Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan Diabetes Melitus pada Pembedahan

Disusun Oleh:
Yohanes Tedi Sarito
(PO.62.20.1.16.156 )

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA


PRODI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA TERAPAN
REGULER III
2020

KONSEP DASAR
A. Pengertian Diabetes mellitus adalah gangguan metabolism yang ditandai dengan
hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolism karbohidrat, lemak dan
protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitifitas
insulin atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati (Nurarif & Kusuma, 2015). Diabetes Mellitus adalah
penyakit kronik progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan
metabolism karbohidrat, lemak dan protein, mengarah pada hiperglikemia (kadar glukosa
darah tinggi). Diabetes Mellitus (DM) sering disebut sebagai “gula tinggi”, baik oleh
pasien maupun penyedia layanan kesehatan (Black, 2014).
B. Etiologi
1. Diabetes Mellitus tipe 1
DM tipe 1 disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes
Mellitus onset anak–anak, ditandai dengan destruksi sel beta pancreas,
mengakibatkan defisiensi insulin absolut. DM tipe 1 diturunkan sebagai heterogen,
sifat multigenik. Kembar identik memiliki resiko 25-50% mewarisi penyakit,
sementara saudara kandung memiliki 6% resiko dan anak cucu memiliki 5% resiko.
Meskipun pengaruh keturunan kuat, 90% orang dengan DM tipe 1 tidak memiliki
tingkat relative tingkat pertama dengan DM. Diabetes yang tergantung insulin
ditandai dengan penghancuran sel – sel beta penkreas yang disebabkan oleh:
a. Faktor genetic penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe 1
b. Faktor imunologi (autoimun)
c. Faktor lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun
yang menimbulakn estruksi sel beta.
2. Diabetes Mellitus tipe 2 DM tipe 2 sebelumnya disebut Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus Onset Dewasa, adalah gangguan yang
melibatkan, baik genetic dan faktor lingkungan.DM tipe 2 adalah tipe DM paling
umum mengenai 90% orang yang memiliki penyakit. DM tipe 2 biasanya
terdiagnosis setelah usia 40 tahun dan lebih umum diantara dewasa tua, dewasa
obesitas, dan etnic serta populasi ras tertentu. DM tipe 2 disebabkan oleh kegagalan
relative sel beta dan resistensi insulin. Faktor resiko yang berhubungan dengan
proses terjadinya diabetes tipe 2: usia, obesitas, riwayat dan keluarga. Hasil
pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembedahan dibagi menjadi 3 yaitu:
a. <140 mg/dl = Normal
b. 140-<200 mg/dl = Toleransi glukosa terganggu
c. ≥200 mg/dl = diabetes

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi utama dari DM sebagai berikut:
1. Poliuria, air tidak di serap kembali oleh tubulus ginjal sekunder untuk aktifitas
osmotik glukosa,mengarah kepada kehilangan air,glukosa dan elektrolit.Kekurangan
insulin untuk mengangkut glukosa melalui membran dalam sel menyebabkan
hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat.
2. Polidipsi, dehidrasi sekunder terhadap poliuria menyebabkan haus. Akibat dari
dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktifasi menyebabkan orang
haus terus dan ingin selalu minum.
3. Polifagi, kelaparan sekunder terhadap ketabolisme jaringan menyebabkan rasa lapar.
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun.
Manifestasi lain dari DM sebagai berikut:
1. Penurunan berat badan, kehilangan awal sekunder terhadap penipisan simpanan
air,glukosadan trigliserid,kehilangan kronis sekunder terhadap penurunan massa otot
karena asam amino di alihkan untuk membentuk glukosa dan keton.
2. Pandangan kabur berulang, sekunder terhadap paparan kronis retina dan lensa mata
terhadap cairan hiperosmolar.
3. Pruritus,inveksi kulit,vaginitis, infeksi jamur dan bakteri pada kulit.
4. Ketonuria, ketika glukosa tidak dapat di gunakan untuk energi oleh sel tergantung
insulin, asam lemak di gunakan untuk energi,asam lemak di pecahkan menjadi keton
dalam darah dan di ekskresikan oleh ginjal. Pada DM tipe 2,insulin cukup untuk
menekan berlebihan penggunaan asam lemak tapi tidak cukup untuk penggunaan
glukosa.
5. Lemah dan letih, penurunan isi plasma mengarah kepada postural
hipertensi,kehilangan kalium dan katabolisme protein berkontribusi terhadap
kelemahan.
6. Sering asimtomatik, tubuh dapat beradaptasi terhadap peningkatan pelan-pelan kadar
glukosa darah sampai tingkat lebih besar di bandingkan peningkatan yang cepat.

D. Patofisiologi
1. Diabetes Mellitus tipe 1, DM tipe 1 tidak berkembang pada semua orang yang
mempunyai predis posisi genetic.Kadang mereka yang memiliki indikasi resiko
penanda gen (DR3 dan DR4 HLA), DM terjadi <1%.Lingkungan telah lama dicurigai
sebagai pemicu DM tipe 1 insiden meningkat, baik pada musim semi maupun gugur,
dan onset sering bersamaan dengan epidemic berbagai penyakit virus.Autoimun aktif
langsung menyerang sel beta pancreas dan prosuknya. ICA dan antibody insulin
secara progresif menurunkan keefektifan kadar sirkulasi insulin. Hal ini secara pelan
– pelan terus menyerang sel beta dan molekul insulin endogen sehingga menimbulkan
onset mendadak. Hiperglikemia dapat timbul akibat dari penyakit akut atau stress
dimana meningkatkan kebutuhan insulin melebihi cadangan dari kerusakan massa sel
beta. Ketika penyakit akut atau stress terobati klien dapat kembali pada status
terkompensasi dengan durasi yang berbeda – beda dimana pancreas kembali
mengatur produksi sejumlah insulin secara adekuat. Status kompensasi ini disebut
sebagai periode honeymoon, secara khas bertahan untuk tiga sampai 12 bulan proses
berakhir ketika massa sel beta yang berkurang tidak dapat memproduksi cukup
insulin untuk meneruskan kehidupan. Klien menjadi bergantung kepada pemberian
insulin eksogem (diproduksi di luar tubuh) untuk bertahan hidup.
2. Diabetes Mellitus tipe 2, berbeda signifikan dari DM tipe 1 .Respon terbatas sel beta
terhadap hiperglikemia tampak menjadi faktor mayor dalam perkembangannya. Sel
beta terpapar secara kronis terhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi secara
progresif kurang efisien ketika merespon peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena
ini dinamai desensitisasi, dapat kembali dengan menormalkan kadar glukosa.
Rasio proisulin(prekurso insulin) terhadap insuli tersekresi juga meningkat. Proses
patofisiologi ke 2 dalam DM tipe 2 adalah resistensi terhadap aktivitas insulin
biologis, baik di hati maupun jaringan perifer. Keadaan ini disebut sebagai resistansi
insulin. Penderita DM tipe 2 memiliki penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar
glukosa, yang mengakibatkan produksi glukosa hepatic berlanjut, bahkan sampai
dengan kadar glukosa darah tinggi, hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot
dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa. Mekanisme penyebab
resistansi insulin perifer tidak jelas; namun, ini tampak terjadi setelah insulin
berikatan terhadap reseptor pada permukaan sel. Insulin adalah hormon pembangun
(anabolik). Tanpa insulin, tiga masalah metabolic mayor yang terjadi: 1) penurunan
pemanfaatan glukosa, 2) peningkatan mobilisasi lemak, dan 3) peningkatan
pemanfaatan protein.

E. Komplikasi
1. Komplikasi akut diabetes mellitus
a. Hiperglikemia, saat glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel karena kurangnya
insulin. Tanpa tersedianya KH untuk bahan bakar sel, hati mengubah simpanan
glikogennya kembali ke glukosa ( glikogenolisis) dan meningkatkan biosintesis
glukosa (gluconeogenesis). Sayangnya namun, respon ini memperberat situasi
dengan meningkatnya kadar glukosa darah bahkan lebih tinggi.
b. Ketoasidosis, asidosis metabolic berkembang dari pengaruh asam akibat keton
asetaoasetat dan hidrokisibutirat beta. Konsisi ini disebut ketoasidosis
diabetic.Asidosis berat mungkin menyebabkan klien diabetes kehulangan
kesadaran disebut koma diabetic. Ketoasidosis diabetic selalu dinyatakan sebuah
kegawatdaruratan medis dan memerlukan perhatian medis segera.
c. Hipoglikemia (dikenal sebagai reaksi insulin atau reaksi hipoglikemi) adalah ciri
umum dari DM tipe 1 dan juga dijumpai di dalam klien DM tipe 2 yang diobati
insulin atau obat oral. Kurang hati – hati atau kesalahan sengaja dalam dosis
insulin sering menyebabkan hipoglikemia. Perubahan lain dalam jadwal makan
atau pemberian insulin dapat meringankan hipoglikemia.
2. Komplikasi kronis diabetes mellitus
a. Komplikasi makrovaskular, penyakit arteri coroner, penyakit sebrovaskular, dan
penyakit pembuluh perifer kebin umum, cenderung terjadi pada usia lebih awal,
dan lebih luas dan berat pada orang dengan DM. penyakit makrovaskular
(penyakit pembuluh besar) mencerminkan aterosklerosis dengan penumpukan
lemak pada lapisan dalam dinding pembuluh darah. Resiko berkembangnya
komplikasi makrovaskular lebih tinggi pada DM tipe 1 daripada tipe 2.
b. Penyakit arteri coroner, pasien dengan DM 2 – 4 kali lebih mungkin
dibangdingkan klien non DM untuk meninggal karena penyakit arteri coroner,
dan factor resiko relative untuk penyakit jantung pembuluh darah.Banyak klien
dengan DM, kejadian mikrovaskular atau proses seperti penyakit arteri coroner
adalah tipikal atau diam, dan sering seperti gangguan pencernaan atau gangguan
jantung tidak dapat di jelaskan, dyspnea pada aktivitas berat atau nyeri epigastrik.
c. Penyakit serebrovaskular, termasuk infark aterotromboembolik dimanifestasikan
dengan serangan iskemik transien dan cerebrovascular attack (stroke), lebih sering
dan berat pada klien dengan DM. risiko relative lebih tinggi pada perempuan,
tertinggi pada usia 50 atau 60 an, dan lebih tinggi pada klien dengan hipertensi.
Klien yang dating dengan kadar stroke dan kadar glukosa darah tinggi memiliki
prognosis lebih buruk dibandingkan klien dengan normoglikemik.
d. Hipertensi, faktor risiko mayor untuk stroke dan nefropati.Hipertensi yang diobati
tidak adekuat memperbesar leju perkembangan nefropati.
e. Penyakit pembuluh perifer, penderita DM idensial dan prevalensi bunyi abnormal
atau murmur, tidak ada denyut pedal (kaki), dan gangrene
iskemik meninkat.Lebih dari separuh amputasi tungkai bawah nontraumatik
berhubungan dengan perubahan diabeteik seperti neuropati sensoris dan motoric,
penyakit pembuluh darah perifer, peningkatan resiko dan laju infeksi,
penyembuhan buruk.Rangkaian kejadian ini yang mungkin mengarah kepada
amputasi.
f. Infeksi saluran kencing adalah tipe infeksi paling sering mempengaruhi klien DM,
terutama perempuan.Salah satu factor mungkin di hambat leukosit PMN saat
glukosa ada.Glukosaria berhubungan dengan hiperglikemia.Perkembangan
kandung kemih neurogenic akibat pengosongan tidak lengkap dan retensi urine,
mungkin juga berkontribusi terhadap resiko infeksi saluran kencing.Infeksi kaki
diabetic adalah sering.Kejadian kaki diabetek secara langsung terkait tiga factor di
atas dan hiperglikemia. Hampir 40% klien diabetic dengan infeksi kaki mungkin
memerlukan amputasi, dan 5-10% akan meninggal meskipun amputasi di daerah
yang terkena. Dengan edukasi yang tepat dan intervensidini, infeksi kaki biasanya
hilang dengan cara – cara yang tepat waktu. Perawatan kaki efektif dapat menjadi
pemutus awal rantai kejadian yang mengarah pada keadaan amputasi.
g. Komplikasi mikrovaskular, mikroanginopati merujuk pada perubahan yang terjadi
di retina, ginjal dan kapiler perifer pada DM. Uji komplikasi dan kontrol diabetes
telah membuat hal ini jelas bahwa control glikemik ketat dan konsisten mungkin
mencegah atau menghentikan perubahan mikrovaskular.
h. Retinopati diabetik, penyebab utama kebutaan diantara klien dengan DM; sekitar
80% memiliki beberapa bentuk retinopati 15 tahun setelah diagnosis.Penyebab
pasti retinopati tidak dipahami baik tapi kemungkinan multi factor dan
berhubungan dengan glikosilasis protein, iskemik dan mekanisme hemodinamik.
Stress dari peningkatan kekentalan darah adalah sebuah mekanisme hemodinamik
yang meningkatkan permeabilitas dan penurunan lastisitas kapiler
i. Nefropati diabetic, penyebab tunggal paling sering dari penyakit ginjal kronis
tahap 5, dikenal sebagai penyakit ginjal tahap akhir.Sekitar 35-45 % klien dengan
DM tipe 1 ditemukan memiliki nefropati 15-20 tahun setelah diagnosis.Sekitar
20% klien dengan DM tipe 2 ditemukan memiliki nefropati 5-10 tahun setelah
diagnosis.Sebuah konsekuensi mikroanginopati, nefropati melibatkan kerusakan
terhadap dan akhirnya kehilangan kapiler yang menyuplai glomelurus ginjal.
Kerusakan ini mengarah gilirannya kepada perubahan dan gejala pathologic
kompleks(glomerulosklerosis antar kapiler, nephrosis, gross albuminuria, dan
hipertensi)
j. Neuropati, komplikasi kronis paling sering dari DM. hamper 60% klien DM
mengalaminya. Oleh karena serabut saraf tidak memiliki suplai darah sendiri,
saraf bergantung pada difusi zat gizi dan oksigen lintas membrane.Ketika akson
dan denrit tidak mendapat zat gizi, akumulasi sorbitol di jaringan saraf,
selanjutnya mengurangi fungsi sensoris dan motoris.Kedua masalah neurologis
permanen maupun sementara mungkin berkembang padaklien dengan DM selama
perjalanan penyakit. Klien dengan kadar glukosa darah tinggi sering mengalami
nyeri saraf. Nyeri saraf berbeda dengan tipe nyeri lain seperti nyeri otot atau sendi
keseleo. Nyeri saraf sering dirasakan seperti mati rasa, menusuk, kesemutan, atau
sensasi terbakar yang membuat klien terjaga waktu malam atau berhenti
melakukan pekerjaan tugas harian.

F. Penatalaksanaan
Dalam jangka pendek penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan
keluhan/gejala DM. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah
komplikasi.Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa , lipid
dan insulin. Untuk mempermudah tercapainya tujuan tersebut kegiatan dilaksanakan
dalam bentuk pengelolaan pasien secara holistic dan mengajarkan kegiatan mandiri.
Untuk pasien berumur 60 tahun ke atas, sasaran glukosa darah lebih tinggi daripada biasa
(puasa < 150 mg/dl dan sesudah makan <200 mg/dl. Kerangka utama penatalaksanaan
DM yaitu perencanaan makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik,dan penyuluhan.
1. Perencanaan makan(meal planning)
Prinsipnya menggunakan 3J (tepat jenis, jumlah, dan jadwal). Selain itu pada
consensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) telah ditetapkan bahwa
standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa
karbohidrat (60-70%), protein(10-15%), dan lemak (20-25%). Apabila diperlukan ,
santapan dengan komposisi karbohidrat sampai (70-75%) juga memberikan hasil
yang baik. Terutama untuk golongan ekonomi rendah. Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan,status gizi,umur,stress akut, dan kegiatan jasmani untuk
mencapai berat badan ideal. Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari. Jumlah
kandungan serat ±25 g/hari, diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasi
bila terdapat hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya.
2. Latihan jasmani
Latihan jasmani teratur 3 – 4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya
sesuai CRIPE (Continous Rgytmical Interval Progressive Endurance Training)
Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi
secara teratur ,selang-seling antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari
sedikit ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu.
Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang,
bersepeda, zona sasaran atau zona latihan yaitu 75 – 85% denyut nadi maksimal.
Denyut nadi maksimal (DNM) dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:
a. DNM = 220 – umur (dalam tahun), hal yang perlu diperhatikan dalam latihan
jasmani ini adalah jangan memulai olahraga sebelum makan,memakai sepatu
yang pas,harus didampingi oleh orang yang tahu mengatasi serangan
hipoglikemia, harus selalu membawa permen,membawa tanda pengenal sebagai
pasien DM dalam pengobatan,dan memeriksa kaki secara cermat setelah olahraga.
b. Obat berkhasiat hipoglikemik, jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan
kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar glukosa darahnya masih belum naik,
dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik(oral/suntikan).
c. Obat Hipoglikemik(OHO)
1) Sulfonilurea, obat golongan sulfonirea bekerja dengan cara:
a) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
b) Menurunkan ambang sekresi insulin
c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
d) Obat golongan ini biasanya diberikan kepada pasien dengan berat badan
normal dan masih bias dipakai pasien yang beratnya sedikit lebih.
2) Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orang
tua karena risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, demikian juga
glibenklamid. Untuk orang tua dianjurkan preparat dengan waktu kerja
pendek (tolbutamid, glikuidon). Glikuidon juga diberikan pada pasien DM
dengan gangguan fungsi ginjal atau hati ringan.
3) Biguanid, menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah
normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan
untuk pasien gemuk (Indeks Masa Tubuh / IMT   30) sebagai obat tunggal.
Pada pasien dengan berat lebih (IMT 27 – 30),dapat dikombinasi dengan obat
golongan sulfonylurea.
4) Inhibitor α glucosidase, obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja
enzim α glucosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pascaprandial.
5) Insulin Sensitizing agent, thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang
mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitiviats insulin. Sehingga bias
mengalami masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi
insulin tanpa menyebabkan hiperglikemia.

G. Tindakan Pembedahan
Tindakan pembedahan dibagi menjadi bedah mayor dan minor. Bedah mayor
menimbulkan reaksi stres yang besar, mengakibatkan penghentian makan dan biasanya
berarti membuka rongga perut, dada dan tengkorak. Tindakan bedah minor biasanya
menggunakan bius setempat atau endoskopi dan biasanya kesempatan makan tidak terlalu
lama mundurnya. Sekarang tindakan dengan rawat siang kurang dari 14 jam juga
termasuk jenis minor. Penggolongan tindakan seperti ini berakibat cara kerja yang kurang
ketat tentang penilaian pra bedah. Sebaiknya tindakan dianggap "berisiko tinggi" dan
"rendah", bergantung pada tingkat pengendalian glukosa darah, jenis komplikasi yang
ada dan sifat tindakan.
H. Penilaian Pra Bedah
1. Jenis Diabetes dan Tingkat Pengendalian Glukosa, DM tipe I perlu insulin. Pada DM
tipe 2 insulin kadang-kadang dapat ditangguhkan sesudah tindakan singkat selesai.
Periksalah catatan kadar glukosa darah, kadar glukosa sewaktu, fruktosamin
(pengendalian 2-3 minggu sebelumnya), HbA1C (pengendalian 2-3 bulan
sebelumnya). Catatan: glukosa darah sebaiknya berupa kadar puasa, postprandial dan
sebelum makan. Bila pengendalian tidak baik, pembedahan mungkin perlu diundur
untuk menetapkan dosis baru insulin atau dosis insulin sesudah beralih dari obat
hipoglikemiaa oral (OHO). OHO kerja panjang seperti klorpropamid dan
glibenklamid harus diganti dengan OHO kerja pendek tanpa metabolit yang bersifat
hipoglikemiaa seperti glipizid, gliklazid, atau OHO kerja sangat singkat seperti
repaglinid.
2. Komplikasi Diabetes, pada tindakan ringan harus dipastikan penyakit jantung
iskemia, hipertensi, nefropati, infeksi saluran kemih dan neuropati- Pemeriksaan
klinis rutin dilengkapi pemeriksaan laboratorium sederhana termasuk EKG, tes tungsi
ginjal dan elektrolit. Perlu diingat kemungkinan iskemia otak dan hipotensi postumal
serta gangguan sirkulasi kaki. Pada tindakan bedah mayor seperti cangkok ginjal dan
bedah vaskular, pemeriksaan jantung harus lebih lengkap seperti isotope exercise test
untuk menyingkirkan penyakit jantung iskemia dan gated isotope heart scan atau
USG jantung (ECHO) untuk menilai fungsi miokard. Pada bedah pintas jantung atau
bedah vaskular dengan risiko hipotensi pemeriksaan Doppler Ultrasound pembuluh
darah leher juga perlu.

I. Pengendalian Metabolisme Selama Pembedahan


1. Pengobatan
a. memerlukan insulin, pasien yang menggunakan insulin sebelum pembedahan
perlu meneruskan insulin selama tindakan. Pasien DM tipe 2 dengan diit dan
OHO dan glukosa darah puasa lebih dari 180 mg/d1, HbA1c lebih dari 10%.
b. kadang-kadang perlu insulin, pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO, glukosa
darah puasa kurang lebih 180 mg/dl, HbAIC kurang lebih 10% lama pembedahan
kurang dari 2 jam ruang tubuh tidak dibuka boleh makan sesudah operasi.
Metformin harus dihentikan 2-3 hari sebelum pembedahan untuk mencegah
asidosis laktat dan dapat diganti dengan sulfonilurea sementara.
2. Pemantauan Glukosa, selama pembedahan kadar glukosa harus ditetapkan:
a. Sebelum induksi anestesia;
b. 30 menit sesudah induksi;
c. Setiap 45 menit selama tindakan;
d. Pada akhir tindakan;
e. 30 rnenit sesudah sadar;
f. Setiap jam selama 6 jam atau sampai boleh makan.
Pemeriksaan glukosa lebih sering (tiap 30 menit) bila glukosa lebih dari 200
mg/dl dan tiap 15 menit jika kurang dari 80 mg/dl selama anestesia.
3. Infus Glukosa, pengendalian kadar glukosa dan pencegahan hipoglikemia. Juga
sebagai pemasok energi untuk menekan pembentukan gliserol dan asam lemak serta
mengurangi katabolisme protein, yang dapat menghambat pemulihan. Laju infus 0,07
- 0,1 g glukosa/kg/jam ternyata memadai.
4. Cara Pemberian lnsulin, ada 4 cara pemberian insulin pada anestesia dan
pembedahan.
a. Infus insulin dan glukosa terpisah.
b. Infus glukosa - insulin - kalium kombinasi.
c. Secara intermiten bolus insulin kerja pendek i.v. atau subkutan.
d. Kombinasi insulin kerja pendek dan intermediet subkutan dengan dosis 30-50 %
dibawah dosis sehari-hari bila pasien makan.

J. Pembedahan Rawat Jalan


Cara ini dapat menguntungkan pasien, karena ia dapat pulang sesudah tindakan bedah
selesai. Walaupun tindakan termasuk bedah minor, ada kemungkinan diperlukan
anestesia umum. Dalam hai ini insulin perlu digunakan dan cara infus insulin sebaiknya
dipakai. Jika anestesia umum tidak diperlukan, pasien sebaiknya mcndapat giliran sepagi
mungkin, jadi sebelum atau sesudah makan pagi. Kalau ia harus menunggu 1ama,
penggunaan insulin lalu memakai cara infus insulin.

K. Asuhan Pasca-Bedah
Infus glukosa dan insulin dilanjutkan sampai pasien dapat makan lagi dan kemudian
kembali ke cara pengobatan sebelumnya. Bila infus insulin akan dihentikan, insulin
subkutan harus segera disuntikkan, karena insulin i.v tidak berperan lagi sejak 30 menit
penghentian infus.
Hitung jumlah insulin selama 24 jam (=dosis lama) Dosis baru ialah 80-100 % jumlah
ini, diberikan sebagai insulin reguler sebelum makan pagi (25 %), sebelum makan siang
(25 %) sebelum makan malam (25 %), sebelum tidur (25%) sebagai NPH.
Tujuan: CD 120 -220 mg/dl. Diteruskan untuk mendapat dosis insulin tepat, atau dosis
sebelum pembedahan.

L. Persiapan Pasien Secara Psikologis


Keadaan sakit merupakan sesuatu yang memberatkan pasien apalagi jika ia perlu
menjalani pembedahan. Warga masyarakat yang sudah maju dengan mudah mendapat
pengetahuan berbagai bidang dan akan meminta penjelasan tentang perlunya
pembedahan. Pengetahuan akan menambah kekuatan ke arah positif, kata Maslow,
seorang psikolog dan mengurangi kemungkinan perjalanan pasca bedah yang buruk.
Informed Consent (izin berdasarkan pemahaman) dari pasien membuka 3 jalan:
1. Pembahasan risiko dan manfaat tindakan bedah menolong pasien mempersiapkan
dirinya secara emosional menghadapi serangan terhadap tubuhnya.
2. Pengetahuan tentang kejadian pasca bedah yang di perkirakan menambah rasa
mampu kendali pasien.
3. Penjelasan tentang tugas dokter dan karyawan rumah sakit selama masa pasca bedah
dapat memberikan gambaran tentang pertolongan yang dapat diharapkan.

M. Faktor Risiko Untuk Pasien Bedah Diabetes


Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan
morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat
muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian
menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah
terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes,
mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit
jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat
meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomic
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah
perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hyperosmolar.
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya
respon denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik
(penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri). 
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian
obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan
retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati
autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap
penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar
50% untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya.
Burke mendapatkan 1,4% pasiennya mengalami variasi laju jantung tidak normal.
Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya
sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula
darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal
mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe
tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien  dengan
neuropati autonomik mengandung risiko tinggi. Pada diabetes mellitus lanjut sering
dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi
glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang
ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak
pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada
hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya
suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin
adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan
hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan
biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam
meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol
gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Identitas, Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada seorang yang anggota keluarganya
memiliki riwayat diabetes. Diabetes tipe 1 ini biasa mulai terdeteksi pada usia kurang
dari 30 tahun. Diabetes tipe 2 adalah tipe DM paling umum yang biasanya
terdiagnosis setelah usia 40 tahun dan lebih umum diantara dewasa tua dan biasanya
disertai obesitas. Diabetes gestasional merupakan yang menerapkan untuk perempuan
dengan intoleransi glukosa atau ditemukan pertama kali selama kehamilan.
2. Status kesehatan saat ini.
3. Keluhan Utama, adanya rasa kesemutan pada kaki/ tungkai bawah, rasa raba yang
menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada
luka.
4. Alasan Masuk Rumah Sakit, penderita dengan diabetes millitus mengalami kehausan
yang sangat berlebihan, badan lemas dan penurunan berat badan sekitar 10% sampai
20%.
5. Riwayat Penyakit Sekarang, kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta
upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
6. Riwayat Kesehatan Terdahulu
7. Riwayat Penyakit Sebelumnya, adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit
lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pancreas.
Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah didapat maupun obat – obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
8. Riwayat Penyakit Keluarga, keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga
yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin misalkan hipertensi, jantung.
9. Riwayat Pengobatan, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 menggunakan terapi
injeksi insulin eksogen harian untuk kontrol kadar gula darah. Sedangakan pasien
dengan diabetes mellitus biasanya menggunakan OAD(Obat Anti Diabetes) oral
seperti sulfonilurea, biguanid, meglitinid, inkretin, amylonomimetik.
10. Pemeriksaan Fisik
11. Keadaan Umum
12. Kesadaran, pasien dengan DM biasanya datang ke RS dalam keadaan komposmentis
dan mengalami hipoglikemi akibat reaksi pengguanaan insulin yang kurang tepat.
Biasanya pasien mengeluh gemetaran, gelisah, takikardia (60-100 x per menit),
tremor, dan pucat.
13. Tanda – tanda vital, pemeriksaan tanda vital yang terkait dengan tekanan darah, nadi,
suhu, turgor kulit, dan frekuensi pernafasan.
14. Sistem pernapasan
Inspeksi: lihat apakah pasien mengalami sesak napas
Palpasi: mengetahui vocal premitus dan mengetahui adanya massa, lesi atau bengkak.
Auskultasi: mendengarkan suara napas normal dan napas tambahan (abnormal:
weheezing, ronchi, pleural friction rub).

15. Sistem kardiovaskuler


Inspeksi: amati ictus kordis terlihat atau tidak
Palpasi: takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, nadi perifer melemah atau
berkurang.
Perkusi: Mengetahui ukuran dan bentuk jantung secara kasar, kardiomegali.
Auskultasi: Mendengar detak jantung, bunyi jantung dapat didiskripsikan dengan S1,
S2 tunggal.
16. Sistem Persyarafan, terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflex lambat, kacau mental, disorientasi. Pasien dengan kadar glukosa
darah tinggi sering mengalami nyeri saraf. Nyeri saraf sering dirasakan seperti mati
rasa, menusuk, kesemutan, atau sensasi terbakar yang membuat pasien terjaga waktu
malam atau berhenti melakukan tugas harian.
17. Sitem Perkemihan, poliuri, retensi urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit
saat proses miksi.
18. Sistem Pencernaan, terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi,
dehidrasi, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen.
19. Neuropati aoutonomi sering mempengaruhi Gl. Pasien mungkin dysphagia, nyeri
perut, mual, muntah, penyerapan terganggu, hipoglikemi setelah makan, diare,
konstipasi dan inkontinensia alvi.
20. Sistem integument
Inspeksi: Melihat warna kulit, kuku, cacat warna, bentuk, memperhatikan jumlah
rambut, distribusi dan teksturnya.
Parpasi: Meraba suhu kulit, tekstur (kasar atau halus), mobilitas, meraba tekstur
rambut.
21. Sistem muskuluskeletal, penyebaran lemak, penyebaran massa otot, perubahan tinggi
badan, cepat lelah, lemah dan nyeri.
22. Sistem endokrin, autoimun aktif menyerang sel beta pancreas dan produknya
mengakibatkan produksi insulin yang tidak adekuat yang menyebabkan DM tipe1.
Respon sel beta pancreas terpapar secara kronis terhadap kadar glukosa darah yang
tingai menjadi progresif kurang efisien yang menyababkan DM tipe2.
23. Sistem reproduksi, anginopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seks, gangguan kualitas,
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi.
24. Sistem penglihatan, retinopati diabetic merupakan penyebab utama kebutan pada
pasien diabetes mellitus.
25. Sistem imun, klien dengan DM rentan terhadap infeksi. Sejak terjadi infeksi, infeksi
sangat sulit untuk pengobatan. Area terinfeksi sembuh secara perlahan karena
kerusakan pembuluh darah tidak membawa cukup oksigen, sel darah putih, zat gizi
dan antibody ke tempat luka. Infeksi meningkatkan kebutuhan insulin dan
mempertinggi kemungkinan ketoasidosis.
26. Tes Laboratorium DM, jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes
diagnostik, tes pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi.

a. Tes saring, pada DM adalah: GDP (Gula Darah Puasa),GDS(Gula Darah


Sewaktu).
b. Tes glukosa urin:
1) Tes konvensional (metode reduksi/Benedict).
2) Tes carik celup (metode glucose oxidase/hexokinase.
3) Tes diagnostik, pada DM adalah: GDP, GDS, GD2PP(Glukosa Darah 2 jam
Post Pradinal), Glukosa jam ke-2 TTGO.
c. Tes untuk mendeteksi komplikasi, adalah:
1) Mikroalbuminaria: urin
2) Ureum, kreatinin, asam urat
3) Kolesterol (total, LDL, HDL dan Trigliserida): plasma vena (puasa).

B. Diagnosa keperawatan
Menurut PPNI (2017) diagnose keperawatan Diabetes Mellitus yang muncul antara lain:
1. Perfusi Perifer Tidak Efektif
2. Gangguan Integritas Kulit/ jaringan
3. Risiko Syok
4. Retensi Urine

C. Intervensi Keperawatan
1. Perfusi Perifer Tidak Efektif
Tujuan: Menunjukkan keseimbangan cairan, yang dibuktikan oleh indikator berikut:
a. Tekanan darah
b. Nadi perifer
c. Turgor kulit
d. Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membran mukosa, yang di buktikan oleh
indikator berikut:
e. Suhu, sensasi, elastisitas, hidrasi, keutuhan dan ketebalan kulit
f. Perfusi jaringan
g. Menunjukkan perfusi jaringan: perifer, yang di buktikan oleh indikator berikut:
h. Pengisian ulang kapiler
i. Warna kulit
j. Sensasi
k. Integritas kulit
Kriteria hasil:
a. Aliran darah yang tidak obstruksi dan satu arah pada tekanan yang sesuai melalui
pembuluh darah besar sirkulasi sistemik dan pulmonal.
b. Keparahan cairan berlebihan pada kompartemen instrasel dan ekstrasel tubuh.
c. Tingkat stimulasi kulit di rasakan dengan tepat.
d. Keutuhan struktural dan fungsi fisiologis normal kulit dan membran mukosa.
e. Keadekuatan aliran darah melalui pembuluh darah kecil ekstremitas untuk
mempertahankan fungsi jaringan.

Intervensi:
a. Kaji ulkus statis dan gejala selulitis
b. Perawatan sirkulasi (insufisiensi Arteri dan Vena):
c. Lakukan pengkajian kompherensif terhadap sirkulasi perifer.
d. Pantau tingkat ketidak nyamanan atau nyeri saat melakukan latihan fisik, pada malam
hari, atau saat istirahat.
e. Pantau status cairan, termasuk asupan dan haluaran.
Managemen sensasi perifer:
a. Pantau pembedan ketajaman atau ketumpulan, panas atau dingin (pada perifer)
b. Pantau parestesia :kebas, kesemutan, hiperestesia dan hipoestesia
c. Pantau tromboflebitis dan trombosis vena provunda
d. Pantau kesesuaian alat penyangga, prostesis, sepatu dan pakaian
Penyuluhan untuk pasien / keluarga:
a. Ajarkan pasien untuk menghindari suhu yang ekstrim pada ekstremitas
b. Pentingnya mematuhi program diet dan program pengobatan
c. Tanda dan gejala yang dapat di laporkan kepada dokter
d. Ajarkan pasien untuk melakukan perawatan kaki yang tepat
e. Pentingya mencegah statis vena
Managemen sensasi perifer:
a. Anjurkan pasien atau keluarga untuk memantau posisi bagian tubuh saat pasien
mandi, duduk, berbaring, atau mengubah posisi
b. Anjurkan pasien atau keluarga untuk memeriksa kulit setiap hari untuk mengetahui
perubahan integritas kulit.
Kolaboratif:
a. Beri obat nyeri, beritahu dokter jika nyeri tidak kunjung reda
b. Perawatan sirkulasi (insufisiensi Arteri dan Vena): berikan obat anti trombosit atau
antikaogulan, jika diperlukan.

2. Gangguan Integritas Kulit/ jaringan


Tujuan: menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membran mukosa, yang di
buktikan oleh indikator berikut:
a. Keutuhan kulit
b. Tekstur dan ketebalan jaringan
c. Perfusi jaringan
Kriteria hasil:
a. Keparahan respon imun hipersensitif setempat terhdap antigen lingkungan (oksigen)
tertentu
b. Indakan pribadi untuk mempertahankan ostomi untuk eliminasi
c. Keutuhan struktur dan fungsi normal kulit dan membran mukosa
d. Tingkat regenerasi sel dan jaringan setelah penutupan yang di sengaja
e. Tingkat regenerasi sel dan jaringan pada luka terbuka
Intervensi:
Aktifitas keperawatan, untuk aktifitas keperawatan yang spesifik, lihat pada diagnosis
keperawatan berikut ini:
a. Infeksi, risiko
b. Membran mukosa, kerusakan
c. Persepsi/sensori (penglihatan), gangguan
d. Integritas kulit, kerusakan
e. Integritas kulit, risiko kerusakan
f. Perfusi jaringan, ketidakefektifan (perifer)
3. Risiko Syok
Tujuan: Pasien tidak mengalami syok, yang ditunjukkan dengan perfusi jaringan:
Seluler adekuat dan tanda – tanda vital dalam rentang normal dengan kriteria hasil:
a. Keparahan perdarahan atau hemoragi internal atau eksternal
b. Keparahan komplikasi akibat reaksi tranfusi darah
c. Aliran darah yang tidak terobstruksi dan tidak terarah pada tekanan yang tepat
melalui pembuluh darah besar sirkulasi sistemik dan pulmonal
d. Keparahan infeksi dan gejala terkait
e. Tindakan personal untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi ancaman
kesehatan yang dapat dimodifikasi
f. Tindakan personal untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan personal
g. Keadekuatan aliran darah melalui vaskulatur unruk mempertahankan fingsi tingkat
selular
h. Tingkat suhu, nadi, pernapasan dan tekanan darah dalam rentang normal
Intervensi:
a. Pantau kondisi yang dapat mengarah ke hipovolemia (mis. Pembedahan, terapi
antikolagulan, diare dan muntah yang lama, gagal jantung kogestif berat)
b. Kaji kondisi jantung (infark jantung, disritmia ventrikel, henti jantung, hipertensi
maligna, gagal jantung kogestif)
c. Kaji kondisi sirkulasi (mis. Embolus paru, tension pneumothorax, stenosis aorta)
d. Pantau asupan dan haluaran, termasuk luka, drain, muntah dan diare
e. Pantau tanda – tanda vital (TRP dan tekanan darah)
f. Pantau warna dan kelembapan kulit
g. Penyuluhan untuk pasien atau keluarga
h. Ajarkan pasien/keluarga tentang menvegaj infeksi (mis. Perawatan luka dan kulit,
higine tangan, menghindari keramaian juka mengalami luluh imun).
i. Ajarkan tanda dan gejala syok (mis. Perdarahan berlebihan, kehilangan cairan, nyeri
dada) ; ajarkan untuk melaporkan gejala ini
Kolaboratif:
a. Pantau parameter hemodinamik invasive, jika ada (mis. Tekanan vena sentral, curah
jantung, tekanan arteri rerata)
b. Berikan medikasi yang diprogramkan untuk menangani faktor resiko (mis. Obat
vasoaktif, antimikroba, glikosida jantung)
c. Berikan oksigen, jika gejala mengindikasikan perkembangan ke syok aktual, atau jika
diperlukan untuk pengobatan tanpa henti faktor risiko
d. Rujuk ke dokter gizi jika diperluikan diet khusus untuk meningkatkan kesehatan atau
penyembuhan sistem imun.

4. Retensi Urine
Tujuan: Menunjukkan eliminasi urine, yang dibuktikan oleh indicator berikut
(sebutkan 1-5: selalu, sering, kadang – kadang, jarang, atau tidak mengalami
gangguan): pola eleminasi
Kriteria Hasil:
Eliminasi Urine: Pengumpulan dan pengeluaran urine
Intervensi:
a. Identifikasi dan dokumentasi pola pengosongan kandung kemih
b. Pantau penggunaan agens non-resep dengan anti-koligenik atau agonis alfa
c. Pantau efek obat resep, seperti penyekat saluran kalsium dan antikolnergik
d. Pantau asupan dan haluaran
Penyuluhan Pasien / Keluarga
a. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang harus di
laporkan (mis. Demam, mengigil, nyeri pinggang, hematuria, serta perubahan
konsistensi dan bau urine)
b. Intruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine, bila diperlukan
Kolaborasi:
a. Rujuk ke perawat terapi enterostoma untuk intruksi kateterisasi intermiten
mandiri menggunakan prosedur bersih setiapp 4 – 6 jam pada saat terjaga
b. Rujuk pada spesialis kontinensia urine, jika diperlukan

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai intervensi keperawatan.

E. Evaluasi
Penilaian terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, berfokus pada
kemajuan, efektifitas dan hasil.

DAFTAR PUSTAKA
Amin Huda Nurarif, S. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action.

Black, J. M. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Indonesia: CV Pentasada Media Eduksi.


PPNI. (2017). Standar Diagnosisi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Prokja SDKI
DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai