali dia menjadi kader pencari
suara salah seorang calon kepala desa. Dia berkata pada teman-
temannya saat mereka berkumpul di gardu ronda.
“Kalau kalian memilih ketela nanti saya bagi masing-masing satu
bungkus rokok. Juga besok saya ajak piknik ke Parang Tritis satu bus!”
Teman-temannya tidak percaya karena dia sudah sering berjanji akan
memberi ini itu tapi tak satupun janji itu dipernuhi. Mereka kompak
menjawab, “Kami tak percaya. Kamu itu: kakehan gludhug kurang
udan!”

Paribasan (20): Kêriga têkan cindhile abang


Arti harfiahnya berbarislah sampai anak-anak tikus yang masih merah.
Maknanya, majulah seluruh pasukan atau balanya, yang masih anak-anak
pun suruh maju sekalian.
Arya Penangsang adalah prajkurit yang gagah berani. Dia punya cita-
cita hendak menguasai kasultanan Demak. Penguasa sekarang adalah
sang paman sendiri, Sultan Adiwijaya. Dia selalu mencari gara-gara
agar dapat berperang dengan Sultan dari Kadipaten Pajang itu.
Suatu ketika dia dinasehati agar berhati-hati karena lawannya bukan
orang sembarangan. Selain mantan prajurit juga orang yang suka
bertapa dan prihatin. Maka Arya Penangsang pun disuruh untuk
berpuasa juga oleh sang Guru, Sunan Kudus selama empat puluh hari.
Belum genap puasanya mendadak dia menerima surat tantangan yang
isinya membuat panas hati Arya Penangsang. Surat itu dari Danang
Sutawijaya, seorang senapati yang masih anak-anak.
“Ayo Arya Penangsang kalau kamu ksatria sejati lawanlah aku Danang
Sutawijaya. Jangan maju sendirian, seluruh Jipang majulah bersama-
sama. Bila perlu: keriga tekan cindhile abang! Aku tidak takut!”
Arya Penangsang amat murka dan tanpa persiapan langsung menyterang
pasukan musuh. Dalam pertempuran itu Arya Penangsang tewas.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 13

Paribasan (21): Kêrig lampit


Arti harfiahnya adalah bersama-sama sampai tikar pun dibawa. Maknanya
adalah berangkat bersama-sama sampai membawa semua peralatan
mereka.
Sudah lama di Desa Mireng tidak digelar bioskop misbar (gerimis
bubar). Itulah pertunjukkan yang murah meriah sekaligus menghibur.
Zaman dahulu seringkali diputar bioskop misbar oleh Departemen
Penerangan dan BKKBN dengan acara pokok penyuluhan Keluarga
Berencana. Kemudian dilanjutkan acara pemutaran film sebagai
hiburan. Tapi itu sudah lama sekali, sebelum reformasi.
Baru-baru ini Karang Taruna setempat bermaksud menggelar bioskop
misbar di lapangan Mireng. Pokok acara adalah penyuluhan program
lingkungan dengan tujuan agar warga tidak membuang sampah
sembarangan, tidak meracun sungai dan tidak menyulut petasan di bulan
Puasa. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film berjudul:
Dilan!
Wah masyarakat sangat antusias menyambut film yang dibintangi Iqbal
Ramadhan itu. Waktu film diputar, di perkampungan tidak ditemukan
satu orang pun. Mereka semua kerig lampit menuju ke lapangan Mireng
untuk menonton.

Paribasan (22): Kêbo nusu gudèl


Arti harfiahnya adalah kerbau menyusu kepada gudel (anak kerbau).
Maknanya adalah orang tua yang belajar atau bertanya kepada anaknya
karena anaknya lebih tahu.
Pakdhe Sur adalah seorang pensiunan pegawai pemerintah. Beberapa
bulan ini Pakdhe Sur kesulitan mengambil gaji pensiun. Semua itu terjadi
karena uang pensiun sekarang ditransfer ke rekening di Bank. Dan untuk
mengambil uang itu harus melalui ATM.
Berhubung Pakdhe Sur tidak paham teknologi zaman now, maka dia
bingung.
Ketika anaknya, bernama Khusen, pulang Pakdhe Sur minta untuk
diantar ke ATM.
“Shen nanti antar aku ke ATM ya? Sambil nanti ditunjukkan cara untuk
mengambil uang lewat ATM. Ya gak papa kamu mengajari bapakmu. Ini
ibaratnya kebo nusu gudel.”
Akhirnya Pakdhe Sur berangkat ke ATM bersama gudel, eh.....Khusen!
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 14

Paribasan (23): Kere munggah bale


Arti harfiahnya orang fakir naik ke bala-balai. Maksudnya orang yang
kedudukannya rendah ikut menikmati fasilitas untuk orang terhormat.
Juragan Sutrim adalah seorang kontraktor kelas atas yang kaya raya.
Walau demikian jangan dikira dia keturunan orang kaya. Bapaknya
hanyalah seorang petani desa yang yutun. Maka tak aneh kalau dia tidak
bisa melanjutkan sekolah alias DO. Namun berkat ketekunannya dia
menjadi orang yang sukses. Seringkali dia terlihat duduk-duduk bersama
pejabat setempat, mulai tingkat kecamatan sampai propinsi. Juga
seringkali dia terlihat bersama tentara dan polisi. Karena pergaulan
yang luas itu kekayaannya bertambah-tambah. Orderan datang dari
berbagai kalangan.
Namun ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Dia merasa
bukan keturunan bangsawan sehingga penghargaan orang padanya
berkurang. Maka dia sering menyumbang atau memberi hadiah kepada
pejabat agar dia diundang ke berbagai acara penting. Tapi karena dia
kurang dalam tatakrama dan etika, tingkahnya seringkali mengundang
cemooh dan tawa.
Salah seorang pembesar dari istana negara melihat Sutrim yang dirasa
agak kurang dalam hal tatakrama dan sopan santun. Dia kemudian
bertanya, “Siapa orang desa itu? Dan mengapa dia bisa ikut bergabung
dengan para pejabat?”
“Dia orang desa kaya raya yang bisa menyumbang acara-acara kita
tuan!”
Sang pejabat mengangguk-angguk, dan berkata, “Oh pantas, rupanya
dia kere munggah bale!”

Paribasan (24): Ninggal bocah ana ing waton


Arti harfiahnya adalah meninggalkan anak kecil di atas batu. Maknanya
sangat-sangat khawatir karena sebab meninggalkan sesuatu yang bisa
berakibat bahaya.
Sodrun adalah seorang guru wiyata bakti yang masih ngontrak. Karena
bujang Sodrun mengusir kesepian dengan bermain kartu di gardu ronda.
Ada banyak orang-orang tua yang sering nongkrong di sana, berbagi
cerita dan pengalaman hidup.
Suatu malam Sodrun bergadang sampai larut malam. Esoknya dia
kesiangan. Padahal dia mengajar di jam pertama. Dia kelabakan. Sambil
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 15

mandi dia memasak air di kompor gas. Ketika selesai mandi jam sudah
hampir pukul 7. Sodrun langsung lari sambil memakai baju. Akhirnya
sampai juga ke sekolah tepat waktu.
Di tengah waktu mengajar mendadak Sodrun ingat kalau belum
mematikan kompor gas yang menyala. Dia begitu khawatir kalau-kalau
kompor meledak karena airnya habis menguap.
Sepanjang mengajar dia sangat was-was, khawatir sesuatu akan terjadi.
Perasaannya seperti seorang ibu yang: ninggal bocah ana ing waton.

Paribasan (25): Nututi layangan pêdhot


Arti harfiahnya adalah mengejar layangan putus. Maknanya melakukan
usaha untuk menyelamatkan sesuatu tetapi malah memakan biaya yang
lebih banyak dari nilai barang yang hendak diselamatkan.
Si Jamil meminjam kamera digital dari Kusno. Namun malang bagi si
Jamil karena kamera itu tiba-tiba rusak. Karena khawatir dianggap tidak
bertanggung jawab si Jamil membawa kamera itu ke bengkel.
Oleh si bengkel diberitahu kalau kamera itu model lama, jadi
onderdilnya langka, mungkin agak mahal. Karena khawatir dianggap tak
bertanggung jawab akhirnya dia menyanggupi. Setelah dibongkar
ternyata ditemukan komponen selain yang dicurigai rusak tadi, sehingga
ongkosnya semakin bertambah. Lagi-lagi karena tidak enak hati dengan
si pemilik Jamil menyanggupi.
Akhirnya jadi juga kamera itu setelah menghabiskan uang yang bila
dipakai untuk membeli versi terbaru dari kamera itu akan dapat tiga
kamera.
Ah, tak apa! Kata si Jamil sambil menenteng kamera itu.
“Hitung-hitung nututi layangan pedhot,” katanya sambil cengar-cengir.

Paribasan (26): Kurung munggah lumbung


Kurung artinya sengkeran atau seorang yang dalam perlindungan.
Lumbung adalah gudang makanan. Makna paribasan ini adalah pembantu
yang diambil sebagai istri.
Kyai Jafar mempunyai seorang gadis pembantu yang masih kecil. Karena
Nyai Jafar tidak mempunyai anak pembantu tadi amat disayang,
dianggap sebagai anak sendiri. Nyai Jafar sangat perhatian kepada si
pembantu, diberi pakaian bagus dan diperlakukan sebagai anak sendiri.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 16

Namun Kyai Jafar ternyata punya pandangan lain. Melihat keakraban


dua orang perempuan itu Kyai Jafar mempunyai rencana yang disimpan
dalam hati. dia berharap kelak apabila sudah menginjak usia remaja
gadis kecil itu akan diambil sebagai istri muda.
Akhirnya setelah usianya cukup Kyai Jafar mengutarakan kepada Nyai
Jafar maksudnya itu. Tentu saja Nyai Jafar kaget bukan kepalang karen
si gadis sudah dianggap sebagai anak sendiri. Namun karena Nyai Jafar
adalah istri yang patuh pada suami akhirnya dia merelakan suaminya
mengambil gadis itu sebagai istri muda. Posisi si gadis inilah yang
disebut kurung munggah lumbung.

Paribasan (27): Sulung malêbu ing gêni


Arti harfiahnya adalah laron masuk ke dalam api. Maknanya adalah
segerombolan besar orang yang bersama-sama binasa akibat masuk dalam
daerah yang berbahaya.
Cao Yen adalah seorang tukang pandai besi. Kegiatan sehari-harinya
adalah membuat pisau dari baja. Suatu ketika anggota geng kapak merah
memesan sebuah pisau panjang. Setelah selesai Cao Yen menyerahkan
pisau itu beserta tagian ongkosnya. Tak disangka anggota kapak merah
itu marah-marah dan menempeleng Cao Yen. Merasa haknya tidak
diberikan dan malah mendapat pukulan Cao Yen membalas. Akhirnya
keduanya berkelahi dan Cao Yen dapat mengalahkan anggota kapak
merah itu, kemudian memaksanya memberikan ongkos dan pulang.
Malam harinya desa Thru Cuk, tempat kediaman Cao Yen dikepung oleh
anggota kapak merah. Kepala geng kapak merah, Bha Gong,
mengultimatum agar Cao Yen menyerahkan diri dan meminta maaf.
Tidak ada rekasi apapun dari rumah Cao Yen. Bha Gong marah dan
mengobrak-abrik rumah Cao Yen serta menghajarnya beramai-ramai.
Cao Yen yang kesakitan berteriak nyaring meminta tolong. Para tetangga
berdatangan. Tak disangka oleh kapak merah, ternyata desa Thru Cuk
penuh dengan para pendekar Kung Fu. Tanpa dikomando spontan
mereka balik menghajar anggota kapak merah hingga tak bersisa. Nasib
mereka seperti sulung malebu ing geni, hancur binasa!
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 17

Paribasan (28): Alingan wêkasan ngaton


Arti harfiahnya adalah bersembunyi di balik tabir, akhirnya menampakkan
diri. Maknanya adalah orang yang semula menutupi kejahatan tapi
akhirnya tidak tahan untuk menutupi sehingga membongkar aibnya
sendiri.
Ada seorang pemuda gagah yang sifatnya buruk, malas dan tidak suka
bekerja keras. Pemuda tadi pekerjaannya hanya meminta-minta untuk
menyambung hidupnya. Karena dianggap masih mampu bekerja banyak
yang enggam memberi.
Suatu ketika dia meminta-minta di rumah seorang pasangan muda. Oleh
tuan rumah dia tidak diberi. Wong masih muda gagah perkasa kok minta-
minta, kata si tuan rumah. Pemuda tersebut sakit hatinya dan
merencanakan kejahatan.
Malam harinya dengan memakai topeng si pemuda menggasak rumah
pasangan muda tersebut. Namun karena baru saja dari tempat itu si tuan
rumah merasa curiga dengan sosok yang merampok rumahnya. Dia
kemudian melaporkan si pemuda bahwa dia dicurigai merampok tadi
malam. Si pemuda mengelak dan mengeluarkan sumpah, bahwa bukan
dia pelakunya.
Sebulan kemudian setelah keadaan reda si pemuda membual di gardu
kalau dia itu seorang pemberani. Ketika orang-orang menyanggah dan
minta bukti, dengan lantang dia mengatakan bahwa yang merampok
rumah pasangan muda bulan lalu adalah dirinya. Serta merta kabar itu
menyebar dan keesokan harinya polisi menangkapnya ketika dia masih
mendengkur.
Apa yang dilakukan pemuda tadi adalah alingan wekasan ngaton.

Paribasan (29): Nguthik-uthik macan dhedhe


Arti harfiahnya adalah menjahili macan berjemur. Maknanya menganggu
orang kuasa yang sebenarnya tidak ada urusan dengan kita.
Darmo Gandul adalah seorang preman tengik. Kerjaanya hanya
ngompas dan malak pedagang di pasar dan di kios-kios pinggir jalan.
Suatu ketika dia sedang meminta uang di warung swike bu Darmi, seperti
kebiasaannya setiap hari.
“Uang kemanan bu!” Pinta Darmogandul.
Bu Darmi memberikan dengan enggan. Namun apa daya dia tak kuasa
menolak preman galak itu.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 18

Dengan pongah Darmogandul menyambar uang dari tangan Bu Darmi.


Entah karena kesal melihat Bu Darmi memberi uang sambil mecucu atau
memang niat cari gara-gara, di dekat pintu keluar dia menyepak kaki
seorang pengunjung. Bu Darmi menyuruh Darmogandul segera pergi,
khawatir ribut-ribut.
“Apa? Mau sekali lagi?” tantang Darmogandul sambil menyepak kaki
pengunjung itu. Sebenarnya pengunjung itu cukup sabar dengan
menghindar, tapi Darmogandul semakin nekat. Akhirnya si pengunjung
marah besar. Dikeluarkan pistol dari balik jaketnya dan ditodongkan ke
kepala Darmogandul.
“Kembalikan uang yang tadi ke Bu Darmi. Atau pecah kepalamu?”
Darmogandul tak berkutik. Ternyata pengunjung tadi adalah keponakan
Bu Darmi yang baru datan dari kota. Sengaja menengok sang Bibi
karena sudah lama tak bersua.
Kena batunya kau Darmogandul! Sudah enak-enak kok nguthik-uthik
macan dhedhe.

Paribasan (30): Lêbak ilining banyu


Arti harfiahnya adalah tempat rendah akan dialiri air. Maknanya orang
kecil akan ditimpakan kesalahan orang besar.
Pak Lurah Sentot sedang bersiap menerima kedatangan Pak Bupati yang
akan mengunjungi potensi wisata di desa itu, yakni pemandian air panas
Cideng. Setelah viral di medsos sebagai tempat wisata yang eksotis Pak
Bupati ingin juga mandi di situ. Pak Lurah bersiap-siap menemani.
Umbul Cideng terletak di kaki Gunung Babu Angrem, keluar dari mata
air di lereng gunung air kemudian mengalir ke sepanjang sungai Luk
Ula. Berhubung hari ini Pak Bupati mandi di mata air maka pengunjung
hanya boleh mandi di hilir, letaknya sedikit di bawah sendang mata air.
Bersamaan Pak Bupati mandi di sendang ada anak muda miskin yang
juga mandi di bagian hilir, dibawah sendang. Rupanya Pak Bupati tidak
suka ketenangannya diganggu. Pak Lurah tanggap dan menyuruh anak
muda miskin itu pergi.
“Hai anak muda, engkau pergilah. Kau membuat air di kolam ini kotor
karena ulahmu!”
Anak muda menjawab, “Bagaimana mungkin Pak Lurah, wong malah air
dari tempat Pak Lurah itu yang mengalir ke tempat saya?”
“Mungkin saja, karena kau mandi di situ bau kudis tubuhmu itu membuat
ikan-ikan di sini mati! Tahu tidak?”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 19

Si anak muda bergegas keluar dari sungai sambil ngedumel, “Dasar


orang kecil tempatnya salah. Ibarat lebak ilining banyu. Sial!”

Paribasan (31): Cebol anggayuh lintang


Arti harfiahnya adalah orang cebol hendak menggapai bintang. Maknanya
keinginan yang terlalu tinggi sehingga mustahil kesampaian.
Ki Slamet adalah bekel di Sabranglor. Dia mempunyai anak lelaki yang
sudah waktunya berumah tangga. Sebagai orang tua Ki Slamet sadar
akan kewajibannya mencarikan jodoh yang baik. Maka dia meminta
pendapat Ki Demang tentang keinginannya untuk melamar nini Jamilah
putri ki Patih Pringgalaya yang terkenal cuantiiikk itu.
Ki Demang tertawa mendengarnya. Katanya, “Anakmu itu tampan tidak,
pintar juga tidak, punya kedudukan juga tidak. Kok berani-beraninya
kamu hendak melamar putri Ki Patih? Keinginanmu itu ibarat: cebol
nggayuh lintang, mustahil akan diterima. Sudahlah carikan istri yang
sepadan dengannya. Itu lebih baik!”
Ki Bekel menurut dan mengurungkan niatnya yang mustahil terlaksana
itu.

Paribasan ini punya varian lain, yakni; cêcak anguntal kalapa (cicak
hendak mencaplok kelapa), utawi kate pan ngrangsang rêdi, (ayam kate
hendak menyerang gunung). Makna kedua paribasan terakhir ini sama
dengan paribasan di atas.

Paribasan (32): Kêplok ora tombok


Arti harfiahnya adalah bertepuk tangan tidak keluar modal. Maknanya ikut menikmati kesenangan tanpa
mengeluarkan biaya.

Pak Durna seorang kaya raya. Dia mempunyai teman yang gemar
menghisap candu, namanya Pak Bondet. Suatu ketika Pak Durna sakit
parah beberapa bulan. Setelah sembuh badanya terasa tidak sekuat dulu.
Gampang lelah dan rasanya lesu.
Pak Bondhet menengok Pak Durna sambil membawa candu. Katanya,
“Mungkin sampeyan perlu mencoca ini sedikit saja. Barangkali lesu dan
lemah badanmu hilang.”
Karena sudah putus asa Pak Durna menurut. Dia coba satu linting candu
seharga seratus ribu. Keesokan harinya tubuhnya terasa segar. Dia
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 20

mengira candu itulah penyebabnya. Dia kemudian menyuruh Pak


Bondhet untuk membawa lagi candunya itu. Begitulah kebiasaan itu
berlanjut karena Pak Durna menjadi ketagihan.
Namun walau sudah menjadi pecandu Pak Durna tidak bisa meracik
sendiri ramuan candunya itu, bagaimana takaran yang pas dan cara
meraciknya. Tentu saja yang untung Pak Bondhet, setiap Pak Durna
madat Bondhet selalu disuruh menemani dan tentu saja dapat candu
gratis. Si Bondhet ini ikut senang-senang tapi tak keluar modal. Keplok
ora tombok!

Paribasan (33): Maling sandi


Arti harfiahnya mencuri dengan sembunyi-sembunyi. Maknanya orang
yang mencuri tapi menyamarkan diri dalam pekerjaan.
Probo adalah seorang anemer atau pemborong terkenal di Klaten.
Berbagai proyek besar dia tangani. Proyak pelebaran sungai, gedung
pemerintah dan pasar-pasar. Walau sudah berpenghasilan besar Probo
masih saja merasa kurang. Maka dia mereka-reka agar mendapat
tambahan penghasilan dari proyek yang dikerjakannya.
Yang pertama dilakukannya adalah mengurangi takaran semen.
Kemudian juga mengurangi jumlah besi yang dipakai dalam bangunan.
Lama-kelamaan hampir semua bahan dikurangi jumlahnya. Untuk
aksinya itu dia cukup aman karena tidak ada yang akan tahu. Hanya dia
sendiri ahli bangunan yang ada pada zaman itu.
Dia mencuri tanpa diketahui orang lain, dia maling sandi.

Paribasan (34): Arêp jamure êmoh watange


Jamur adalah tumbuhan liar yang bisa dimakan, watang adalah galah.
Kami kesulitan mencari hubungan arti kedua kata itu. Namun paribasan ini
maknanya mau enaknya tapi tak mau kesulitannya.
Pak Drana sudah lama menjadi carik desa di Gading. Dia merasa sudah
capek mengabdi sebagai aparat desa. Untuk itu dia berencana
mengajukan asisten untuk membantu tugas-tugasnya sebagai carik.
“Pensiunmu masih tiga tahun lagi Pak Drana. Masih cukup lama!” Kata
Pak Lurah.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 21

“Ya Pak, tapi saya sudah merasa berat untuk bertugas. Penyakit encok
saya sering kambuh sekarang ini. Membuat saya tak bisa bekerja dengan
enak. Sakit seluruh badan Pak.” Alasan Pak Drana.
Pak Lurah kemudian menugaskan seorang anak magang untuk
menggantikan tugas Pak Drana sebagai carik. Karena sekarang Pak
Drana tidak bertugas maka tanah lungguhnya diambil oleh Pak Lurah.
Dan Pak Drana hanya diberi sepertiganya saja. Namun Pak Drana
ternyata tidak mau. Dia menuntut dua pertiga tanah lungguh itu sebagai
haknya.
Menanggapi hal itu Pak Lurah hanya tertawa, “Pak Drana ini
bagaimana to? Kan sampeyan sudah bebas tugas dan sebentar lagi
pensiun. Masa masih mengharap lungguh seluas itu? Itu namanya arep
jamure emoh watange! Hahaha..”

Paribasan (35): Nyambung watang putung


Arti harfiahnya adalah menyambung galah yang putus. Maknanya adalah
menyambung persaudaraan yang sudah terputus karena satu masalah.
Pak Tanta dan Pak Mulya adalah kakak-beradik yang sudah lama
berseteru. Penyebabnya apalagi kalau bukan warisan. Masing-masing
mereka merasa lebih berhak mendapat warisan yang lebih banyak dari
orang tuanya. Akhirnya mereka berselisih dan tidak saling mengunjungi.
Memang keduanya terpisah jarak, Pak Tanta di Jogja dan Pak Mulya di
Semarang.
Ketika anak-anak mereka besar mereka pun tak saling tahu. Kebetulan
anak Pak Mulya yang bernama Bambang kemudian bertugas sebagai
penyuluh pertanian di Jogya. Dia kemudian bertemu dengan Pak Tanta.
Kini mereka tahu kalau ada hubungan paman dan keponakan. Karena
antara keduanya tidak ada masalah keduanya bisa bergaul dengan baik.
Namun mendadak Bambang mempunyai ide yang unik untuk mencairkan
hubungan antara bapak dan pamannya yang beku selama puluhan tahun.
Ketika pulang ke Semarang Bambang membeli oleh-oleh berupa Jus
Durian. Kepada bapaknya dia mengatakan, “Pak ini ada oleh-oleh dari
Paklik Tanta, mohon diterima.” Bapaknya sangat senang dan merasa
sudah waktunya mereka melupakan masalah di masa lalu.
Ketika dia kembali bertugas ke Jogja dia juga membeli oleh-oleh wingka
babat dan menyerahkan kepada Pak Tanta sambil berkata, “Paklik ini
ada oleh-oleh dari Bapak di Semarang. Asli makanan khas Semarang
Paklik.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 22

Pak Tanta senang sekali dan juga merasa sudah saatnya melupakan
perselisihan mereka. Akhirnya melalui WA si Bambang keduanya sudah
ngobrol ngalor ngidul dan tertawa-tawa.
Bambang berhasil nyambung watang putung.

Paribasan (36): Matang tuna numbak luput


Arti harfiahnya adalah menyerang memakai galah meleset memakai
tumbak juga meleset. Maknanya apa yang ingin dicapainya selalu gagal
Sudah lama Budi Ulya ingin menjadi polisi. Itu cita-citanya sejak kecil.
Maka dia giat berlatih untuk persiapan masuk tes bintara di Semarang.
Setiap siang hari jam 12 tepat dia melatih fisik dengan berlari keliling
lapangan. Memakai jaket tebal dan berlari 50 kali. Sudah sebulan ini dia
melakukan.Namun apa daya ketika ikut tes dia tidak lulus. Tentu saja dia
sangat kecewa.
Oleh salah seorang dukun setempat Budi Ulya diberi saran agar jangan
memakai cara-cara fisik saja. Berdoa itu juga penting. Dan yang lebih
penting harus memakai sarat sarana, yakni jimat keberuntungan. Maka
dia ikut tes lagi dengan memakai jimat yang harus dibayar dengan harga
mahar 10 juta rupiah. Hasilnya gagal lagi.
Tak patah arang Budi Ulya kali ini ikut tes lagi. Kalau dulu
mengandalkan dukun, sekarang mengandalkan koneksi dari orang
dalam. Dia rela menyogok dengan upeti 300 juta. Edan!
Namun lagi-lagi dia gagal. Sampai petugas penerima kasihan dan
mengatakan.
“Sudah besok gak usah tes lagi saja. Percuma! Wong kamu tidak
diterima itu bukan karena masalah lain-lain. Tinggi kamu kurang 5 cm!”
Budi Ulya tertegun, berbagai cara yang dilakukannya selalu gagal,
ibarat matang tuna numbak luput.

Paribasan (37): Baladewa ilang gapite


Arti harfiahnya adalah wayang Baladewa yang hilang gapitnya. Maknanya
orang yang gagah perkasa tiba-tiba lemah seakan hilang kekuatannya.
Richard adalah seorang bule dari negeri Inggris. Sudah lama menetap di
Pulau Jawa sebagai mahasiswa jurusan musik tradisional di sebuah
universitas di Solo. Karena sangat sukanya dengan kebudayaan Jawa
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 23

Richard betah sekali tinggal di Jawa. Dia menyewa sebuah rumah di


perkampungan di Solo dan berbaur dengan masyarakat.
Suatu hari Richard ini memutuskan menjadi mualaf dan menikah dengan
Siti Sundari anak Kyai Rejo. Oleh istrinya Richard dibimbing untuk
menjalankan ibadah sesuai tuntunan agama Islam.
Salah satu ibadah yang harus dijalani adalah puasa. Richard pun
bermaksud menjalankannya pula dengan penuh. Dia ogah menuruti
tawaran istrinya untuk puasa mbedhug dulu. Itu kan puasa untuk anak-
anak, sangkal Richard. Dia memang tahu karena melihat anak-anak
tetangganya yang puasa mbedhug.
Hari puasa pertama Richard kelaparan. Sejak pagi telah berkali-kali
lewat dapur. Uh, lapar, katanya kepada istrinya. Siang hari Richard
kelimpungan. Maklum seumur-umur baru kali ini puasa. Menjelang sore
Richard lemas dan pucat. Istrinya mentertawakan Richard, sambil
bercanda berkata, “Mas Richard ini kok seperti Baladewa ilang gapite!”

Paribasan (38): Ambondhan tanpa ratu


Arti harfiahnya adalah menari bondhan tidak di depan raja. Maknanya
adalah memberontak tidak mau tunduk kepada penguasa yang sah.
Sejak meninggalnya Sultan Agung kekuasaan Mataram jatuh ke tangan
Amangkurat I. Raja penggantinya ini mewarisi kekuasaan yang besar,
tetapi sayang tidak didukung dengan kecakapan yang sepadan. Satu per
satu wilayah Mataram memisahkan diri. Amangkurat I Dia seringkali
memakai cara keji dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Konon dia
hampir selalu menghukum mati orang yang berbeda pendapat
dengannya. Akibatnya muncul rasa antipati kepadanya.
Salah seorang pembesar dari Madura Trunajaya menyatakan tidak lagi
tunduk kepada Mataram. Dia sengaja merebut wilayah timur dan
memberlakukan pemerintahan sendiri. Dia bermaksud mbondhan tanpa
ratu atau memberontak.
Pemberontakan Trunajaya berhasil merebut kraton Mataram dan
mengusir raja Amangkurat I. Walau akhirnya dengan bantuan VOC
Trunajaya berhasil dikalahkan.

Paribasan (39): Anggajah êlar


Arti harfiahnya sayapnya seperti gajah. Maknanya serba besar dan mewah
keinginannya.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 24

Puguh adalah orang yang beruntung. Sejak ada proyek jaringan saluran
listrik tengangan ekstra tinggi (sutet) dia mendapat rejeki nomplok.
Setiap tanah yang di atasnya dilewati kabel sutet akan diberi ganti rugi
yang lumayan setiap meternya. Tanah Puguh yang dua hektar tegalan
kering tak produktif itupun mendapat ganti rugi juga. Puguh kaya
mendadak.
Karena lama menjadi orang miskin Puguh gagap dalam membelanjakan
uangnya. Dikiranya uang ganti rugi yang jumlahnya 500 juta itu adalah
uang yang banyak. Dalam sekejab wataknya berubah 180 derajat. Dia
merenovasi rumahnya yang reyot dan mengisi dengan perabot yang
mewah. Lemari bagus dia pesan dari perajin mebel di Mireng di bengkel
Milik Pak Khusen. Bufet, meja tamu, meja makan lengkap dan lemari
dhapur yang mewah.
“Semua pakai kayu jati kelas satu ya!” jelas Puguh.
Pak Khusen hanya manthuk-manthuk, sambil membatin, “Wah Puguh ini
kok sekarang anggajah elar!”

Paribasan (40): Kêri tanpa pinêcut


Arti harfiahnya geli tanpa dicambuk. Maknanya orang yang merasa
dituduh padahal hanya dibeberkan kesalahannya.
Wan Aziz sudah lama menjadi menteri besar negara bagian. Karena
sudah lama berkuasa koneksinya banyak dan pengaruhnya merasuk ke
semua bidang kehidupan. Hal itu dimanfaatkannya untuk membangun
kerajaan bisnis. Mulai pariwisata, konstruksi, rumah sakit, pendidikan
semua ditangani melalui kaki tangannya.
Namun ada salah satu lengan gurita bisnisnya yang mendatangkan
banyak keuntungan yakni kasino atau rumah judi. Dari sinilah hampir
sepatuh kekayaan Wan Aziz berasal. Tentu saja dia bermalin di balik
layar karena bisnis perjudian jelas tidak pantas bagi menteri besar
seperti dirinya.
Suatu ketika timbul krisis yang menyeret anak bisnis Wan Aziz. Hal itu
bermula dari gagalnya proyek jembatan gantung di salah satu proyek
negeri bagian. Jembatan gantung yang berbiaya 9 trilyun itu runtuh dan
kerajaan memerintahkan untuk melakukan investigasi menyeluruh. Maka
terbongkarlah kedok Wan Aziz yang ternyata perusahaannya menangani
jembatan itu dengan tender fiktif. Tim investigasi membeberkan
perusahaan Wan Aziz yang beroperasi dengan cara kolusi, termasuk
rumah judinya yang terkenal itu. Keri tanpa pinecut Wan Aziz
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 25

mengundurkan diri dari jabatan menteri besar. Namun jeruji besi segera
menantinya sebagai buah dari kecurangannya.

Paribasan (41): Rupak jagade


Arti harfiahnya sempit dunianya. Maknanya orang yang ke manapun
bertemu dengan orang yang bermasalah dengannya sehingga serba
kerepotan.
Ki Nopanto adalah seorang mantan demang senior di Desa Kapundhung.
Dia dipecat tahun lalu karena terbukti menggelapkan uang bulu bekti
dari para bekel bawahannya. Sejak saat itu hidup Ki Nopanto sangat
menderita. Mau berdagang orang sudah tidak yakin karena pernah
menggelapkan duit orang banyak. Mau mengabdi di lain daerah juga
tidak ada pembesar yang mau menerima, karena mereka kawatir
dikianati. Mau belantik burung pun tak ada mantri pasar yang
mengijinkan dia masuk pasar.
Hidup Ki Nopanto serba terjepit, ke utara selatan, ke barat timur, semua
arah bertemu dengan orang yang mengenal kejahatannya dulu. Bagi Ki
Nopanto dunia ini sempit. Rupak jagade!

Paribasan (42): Ana catur mungkur


Arti harfiahnya adalah ada perkataan membelakangi. Maknanya orang
yang lebih suka menghindari perselisihan dan memilih mengalah.
Ki Mulyareja adalah petani yutun yang giat bekerja. Dia selalu
menyisihkan hasil panen agar dapat menabung. Dengan hidup sederhana
dia berhasil menyekolahkan anaknya Joko Prasaja sehingga menjadi
perwira polisi.
Keberhasilan Ki Mulyareja rupanya membuat iri sudagar kaya Ki Guna
Sampeka. Meski jauh lebih kaya anak-anak Ki Guna tidak ada yang jadi
orang. Jadi orang berpangkat juga tidak, jadi orang baik juga tidak. Dua
anak lelakinya malah suka minum minuman keras di gardu, dan digotong
pulang esok harinya. Kegagalannya dalam hidup kemudian dilampiaskan
dengan sikap iri hati kepada Ki Mulyareja. Tiap bertemu pasti dia
nyinyir, mencari-cari kesalahan Ki Mulyareja.
Ki Mulyareja tahu diri. Sebagai orang miskin tidak elok jika berselisih
atau bertengkar dengan Ki Guna Sampeka. Maka setiap Ki Guna nyinyir
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 26

dia selalu menanggapi dengan senyum dan memilih menghindar dengan


baik-baik. Ana catur mungkur.

Paribasan (43): Iwak kalêbu ing wuwu


Arti harfiahnya ikan masuk jebakan. Maknanya adalah orang yang sudah
masuk jebakan kejahatan orang lain sehingga tragis nasibnya.
Burhan adalah pemuda lugu yang giat bekerja. Dengan tekad kuat dia
merantau ke Jakarta mencari penghasilan yang besar. Semua itu
dilakukan agar kehidupan kedua orang tuanya di desa tidak susah lagi.
Konon kabarnya Jakarta adalah tempat yang mudah untuk mendulang
uang atau dalam istilah oran desa: duit gedhe.
Namun karena orang lugu dan selalu berprasangka baik Burhan
kehilangan kehati-hatian. Dikiranya oran kota semua baik-baik seperti
tetangga di desanya. Maka ketika Boris, tetangga kost, mentraktir di
warung dia manut-manut saja. Dia merasa beruntung mendapat teman di
perantauan. Tiap kali mentraktir boris selalu menyuguhkan rokok
lintingan yang rasanya nikmat. Lama-lama Burhan merasa ketagihan
dengan rokok itu dan merasa pusing kalau belum menghisapnya. Namun
Boris sering menghilang sekarang.
Ketika bertemu Burhan menanyakan rokok itu. Jawab Boris, “Rokok itu
mahal. Aku juga sudah lama tak menghisap. Lagi gak punya duit!”
Burhan menawarkan untuk memakai uangnya memberi rokok itu. Dan
setiap hari semakin lama Burhan menjadi ketagihan hingga uangnya
habis dipakai untuk menghisap rokok itu.
Suatu ketika Boris ditangkap polisi karena ternyata dia pengejar ganja.
Sedangkan Burhan walau Boris sudah tak ada selalu ketagihan rokok
ganja itu. Tiap hari selalu mencari rokok itu di pengedar lain. Dia sudah
masuk perangkap sebagai pecandu dan tak bisa sembuh. Dia bagai iwak
kalebu ing wuwu.

Paribasan (44): Katula-tula katali


Arti harfiahnya berkali-kali terjerat. Maknanya adalah orang yang selalu
mendapat celaka.
Pak Sutrim bisa dikatakan orang paling sukses di desanya. Rumahnya
gedung menjulang lima lantai. Kerbau sapinya memenuhi kandang yang
seluas lapangan bola. Kendaraan apalagi, garasinya saja seluar
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 27

lapangan bola volli. Dan yang sungguh mengiurkan, istrinya tiga, cantik-
cantik pula.
Walau begitu tak banyak yang tahu kalau dahulu hidupnya susah dan
sengsara. Ibarat mau bernapas saja tak ada udara yang mau masuk
hidungnya. Semua menjauhinya, baik sanak saudara atau kawan
sepermainan.
Semua diawali ketika orang tuanya dijebloskan ke penjara oleh KPK.
Harta benda disita dan keluarganya dimiskinkan. Dia bersama ibunya
dan adik-adik harus menempati sepetak kios di pasar sapi yang hanya
muat untuk tidur dua orang. Untuk bertahan hidup ibunya membuat
pisang goreng, dan Sutrim menjadi kuli di pasar, kadang menjual rumput
di hari pasaran. Karena setiap hari mengenal sapi dia menjadi hapal
mana sapi baik atau buruk. Dia kemudian mendapat upah untuk saran-
saran kepada pembeli sapi. Seorang sudagar kemudian merekrutnya
sebagai kepala anak kandang di peternakannya.
Anak saudagar itu rupanya menaruh hati kepada Sutrim yang pekerja
keras itu. Namun ada banyak pemuda yang mengincar anak gadis
saudagar. Mereka menfitnah Sutrim mencuri sapi sang saudagar.
Akhirnya Sutrim dipecat dan harus hengkang dari peternakan. Nasib
Sutrim sungguh malang karena dia ditolak pula di pasar sapi, tempat dia
mencari maka selama ini. Dia kemudian merantau ke kota dan menjadi
tukang tambal ban.
Dasar Sutrim anak berbakat bengkel tambal bannya ramai sekali. Ini pun
mengundang rasa cemburu tukang tambal ban lain sehingga beramai-
ramai mengusir Sutrim. Nasib Sutrim sungguh malang. Celaka selalu
menghampirinya. Nasibnya; ketula-tula katali.
Lalu bagaimana bisa dia menjadi kaya? Yang sabar to. Ini kan baru
membahas tentang katula-tula katali.

Paribasan (45): Ilang jarake kari jaile


Arti harfiahnya adalah hilang akalnya tinggal jahilnya. Maknanya kalau
orang sudah kehilangan pikirannya maka yang tertinggal adalah keinginan
untuk berbuat jahat.
Burhan tidak mengira jika usaha merantaunya ke Jakarta membuatnya
terjebak dalam belenggu kecanduan ganja. Semua sudah terlambat untuk
kembali. Dia sudah terlanjur ketagihan. Setiap hari harus dipenuhi
kebutuhannya untuk merokok ganja. Semua pekerjaannya masih bisa
diandalkan untuk membiayai kebutuhannya akan rokok lintingan ganja
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 28

itu. Tapi makin hari fisiknya makin parah. Bosnya mengetahui kalau dia
seorang pemadat. Dia dipecat.
Kini dia hidup dari sisa tabungan yang semula akan dikirim ke desa.
Namun esok pagi tabungan itu sudah habis. Dia bingung harus mencari
uang kemana lagi. Sedang bekerja pun sekarang dia tak mampu. Tiap
hari tubuhnya sakau dan harus dipenuhi. Dia bingung untuk memikirkan
itu semua.
Pikirannya mulai tidak waras. Dia tak bisa berpikir jernih lagi. Hanya
tinggal satu jalan keluarnya. Mencuri! Dia harus melakukan itu
sekarang. Kalau tidak tubuhnya akan menggigil esok pagi.
Maka dia ke pasar sapi dekat terminal. Seorang bapak tani yang baru
saja menjual sapi menjadi kurban pertamanya. Tas besar wadah uang
yang dibawanya koyak oleh silet Burhan. Burhan telah masuk ke dalam
golongan pencopet. Ibarat pepatah ilang jarake kari jaile.

Paribasan (46): Wadhuk bêruk


Arti harfiahnya adalah perut yang seperti gentong. Maknanya adalah orang
yang tidak bisa kenyang seolah perutnya seperti gentong, semua masuk.
Varian paribasan ini adalah; weteng bagor (perutnya seperti karung, muat
apa saja).
Bagong adalah anak pertama dari pasangan suami-istri yang masih
sangat muda. Ibunya masih kelas 2 SMP ketika menikah dengan
bapaknya yang baru kelas satu SMA. Keduanya kemudian merantau ke
kota setelah Bagong lahir.
Bagong tinggal bersama neneknya yang sudah tua dan pikun. Karena itu
dia tidak terawat. Ketika sudah bisa berjalan Bagong mondar-mandir di
jalanan tanpa baju. Keadaannya membuat orang-orang iba dan memberi
Bagong makanan. Karena saking laparnya membuat Bagong sangat
lahap makannya. Orang-orang senang dan semakin semangat memberi
makanan kepada Bagong. Tiap hari ada-ada saja yang memberi makan.
Tanpa disadari kebaikan tetangganya telah menumbuhkan watak tak baik
kepada Bagong. Dia pikir kalau makanan itu tidak usah beli, asal mau
minta pasti dikasih. Setelah besar pun Bagong selalu meminta makanan
kepada orang-orang. Dan karena terbiasa kecukupan dari pemberian
orang Bagong makannya sangat banyak. Semakin besar jatah makannya
semakin banyak sampai orang-orang kewalahan.
Mereka sekarang menjadi berat menanggung makanan si Bagong.
Banyak yang kemudian mengeluh, “Gong, Bagong! Apakah perutmu itu
wadhuk beruk? Kok diisi makanan sebanyak apapun tidak penuh?”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 29

Paribasan (47): Gondhelan poncoting tapih


Arti harfiahnya berpegang ujung kain perempuan. Maknanya adalah
seorang lelaki yang hidup mengikuti istrinya.
Burhan sungguh beruntung. Meski bekas seorang pemabuk masih ada
gadis yang mau menjadi istrinya. Sripeni, gadis tersebut baru saja
ditinggal kekasihnya menikah dengan perempuan lain. Ia tak mau kalah
dengan sang mantan. Dia juga segera menikah. Dan pilihannya jatuh
pada Burhan. Pora penak jal?
Meski belum bekerja Sripeni tak terlalu risau. Yang penting Burhan
sudah tidak mabuk lagi seperti dulu, waktu dia pertama kenal. Sripeni
dahulu memang pernah menaruh hati pada Burhan, tetapi dia urungkan
niatnya karena melihat Burhan yang kemana-mana membawa botol
oplosan. Kini pujaan hatinya di masa lalu itu tampak sempurna baginya.
Burhan sendiri tampak tahu diri. Sudah payah dia keluar dari jerat
narkoba, mabuk ganja dan oplosan. Kesediaan Sripeni menerimanya
adalah berkah luarbiasa dalam hidupnya.
Lalu bagaimana pasangan itu memenuhi kebutuhan hidupnya? Oh, itu
tak jadi soal. Sripeni adalah gadis yang ulet. Sejak muda dia telah
merintis usaha warung makan ayam bakar. Burhan sekarang bekerja
membantu istrinya mencari penghasilan dari warung itu. Pokoknya
Burhan tinggal hooh saja kalau istrinya memberi perintah. Semua beres.
ibaratnya Burhan sekarang gondhelan poncoting tapih pada istrinya itu.
Pora penak jal?

Paribasan (48): Rindhik asu ginitik


Arti harfiahnya adalah pelannya anjing dipukul. Maknanya adalah seorang
yang cepat sekali menerima perintah, segera melaksanakan.
Gareng adalah anak semata wayang dari Pak Broto, seorang juragan
tembakau kaya di Birit. Meski sang ayah kaya raya Gareng selalu
kesepian. Dia adalah anak tunggal yang tinggal di rumah gedung
magrong-magrong.
Kesehariannya Gareng hanya main video game dan Facebook saja.
Orang tua Gareng sampai pusing kepala. Bagaimana ya caranya agar si
Gareng ini mau keluar rumah untuk main-main atau syukur-syukur
membantu bapaknya di los tembakau.
Setelah diselidiki dengan seksama, Pak Broto menemukan fakta menarik.
Ternyata Gareng punya gadis incaran yang membuatnya terkintil-kintil
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 30

siang dan malam. Gadis itu bernama Siti Zulaikha, anak Kyai Kasan
Besari dari tembayat. Tentiu saja Pak Broto tidak keberatan, wong
anaknya cantik dan shalihah kok. Calon besannya juga pintar mengaji.
Wis pokoke mantu ideal.
Maka Pak Broto menyerahkan salah satu los tembakaunya supaya
dikelola Gareng. Maksudnya agar si Gareng ini mandiri dan punya
penghasilan.
“Reng los tembakau yang di Bayat itu kau kelola ya. Ada tanaman 40
hektar di sana!”
“Ogah Pak!” kata Gareng singkat.
“Lho bagaimana to. Itu buat bekal kamu kalau kawin sama Zulaikhah
tahun depan. Apa kamu mau menunda lagi? Bapak tidak akan
melamarkan kalau kamu tak bisa cari uang sendiri!”
Gareng kaget, kok bapaknya tahu. Secepat kilat dia bangkit
meninggalkan video gamenya.
“Kapan Pak saya berangkat ke Bayat?”
“Wah kamu Reng, kalau sudah ada maunya, ibarat rindhik asu ginitik!
Tanpa disuruh langsung jalan! Hahahah...

Paribasan (49): Emprit abuntut bedhug


Arti harfiahnya adalah burung emprit berbuntut bedhug. Burung emprit
adalah burung kecil yang suaranya tidak nyaring, bedhug adalah alat
musik pukul yang suaranya keras. Makna paribasan ini adalah hal-hal kecil
sekalipun apabila menjadi viral akan menimbulkan kehebohan.
Ki Agong adalah seorang demang yang sedang menjabat (inkamben) di
kotaraja. Tahun depan masa jabatannya habis, tetapi dia sudah bertekad
mencalonkan kembali. Persiapan menghadapi taun politik telah dia
siapkan, salah satunya dengan berkeliling mencari massa.
Di sebuah resort tepi danau Rawa Jombor dia menyinggung tentang
kompetitornya yang berasal dari rakyat biasa, Kyai Enis. Dasar Ki
Agong suka bercanda, dia meledek saingannya.
“Enis itu bisa apa kok mau mencalonkan diri jadi demang. Mbok sudah
jadi modin saja. Itu orang pekok dai kalangan gembel yang hanya bisa
ngaji saja!”
Tak dinyana omongan yang berbau guyonan itu ada yang merekam.
Mereka kemudian memposting rekaman di yutub dan diberi judul
provokatif, “Gembel hanya bisa ngaji!”
Rekaman itu kemudian menjadi viral di medsos dan ditonton 7 laksa
orang, dan marahlah mereka oleh perkataan demang bermulut ember itu.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 31

Akibatnya di pemilihan demang Ki Agong keok, dan sebaliknya Kyai Enis


menang telak. Begitulah kekuatan medsos, kicaun kecil bisa menjadi
besar. Ibaratnya emprit abuntut bedhug.

Paribasan (50): Gajah ngidak rapah


Arti harfiahnya adalah gajah menginjak pembatas. Maknanya adalah orang
yang berkuasa seringkali melanggat peraturan yang dia buat sendiri.
Ki Bekel Dadya Tinumbala jengkel. Hari ini dia dipanggil ke
kademgangan untuk diberi pengarahan bahwa tahun ini rakyatnya tidak
boleh menanam tembakau. Alasannya adalah komoditi tembakau sudah
melimpah sejak tahun lalu sehingga dikhawatirkan harganya anjlog.
Semula Ki Bekel menganggap ide Ki Demang Agong sebagai langkah
cerdas untuk memakmurkan masyarakat. Dengan mengatur supply and
demand diharapkan harga akan terkontrol pada level aman. Sungguh ide
brilian, pikir Ki Bekel.
Tapi ketika melewati wilayah Manisrengga dia kaget. Ada ribuan hektar
petak sawah yang siap ditanami tembakau. Dia mencoba bertanya
kepada pekerja itu siapa pemilik lahan tembakau itu. Dia mendapat
jawaban yang membuatnya njondhil, sampai blangkonnya lepas.
“Ini milik Ndara Pur, anak Ki Demang Agong!”
Seketika dongkollah hati Ki Bekel. Tadi di Kademangan Demang Agong
menyuruh rakyatnya tidak menaman tembakau. Sekarang kok anaknya
sendiri malah menanam. Ini namanya gajah ngidah rapah. Tidak boleh
seperti ini!”

Paribasan (51): Asu gedhe menang kerahe


Arti harfiahnya adalah anjing besar menang berkelahi. Maknanya adalah
orang yang berkuasa akan menang selalu dalam perselisihan.
Ki Basri sejatinya sudah menjual tanah itu kepada Ki Tambakbaya.
Peristiwanya sudah lama, waktu keluarga Ki Basri belum menjadi
keluarga kaya dan berkuasa. Sekarang hal itu memang tampak mustahil.
Lebih-lebih setelah anak Ki Basri menjadi seorang camat di kota.
Entah siapa yang lalai waktu itu, surat-surat tanah itu tak segera diurus.
Mungkin kendalanya zaman itu lebih karena persoalan teknis. Tanah tak
bisa dipecah-pecah. Menjual tanah harus seluruhnya. Maka mereka
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 32

sepakat bahwa jual-beli itu cukup dibuat perjanjian dengan disaksikan


saja oleh tetangga sekitar.
Lama berlalu, tanah itu menurun kepada anak cucu mereka. Celakanya
cucu Ki Basri yang sekarang menempati sebagian tanah itu mengingkari
kalau kakek mereka telah menjual tanah sebagian itu.
“Mana buktinya?” katanya.
Maka gegerlah seluruh kampung. Banyak tokoh tua yang melihat bahwa
tanah itu memang telah dijual. Itu sudah menjadi berita heboh di zaman
dahulu. Bahkan tanah itu juga sudah dtempati.
Cucu Ki Basri tetap ngeyel, dia minta bukti. Secarik kertas diajukan
sebagai bukti. Sayangnya orang yang bertanda tangan di kertas itu
sebagai saksi telah meninggal semua. Akhirnya keluarga Ki Tambakbaya
menggugat ke pengadilan. Sekarang mereka saling mencari saksi untuk
memenangkan perkara. Tapi keluarga Basri adalah keluarga kuat yang
punya koneksi pejabat di pengadilan. Segala cara ditempuh untuk
menang, dari mulai mencari saksi palsu sampai menyuap aparat
pengadilan. Akhirnya cucu Ki Basri menang. Memang susah kalau
melawan orang berkuas, di sini masih berlaku: Asu gedhe menang
kerahe!

Paribasan (52): Kaya klinthing disampar kucing


Arti harfiahnya seperti lonceng ditendang kucing. Maknanya adalah orang
yang selalu cerewet, suaranya membuat gaduh dan jengkel.
Sudah satu minggu kakek Wardi tidak bekerja. Pekerjaan sebagai tukang
batu memang tidak pasti. Kadang ada yang membutuhkan jasanya,
kadang tidak. Kadang pekerjaan bertumpuk-tumpuk, kadang lama tidak
ada yang butuh jasanya.
Maka sudah seminggu ini pula dapur nenek Wardi tidak mengepul.
Mereka hanya tinggal berdua dan kakek Wardi suka sekali meminta
makanan yang enak-enak. Namun tiap pagi hanya merokok di teras
sambil ngopi, sudah seminggu ini.
Semula nenek Wardi sabar, tapi kata orang sabar ada batasnya. Sebatas
apa? Sebatas tabungannya habis.
“Sana to kek, cari-cari pekerjaan. Jangan hanya merokok dan ngopi saja
tiap hari. Masak gak malu dilihat orang, tiap pagi cuma klepas-klepus
saja!”
Kakek Wardi tak mau kalah, “Apa ada orang membuang pekerjaan, kok
suruh nyari!”
Nenek Wardi semakin jengkel mendengar jawaban bercanda itu.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 33

“Namanya kerjaan ya harus dicari keluar sana. Kalau di rumah saja ya


tidak ada pekerjaan mampir!”
Kakek Wardi diam, sambil menikmati kepulan asap rokoknya yang
membentuk huruf “O”.
Nek Wardi semakin menjadi.
“Lelaki pemalas. Tidak kerja malah kesenangan menganggur, biar bisa
klepas-klepus santai di rumah!”
Kakek Wardi ikut jengkel sekarang, dia mendekat dan berkata.
“Diam kamu! Dari tadi berisik kaya klinthing disampar kucing!”

Paribasan (53): Macan guguh


Arti harfiahnya harimau yang pikun. Maknanya adalah orang
berkedudukan tinggi walau sudah tidak berkuasa tetap berpengaruh.
Jenderal HM Soeharto adalah presiden sebuah negara berkembang yang
berkuasa amat lama. Tiga puluh dua tahun berturut-turut. Itupun
kekuasaannya berhenti secara paksa, setelah muncul gerakan reformasi.
Walau demikian setelah lengser kekuasaannya tak habis begitu saja.
Karismanya tetap melekat pada sebagian orang Indonesia. Maka tak
aneh tatkala ingatan orang tentang keburukannya sudah hilang partainya
kembali mendominasi. Berturut-turut selalu keluar sebagai pemenang
kedua pemilu.
Selain itu juga anak-anak beliau mencoba mendirikan partai baru, dan
juga cukup mendapat sambutan. Ada pula anak-anaknya yang berhasil
kembali masuk parlemen. Itu semua berkat karisma sang ayah.
Soeharto begitu dirindukan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya
politisi dan praktisi hukum, pengamat atau birokrat. Sopir truk pun
merindukannya. Coba tengok bak belakang truknya, ada gambar
Soeharto mesem dan tulisan, “Pye kabare? Enak jamanku to?”
Soharto ibarat macan guguh, walau tak berkuasa tetap menakutkan.

Paribasan (54): Kekudhung walulang macan


Arti harfiahnya adalah memakai kedok kulit macan. Maknanya adalah
bersembunyi di balik orang yang berkuasa.
Thakur bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau konglomerat. Dia hanya
satpam di rumah dinas Bupati. Tapi siapa sangka pengaruhnya terhadap
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 34

perolitikan di Kabupaten Silong luar biasa. Bagaimana tidak? Dia punya


tiga bego ilegal, kasino ilegal dan delapan warung remang-remang yang
tentu saja juga ilegal.
Tapi walau begitu tidak ada yang berani menumpas usaha Thakur. Dia
selalu memakai kedok sebagai “orang suruhan bupati” sehingga tak
satupun berani menganggu usahanya.
Namun lama-lama ada juga yang risih dan berani mempertanyakan.
Seorang pengusaha tambang pasir yang banyak dirugikan oleh ulah
Thakur. Tidak tanggung-tanggung dia memprotes sendiri kepada Bu
Bupati.
“Bu Bupati, mengapa sampeyan punya usaha tidak taat aturan dan tak
pakai ijin. Tidak pula pakai kuota setiap mengeluarkan pasir dari depo.
Juga tidak pakai istirahat, masa 24 jam ngeduk pasir terus?”
Bu Bupati kaget bukan kepalang. Dia merasa tidak punya usaha tambang
pasir dan juga usaha yang lain.
“Lho itu yang tiap malam ditunggui Thakur, apa bukan punya ibu
Bupati?”
Bupati marah dan memanggil, “Thakuuuuurr!!!”
Yang dipanggil menghadap sambil kencing di celana.
“Kurang ajar kamu ya! Memakai nama saya untuk membuat usaha legal.
Tega kamu memakai saya untuk kekudhung walulang macan! Sekarang
juga saya pecat dan kamu saya laporkan ke polisi. Pergi sana!”
Thakur hendak keluar tanpa mampu mengucap kata pamit.
Bu Bupati kembali berteriak, “Dipel dulu ompolnya!”

Paribasan (55): Singidan nemu macan


Arti harfiahnya bersembunyi malah ketemu macan. Maknanya adalah
bersembunyi malah ketemu bahaya.
Lontong punya motor baru. Dengan bangga dia tunjukkan motor barunye
kepada Indah, guru TK yang sudah lama ditaksirnya. Lontong bermaksud
mengajak Indah untuk piknik ke Bunbin Gembira Loka. Berboncengan
berdua, dhuh asyiknya.
“Lha apa kamu punya SIM mas Lontong?” Tanya Indah manja.
“Tenang Dik! Nanti kita lewat jalur tikus melaui Srowot lalu ke arah
Piyungan. Aman dik dari razia petugas!”
Akhirnya mereka berangkat berdua berboncengan. Wuih jalanan bagai
milik berdua. Inilah saat yang sudah lama Lontong idam-idamkan.
Stasiun Srowot berhasil dilalui dengan aman. Mereka telah melewati
Sengon, terus ke Pereng, sebentar melalui jalan besar di Taman Wisata
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 35

Boko paling 200 meter saja, terus melalu jalur tikus lagi di Berbah.
Aman wis pokoke.
Baru saja mau masuk jalan besar 50 ke depan meter mendadak Lontong
mengerem motor. Indah kaget dan menubruk Lontong. “Adhuh!” Pekik
Lontong ketika kuku Indah mencubit pahanya.
“Nakal kamu! Sengaja ya?” Teriak Indah.
“Bu..bukan! Itu di depan ada razia. Wah kita nggak bisa balik lagi!”
Wah kena mereka berdua. Maksud hati bersembunyi di jalan tikus malah
begitu keluar pas kena razia. Ibarat singidan nemu macan. Apes!

Paribasan (56): Sadumuk bathuk sanyari bumi


Arti harfiahnya menyentuh dahi, sejengkal tanah. Maknanya kalau
masalah kehormatan walau hanya disentuh dahinya atau diduduki
sejengkal tanahnya orang akan melawan.
Pangeran Dipanegara bukan pangeran biasa. Sejak kecil dia sudah
meninggalkan keraton dan hidup sederhana di desa Tegalreja. Tempat
tinggalnya jauh di luar benteng dan menyatu dengan rakyat jelata.
Walau demikian Pangeran Dipanegara tidak kehilangan trah awirya,
darah pemberaninya. Ketika Kumpeni Belanda hendak membuat jalan
kereta api melewati pedukuhan tempat tinggalnya tanpa ijin Dipanegara
marah besar.
Asisten Residen Chevalier mencoba membujuk dengan mengatakan,
“Wong yang kena rel kereta api cuma dikit aja marah. Mbok jangan
sumbu pendek to. Gampang marah bikin cepat tua lhoh! Hehehe...”
Dipanegara tak pedulu. Pokoknya satu jengkal pun tak kurelakan.
Sadumuk bathuk sanyari bumi. Walau satu jengkal kau rebut, kita
perang. Dan Dipanegara serius. Pecahlah Perang Jawa yang terkenal
itu. Akibat perang kas Kumpeni akhirnya kobol-kobol, jebol-bol.

Paribasan (57): Mrucut saka gendhongan


Arti harfiahnya adalah terlepas dari gendongan. Maknanya adalah anak
yang karena salah pergaulan menjadi jauh dari harapan orang tuanya.
Niatnya sih baik, agar anak mendapat pendidikan yang sempurna. Maka
kedua orang tua Karin rela mengirim anaknya menyeberang pulau ke
kota besar. Gadis lugu berjilbab itu masuk ke SMA Favorit di kota.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 36

Namun kedua orang tua Karin harus menelan pil pahit ketika tiga tahun
kemudian mendapati anaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Karin pulang
dengan rambut terurai berwarna blonde, sepati hak tinggi selutut,
memakai rok mini dan aduhai bajunya pun tak berlengan.
Para sanak saudara dan tetangga pun kaget bukan kepalang. Mereka
berbisik-bisik, “Lihat tuh si Karin jadi kayak gitu! Dia ibarat mrucut
saka gendhongan!”

Paribasan (58): Cincing-cincing klebus


Arti harfiahnya adalah sudah menyingsingkan kain akhirnya basah juga.
Maknanya adalah berencana hanya dilakukan dengan sederhana ternyata
malah banyak biaya.
seyogyanya orang menikah memang harus dipersaksikan para sanak
saudara dan tetangga. Namun karena waktunya mendesak takkan cukup
kalau harus mengadakan pesta besar. Calon mempelai pria harus segera
bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian di Libanon. Sedangkan
calon pengantin wanita ngebet ingin segera kawin, tak mau menunggu
dua tahun lagi sepulang calon suaminya bertugas.
Apa boleh buat, Pak Darmo terpaksa melakukan pesta pernikahan ala
kadarnya. Dan karena belum punya tabungan serta tidak ingin berhutang
Pak Darmo merancang pesta pernikahan kecil-kecilan saja.
“Hanya mengundang satu RT saja.”
Begitu katanya ketika seoran sahabatnya bertanya kok belum
mendapatkan undangan.
Namun untung memang tak dapat ditolak. Tamu yang datang banyak
sekali. Pak Darmo memang populer dan bersahabat kepada siapa saja
sehingga yang tak diundang pun berdatangan. Mau tidak mau terpaksa
harus mendatangkan sarana dan prasarana untuk menjamu tamu. Acara
yang semula dirancang sederhana malah menjadi pesta besar.
Tapi Pak Darmo senang kok, bukti bahwa dia dicintai para sahabat dan
tetangganya. Ya walaupun harus cincing-cincing klebus.

Paribasan (59): Asu arebut balung


Arfi harfiahnya anjing yang berebut tulang. Maknanya adalah dua orang
yang bertengkar memperebutkan hal sepele.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 37

Dr. Durjo dan Dr. Durmo adalah kolega satu kantor. Sama-sama
memegang mata kuliah teknik Pondasi. Keduanya seringkali terlihat
bersama-sama, juga seringkali membimbing mahasiswa bersama-sama.
Yang tak banyak diketahui orang, keduanya sebenarnya saling bersaing
dan selalu ingin menjadi yang nomer satu. Saling ingin mengalahkan dan
tak mau dikalahkan di antara keduanya.
Jika sudah demikian yang pusing adalah mahasiswa yang menjalani
bimbingannya. Karena dosen pembimbing harus dua dan salah satunya
menjadi asisten maka seringkali menjadi problem tersendiri, seperti yang
dialami Paijo, mahasiswa yang mengambil tugas akhir penelitian daya
dukung tanah gambut.
Semula dari ketua jurusan mengarahkan agar Dr. Durjo yang menjadi
pembimbing dan Dr. Durmo yang menjadi asisten pembimbing. Namun
Dr Durmo tidak mau. masalah dapat diatasi dengan menulis keduanya
sebagai dosen pembimbing saja tanpa embel-embel asisten.
Namun masalah kembali timbul ketika kedua nama harus dituliskan urut.
Semula Dr. Durjo ditulis duluan dan Dr. Durmo ditulis belakangan.
Namun lagi-lagi Dr Durmo tidak mau.
“Itu sama saja menomor duakan saya!” kata Dr. Durmo.
Persoalan itu diatasi dengan menuliskan nama keduanya sejajar, dengan
demikian harus ditulis atas dan bawa dalam tanda kurung. Lagi-lagi
keduanya minta ditulis di atas.
“Sama saja dik, kalau ditulis di bawah berarti menomorduakan juga.
Maaf dik saya tak mau!”
Paijo akhirnya mundur, memilih ganti dosen. Dia meninggalkan kantor
keduanya sambil berguman, “Dosen wis tuwa-tuwa kok isih kaya asu
rebutan balung. Kakrekane tenan!”

Paribasan (60): Asu belang kalung wang


Arti harfiahnya anjing belang berkalung uang. Maknanya orang nistha tapi
banyak uang.
Semua orang meremehkannya dalam hal keuangan, bahkan
menganggapnya orang terlantar. Pengemis tua itu selalu mengundang
belas kasih yang melihat.
“Siapa sih keluarganya kok tak ada yang peduli?”
“Kok tega ya anak cucunya menelantarkannya?”
“Setua itu masih meminta-minta di jalan?”
“Biadab orang yang menelantarkannya!
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 38

Begitulah celetukan orang melihat kakek tua, lumpuh, bisu dan kayaknya
juga tuli itu.
Namun mereka sungguh terkejut ketika si kakek tua itu tiba-tiba sakit.
Terkejutnya bukan karena sakitnya. Sakitnya sih biasa saja, hanya sedikit
terlambat ditangani. Maka perlu dibawa ke RS untuk mondok beberapa
hari. Yang membuat terkejut adalah ketika orang-orang telah bersiap
urunan untuk membayar biaya RS. Mereka terkejut ketika si kakek itu ke
RS dengan tetap memegang tas bututnya, seolah tak mau berpisah
dengannya. Orang-orang menjadi penasaran dan kemudian berhasil
memisahkan kakek dari tasnya. Mereka terbelalak ketika melihat isinya:
uang kertas seratus ribuan yang diikat dengan karet yang setelah
dihitung berjumlah 150 juta. Alamak! Si kakek ini sudah punya segitu
banyak kok masih menggelandang di jalan hidup dengan cara orang
fakir.
Ibaratnya asu belang kalung wang.

Paribasan (61): Abang-abang lambe


Arti harfiahnya memerah-merahkan bibir, maknanya adalah perkataannya
hanya untuk basa-basi saja.
Suatu hari Ndoro Tejo berkunjung ke rumah Mbah Kusen, seorang
perajin mebel langganannya. Dengan ditemani oleh sopirnya yang
bernama Wanto, Ndoro Tejo menempuh jarak hampir 50 km, menerabas
hutan kecil di Gunung Kidul.
“Wah njanur gunung, kadingaren Ndoro datang ke sini. Silakan masuk
Ndara!” Pak Kusen menyilakan sambil mengulurkan tangan dengan
menjempol, tanda penghargaan yang sangat.
Namun mendadak pandangan Pak Kusen tertuju pada mobil antik
keluaran tahun 76 yang baru saja dibeli dari Semarang minggu lalu.
“Wah mobil bagus sekali ini. Pasti limited edition. Dan sudah dimodif
pula dengan onderdil yang dipermak halus. Wah berapa Ndara mau
jual? 500 juta bolehlah ditinggal di sini.”
Sopir Wanta terkejut, “Gila orang tua ini punya uang 500 juta kah?”
Batin si sopir lugu itu.
Sepulang dari rumah Pak Kusen sopir Wanta masih penasaran.
“Ndara apakah Pak Kusen itu mengerti mobil antik? Dan betulkah dia
mau membeli seharga 500 juta? Apa dia punya duit sebanyak itu?”
“Ah, kau! Jadi orang kok lugu begitu. Itu tadi hanya abang-abang
lambe. Berkata-kata yang menyenangkan hatiku. Begitulah adat istiadat
orang desa, selalu membuat senang hati tamunya!”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 39

Sopir Wanto manthuk-manthuk. Kok bodoh sekali sih aku, batinnya.

Paribasan (62): Adol lenga kari busik


Arti harfiahnya adalah menjual minyak tinggal keraknya. Maknanya
adalah tukang membagi sesuatu tapi tidak kebagian, hanya dapat keraknya
saja.
Sebagai ketua PKK dukuh Lari, sudah menjadi kewajiban bagi Bu Susan
untuk membagi kiriman sembako bagi ibu-ibu PKK. Tahun lalu dia tidak
kebagian karena ternyata paket yang dikirim pas-pasan. Bahkan ada
juga pengurus lain yang juga tak dapat jatah.
Tahun ini dia minta tambahan lagi agar semua mendapat bagian,
termasuk dirinya.
Bos besar Khairul Shalih menyanggupi dan sekarang paket dikirim
dengan tambahan 10 paket ekstra. Tentu saja Bu Susan senang karena
juga akan dapat bagian.
Ketika tiba hari pembagian sembako para warga sudah berkumpul di
balai desa.
Sembako kemudian dibagi sesuai jumlah yang tertera dalam daftar.
Ketika hampir selesai mendadak ada seorang ibu muda yang masuk ke
balai. Rupanya dia juga antri sembako. Wah gak bisa itu, dia belum
terdaftar. Tapi ibu itu ngotot, “Kan saya juga warga sini? Kok gak dapat
gimana?”
“Lha kamu siapa kok ngaku warga sini?”
“Saya istrinya mas Bejo, anak pak RT. Baru sebulan ini pindah ikut
suami yang balik kampung!”
Lho, akhirnya Bu Susan yang ngalah. Tahun ini tak kebagian sembako
lagi. Memang beginilah nasib ketua, selalu adol lenga kari busik!

Paribasan (63): Ancik-ancik pucuking eri


Arti harfiahnya adalah berpijak pada ujung duri. Maknanya adalah orang
yang keadaannya sangat mengkawatirkan karena di ujung marabahaya.
Malaysia bergolak. Rakyat sudah muak dengan Perdana menteri Najib
Razak yang katanya banyak korupsi. Hanya katanya sih, wong selama
pemerintahannya dia tak terbukti korupsi. Namun kini keadaan berbalik
Tun Mahatir Muhammad kembali mengambil alih kendali pemerintahan
setelah menang pemilu di usia 92 tahun.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 40

Sekarang apa yang dulu mustahil menjadi terbuka peluangnya, yakni


investigasi menyeluruh terhadap Najib Razak atas berbagai kasus yang
dituduhkan padanya. Posisinya sekarang ibarat ancik-ancik pucuking
eri atau ibarat telur di ujung tanduk.

Paribasan (64): Angin silem ing warih


Arti harfiahnya adalah angin menyelam di dalam air. Maknanya adalah
berbuat jahat dengan cara sembunyi-sembunyi atau menyusup.
Semua bergembira, semua bersorak, semua meneriakkan yel-yel
penyambutan calon pemimpin karismatik di negara bagian
Mahajodipraya. Bunyi bedug bertalu-talu, penari-penari meliuk-liuk
ditingkah bunyi gendang berkumandang. Semua gembira menyambut
sang pemimpin agung negeri Ayodiapura.
Hari ini sang pemimpin berkunjung ke negara bagian Mahajodipraya
untuk menyapa pendukung yang telah memenangkan pilihan Perdana
menteri tahun kemarin.
Seribu pesta rakyat digelar sekaligus sebagai syukuran atas terpilihnya
pemimpin agung Raj Prasada.
Ketika tiba sang pemimpin semua mengelu-elukan, semua berebut
menyentuh kakinya. Dua orang gadis berpakaian merah pun tak mau
kalah berebutan menyentuh kakai sang pemimpin. Semua gaduh dan
keadaan menjadi hiruk-pikuk tak terkendali. Di tengah situasi yang kacau
terdengarlah suara keras.
“BOOOMMM!!!”
Tubuh dua gadis berpakaian merah meledak. Untung sang pemimpin
selamat karena dua gadis meledak agak jauh darinya.
Selidik punya selidik, dua gadis adalah anggota pemberontak Kerbau
Giro yang menyamar, berlaku angin silem ing warih, dengan menyamar
sebagai pendukung Raj Prasada.

Paribasan (65): Angon ulat umbar tangan


Arti harfiahnya adalah memperhatikan keadaan sambil mengumbar
tangan. Maknanya mengawasi orang lain setelah terlena diambil
barangnya.
“Aku tahu dia di sana. Sudah sejak tadi.
Mengawasi orang-orang.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 41

Dia toleh kiri kanan, itu terlihat jelas.


Sebentar kemudian tangannya nampak bergerak cepat.
Itu terlihat jelas.
Semua terlihat dari sini..
Iya itu yang berbaju merah, memakai selendang dan berbaju longgar.
Cepat tangkap segera!”
Itulah perintah yang diterima satpam di pos jaga. Dua orang sekuriti
perempuan segera mengamankan perempuan dimaksud menuju pos. Di
sana digeledah dan ditemukan, 2 hp, 1 jam tangan Rolex dan sejumlah
perhiasan. Rupanya ada copet beroperasi di pusat perbelanjaan ini.
Sambil berpura-pura menawar barang dia angon ulat ngumbar tangan.
Untung ada CCTV di ruang kontrol.

Paribasan (66): Anak molah bapa kepradhah


Arti harfiahnya anak bertingkah bapak yang memberi. Maknanya semua
perilaku anak orang tua yang menanggung.
Pak Yadi berpikir keras, sampai ubun-ubunnya panas. Terlihat asap tipis
mengepul dari dahinya, tanda bathuke anget tenan. Bagaimana tidak,
kemarin sore anaknya minta agar dijinkan ke Jepang. Persoalannya
bukan karena dia merasa tak tega melepas anaknya pergi, lha wong juga
sudah besar, biar saja cari pengalaman. Namun yang membuatnya
pusing adalah biaya berangkat ke sana.
“Dua belas juta Pak. Itu sudah termasuk pelatihan dan visa. Adapun
tiketnya yang 10 juta nanti dicicil dari gajiku kalau sudah bekerja di
sana.” Itu kata anaknya kemarin.
Sekarang angka 12 menjadi momok karena ada enam nol dibelakangnya.
“Lha mbok iya dikasih to kang. Kalau anaknya mau bekerja keras dan
bertekad kuat, Insya Allah akan tercapai keinginannya.” Itu kata Lik
Suta, adik Pak Yadi.
“Iya dik, tapi uangnya itu dari mana?”
“Wah saya juga tidak tahu kang. Bagiku itu juga angka yang besar.”
Jawab Suta mengkerut, takut diutangi kali.
Akhirnya Pak Yadi nekad menjual sawah satu-satunya selama lima
tahun. dia rela tidak panen lima tahun ini demi anaknya bisa ke Jepang.
Begitulah orang tua, anak polah bapa kepradhah. Anak berkeinginan
oran tua yang harus mewujudkan.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 42

Paribasan (67): Asor kilang munggwing gelas


Arti harfiahnya bagian gelas paling bawah selalu manis. Maknanya dalam
kehidupan bersikaplah selalu dengan sikap yang menyenangkan orang.
“Mangga Mas, mangga. Silakan dimakan, apa adanya ya.” Kata Pak
Darmo ramah. Di hari pernikahan anaknya ini banyak tamu yang
datang. Semua harus dihormati dan dijamu dengan senang hati.
“Silakan Bapak-bapak. Silakan dicicipi!” Katanya lagi pada
serombongan tamu.
“Lho kok sudah mau pulang. Mbok singgah dulu di angkringan bakso
itu.” Katanya lagi pada serombongan tamu yang tergesa-gesa pulang.
“Mangga lho nak, tanduk lagi.” Wah tahu aja Pak Darmo ini kalau
asupan anak muda itu dua piring.
Hari itu Pak Darmo benar-benar gembira. Kontras dengan Mbok Darmo
yang pecuca-pecucu sejak pagi.
“Kamu ini menggelar pesta dengan duit utangan aja kok senang sekali to
Pak.” Kata Mbok Darmo sambil membetulkan letak susurnya.
“Aduh mbokne, kamu ini bagaimana. Semestinya walau hati kita senang
apa bukan kita tetap harus bersikap manis. Kita ini kedatangan tamu
yang akan memberi selamat lho mbokne. Jadi harus bisa bersikap asor
kilang munggwing gelas, menyenangkan semua oran yang datang,
mbokne.”
Mbok Darmo hanya bisa ngowoh, sampai susurnya jatuh.

Paribasan (68): Ati bengkong oleh oncong


Arti harfiahnya adalah hati bengkok mendapat jalan terang. Maknanya
perbuatan jahat mendapat dukungan secara tak sengaja.
Sudah lama Gemuk ingin masuk kantor guru itu. Sudah sejak minggu
kemarin dia ingin datang lagi. Bukan karena hendak piket bulanan
seperti biasanya. Bukan pula hendak memasang gambar presiden seperi
minggu kemarin. Ada sebab lain yang menggerakkan hatinya ke sana.
Minggu lalu ketika dia memasang gambar presiden dan wakil presiden,
dia melewati lemari yang belum sempat dikunci oleh kepala sekolah.
Isinya tumpukan kantong kertas warna coklat. Ada berpuluh tumpuk di
sana. Di bagian depan tertulis Lembar Soal Ujian Akhir Semester. Inilah
yang membuat pikirannya tertuju pada kantor kepala sekolah. Dia ingin
mengambil satu lembar saja soal itu kalau bisa. Atau kalaupun tak bisa
dia ingin memfoto lembar-lembar itu. Yah Cuma memfoto saja.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 43

Sudah dua kali dia tidak naik kelas. Dan kalau sampai tidak naik lagi
alamat bakal DO. Dia tak ingin itu terjadi. Malu lah kepada orang di
kampung halaman.
Di tengah lamunan, tiba-tiba pak Kepsek memanggil, “Muk besok kamu
piket di kantor. Ini kuncinya. Petugas kebersihan tidak masuk karena
sakit. Kamu yang menggantikan! Siap?”
“Siap!” Jawab Gemuk mantap. Ini kan ibarat ati bengkong oleh oncong.
Batin Gemuk sambil menimang-nimang kunci ruang Kepsek. Bajigur
tenan kowe Muk!

Paribasan (69): Buyung lokak isine kocak-kocak


Arti harfiahnya adalah tempayan yang tidak penuh akan kocak-kocak.
Maknanya adalah orang yang ilmunya belum sempurna akan banyak
bicara.
Surip baru satu bulan ikut pondok pesantren. Di sana diajari tentang
tatacara shalat yang benar. Pelajaran satu bulan ini tentang gerakan
shalat menurut tatacara yang benar. Sewaktu libur Surip pulang
kampung. Karena mendengar kalau di Masjid Agung al Aqsa akan
kedatangan ulama dari Timur Tengah surip mengajak untuk ikut serta
menghadiri pengajian.
Betul juga, disana telah penuh dengan orang-orang yang akan menimba
ilmu dari ulama tersebut. Hanya yang menjadi tanda tanya besar,
mengapa ulama yang ilmunya seberapa kok di sini sangat dihargai, apa
di sini kekurangan orang pintar, kata Surip.
“Dari mana kau menyimpulkan kalau ulama itu ilmunya belum seberapa
Rip?” Tanya Pak Modin yang duduk di dekat Surip.
“Lha tadi waktu shalat isya’ tangannya tidak sedekap di dada, malah
menjulur jatuh ke bawah begitu saja. Itu jelas salah.”
“Oh itu to. Gini Rip! Kamu harus tahu kalau tangan sedekapitu adalah
menurut mazhab Syafi’i, sedangkan menurut mazhab yang lain tidak
sedekap.”
“Mosok Pak Modin, seumur-umur saya kok belum pernah mendengar
soal itu. Setahu saya shalat itu ya sedekap Pak! Kalau tidak sedekap ya
salah Pak!”
Pak Modin mengelus dada. Beginilah kalau ilmu belum sempurna. Baru
mondok satu bulan sudah menyalahkan ulama dari Timur Tengah.
Benarlah kata pepatah, buyung lukak isine kocak-kocak alias tong
kosong nyaring bunyinya.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 44

Paribasan (70): Barung sinang


Arti harfiahnya adalah bersamaan menyala. Maknanya adalah menyela-
nyela orang bercakap-cakap.
Waktu menjelang tengah hari, utusan dari negara amarta masih
bercakap-cakap dengan Prabu Bathara Kresna. Mereka sedang
membicarakan perihal persyaratan yang harus dipenuhi oleh Arjuna jika
ingin meminang Sembadra. Yakni, harus ada kereta emas, kembang
mayang dari kayu dewandaru asal suralaya, kerbau danu sebagai
srasrahan, gamelan lokananta sebagai pengiring dan bidadari untuk
mengiringi pengantin.
Di saat sedang serius berbincang mereka dikejutkan kedatangan
Burisrawa yang mbarung sinang, menyela-nyela pembicaraan.
“Oh..oh..Mbok Bodro..Mbok Bodro. Aku juga ingin menikah denganmu
mbok...aku juga ingin mencari syarat-syarat itu mbokkk...”
Prabu Kresna segera memberi isyarat kepada Setyaki untuk
membereskan kekacauan ini. Setyaki mengajak Burisrawa ke alun-alun
depan.
“Mau apa ke alun-alun?” Tanya Burisrawa.
“Kita main karambol di sana!” Jawab Setyaki sambil menjambak rambut
gimbal Burisrawa. Kejadian selanjutnya bisa ditebak. Mereka memang
sparing partner yang kompak.

Paribasan (71): Beras wutah arang mulih marang takere


Arti harfiahnya adalah beras tumpah jarang yang kembali ke tempatnya
semula. Maknanya adalah sembarang yang sudah berubah dari asalnya
sulit untuk kembali seperti semula.
Pole adalah pelawak papan atas yang sangat terkenal. Bersama istrinya
Poni, dia merintis menjadi komedian sejak pengantin baru. Keduanya
sering main bersama sebagai pasangan babu miskin. Logatnya yang
kocak dan ekspresif membuat keduanya menjadi tenar. Sekarang Pole
dan Poni sudah tidak lagi memainkan peran pasangan babu. Mereka
sudah lupa cara menjadi orang miskin.
Pole lalu mengambil peran sebagai juragan kaya, sedang istrinya
sekarang sering menjadi Nyonya Direktur. Celakanya Pole sering main
bareng dalam satu adegan dengan Inem, pelayan seksi yang bersuara
manja. Entah siapa yang memulai keduanya menjadi saling suka.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 45

Mengetahui hal itu Poni tak terima, kemudian dia minta cerai dan keluar
dari group lawak.
Rumah tangga Pole dan Inem tidak langgeng karena Inem kepergok juga
menyukai Paimo, yang sering memerankan drakula. Pole dan Inem
akhirnya bercerai juga.
Pole kini sendiri lagi dan merasa kesepian. Tiba-tiba kenangan bersama
Poni hadir di pelupuk mata. Bagaimana mereka berdua dulu bersusah
payah merintis jalan menuju sukses. Pole menyesal dan ingin kembali.
Namun apa jawaban Poni?
“Tidak bisa mas. Hatiku terlanjur luka. Sudahlah kita lebih baik
berteman saja. Toh kita takkan mampu mengulang semua keindahan
yang telah lalu. Ibarat beras wutah arang mulih marang takere, begitu
pula cinta kita yang terlanjur tumpah, takkan mampu kembali ke hati kita
masing-masing.”
Puitis ya jawaban Poni. Sayang Pole malah mewek mendengarnya..

Paribasan (72): Mburu kidang lumayu


Arti harfiahnya adalah mengejar kijang yang lari. Maknanya adalah
mengejar sesuatu yang belum pasti.
Pak Kancil sudah lama ingin punya rumah. Kebetulan ada tanah yang
mau dijual, murah, strategis dan sudah ada bangunan kecil di atasnya.
Ya kalau nrimo bangunan itu sudah bisa dipakai sebagai tempat tinggal
sederhana.
Persoalannya, pemilik tanah ingin segera mendapat uang penjualan
tanah itu. Jadi harus cepat-cepat. Pak Kancil sudah merasa cocok
dengan tanah itu. Namun uangnya belum cukup. Khawatir tanah terlepas
darinya dia memberi DP, 25 juta.
“Lha yang 75 juta sisanya kapan? Saya butuh cepat lho.” Kata si
penjual.
“Saya belum bisa bilang kapan, tapi jelas jadilah itu tanah kubeli.”
“Jangan begitu, uang itu segera kupakai untuk bayar anak kuliah. Bulan
depan!”
“Ya sudah bulan depan!” Kata Kancil.
Pemilik tanah tampak tak yakin, dia kemudian membuat syarat, “Kalau
bulan depan kamu gagal uangmu hilang dan tanah kujual pada yang
lain.”
“Setuju!”
Sekarang Kancil yang pusing sendiri. seminggu lagi uang harus ada.
sementara uang yang diharapkan dari komisi menjualkan sawah depan
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 46

rumah tak kunjung cair. Sudah seminggu ini dia mondar-mandir mencari
pembeli sawah depan rumah yang menjanjikan komisi 75 juta. Namun
hasilnya nihil.
“Orangnya ke Belanda mas!” Kata satpam rumahnya.
“Lha kapan pulangnya?” Tanya Kancil.
“Mungking nanti kalau lebaran kuda.” Kata satpam.
Aduh, kasihan Pak Kancil, seminggu uangnya hilang kalau lebaran kuda
tak jadi ada. Kemana lagi dia harus mengejar orang itu, serba gelap
seperti memburu kidang mlayu.

Paribasan (73): Ciri wanci lelai ginawa mati


Arti harfiahnya adalah ciri atau kelemahan akan dibawa mati. Maknanya
adalah kelemahan pada seseorang kadang tak bisa hilang dan terbawa
sampai mati.
“Katanya sudah hijrah ke jalan yang benar, kok masih memaki?” Itu
kataku padanya sebulan lalu, ketika aku bertemu dengan Senton, saat
takziyah meninggalnya ayah Joko.
Dia hanya tertawa, “Sudah watak mas. Kadang meluncur sendiri makian
itu.” katanya malu.
Memang dia dikenal bermulut ember dan bocor lagi. Sedikit-sedikit, akan
keluar nama-nama binatang dari mulutnya. Yang paling populer adalah
“asu”, atau kalau sedang sedikit waras ya “anjing”. (podo ae rek..).
Oleh kyai yang mengajarinya ngaji, yang membuatnya mampu hijrah
dari dunia kegelapan, dia diajari dengan membiasakan kalimat thoyibah.
“Wah bagus itu!” kataku.
“Ya mas. Tapi yang sulit, mulut itu bisa bicara sendiri mas. Tanpa
berpikir.” Katanya ngelak.
Di tengah pembicarakan kami, seoran teman kami datang dari arah
belakang Senton dan menepok pundaknya.
“Astaghfirullah. Asu tenan kowe, gawe kaget!” kata Senton spontan.
Aku tak dapat menahan tawa. Tampaknya watak Senton yang ini takkan
sembuh kalau orangnya tidak mati. Benar kata pepatah Jawa, ciri wanci
lelai ginawa mati.
Asem!
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 47

Paribasan (74): Dahwen ati open


Arti harfiahnya adalah mencela tapi ingin merawat. Maknanya adalah
banyak mencela tapi ingin memiliki barang yang dicelanya itu.
Pak Khusen pusing tujuh keliling menghadapi pembeli yang satu ini.
Sudah sejak pukul 7 dan sekarang sudah pukul 9, pembeli ini masih sibuk
meneliti barang-barang dagangannya. Meja kursi dan lemari diteliti satu
persatu. Begitu dia menemukan cacat kecil dia pindah ke barang lain.
Kalau barang yang lain ada cacatnya, dia pindah lagi ke barang lainnya
lagi, dan seterusnya.
Tadi pagi dia datang untuk mencari meja makan. Hanya tersisa satu
buah di showroom.
“Wah gak mau, ini ada retak dikit nih di pojok.” Katanya.
“Di bagian kaki juga ada sedikit lubang.” Katanya sambil terus meneliti.
“Lha ini di top daun, ada plituran yang kasar.”
“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan
jamur ini.”
Kemudian dia pergi meneliti barang-barang lain.
Di saat yang sama seorang pembeli datang mencari meja makan juga.
Tadinya sudah hampir membeli meja makan yang tadi, eh kok ya pembeli
yang datang pertama ikut campur.
“Awas, ada retak dikit nih di pojok.” Katanya.
“Di bagian kaki juga ada sedikit lubang.” Katanya sambil nujukin.
“Dan ini di top daun, ada plituran yang kasar.”
“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan
jamur itu.”
Akhirnya pembeli kedua gak jadi beli. Pak Khusen kesal bukan main.
Hampir saja dia mengusir pembeli pertama. Namun kemudian dia
memutuskan untuk mengambil meja yang tadi, dengan syarat: diberi
potongan harga yang besar.
“Toh mebel itu banyak cacatnya kan?”
Entah mengapa Pak Khusen mau-mau saja. Mungkin agar pembeli gila
itu segera pergi. Pembeli yang dahwen ati open itu.

Paribasan (75): Dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk


Arti harfiahnya dipeluk seperti kain, disuapi seperti burung. Maknanya
adalah sangat dikasihi sehingga semua kebutuhannya dipenuhi.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 48

Mbok Dariyah hanya punya satu anak, itupun sudah besar. Maka dia
girang bukan main ketika adiknya hendak menitipkan anaknya untuk
tinggal bersama Mbok Dariyah.
“Wah itung-itung jadi anak perempuanku yang bungsu.” Begitu pikirnya.
Maka Mbok Dariyah begitu sayang dengan keponakannya. Disekolahkan
di TK favorit yang pulangnya jam 3 sore. Diberi pakaian yang bagus-
bagus. Pokoknya diistimewakan layaknya seorang yang lama tak punya
anak. Maklum memang Mbok Dariyah sudah lama tidak merawat anak,
anaknya sendiri sudah bekerja dan jarang pulang.
Maka ketika ada anak kecil sayangnya bukan main. Ibaratnya
kemanapun selalu dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk.

Paribasan (76): Dolanan ula mandi


Arti harfiahnya bermain dengan ular berbisa. Maknanya adalah sengaja
melakukan pekerjaan yang beresiko.
Gun adalah pemuda desa yang kuat dan kekar. Namun Gun punya sifat
yang amat dibenci oleh bapaknya, dia tidak mau ke sawah mencangkul.
Tentu saja Pak Dunadi, bapaknya, amat jengkel. Siapa yang akan
diharapkan untuk menggarap tujuh hektar sawahnya itu kalau bukan
Gun.
Kejengkelan Pak Gunadi makin menjadi ketika Gun malah ikut menjadi
driver permainan bola maut. Ajang pertunjukkan mengadu nyawa itu
dilakoni sudah setahun lalu.
Satu ketika Pak Gunadi dilapori bahwa Gun terjatuh dan patah tulang
lengan.
Pak Gunadi menanggapi dingin, “Ya sudah dibawa ke rumah sakit sana.
Aku sih gak kaget kalau satu saat dia celaka. Wong tiap hari dolanan ula
mandi, wajar kalau digigit!”

Paribasan (77): Dudu berase ditempurake


Arti harfiahnya adalah bukan berasnya kok dijual. Maknanya
menyumbang saran tapi malah bertentangan.
Mbah Dul sudah merasa tua dan lemah. Dia bermaksud mengumpulkan
anak-anaknya untuk berunding dan menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi. Pokok masalahnya adalah tentang bebek-bebek piaraan Mbah
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 49

Dul yang jumlahnya 1000 ekor itu. Kini Mbah Dul tidak kuat lagi untuk
mengelolanya.
Yang menjadi keinginannya adalah anak-anaknya yang berjumlah empat
orang laki-laki gagah itu mau menggantikan dirinya untuk mengurus
bebek-bebek itu. Menggembalakan bila musim panen tiba. Agar bebek itu
tetap kecukupan nutrinya. Toh selama ini telur-telur bebek itu juga
sampai ke dapur masing-masing anak.
Ketika telah berkumpul semua, putra tertua Makdum mempunyai usulan
yang katanya cemerlang.
“Bapak kan sudah tidak mampu mengembalakan bebek-bebek itu. Jadi
sebaiknya dijual saja semuanya. Beres kan?”
Tentu saja Mbah Dul marah besar. Bukan itu solusi yang diinginkan.
Katanya,”Kalian ini saya undang ke sini untuk menggantikanku
mengembala. Silakan atur sendiri giliran kalian. Bukan malah menyuruh
menjual bebek-bebek. Kalian ini bagaimana, dudu berase kok
ditempurke. Kurang ajar kalian!”

Paribasan (78): Durung cundhuk acandhak


Arti harefiahnya adalah belum cocok sudah ditangkap. Maknanya adalah
belum tahu perkaranya sudah ikut-ikutan bicara.
Sepasang suami istri sedang bercakap-cakap di beranda rumah. Mereka
sedang membicarakan adik perempuan si suami yang telah mempunyai
anak 5 orang. Tiba-tiba istrinya berbisik, “Pah, kayaknya Papah mau
punya keponakan lagi nih, Pah.”
“Ah, siapa yang hamil lagi ma?”
“Tuh adik Papah, yang tahun kemarin baru lahiran.”
“Hah? Masa sih Mah, kan masih punya bayi? Kok Mama tahu?” si
suami terheran.
“Iya, Pah. Kebobolan Pah. Jadi enam dong Pah.” Jawab si istri sambil
mengisyaratkan jumlah jari 6. Udin anak sulung mereka yang melihat
kedua orang tuanya asyik bercengkerama menguping dengar dan sempat
mendengar beberapa kalimat. Tiba-tiba Udin menyahut. “Betul Pah.
Suarez mencetak hattrick. Skor Barcelona-Bilbao 6:0, Pah!”
Sang Ayah menjenggung kepala Udin, “Apa kamu anak kecil nimbrung-
nimbrung? Salah lagi! Durung cundhuk acandhak kamu!”
Udin menggelyor sambil cengengesan.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 50

Paribasan (79): Gemblung jinurung edan kawarisan


Arfi harfiahnya adalah orang gila didorong malah mendapat untung.
Maknanya adalah orang yang berbuat nekad tapi malah menemui
keberuntungan.
Sukro adalah pemuda nganggur yang suka tampil necis. Maklum hanya
itulah yang dapat diandalkan untuk bergaya, menarik perhatian gadis-
gadis di desanya. Dengan ekonomi yang pas-pasan dan otak ber-IQ
jongkok, Sukra harus berusaha keras untuk tampil habis-habisan. Dia
sudah lulus dari sekolah dasar, itupun setelah 6 kali tinggal kelas. Setiap
kelas dia jalani dua tahun-dua tahun, sehingga ketika teman-temannya
sudah pada lulus SMA.
Merasa serba kurang, Sukra bermaksud mendongkrak performanya. Dia
minta shohib kentalnya sejak kelas 1 SD yang sekarang baru masuk
kuliah, Marjono, untuk membantu.
“Pinjami aku motor dong Jon. Buat nglencer dengan si Midah?”
“Aduh Sukro, besok kan saya kuliah. Gak bisa dong!” Jawab Marjono.
Sukro memaksa, dan akhirnya Marjono tidak enak hati terpaksa
menyerahkan motornya pada Sukro yang belum mahir mengendarai itu.
Tidak punya SIM lagi.
Sore harinya, entah Sukro jadi membonceng Midah atau tidak, sepulang
kuliah dengan naik bus Marjono mendapat kabar yang membuat
dunianya gelap gulita. Sukro menabrak buk jembatan dan motornya
ringsek. Aduh, bagaimana ini. Itu motor kreditan pemberian ayahnya
untuk kuliah. Urusan bisa panjang nanti.
Memang benar urusannya sangat merepotkan. Sukro tak punya uang
untuk memperbaiki motor Marjono. Di lain pihak Marjono juga tak mau
motornya sudah dhedhel duwel gak karuan, dia minta ganti motor baru
kepada Sukro, entah bagaimana caranya.
Akhirnya kakak Sukro yang sebenarnya juga gak punya duit bersedia
membayar biaya perbaikan, namun kalau untuk ganti motor tidak bisa
karena itu motor kreditan. Ayah Marjono kemudian menyerahkan motor
itu dan meminta pengembalian DP dan cicilan yang sudah terbayar.
Adapun dia akan kredit lagi. Kakak Sukro terpaksa menerima karena
sudah tak enak hati untuk menolak. Dia dengan berat hati terpaksa
menanggung beban kredit motor akibat ulah adiknya yang gila itu.
Tiga bulan kemudian terjadi sesuatu yang sungguh mengejutkan. Sukro
mendapat hadiah pelunasan dari kreditur motor di hari ulang tahun
perusahaan pembiayaan itu. Motor itu dianggap lunas. Kini Sukro bisa
membonceng Midah dengan lelusa tanpa takut dengan biasa cicilan
bulan depan. Hanya saja kakak Sukro tetap mengingatkan agar Sukro
bekerja dulu kalau sudah senang pacar-pacaran. Biar ada penghasilan.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 51

“Dan jangan membuat repot saya lgi nanti ya?” kata kakak Sukro.
“Ah saya tak membuat repot, buktinya kini kita punya motor baru,
yakan?” Jawab Sukro.
Sang kakak meninju kepalanya, “Dasar tak tahu di untung. Tapi kok iya
kamu malah beruntung ya. Hem..benar-benar gemblung jinurung edan
kawarisan.”
Itulah Sukro yang edan kuwarisan, tapi jangan ditiru ya sobat, kerja
dong kalau mau bonceng cewek. Lebih bagus lagi kalau dihalalin dulu
gih...

Paribasan (80): Nggepuk kemiri kopong


Arti harfiahnya memukul kemiri kosong. Maknanya adalah melakukan
pekerjaan berat yang tidak ada hasilnya.
Entah siapa yang mulai menghembuskan isu, yang jelas kabar bahwa di
dalam sumur itu terdapat perhiasan peninggalan zaman kuno, sudah
menyebar luas. Orang kemudian ribut mengklaim itu sumur siapa dan
siapa yang berhak untuk mengambil perhiasan kuno itu.
Pak Lurah kemudian mengambil alih sumur tua dekat balai desa itu dan
menempatkan hansip untuk berjaga-jaga. Rapat LKMD memutuskan
bahwa perhiasan kuno dalam sumur itu akan diambil oleh
perwakilandari seluruh RW. Masing-masing diminta mengirim dua oran
untuk team penggalian.
Pada hari yang telah ditentukan team yang terdiri dari delapan belas
pemuda gotot mulai melakukan penggalian. Seorang turun ke dalam
sumur dan menggali, dua orang menarik tanah galian. Sementara yang
lain bergiliran setiap dua jam.
Pada sore harinya mereka menemukan sebuah guci dari tembikar yang
disegel. Orang-orang bersorak kegirangan.
“Ini pasti harta karun dari dinasti Syailendra!” Kata seseorang.
“Bukan, jelas ini peninggalan Wangsa Sanjaya!” Sanggah yang lain.
“Sok tahu kalian. Kalau dilihat fisiknya yang dari tembikar, ada
kemungkinan ini lebih muda lagi. Mungkin zaman sultan Agung.”
Macam-macamlah komentar orang. Mereka hanya menebak-nebak saja,
tetapi argumen dan dalilnya seolah arkeolog saja.
Pak Lurah memeriksa guci tembikar yang baru saja dinaikkan. Dengan
hati-hati Pak Lurah memindahkan tembikar itu ke atas meja.
“Saudara-saudara semua, kita berhasil menemukan harta karun
peninggalan zaman kuno. Kita berharap harta ini adalah warisan nenek
moyang yang diperuntukkan bagi kemakmuran desa kita. Namun
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 52

saudara, guci ini milik negara dan harus kita serahkan. Lhah kita
berharap saja negara mau mengganti jerih payah kita ini dengan
memberi ganti yang pantas. Setuju saudara?”
“Setujuuuu...” Serentak mereka menjawab.
Petugas dari dinas purbakala kemudian membuka guci itu dengan hati-
hati. orang-orang berdebar-debar menantikan sambil saling ribut.
“Pasti emas!” kata seseorang.
“Bukan, pasti batu permata simbol negara!”
“Jelas bukan cuk! Paling isinya kelereng!” timpal yang lain. Gerr,
semua tertawa.
Akhirnya guci berhasil dibukan setelah segel kayu berhasil dicopot. Pak
Purbakala melongok isi guci dan tertawa.
“Saudara, guci ini isinya beras dari zaman kuno. Tampak masih bagus
bulir-bulirnya. Luar biasa! Ini penemuan arkeolgi yang langka. Jangan
khawatir saudara, negara akan mengganti penemuan ini dengan harga
seratus kali lipat. Yang berarti satu kuintal gabah kering giling. Besok
bisa diambil di gudang Bulog terdekat!”
Orang-orang tak dapat menahan tawa. Sementara delapan belas pemuda
gotot tiba-tiba menjadi lunglai. Usaha kerasnya sejak pagi seolah hanya
nggepuk kemiri kopong.

Paribasan (81): Nampel puluk


Arti harfiahnya menepis puluk, yakni kepalan tangan yang mau
memasukkan nasi ke mulut. Maknanya adalah menggagalkan rejeki orang
yang sudah di depan mata.
Pak Khusen mengirim bufet raksasa yang dipesan oleh seorang
pelanggannya, Pak Rudi. Buffet itu istimewa, besar dan berat.
Dibutuhkan delapan orang untuk mengangkat ke lokasi penempatan. Itu
pun juga harus dicari dahulu personil yang mengangkatnya.
Akhirnya genap juga pekerja yang akan mengangkat. Mereka adalah
abang becak di depan apotik Sriwijaya. Setelah siap mobil pikap yang
membawa segera mundur agar tepat di pintu gerbang.
Belum lagi mobil pikap berhasil masuk, sebuah mobil sedan tampak
berhenti minta didahulukan. Tapi agaknya posisinya susah kalau pikap
harus balik lagi. Sementara bagian atas mebel terjebak pada talang
gantung. Jadi lebih baik menurunkan dahulu supaya pikap bisa segera
pergi. Para penumpang mobil sedan mengalah. Mereka bahkan
kemudian ikut melihat proses penurunan mebel itu.
“Wah ini mebel besar sekali Pak Rudi?” kata mereka.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 53

“Iya pak. Sesuai ukuran kamar tamu. Jadi harus pesan ini Pak. Tak ada
di toko.” Jawab Rudi.
“Oh pesan ini ya? Mengapa tidak minta warna yang bagus pak kalau
pesan. Sayang ini Pak. Coba kalau warnanya agak sedikit gelap. Cocok
Pak untuk mebel ruang tamu itu.”
Pak Rudi memperhatikan dengan seksama dan mengangguk-angguk.
“Kok iya to. Wah ini gak cocok kalau di kamar tamu.”
“Betul kan Pak kata saya?” kata penupang mobil sedan itu, yang
ternyata pegawai Bank Plecit Rakyat.
Akhirnya Pak Rudi menyuruh membawa mebel itu kembali untuk dicat
ulang. Pak Khusen geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Gagal
bayaran dah! Sambil ngeloyor dia mendenkati pegawai bank dan
berkata, “Sampeyan itu tega nampel puluk. Saya hampir bayaran lho,
jadi gagal. Sialan sampeyan!”

Paribasan (82): Opor bebek mateng awak dhewek


Arti harfiahnya adalah opor bebek matang dengan sendirinya. Maknaya
adalah berusaha dengan kekuatan sendiri agar dapat mandiri.
Juan Jin sebenarnya anak orang kaya. Dan dia beruntung tinggal di
desa, tempat dimana orang kaya dihargai lebih dari sesamanya. Namun
hal itu pula yang membuatnya merasa jengkel. Dalam tradisi keluarga
Juan Jin orang harus berlatih mandiri sejak kecil, dan tidak boleh hanya
ongkang-ongkang kaki saja. Katanya itu tradisi keluarga Juan Jin yang
harus dilestarikan. Karena tradisi itu pula keluarga Juan Jin dapat
bertahan dari berbagai krisis sejak mereka masih tinggal di negeri
Tiongkok, tiga ratus tahun yang lalu.
Namun malang bagi Juan Jin, orang desa seolah tak peduli dengan
tradisi itu. Maka ketika Juan Jin berusaha mandiri sejak kecil dengan
berdagang pisang goreng, orang desa malah mentertawakan.
“Juan, kamu gak perlu jualan pisan goreng! Tinggal minta duit sama
baba kamu, beres kan!” Kata seseorang.
“Ah Juan, baba kamu itu payah. Tak kasihan sama anak! Payah!”
Oleh karena orang desa menganggap jualan Juan Jin hanya guyonan
saja maka mereka juga tak serius. Kadang mereka membeli pisang tapi
ngasih harga kelewatan.
“Ah, dikorting lah Juan.”
“Seribu tiga ya? Nih uangnya.”
“Gak habis ya? Bawa ke gardu saja, tuh banyak orang ronda. Lumayan
dapat pisang gratis!”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 54

Ada-ada saja mereka itu. Namun memang ayah Juan Jin, Baba Juan tak
ambil pusing.
“Sudahlah, kau jualan saja. Rugi pun tak apa. Yang penting kau tahu
caranya jualan.”
Apa yang dilakukan Juan Jin dan saudara-saudaranya memang
membuahkan hasil. Ketika dewasa mereka semua menjadi pengusaha
sukses. Semua dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada orang
tuanya. Di masa tuanya Baba Juan malah mewakafkan sebagian
hartanya untuk kepentingan umum. Semua anaknya sudah bisa
menjalankan prinsip hidup opor bebek mateng awak dhewek, berdikari
sampai mandiri dengan usaha sendiri.
Salut Baba Juan.

Paribasan (83): Suku jaja teken janggut


Arti harfiahnya adalah berkaki dada bertongkat dagu. Maknanya adalah
melakukan sesuatu dengan susah payah namun tetap semangat.
Kyai Kasan Besari adalah ulama kondang yang sangat dihormati oleh
orang-orang desa. Selain ulama yang mumpuni Kyai Kasan adalah
seorang petani ulet. Dia sering ditemukan pada jam-jam tertentu masih
mencangkul sendiri di sawah. Orang-orang kadang heran, Kyai Kasan
kan punya murid banyak, kok tidak menyuruh muridnya saja. Namun
Kyai Kasan punya alasan sendiri.
“Masa iya untuk makan diri sendiri saya harus menyuruh orang lain
untuk menanamnya? Kelak bagaimana aku mempertanggung jawabkan
di hadapan Allah jika urusan pribadiku saja ditangani orang lain.”
Oleh sebab itu pula murid-murid Kyai Kasan sering kali menunggu sang
Kyai selesai macul dahulu baru dapat menimba ilmu.
“Perjalanan menuju Allah itu sulit, jalannya terjal, upayanya keras dan
satu hal lagi; tidak boleh diwakilkan. Harus bersusah payah dalam
menapakinya, ibaratnya suku jaja teken janggut. Beda dengan jalan
bersama Iblis, upayanya mudah dan modalnya murah. Kalau aku
berjalan menuju Allah tapi kok jalannya mudah, aku khawatir telah salah
jalan.”
Filosofi hidup yang khas orang desa. Itulah sebabnya sampai hari ini
masih tersedia sepiring nasi di meja makan, setiap pagi, di rumah-rumah
semua orang di negeri ini.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 55

Paribasan (84): Jajah desa milang kori


Arti harfiahnya adalah memasuki setiap desa dan menghitung pintu.
Maknanya adalah bepergian ke mana-mana, setiap daerah dan tempat
disinggahi.
Abah Dahlan Iskan, begitu dia dipanggil, adalah mantan menteri BUMN
era Presiden SBY. Dahulu sebelum menjabat mentri beliau adalah Dirut
PLN dan jauh sebelumnya adalah direktur koran Jawa Pos. Kini setelah
pensiun dari semua jabatan beliau seharusnya bisa menikmati hidup
dengan mengandalkan laba berbagai perusahaan dan uang pensiunnya.
Namun bukan Dahlan Iskan kalau mau berpangku tangan, atau ongkang-
ongkang kaki.
Dahlan Iskan mengambil langkah beresiko dan menantang sebagai
pengisi hari tuanya, keliling Amerika. Berbagai tempat telah beliau
singgahi, mulai Texas, Niagara, Laredo, New York, sampai ke
pedalaman Amerika seperti di Hays. Kebiasaan beliau adalah mencari
masjid untuk ikut berjamaah dengan umat Islam di sana. Praktis dia
bertemu dengan para imigran muslim yang menetap atau sedang musafir
di Amerika dari berbagai budaya dan aliran. Dengan tatacara mereka
yang khas dalam ibadah.
Meski ada tugas besar dalam setiap perjalannya, Abah Dahlan
menikmatinya seolah sedang piknik. Pengalamannya njajah desa milang
kori di Amerika kemudian dituangkan ke dalam situs pribadinya,
disway.id. Selamat Piknik Abah Dahlan!

Paribasan (85): Jabung alus


Jabung adalah getah pohon yang sangat lengket. Arti harfiahnya adalah
menempel dengan halus. Makna peribahasa ini adalah menipu atau
membujuk dengan perkataan yang manis dan ramah.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 56

Duryudana sedang njabung alus, membujuk agar Prabu Salya membantunya


Ilustrasi dari kitab Mahabharata terbitan Gorakhpur Geeta Press (dimuat Wikipedia)

Prabu Salya telah menyiapkan balatentara menuju padang Kuruksetra.


Dia sudah bertekad untuk membela Pandawa. Dua keponakannya yang
telah yatim-piatu itulah alasannya untuk bergabung. Sejak kecil Nakula
dan Sadewa, putera dari mendiang adiknya, Madrim, sudah dianggapnya
sebagai anak sendiri. Teramat besar kasih sang Prabu Salya kepada
keduanya.
Memang ini perang yang membingungkan. Di satu pihak ada keponakan
yang sangat dikasihi. Di lain pihak ada anak dan menantu, darah
dagingnya sendiri. Para ksatria Kurawa adalah menantu-menantunya,
Prabu Duryudana menikah dengan anaknya, Banuwati dan Senapati
Karna menikah dengan Surtikanti. Dua putrinya akan jadi janda jika
mereka tewas dalam perang. Namun karena panggilan kebenaran, Salya
memilih untuk berpihak kepada Pandawa.
Akan tetapi keberpihakan itu tidaklah mudah. Jelas para ahli strategi
Kurawa menangkap kegalauan yang amat besar di hati Prabu Salya.
Mereka merencanakan trik yang sangat halus. Di sepanjang rute yang
akan dilalui Prabu Salya dari negeri Madra ke Kuruksetra telah
dibangun pondok-pondok untuk singgah. Setiap saat pasukan Salya
mendapat penghormatan dan jamuan yang ramah. Prabu Salya merasa
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 57

dihargai dan dihormati dengan cara yang membuat hatinya berkenan.


Ketika hampir tiba di Kuruksetra Prabu Anom Kurupati (Duryudana)
sendiri yang menyambutnya. Dengan bertingkah sopan, memberi hormat
dan mangestu pada kepada sang mertua. Adipati Karna yang biasa
bermulut lancap pun kali ini selalu berkata manis.
Prambu Salya bimbang, terutama setelah tahu bahwa pondok-pondok
yang disinggahi pasukannya di sepanjang perjalanan adalah pekerjaan
Duryudana. Dan Duryudana pun tanggap.
“Rama Prabu segala keselamatan ananda saya serahkan kepada Rama
Prabu sebagai senapati Perang. Siapa lagi yang bisa saya minta
perlindungan selain rama Prabu sendiri. yang sudah saya anggap
sebagai ayah sendiri.”
Prabu Salya akhirnya tebujuk ikut ke barisan Kurawa, karena tindakan
halus Duryudana yang melakukan jabung alus, terus menempel dengan
ketat sepanjang jalan. Namun kegalauan tetap merayap di hati Prabu
Salya. Itu sebabnya ketika menjadi sais Karna dia tidak sepenuh hati
menjalankan tugas. Akibatnya Karna tewas di tangan Arjuna. Dan ketika
Salya akhirnya menjadi Mahasenapati, dia memilih tewas di tangan
keponakan yang sangat dia hormati karena kejujurannya, Puntadewa.
Sebuah lembing jelmaan pusaka serat jamus Kalimasada menembus
dadanya.

Paribasan (86): Kebak sundukane


Arti harfiahnya adalah sudah penuh sundukannya. Maknanya adalah sudah
lengkap perbuatan buruknya.
Halayuda benar-benar terjepit. Dia sudah tidak bisa bergerak lagi.
Semua teman yang dulu seperjuangan sekarang menjadi musuh baginya.
Tidak ada lagi sekutu baginya. Semua itu akibat ulahnya sendiri.
Dahulu ketika Patih Nambi baru diangkat Halayuda sudah menghasut
dengan menyebarkan berita kalau Nambi tidak pantas menjadi patih
amangkubumi. Dia kemudian menghasut agar Ranggalawe menuntut
Jabatan itu. Halayuda belum puas kalau orang-orang yang dibencinya
belum sirna. Dia menghasut pula kepada Nambi untuk menghabisi
Ranggalawe. Akhirnya Nambi mengerahkan pasukan Majapahit. Kebo
Anabrang turun tangan membereskan Ranggalawe dengan
membunuhnya dalam pertempuran di sungai tambak beras. Paman
Ranggalawe, Lembu Sora tidak tahan melihat cara Kebo Anabrang
membunuh Ranggalawe. Dia kemudian membunuh Kebo Anabrang dari
belakang.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 58

Kelak Halayuda pula yang menghasut anak Kebo Anabrang agar


menuntut balas. Raja kemudian menghukum Lembu Sora atas
perbuatannya membunuh Kebo Ananbrang.
Namun tampaknya Halayuda belum puas juga. Nambi pun difitnah
sebagai pemberontak sehingga dia pun tewas diserang pasukan
Majapahit ketika berada di rumah orang tuanya.
Akhirnya Halayuda diangkat sebagai mahapatih menggantikan Nambi.
Hal itu terjadi setelah semua rekan seperjuangannya dalam mendirikan
Majapahit disingkirkannya. Walau sudah menjadi Mahapatih apa yang
akan dilakukannya kini? Sedang dirinya sudah penuh dosa, sudah kebak
sundukane. Semua orang membencinya kini. Satu persatu musuhnya
keluar hendak membalas dendam. Sebentar lagi dia habis.

Paribasan (87): Kesandhung ing rata, Kabentus ing


tawang
Arti harfiahnya adalah tersandung tanah rata, terbentur oleh langit.
Maknanya menemui kecelakaan tanpa diduga atau kecelakaan yang sepele.
Bobby Leach adalah penantang maut kelas wahid. Berkali-kali atraksi
berbahaya dia lakukan. Tahun 1910 dia terjun ke pusaran sungai
Whirpool dengan mengarungi jeram-jeram berbahaya dalam sebuah
tong. Itu tak cukup baginya. Tahun 1911 dia melakukan hal yang sama di
atas air terjun niagara. Dia selamat meski keadaannya parah. Dua
tempurung lututnya pecah dan rahangnya patah.
Kegemarannya masuk tong dan dihanyutkan di sungai telah
mengantarkannya ke berbagai belahan dunia, di Amerika dan Eropa.
Dan dia selalu selamat, bak punya seribu nyawa.
Setelah berkali-kali selamat dari aksi yang membahayakan nyawa ini,
Bobby Leach akhirnya meninggal akibat perkara yang sepele.
Saat melakukan tur di Selandia Baru, dia terpeleset kulit jeruk. Ia
kemudian menderita gangrene yakni kematian jaringan tubuh di kaki dan
harus diamputasi. Kecelakaan yang dialaminya sungguh tak disangka
akan menyebabkan kematian. Akhirnya, ia pun mengembuskan napas
terakhir akibat komplikasi. (Sumber national geographic)..
Kalau dibanding dengan marabahaya yang telah ditempuhnya,
kecelakaan yang dialami Bobby Leach ibarat kesandhung ing rata,
kabentus ing tawang. Kecelakaan yang tak terduga.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 59

Bobby Leach dan tong yang dia pakai untuk mengarungi sungai-sungai
(Sumber: nationalgeographic.grid.id)

Paribasan (88): Karubuhan gunung menyan


Arti harfiahnya adalah tertimpa runtuhan gunung menyan. Maknanya
adalah mendapat keberuntungan yang sangat besar.
Semula di melakukannya sebagai hobi. Dasarnya memang pecinta
tumbuhan dan tananam. Kalau tanaman atau bunga yang bagus pasti dia
tertarik untk menanam. Pekerjaannya sehari-hari adalah satpam, profesi
yang jauh dari dunia tanaman.
Rezeki kadang datang tak terduga, itu pula yang dialami Pak Bendhot,
tokoh kita ini. Sepuluh tahun yang lalu dia membeli tujuh
pohon Anthurium Jemani.
“Pohonnya bagus. Saya suka aja!” itu katanya.
Kini tujuh pohon itu telah menjadi indukan besar yang berbunga dan
berbuah. Setiap pohon idukan bisa menghasilkan ribuan anakan. Ketika
musim Jemani booming beberapa tahun lalu, Pak Bendot untung besar.
“Saya sampai tak bisa berkata-kata Mas. Bisa bunga seperti itu
menghasilkan uang yang sangat banyak. Subhanallah. Luar biasa!”
Katanya haru.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 60

Jauh sebelum Jemani booming dia memang sudah membudidayakan.


Dengan modal tujuh indukan itu dia telah mempunyai ribuan bibit
Jemani siap jual. Bahkan dia sempat kewalahan menangkarkan
benihnya. Tiga dari tujuh indukannya waktu itu kemudian dijual seharga
masing-masing 100 juta.
Ketika ditanya berapa pendapatannya ketika booming Jemani itu. Pak
Bendot hanya menjawab diplomatis.
“Wah banyak mas. Saya ini ibaratnya karubuhan gunung menyan.
Sampai tak bisa menghitung saya. Karena untung saya bukan hanya
uang yang melimpah tapi juga bertambah sanak saudara dan mendapat
banyak teman sesama penyuka tanaman hias. Itu luar biasa.”
Luar biasa Pak Bendot ini. Rejeki orang memang tak bisa diduga.

Paribasan (89): Kandhang langit kemul mega


Arti harfiahnya adalah berkandang langit berselimut mega. Maknaya
adalah hidup yang sangat menderita, sampai tak punya apa-apa.
Sejak ada program rumah DP 0 rupiah, Slamet bernapas lega.
Harapannya kembali bangkit untuk mempunyai rumah sendiri. Sebagai
manusia gerobak yang tidur di jalanan Slamet jelas butuh tempat
berteduh. Sesederhana apapun itu, entah tipe 21 atau tipe15 atau bahkan
tipe 9, dia pasrah. Itu dirasa lebih layak ketimbang rumahnya sekarang
yang tipe 2x1 portable, alias gerobak bututnya itu.
Memang keadaan Slamet amat memprihatinkan. Setiap hari dia keliling
mencari sampah dengan gerobaknya itu. Setelah menyetor ke pengepul
sampah dia buru-buru membersihkan gerobaknya untuk nanti malam
disulap menjadi rumah, tempat untuk tidur.
Karena parkirnya tak tetap dia juga tak punya sarana lain. MCK dan
makan dapat dilakukan dimana saja. Kadan di toilet umum atau di
masjid-masjid. Dia selalu berpindah-pindah agar rejekinya yang tak
seberapa itu tidak mandeg.
Ketika ditanya warga, sampeyan kok tidak ngontrak aja atau mencicil
rumah? Slamet selalu menjawab, “Saya punya rumah besar, dunia
seisinya ini dan saya tak perlu takut dingin karena berselimut mega. Kata
pepatah Jawa; kandhang langit kemul mega.”
Tapi tampaknya jawaban Slamet akan lain, di bulan-bulan mendatang.
Itu kalau rumah DP 0 rupiah terlaksana. Sabar ya Met!
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 61

Paribasan (90): Cerak kebo gupak


Arti harfiahnya adalah dekat dengan kerbau akan terkena lumpur. Karena
kerbau adalah ewan yang suka berkubang, jadi tubuhnya akan selalu
berlepotan lumpur. Siapa saja yang dekat akan beresiko terkena. Makna
paribasan ini adalah jika kita dekat dengan orang jahat kita akan terpapar
kejahatannya.
Pak Modin pusing tujuh keliling. Sudah tiga bulan ini berturut-turut dia
selalu dipanggil oleh guru BP di sekolah Nandang, anaknya yang baru
SMP. Yang terakhir dia diultimatum; kalau tidak bisa mendidik anaknya
di rumah si anak akan dikeluarkan dari sekolah.
Pokok persoalannya adalah si Nandang ini sering dilaporkan oleh teman
sekolahnya mencuri onderdil kendaraan para guru. Sering kelihatan
nongkrong di perempatan jalan menggoda gadis-gadis. Dan yang parah,
pernah ketahuan merokok di kantin Pak Ono. Tukang kebun yang mantan
preman itu.
Siang ini sepulang dari menghadap guru BP Pak Modin sangat marah
karena ultimatum Pak Guru tadi. Dia kemudian memanggil anaknya si
Nandang.
“Nandang! Bapak sangat malu karena kata gurumu tadi engkau sering
berbuat jahat di luar sana. Apa bapak pernah mengajarkan yang
demikian itu padamu? Apakah kamu tidak melihat kedudukan bapakmu
ini yang selalu memberi nasihat kepada banyak orang. Kok malah
anaknya sendiri nakal gak ketulungan. Bagaimana kamu ini, Nandang?”
Nandang hanya bisa gemetar mengetahui bapaknya marah. Dia harus
menjawab dengan hati-hati kalau tidak ingin tabung gas melayang ke
kepalanya, seperti yang terjadi minggu lalu pada pamannya. Dia tahu
ayahnya sangat tidak toleran dengan anak nakal.
“Anu Pak, e..eh, sebenarnya bukan saya pelakunya Pak. Teman-teman
saya yang melakukan!”
“Siapa?”
“Dandung dan Gombloh!”
“Lalu mengapa engkau bisa tertuduh?”
“Mereka langsung lari ketika kepergok, sedangkan saya tak bisa lari
kencang. Jadi orang tahunya saya yang mengambil.” Nandang masih
gemetar, tampak celananya basah.
Pak Modin menarik napas panjang. Dia tahu anaknya jujur.
“Makanya Ndang, kalau bergaul itu memilih teman yang baik. Kalau kau
berteman dengan orang jahat engkau akan terkena akibatnya, atau
malah nanti bisa ikut-ikutan jahat. Ibaratnya cerak kebo gupak! Paham
kamu ya?”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 62

“Eh..i..iya Pak!” Nandang ngompol beneran!

Paribasan (91): Keduwung nguntal wedhung


Arti harfiahnya adalah menyesal memakan pisau. Maknanya adalah
menyesali suatu perbuatan tetapi sudah terlambat. Sudah terlanjur berbuat,
akan mundur sudah tak bisa, maju pun susah.
Entah bagaimana mulanya, Patih Patih Pringgalaya kini hanya bisa
meratapi nasib. Hidupnya kini tak menentu. Belanda tak lagi
mempercayainya. Raja pun sudah angkat tangan tidak bisa menolongnya.
Sementara, seteru abadinya, Pangeran Mangkubumi kini sudah menjadi
raja yang berkuasa dan ditakuti Belanda.
Dia ingat akan sumpahnya dulu ketika Pangeran Mangkubumi masih
memberontak. Kalau saja dia berhasil dirinya lebih suka keluar dari
keraton untuk hidup mengembara, meninggalkan semua kedudukan
sebagai pejabat. Kini apa yang disumpahinya telah terjadi. Dan ternyata
dia merasa berat untuk menepatinya.
Segala usaha telah dia kerahkan agar seterunya itu lenyap, namun justru
bertambah kuat. Seolah angin berbalik, kini Belanda yang selalu dia
bantu pun tak lagi berpihak kepadanya. Terakhir dia kena semprot
Letnan Gubernur Nicholas Hartingh akibat pendapatnya yang kukuh
mempertahankan beberapa wilayah agar tak jatuh ke tangan
Mangkubumi.
Kini Nicholas Hartingh sangat marah kepadanya dan menuduhnya
sebagai orang yang menghambat perdamaian.
Eh..hmmm. Pringgalaya mendesah pelan, membuang galau yang meliputi
hati. Tak juga dia mendapat titik terang. Nasibnya memang sudah habis
kini. Sebentar lagi dia akan dicopot dari jabatan patih. Kekuasaannya
akan dilucuti dan boleh jadi dia akan dibuang. Posisinya sudah
keduwung nguntal wedhung. Menyesal tapi jalan untuk memperbaiki
semuanya sudah terlambat, sedang di hari esok kesengsaraan sudah
terbayang. Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan itu semua. Yah,
hanya itu caranya.
Perlahan Pringgalaya mengambil warangan dan mencampurnya dengan
perasan jeruk nipis, sedikit gula akan membuatnya tidak terasa pahit.
Akhirnya yang terjadi mesti terjadi dan menjadi catatan sejarah hitam
keraton Surakarta. Ah, Pringgalaya. Hmmm.....
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 63

Paribasan (92): Kerot ora duwe untu


Arti harfiah kerot-kerot adalah bunyi gesekan antara dua gigi atas dan
bawah. Makna paribasan ini adalah akan melakukan pekerjaan tapi tak
punya sarana yang cukup.
Ki Bekel Dadya Tinumbala sebenarnya ingin agar penikahan putrinya
diramaikan dengan meriah. Karena ini adalah pernikahan terakhir dari
anak-anaknya yang berjumlah delapan. Ketika anak pertama menikah
dahulu Ki Bekel masih berstatus magang karena mertuanya, Ki Bekel
Dadya Mulyaharja masih menjabat. Maka dia tak mampu
menyelenggarakan pesta. Hanya cukup menikahkan anaknya dihadapan
pak Modin saja.
Selanjutnya ketika anak-anaknya yang lain menikah negara dalam
keadaan peperangan yang berkelanjutan. Kini dia merasa keadaan telah
aman selama bertahun-tahun, seharusnya dia dapat mengadakan pesta
pernikahan dengan meriah. Acara itu juga sekaligus akan menjadi ajang
reuni untuk mengumpulkan sanak saudara, teman-teman pondoknya
dahulu dan para kolega di pemerintahan. Sudah lama Ki Bekel
menunggu hal itu terjadi.
Namun yang menjadi masalah, pernikahan putrinya baru terlaksana saat
usia Ki Bekel sudah 95 tahun. dalam usia selanjut itu apa yang bisa
dilakukan Ki Bekel. Jabatan sudah lama diserahkan kepada negara,
takkan mampu lagi dia menyelenggarakan pesta meriah. Diantara teman
dan kolega hanya tinggal Ki Pujanagara yang masih hidup. Reuni
dengan teman yang diangankan Ki Bekel jelas takkan terwujud.
Keadaan Ki Bekel sudah kerot ora duwe untu. Walau kehendaknya
masih ada, sarananya sudah tak tersedia.

Paribasan (93): Kulak warta adol pangrungon


Arti harfiahnya adalah memborong berita dan menjual apa yang dia
dengar. Makna paribasan ini adalah menyebarkan berita tanpa
diklarifikasi, apa yang dia dengar langsung disebarkan.
Akhir-akhir ini, sejak marak penggunaan telepon pintar dan kemudahan
sarana komunikasi banyak tersebar berita bohong atau hoax. Sejak
platform komunikasi berindah ke aplikasi berbasis data seperti
Whatsapp, Facebook, Instagram dan media jaring sosial yang lain,
penyebaran berita memang menjadi sangat mudah. Terutama sejak
adanya tombol sialan yang bernama “share”. Dengan sekali memencet
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 64

tombol digital itu, tersebarlah apa yang baru saja dibaca ke seluruh
penjuru jejaring sosial yang bersangkutan.
Banyak orang yang tidak peduli lagi, apakah berita yang di-share tadi
benar atau tidak. Mereka menganggap remeh validitas sebuah berita.
Toh kalau tidak benar juga berita baik akan menginspirasi, begitu pikir
mereka. Orang-orang ini telah meremehkan kenyataan bahwa jika berita
itu tidak benar maka itu berarti sebuah kebohongan.
Namun sejatinya perilaku demikian sudah dilakukan oleh orang-orang
sejak zaman dahulu. Oleh karena itu para leluhur mengingatkan agar
kita tidak melakukan hal tersebut. Mereka mempunyai ungkapan untuk
menggambarkan hal tersebut, yakni aja sok kulak warta adol
pangrungon.

Paribasan (94): Kuping budheg dikoroki


Arti harfiahnya telinga tuli dibersihkan. Maknanya adalah mengatakan
kepada orang tak tahu, akhirnya malah merugikan.
Dul Kempul untung besar.
“Luar biasa! Yes!” Begitu pekiknya tadi. Seharian mancing di tempat
sepi, eh... dia tidak mendapatkan satu ikan pun. Ketika mau berhenti,
dengan perasaan dongkol. Eh... ada tas kecil nyangkut di kailnya.
Tampaknya tas bagus, entah dari mana. Tapi yang bikin kaget adalah
isinya, 4 juta rupiah.
Bergegas dia keluar dari tempat mancingnya. Ketika hendak menuju
jalan besar tampak olehnya banyak orang dan polisi.
“Ada apa itu Pak?” Tanya Dul Kempul pada seseorang yang baru
datang membawa pnacing juga.
“Oh, itu ada kecelakaan mobil tadi. Bisa kecebur sungai. Semua
penumpangnya selamat, tapi ya bisnya gak ketulungan karena nyemplung
di tengah sungai. Tuh di atas sana!”
Dul Kempul menduga, tas yang ia temukan adalah milik penumpang bus
yang kecebur. Boleh jadi polisi itu sedang merazia barang-barang yang
hilang. Dia tak mau dituduh mencuri, dan sayang juga uang 4 juta nanti
diambil, padahal ia sedang butuh.
Akhirnya Dul Kempul kembali ke tempat mancingnya yang tersembunyi,
menyembunyikan tasnya di bawah semak-semak dekat pohon pisang.
Dia kemudian kembali ke jalan, tapi kok kepikiran tas itu lagi. Oh ya, si
bapak yang juga mancing tadi bisa dititipi.
“Pak saya pulang sebentar, saya titip tas saya di bawah pohon pisanng
itu, kalau ada yang ngambil sampeyan larang ya?”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 65

“Oh ya nak!”
Malam harinya Dul Kempul ditemani Dul Robot kembali untuk
mengambil tas itu. Masih utuh. Tapi isinya kok...tinggal 800.000? lha
lainnya kemana? Waduh, pasti si bapak itu tadi!
Dul Robot yang menyertai Dul Kempul tertawa, “Bodoh kamu Pul, orang
tidak tahu kok kamu kasih tahu. Ibarat kuping budheg dikoroki. Tentu
saja dia penasaran. Tapi mending kau masih kebagian Pul. Hahaha...”
Lha iyo to, kuping budheg kok dikoroki. Salahmu dhewe Dul...

Paribasan (95): Mecel manuk miber


Arti harfiahnya adalah membuat pecel burung yang masih terbang.
Maknanya orang yang serba tercapai apa yang diinginkan.
Pada suatu hari Ki Juru Mudhi menemani seorang bule dari Amerika ke
Waduk Wadas Lintang. Hujan rintik-rintik ketika mereka sampai di
bendungan. Bule itu menyuruh Ki Juru berhenti sebentar untuk melihat-
lihat pemandangan yang asri.
Sampai jauh di sana, yang tampak hanya air. Entah dimana ekor dari
waduk yang besar ini, tak kelihatan. Jajaran pegunungan
menyembunyikan ujung waduk yang dibuat di era Presiden Soeharto ini.
“Wah Ki pemandangan di sini sangat indah ya. Aku pengin punya villa di
sana itu Ki. Pasti kalau suasana hujan begini sangat menyenangkan
untuk tetirah. Bisa menghilangkan stress.”
Ki Juru dalam batin tak percaya dan menganggap perkataan itu sekedar
guyonan. Maka dia menanggapi ringan dan mengiyakan saja.
“Betul Tuan, itu bagus buat villa. Adem dan sejuk!”
Namun dia kaget ketika Bule itu mengajak mencari pemilik gunung itu.
“Itu gunung besar Tuan. Harganya pasti mahal dan mungkin tidak dijual
oleh semua pemiliknya.”
“Kita coba dulu Ki. Belum mencoba kok sudah pesimis!”
Ki Juru manut saja. Dan akhirnya dia menemukan pemilik tanah itu,
lebih tepatnya gunung itu. Seorang seniman bernama Ki Wahyono.
“Itu tidak dijual Mister! Untuk apa dijual wong saya tidak sedang butuh
uang?”
“Tapi saya ingin memiliki tanah itu. Bagaimana kalau saya tukar di
tempat lain? Jadi saudara tetap punya tanah. Saya kasih tanah yang
lebih produktif. Bagaimana?”
“Tapi itu mahal Mister. Karena tanahnya seluas 10 hektar dan bukan
hanya punya saya sendiri. ada beberapa saudara dan tetangga.”
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 66

“Silakan dirundingkan dulu. Kalau sudah sepakat silakan bicara.


Sekarang juga.”
“Kok maksa sih tuan!”
“Iya mumpung saya masih di sini. Saya hanya lewat lho. Kalau saudara
tidak cepat kesempatan hilang.”
“Ya tuan, tapi tanah mana yang akan dipakai ganti?”
“Saudara tunjuk saja tanah yang akan dijual nanti saya yang bayar!”
Mereka berunding dan sepakat untuk tidak menjualnya. namun kalau
menolak orang bule itu pasti akan membujuk lagi. Jadi mereka meminta
tanah lapang di sebelah jalan raya Kuthaarja sebagai ganti. masing-
masing dari sepuluh orang pemiliknya minta sepuluh hektar. Jadi 100
hektar tanah lapang dekat jalan raya. Biar saja sekalian tidak tanggung-
tanggung mintanya. Wong mereka juga sebenarnya enggan menjual.
Hitung-hitung menolak halus.
“Ah, begitu saja kok lama negonya. Mbok dari tadi ngomong. Saya
setuju.”
“Tapi Tuan, apakah tuan punya duitnya? Itu...itu mahal sekali lho...”
“Ya saya tidak membawa, tapi kalau Anda semua serius segera saya
wujudkan. Ini saya beri tanda jadi 10 Milyar dulu. Nanti segera diurus
staf saya. Ok ya! Ini kartu nama saya.”
Bule itu meninggalkan mereka dengan uang 10 M. Sampai-sampai Ki
Wahyono pingsan ketika menerima uang sebanyak itu. Tapi siapa sih
bule itu kok beraninya membeli tanah gunung dengan harga sangat
tinggi.
Mereka membaca kartu nama yang diberikan, dan tertera disana
namanya dengan jelas.

Wooow......lha pantes dia orangnya. Lha mbok ibarat mecel manuk


miber, keinginan orang ini akan terlaksana.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 67

Paribasan (96): Nglungguhi klasa Gumelar


Arti harfiahnya adalah menduduki tikar yang sudah digelar. Maknanya
adalah menempati tempat yang semuanya sudah tersedia.
Mbah Cipto melihat haru ketika rumahnya dirubuhkan. Hasil jerih payah
masa mudanya musnah sudah. Rumah dari kayu jati kelas I yang biaya
pembangunannya dikumpulkan dari tetes-tetes keringat mudanya, kini
menjadi kayu bongkaran tak bernilai.
Anak-anak muda zaman sekarang sering melupakan sejarah. Bagaimana
orang-orang tua zaman dahulu harus berjuang melawan ketidakadilan di
masa penjajahan. Dengan bekerja keras orang tua zaman dahulu baru
dapat membuat rumah. Setelah mereka rela berpuasa, menahan lapar,
rela telanjang tanpa baju, demi menyisihkan sedikit harta untuk anak
cucunya. Itu pula impian Mbah Cipta ketika mendirikan rumah bagi
anak-anaknya. Dia pilih bahan-bahan dari kayu jati bagus yang sanggup
bertahan ratusantahun. Harapannya kelak anak-anaknya dapat hidup
nyaman, tinggal nglungguhi klasa gumelar. Karena semua sudah
tersedia.
Namun impian Mbah Cipto sirna. Anak-anaknya memilih membongkar
bangunan tua nan kukuh itu. Dan alasannya membuat Mbah Cipto tak
kuasa menahan airmata.
“Pak rumah ini modelnya sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak model
lagi sekarang. Jadi harus dibongkar!”
Mbah Cipto memandang hasil karya masa mudanya itu, sambil mupus
menenangkan diri, “Ah, setidaknya anakku bisa membuat sesuatu yang
lebih baik dari padaku dahulu!”

Paribasan (97): Wastra lungset ing sampiran


Arti harfiahnya adalah kain yang kusut di gantungan. Maknanya sesuatu
yang tidak dipakai justru akan rusak.
Sudah lama Rahmad membeli motor skuter itu. Sejak dia kenal dengan
Minten, gadis tetangga desa yang hitam manis. Maksud hati hendak
menyenangkan hati Minten dengan tiap hari antar jemput ke pabrik,
tempat kerjanya. Namun malang tak dapat ditolak. Belum sempat angan-
angannya tercapai, baru sepulang dari dealer motor, mendadak Rahmad
mendengar kabar yang mengagetkan. Layaknya disambar geledek,
sampai Rahmad pingsan tiga hari-tiga malam. Minten dilamar den
baguse Gondo. Pemuda tampan dan kaya dari kampung sebelah.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 68

Hancur sudah harapan Rahmad, rasanya kepengin mati saja. Percuma


beli skuter keluaran terbaru bila Minten tak diboncengan. Dan benar
saja skuternya ndongkrok tak terpakai.
Kini setelah lima tahun berlalu. Rahmad sudah bisa move on. Limbuq,
gadis ayu anak Kades Dadapan yang menjadi incarannya. Tiap hari dia
harus kuliah di Unwidha. Kesempatan baginya untuk antar jemput.
Maka dia keluarkan skuter lawas yang masih baru itu. Tapi dia harus
menelan kekecewaan karena skuternya mogok. Di bengkel teknisi
menyarankan ganti beberapa onderdil.
“Lho kok bisa mas. Ini sekuter baru lho, maksudnya belum pernah
dipakai.”
Jawab si teknisi, “Justru itu mas. Onderdil ini rusak karena skuter ini
tidak pernah dipakai. Ibaratnya wastra lungset ing sampiran mas.
Seperti kain itu kalau tidak dipakai kan malah rusak dan jamuran mas.
Ini yang terjadi.”
Wah Rahmad harus merogoh kocek lagi dalam-dalam. Sabar Mad, nanti
kalau jodoh takkan kemana kok si Limbuq itu.

Paribasan (98): Midak telek ora penyek


Arti harfiahnya adalah menginjak kotoran ayam saja tak mampu.
Maknanya adalah tak mampu melakukan sesuatu pekerjaan apapun.
Citraksi duduk termenung di hadapan sang paman Patih Harya Suman
sambil ngoplok gemetaran. Dia dimarahi habis-habisan. Itu memang
salahnya, dia tak hendak membela diri. Walau sejatinya tugasnya
memang berat, sangat berat untuk siapapun.
“Kamu Citraksi...Citraksi.....diberit tugas untuk mencari suara di
Kadipaten Cempala Madya saja kok tidak becus. Satria kok tidak pernah
menunjukkan kemampuan. Mbok lihat si Gatot kaca itu. Mengatrol orang
sudra saja bisa jadi bupati. Lha kamu? Ah....dasar bego!’
Kata Paman Haryo Suman tadi bener-benar membuatnya sakit hati. lha
iya jelas kalau Gatotkaca berhasil, lha wong tokoh yang didukung untuk
maju sebagai raja muda di Cempala Radya adalah Joko Sempulur, tokoh
yang dikenal bersih dan jujur, berintegritas dan berakhlak mulia, rendah
hati dan santun.
Ini jelas beda dengan sang paman yang sudah dikenal culas, omongnya
kasar, pernah menerima upeti dari pencuri, dan yang terakhir ini parah;
gagal dalam pemilihan raja muda di Cempala Madya selama empat kali
berturut-turut.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 69

Tapi bukan Harya Suman kalau tidak menimpakan kesalahan kepada


sang keponakan yang gagap itu. Setelah panjang lebar marah, Harya
Suman masih tega mengatai Citraksi begini.
“Citraksi..Citraksi...kamu ini ksatria cap apa? Midak telek wae ora
penyek. Bisamu apa Citraksi? Dasar bego!”
“Mmm...a...a...pa....pam.....!” tiba-tiba. Des! Plok! Glangsar! Citraksi
menampar dan memukul sang paman. Dan tiba-tiba gagapnya hilang.
Sambil berkacak pinggang dia memaki sang paman yang terkapar.
“Dasar Sengkuni Culas! Mampus kau!”
Dia berjalan ke arah pintu depan dan menendangnya, hancur berkeping-
keping.
Sengkuni masih berkunang-kunang memandang sang keponakan yang
menjauh. Kali ini dia yang gemetaran.

Paribasan (99): Nabok nyilih tangan


Arti harfiahnya adalah memukul dengan meninjam tangan orang lain.
Maknanya adalah mencelakakan orang dengan memakai kekuatan orang
lain.
Sudah lama Prabu Anom Kurupati memendam kebencian kepada
Bratasena. Panenggak Pandawa itu ibarat klilip di mata, kerikil dalam
sepatu, yang membuat hidupnya tidak nyaman. Sebagai sesama murid
Pandita Durna Bima lebih menonjol dari dirinya dalam menguasai ilmu
sang guru. Bratasena adalah murid yang patuh dan selalu menurut.
Mungkin itulah yang membuat Bratasena cepat menguasai ilmu yang
diberikan oleh sang Guru. Kelebihan Bratasena adalah memainkan
senjata gada, sama dengan Duryudana. Namun yang disebut belakangan
selalu menjadi pecundang.
Oleh karena itu Duryudana bermaksud mencelakakan Bratasena melalu
kepatuhannya kepada sang Guru. Rupanya Pandita Drona terdesak oleh
kuasa Duryudana sebagai Prabu Anom sehingga terpaksa meluluskan
permintaan Duryudana yang licik.
Pandita Drona mamanggil Bratasena dan menyuruh untuk mencari air
suci di dasar samudra. Dasar Bratasena selalu menurut tanpa ragu lagi
dia melaksanakan perintah sang Guru. Dia menceburkan diri dan menuju
dasar samudra. Sebelum terjun banyak orang mengingatkan agar
Bratasena mengurungkan niatnya. Namun dia memaksakan diri untuk
terjun ke laut karena sangat percaya kepada gurunya.
“Guruku takkan mencelakakanku!” begitu katanya.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 70

“Tugasku memang berat, tapi aku sudah bertekad untuk


melaksanakannya. Kalaupun nanti aku mati itu sudah takdir, bukan
karena ditelan lautan ini penyebabnya!”
Begitulah Bratasena yakin dan mencebur betulan.
Sementara itu Duryudana bertepuk tangan di atas tebing yang jauh,
merayakan kematian musuhnya yang sudah di depan mata. Takkan ada
orang yang bisa hidup kalau masuk ke dasar samudra. Itu pasti.
Akhirnya dia lega karena tipudayanya nabok nyilih tangan gurunya
berlangsung sukses.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kalau pembaca ingin tahu silakan
mengikuti lakon Bima Suci di pertunjukkan wayang kulit terdekat.

Paribasan (100): Nggered ori saka pucuk


Arti harfiahnya menyeret bambu ori dari pucuk. Maknanya adalah
melakukan sesuatu tampa pengetahuan sehingga salah perhitungan.
Paimo jengkel, geram dan kemropok. Besok dia harus menghadiri wisuda
di balai desa sebagai aparat desa terpilih. Jas hitam dan kemeja putih
sudah disiapkan, tapi mendadak mesin cucinya rusak.
Sudahsejak pagi dia pencet tombol start, mungkin sudah ada lima puluh
kali. Mesin cuci hanya berdengung tanpa berputar. Waduh, ini
bagaimana mesin cuci tak bisa kompromi. Wah harus ganti dinamo ini.
Harus cepat! Dia segera mengambil obeng dan membongkarnya.
Ketika dinamo sudah copot dia heran. Kok dinamo ini tampak waras.
Tidak ada tanda-tanda terbakar. Apakah mungkin korslet kabelnya ya?
Dia turut jalur kabel dan tidak tampak ada yang gosong atau putus. Dia
kemudian membongkar pasang gigi-gigi yang dikiranya menghambat
laju putaran motor listrik. Dan gagal. Mesin cuci tetap tak berfungsi.
Akhirnya Paimo menyerah dan membawa mesin cucinya ke bengkel.
“Tentu saja sampeyan gagal memperbaiki mesin cuci ini. Wong yang
rusak bagian luar sampeyan bongkar bagian dalam. Mesin ini hanya
perlu ganti kapasitor, dan itu letaknya di belakang kabel power ini.
Tinggal nyopot sekerup dan ganti kapasitor. Sudah beres.” Kata tukang
servis di bengkel.
“Tapi sampeyan malah mencopot seluruh gigi dan motor yang ada. Ini
kan seperti nggered ori saka pucuk. Masalah tidak beres, malah
pekerjaan tambah banyak. Sekarang saya harus mengecek satu per satu
pekerjaan sampeyan ini. Barangkali ada sekerup yang hilang atay gigi
yang salah posisi. Wah merepotkan saja!”
Paimo kukur-kukur kepala dan pringas-pringis malu.
Kajian Sastra Klasik 100 Paribasan Jawa 71

Anda mungkin juga menyukai