Anda di halaman 1dari 81

NAMA : Khalfia Khairin

NPM : 102015116

PRE TEST TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

1. Sebutkan dan jelaskan anatomi serta fisiologi


a) Telinga
b) Hidung
c) Tenggorokan

2. Jelaskan
a) Sebutkan Macam Macam Gangguan Pendengaran
a) Pemeriksaan Garpu Tala Dan Interpretasinya
b) Pemeriksaan Audiometri

3. Jelaskan kelainan pada telinga dan tatalaksananya


a) Otitis Media Akut
b) Otitis Media Supuratif Kronik
c) Otitis Media Eksterna

4. Jelaskan kelainan pada hidung


a) Rhinitis Alergi
b) Rhinitis Vasomotor
c) Rhinosinusitis

5. Jelaskan kelainan pada tenggorok


a) Tonsilitis Difteri
b) Tonsilitis Kronis

6. Sebutkan dan jelaskan kegawatdaruratan di bidang THT

27
1. Sebutkan dan jelaskan anatomi serta fisiologi
a) Telinga
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari membran timpani,
terdiri dari aurikulum, meatus akustikus eksternus (MAE) dan membran timpani (MT).
Aurikulum merupakan tulang rawan fibro elastis yang dilapisi kulit, berbentuk pipih
dan permukaannya tidak rata. Melekat pada tulang temporal melalui otot-otot dan
ligamen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks, tragus, antitragus dan konka. Daun telinga
yang tidak mengandung tulang rawan ialah lobulus.

28
Aurikulum dialiri arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis superfisialis. Aliran
vena menuju ke gabungan vena temporalis superfisialis, vena aurikularis posterior dan
vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus cranial V, VII, IX dan X.
MAE merupakan tabung berbentuk S, dimulai dari dasar konka aurikula sampai pada
membran timpani dengan panjang lebih kurang 2,5 cm dan diameter lebih kurang 0,5
cm. MAE dibagi menjadi dua bagian yaitu pars cartilage yang berada di sepertiga
lateral dan pars osseus yang berada di dua pertiganya. Pars cartilage berjalan ke arah
posterior superior, merupakan perluasan dari tulang rawan daun telinga, tulang rawan
ini melekat erat di tulang temporal, dilapisi oleh kulit yang merupakan perluasan kulit
dari daun telinga, kulit tersebut mengandung folikel rambut, kelenjar serumen dan
kelenjar sebasea. Kelenjar serumen memproduksi bahan seperli lilin berwarna coklat
merupakan pengelupasan lapisan epidermis, bahan sebaseus dan pigmen disebut
serumen atau kotoran telinga. Pars osseus berjalan ke arah antero inferior dan
menyempit di bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini sangat tipis dan
melekat erat bersama dengan lapisan subkutan pada tulang. Didapatkan glandula
sebasea dan glandula seruminosa, tidak didapatkan folikel rambut.
MAE dialiri arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior serta arteri
aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis eksterna dan
pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke lnn. aurikularis anterior, posterior
dan inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis dari n. vagus dan cabang
aurikulotemporalis dari n. mandibularis.

29
MT berbentuk kerucut dengan puncaknya disebut umbo , dasar MT tampak sebagai
bentukan oval. MT dibagi dua bagian yaitu pars tensa memiliki tiga lapisan yaitu
lapisan skuamosa, lapisan mukosa dan lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat
melingkar dan radial yang membentuk dan mempengaruhi konsistensi MT. Pars flasida
hanya memiliki dua lapis saja yaitu lapisan skuamosa dan lapisan mukosa. Sifat
arsitektur MT ini dapat menyebarkan energi vibrasi yang ideal.
MT bagian medial disuplai cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh ramus
timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris,
jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis
cabang nervus vagus, cabang timpanikus nervus glosofaringeus of Jacobson dan nervus
aurikulotemporalis cabang nervus mandibularis.

Telinga Tengah
Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic cavity. Dilapisi
oleh membran mukosa, topografinya di bagian medial dibatasi oleh promontorium,
lateral oleh MT, anterior oleh muara tuba Eustachius, posterior oleh aditus ad antrum
dari mastoid, superior oleh tegmen timpani fossa kranii, inferior oleh bulbus vena

30
jugularis. Batas superior dan inferior MT membagi KT menjadi epitimpanium atau atik,
mesotimpanum dan hipotimpanum.
Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar ke dalam yaitu
maleus, incus dan stapes yang saling berikatan dan berhubungan membentuk artikulasi..
Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus
dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang
berhubungan dengan koklea (gambar 6).

Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m. stapedius. M
tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan berinsersio di bagian
atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus. Otot ini menyebabkan
membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi lebih tegang.dan

31
meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan melemahkan suara
dengan frekuensi rendah. M. stapedius berorigo di dalam eminensia pyramid dan
berinsersio di ujung posterior kolumna stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku,
memperlemah transmini suara dan meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran.
Kedua otot ini berfungsi mempertahankan , memperkuat rantai osikula dan meredam
bunyi yang terlalu keras sehingga dapat mencegah kerusakan organ koklea.
1
Telinga tengah berhubungan dengan nasopharing melalui tuba Eustahcius.
Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid,
arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan
aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus.

Telinga Dalam
Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di dalamnya
dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD yaitu labirin, merupakan suatu
6
rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga TD yang dilapisi epitel. Labirin
terdiri dari labirin membran berisi endolim yang merupakan satu-satunya cairan
ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran ini
di kelilingi oleh labirin tulang ,di antara labirin tulang dan membran terisi cairan perilim
12
dengan komposisi elektrolit tinggi natrium rendah kalium. Labirin terdiri dari tiga
bagian yaitu pars superior, pars inferior dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari
utrikulus dan saluran semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea,
sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpaticus.

32
Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau indera
pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua organ
tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut mengalami
gangguan maka yang lain akan terganggu.
33
TD disuplai oleh arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior. Aliran
darah vena bersama dengan aliran arteri.
1. Koklea
Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah siput dengan dua dan
satu setengah putaran pada aksis memiliki panjang lebih kurang 3,5 centimeter. Sentral
aksis disebut sebagai modiolus dengan tinggi lebih kurang 5 milimeter, berisi berkas
saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis.
Struktur duktus koklea dan ruang periotik sangat kompleks membentuk suatu sistem
dengan tiga ruangan yaitu skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala vestibuli
dan skala tympani berisi cairan perilim sedangkan skala media berisi endolimf. Skala
vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran reissner, skala media dan skala
timpani dipisahkan oleh membran basilar.

2. Organon Corti
Organon corti (OC) terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks, yang mengandung
organel penting untuk mekanisme saraf pendengaran perifer. terdiri bagi tiga bagian sel utama
yaitu sel penunjang, selaput gelatin penghubung dan sel-sel rambut yang dapat membangkitkan
impuls saraf sebagai respon terhadap getaran suara.

34
OC terdiri satu baris sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3 000 dan tiga baris sel rambut
luar yang berjumlah sekitar 12 000. Rambut halus atau silia menonjol ke atas dari sel-sel rambut
menyentuh atau tertanam pada permukaan lapisan gel dari membran tektorial. Ujung atas sel-sel
rambut terfiksasi secara erat dalam struktur sangat kaku pada lamina retikularis. Serat kaku dan
pendek dekat basis koklea mempunyai kecenderungan untuk bergetar pada frekuensi tinggi
sedangkan serat panjang dan lentur dekat helikotrema mempunyai kecenderungan untuk
bergetar pada frekuensi rendah.
Saraf Koklearis
Sel-sel rambut di dalam OC diinervasi oleh serabut aferen dan eferen dari saraf koklearis
cabang dari nervus VIII, 88 % Serabut aferen menuju ke sel rambut bagian dalam dan 12 %
sisanya menuju ke sel serabut luar. Serabut aferen dan eferen ini akan membentuk ganglion
spiralis yang selanjutnya menuju ke nuleus koklearis yang merupakan neuron primer, dari
nucleus koklearis neuron sekunder berjalan kontral lateral menuju lemnikus lateralis dan ke
kolikulus posterior dan korpus genikulatum medialis sebagai neuron tersier, selanjutnya menuju
ke pusat pendengaran di lobus temporalis tepatnya di girus transversus.

Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam bentuk
gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan
membrane timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membrane timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissnner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membrane basilaris dan
35
membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran
(area 39-40) di lobus temporalis.

b) Hidung
Anatomi
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior hingga
koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi membagi
tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.1
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum
durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral

36
dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan
orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.

A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap
hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os
frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga
hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina
perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi
disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus
frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior
terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian
terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media,
konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan
mengalami rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media
dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum
dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak di
posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal
merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.15
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan
sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci
dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel
etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal.15
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.

37
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk
oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila
dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila,
krista palatina dan krista sfenoid.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus
Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada
anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.

38
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis
dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung.

Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa
olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3)
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks
nasal.

c) Tenggorokan
Anatomi

39
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari
faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika
ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di
depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi
terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus
fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara
mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole,
dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis
tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan
terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan
cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar
submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian
belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus
tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak
dekat sebelah depan saraf-saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf
lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah
suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan
sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esophagus setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana,ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus
orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan
kebawah berhubungan dengan esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang
40
dewasa kurang lebih empat belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring
yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring,
orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid
terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa
terdapat didepan lekukan yang disebut fosa rosenmuller. Otot tensor veli palatini,
merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring
melalui ruangan ini.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila,
arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring
posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring
bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral
terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah
esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-
otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus.

Fisiologi
1. Proses Menelan

41
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke
faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga,
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan
palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang
hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah
aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah
melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan
superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior
berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat,
menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.

2. Proses Berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring
superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.

2. Jelaskan
a) Sebutkan Macam Macam Gangguan Pendengaran
2.1.1 Definisi

Definisi gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial

atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. 18

Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan

pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-39 dB),

gangguan pendengaran sedang (40-69 dB) dan gangguan pendengaran berat (70-

42
89 dB). 19 Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai:12,20

1. Tuli konduktif

Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna, membran

timpani, atau telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak

melebihi 60dB karena dihantarkan menuju koklea melalui tulang

(hantaran melalui tulang) bila intensitasnya tinggi. Penyebab tersering

gangguan pendengaran jenis ini pada anak adalah otitis media dan

disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh otitis media sekretori.

Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan

pendengaran melebihi 40dB.

2. Tuli sensorineural

Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran dan

batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.

Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka sel ganglion

43
dapat bertahan atau mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion

rusak, maka nervus VIII akan mengalami degenerasi Wallerian.

Penyebabnya antara lain adalah: kelainan bawaan, genetik,

penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses kelahiran,

infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina, antibiotika

seperti golongan makrolid), radang selaput otak, kadar bilirubin yang

tinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini disebabkan genetik

atau infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang.

3. Tuli campuran

Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural terjadi

bersamaan.

2.1.2 Faktor Penyebab

Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran

dapat berasal dari genetik maupun didapat:12

1. Faktor Genetik.

Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa

gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin bersifat

statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan

dengan kromosom X (contoh: ,

disease) kelainan mitokondria (contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan

suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga (contoh:


stenosis atau atresia kanal telinga eksternal sering dihubungkan dengan

malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).

2. Faktor Didapat.

Antara lain dapat disebabkan:

1. Infeksi

Rubela kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus herpes

simpleks (tabel 1), meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta,

mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis. Toksoplasma, Rubela,

Cytomegalovirus menyebabkan gangguan pendengaran pada 18% dari

seluruh kasus gangguan pendengaran dimana gangguan pendengaran

sejak lahir akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela

kongenital 50%, dan Toksoplasma kongenital 10%-15%, sedangkan

untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%. Gangguan pendengaran yang

terjadi bersifat tuli sensorineural.21 Penelitian oleh Rivera menunjukkan

bahwa 70% anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus kongenital

mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa

neonatus.22 Pada meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan

beberapa studi klinis menunjukkan adanya kerusakan di koklea atau saraf

pendengaran, sayangnya proses patologis yang terjadi sehingga

menyebabkan gangguan pendengaran masih belum dapat dipastikan.23,24

2. Neonatal hiperbilirubinemia

3. Masalah perinatal

Prematuritas, anoksia berat, hiperbilirubinemia, obat ototoksik


4. Obat ototoksik

Obat- obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah:25

Golongan antibiotika: Erythromycin, Gentamicin,

Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin

(pada pemakaian tetes telinga),

Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin.Golongan diuretika: furosemide.

5. Trauma

Fraktur tulang temporal, perdarahan pada telinga tengah atau koklea,

dislokasi osikular, trauma suara.

6. Neoplasma

Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis 2), cerebellopontine

tumor, tumor pada telinga tengah (contoh: rhabdomyosarcoma, glomus

tumor).

Tabel 1. Karakteristik gambaran klinis infeksi perinatal.26, 27

Organisme
( jalur transmisi ) Toksoplasma (Hanya melalui transplasenta)
Cytomegalovirus
(transmisi melalui
transplasenta lebih
sering daripada jalur
transmisi intrapartum)

Rubela
(Transplasenta)

Herpes simpleks
(Ascending intrapartal
infection)
Manifestasi Klinis korioretinitis, petekie, mikroftalmia,
kalsifikasi serebral, mikrosefali, dan
Intra kelainan pada struktur koklea serta
Uterin kerusakan sel organ korti dan nervus
e kedelapan.
Growt Penyakit jantung kongenital, IUGR,
h hepatosplenomegali, ikterik, purpura, katarak,
Retard glaukoma, korioretinitis, retinopati, bone
ation lesions, mikrosefali dan reaksi inflamasi dan
(IUGR lesi destruktif pada koklea
), Vesikel pada kulit, keratokonjungtivitis pada
Hepato masa neonatus, meningoensefalitis,
spleno mikrosefali, retardasi mental, mikroftalmia,
megali, displasia retinal.
Korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefali.
2.1.3 Faktor Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Pada Neonatus: 28,29

1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian

2. Infeksi intrauterin

3. Abnormalitas pada kraniofasial

4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar

5. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari 5 hari atau

penggunaan antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic.

6. Meningitis bakteri

7. Apgar skor <4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau apgar skor

< 6 pada menit kelima.

8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.

9. Berat lahir < 1500 gram

10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.

Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi untuk

dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan pendengaran,

akan tetapi di lapangan ditemukan bahwa 50% neonatus dengan gangguan

pendengaran tidak mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu direkomendasikan

suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada seluruh neonatus setelah lahir

atau setidaknya usia tiga bulan.30,31

2.1.4 Penilaian Gangguan Pendengaran

Anak terlalu kecil bukan sebagai halangan untuk melakukan penilaian

definitif gangguan pendengaran pada anak terhadap status fungsi telinga tengah

dan sensitifitas koklea serta jalur suara. Kecurigaan terhadap adanya gangguan
pendengaran pada anak harus dilakukan secara tepat. Jenis-jenis pemeriksaan

pendengaran yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics

(AAP) adalah pemeriksaan yang disesuaikan dengan umur anak, anak harus

merasa nyaman terhadap situasi pemeriksaan, pemeriksaan harus dilakukan pada

tempat yang cukup sunyi dengan gangguan visual dan audio yang minimal.

Beberapa pemeriksaan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.13

Pada pemeriksaan dengan BERA, secara fisiologik mekanisme jalur

auditorius mulai dari saraf auditorius sampai ke korteks auditorius sangat

kompleks. Terdapat lima gelombang yang mencerminkan daerah yang diperiksa,

antara lain: 32, 33

1. Gelombang I timbul dari bagian distal nervus VIII.

2. Gelombang II dari bagian proksimal nervus VIII dengan kemungkinan

bagian distal nervus VIII masih ikut berperan.

3. Gelombang III dari kompleks olivari superior.

4. Gelombang IV berasal dari neuron ke tiga di nukleus olivarius superior

kompleks, nukleus koklearis dan lemniskus lateralis.

5. Gelombang V berasal dari kolikulus inferior.

Bila ditemukan keadaan tuli konduktif, kurva serial latensi/intensitas

mempunyai kemiringan yang sama seperti orang normal tetapi mengalami

pergeseran ke intensitas pendengaran yang lebih tinggi, maka akan ditemukan

semua gelombang (I-V) akan bergeser ke kanan (memanjang), sedangkan

interwave latency interval (IWI) dalam batas normal. Lesi tipe sensorineural

mempunyai latensi puncak yang sebanding dengan orang normal pada intensitas

stimulasi tinggi, tetapi pada intensitas yang lebih rendah, latensi tersebut
memanjang secara signifikan. Untuk membantu interpretasi BERA dalam

membedakan gangguan konduktif dan lesi retokoklear diperlukan tes

audiometrik khusus yang cermat dan teliti seperti timpanometri.32

b) Pemeriksaan Garpu Tala Dan Interpretasinya


Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi fungsi pendengaran individu secara
kualitatif dengan menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala frekuensi rendah sampai
tinggi 128 HZ-2048 Hz.
Satu perangkat garpu tala memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah hingga tinggi
akan memudahkan survei kepekaan pendengaran. Cara menggunakan garpu tala yaitu garpu tala
di pegang pada tangkainya, dan salah satu tangan garpu tala dipukul pada permukaan yang
berpegas seperti punggung tangan atau siku.

Ada berbagai macam tes garpu tala , diantaranya:


1. Tes Rinne
3. Tes Weber
4. Tes Schwabach

TES RINNE

Tujuan : membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada telinga yang
diperiksa.

Cara Pemeriksaan :
Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, letakkan tangkainya tegak lurus pada planum
mastoid penderita (posterior dari MAE) sampai penderita tak mendengar, kemudian
cepat pindahkan ke depan MAE penderita. Apabila penderita masih mendengar garpu
tala di depan MAE disebut Rinne positif. Bila tidak mendengar disebut Rinne negatif.

Interpretasi :
- Normal : Rinne positif
- Tuli konduksi : Rinne negatif
- Tuli sensori neural : Rinne positif

TES WEBER
Tujuan : membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita

Cara Pemeriksaan :

Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus di
garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu atau pada gigi insisivus)
dengan kedua kaki pada garis horisontal. Penderita diminta untuk menunjukkan telinga
mana yang tidak mendengar atau mendengar lebih keras . Bila mendengar pada satu
telinga disebut laterisasi ke sisi telinga tersebut. Bila kedua telinga tak mendengar atau
sama-sama mendengar berarti tak ada laterisasi.

Interpretasi :
- Normal : Tidak ada lateralisasi
- Tuli konduksi : Mendengar lebih keras di telinga yang sakit
- Tuli sensorineural : Mendengar lebih keras pada telinga yang sehat

TES SCHWABACH

Tujuan : membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan pemeriksa


yang pendengarannya normal

Cara pemeriksaan :
garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan kemudian tangkainya diletakkan tegak lurus
pada planum mastoid pemeriksa, bila pemeriksa sudah tidak mendengar, secepatnya
garpu tala dipindahkan ke mastoid penderita. Bila penderita masih mendengar maka
schwabach memanjang, tetapi bila penderita tidak mendengar, terdapat 2 kemungkinan
yaitu Schwabah memendek atau normal.
Untuk membedakan kedua kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu tes pada penderita
dulu baru ke pemeriksa.
Garpu tala 512 dibunyikan kemudian diletakkan tegak lurus pada mastoid penderita,
bila penderita sudah tidak mendengar maka secepatnya garpu tala dipindahkan pada
mastoid pemeriksa, bila pemeriksa tidak mendengar berarti sama-sama normal, bila
pemeriksa masih masih mendengar berarti schwabach penderita memendek.

Interpretasi :
- Normal : Schwabach sama dengan pemeriksa
- Tuli konduksi : Schwabach memanjang
- Tuli sensorineural : Schwabach memendek

TES RINNE TES WEBER TES SCHWABACH Diagnosis telinga


yang di periksa
Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal
pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke Memanjang Tuli konduktif
telinga yang sakit
Positif Lateralisasi ke Memendek Tuli sensorineural
telinga yang sehat

Catatan : pada tuli konduktif < 30m dB, tes rinne masih positif.

c) Pemeriksaan Audiometri
Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik atau otoskopi telinga, tes pendengaran yaitu tes bisik, tes garputala dan tes
audiometri Tes audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik. Tes
ini meliputi audiometri nada murni dan audometri nada tutur. Audiometri nada murni
dapat mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran tulang penderita dengan alat
elektroakustik.
Alat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal dengan frekuensi dan
intensitasnya yang dapat diukur. Untuk mengukur nilai ambang hantaran udara
penderita menerima suara dari sumber suara lewat heaphone, sedangkan untuk
mengukur hantaran tulangnya penderita menerima suara dari sumber suara lewat
vibrator. Manfaat dari tes ini adalah dapat mengetahui keadaan fungsi pendengaran
masing-masing telinga secara kualitatif (pendengaran normal, gangguan pendengaran
jenis hantaran, gangguan pendengaran jenis sensorineural, dan gangguan pendengaran
jenis campuran). Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran secara kuantitatif
(normal, ringan, sedang, sedang berat, dan berat)
Beberapa teknik audiometri berdasarkan rangsangan yang diberikan:
 Pure Tone Audiometry
Prosedur ini akan memberikan gambaran yang luas mengenai tingkat kehilangan
pendengaran pasien dan penyebabnya. Pasien akan memberikan respon terhadap
rangsangan tone yang diberikan. Tone yang diberikan dengan cara dari frekuensi
rendah ke tinggi . Tone sebesar 30dB HL diberikan kepada pasien sebagai
rangsangan awal, jika respon positif maka level tone akan diturunkan sebesar 10 dB
HL sampai pasien tidak memberikan respon. Pada rangsangan pertama jika pasien
tidak mendengar maka level tone dinaikkan 10 dB HL sampai terdengar oleh pasien
kemudian diturunkan per 5 dB atau naik 5 dB HL. Frekuensi yang diujikan berkisar
125-500 Hz.
 Tone Decay Test (TDT)
Digunakan untuk mendeteksi kelainan pada jalur sensorineural. Prosedurnya
adalah, operator memilih frekuensi untuk kemudian pasien diinstruksikan untuk
merespon pada saat pasien mendapat rangsangan dan akan memberikan respon lagi
pada saat tidak dapat menerima rangsangan tersebut, durasi diantara keduanya
kemudian diukur. Tone yang dipakai diberikan dari
frekuensi tinggi ke rendah. Dengan 30 dB HL pada saat pertama untuk
kemudian selama 1 menit pasien dapat mendengarkan maka tone level akan
diturunkan dengan skala 5 dB HL, hal ini diulangi sampai tone tidak dapat
didengarkan lagi selama kurang dari 1 menit.
 Short Increment Sensitivity Index (SISI)
SISI digunakan untuk mendeteksi penyakit di cochleat atau recrocochlear
lesions. Test ini menggambarkan kapasitas pasien untuk mendeteksi perbedaan
kenaikan intensitas 1 dB, yang dalam rentan waktu 5 detik pada frekuensi tertentu.
Operator akan menset frekuensi pada level 20 dB, tone yang diberikan dengan
madulasi singkat 1 dB diatas carrier tone setiap 5 detik. Kenaikan 1 dB
dipresentasikan dengan interval 300 ms, dengan rise time dan fall time sebesar 50
ms. Respon pasien pada saat dapat membedakan perbedaan level adalah yang
diukur.
 Bekesy Audiometry
Merupakan test audiometry yang dapat dijalankan secara automatis. Hal ini
dikarenakan frekuensi dan intensitas akan turun dan naik secara otomatis,
sedangkan respon pasien terhadap tone yang menjadi data diukur pada tes tesebut.
 Speech Audiometry
Pure tone audiometry adalah test yang mengacu pada sensitivitas pasien
sedangkan speech audiometry mengacu kepada integritas seluruh system auditory
dengan mengacu pada kemampuan secara jelas mendengarkan dan mengerti
pembicaraan.
3. Jelaskan kelainan pada telinga dan tatalaksananya
a) Otitis Media Akut
Definisi
- Inflamasi yang terjadi di liang telinga tengah yang berlangsung kurang dari 3 bulan
Etiologi
- Infeksi Bakteri terutama yang piogenik seperti:
o Streptococcus Pneumonia(40%)
o Streptococcus Hemolitikus
o Staphilococcus Aureus
- Bakteri penyebab lainnya
o Haemophilus Influenzae(sering ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun)
o Pseudomonas Aeruginosa
o Streptococcus Antihemolitikus
o Proteus Vulgaris
o E. Coli
Stadium OMA
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif
dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak
normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat di deteksi.
Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang di sebabkan oleh virus atau
alergi.
2. Stadium Hiperemis(Presupurasi)
Pembuluh darah membran timpani tampak melebar atau seluruh membran timpani
hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang
serosa sehingga sukar terlihat.

3. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serte
terbentuknya eksudat yang ourulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani
menonjol (bulging) ke arah telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi
dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.

Apabila tekanan nanah di kavum timpani berkurang, maka terjadi iskemia, akibat tekanan
pada kapiler-kapiler, serta timbul trombofeblitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa
dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang kebih
lembek dan berawarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

Bila tidak dilakukuan insisi membran timpani(miringotomi) pada stadium ini, maka
kemungkinan besar amemran timpani akan ruptur dan nanah keluar dari liang telinga luar.

Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila
terjadi ruptur, maka lubang temapt ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali.

4. Stadium Perforasi
Ruptur membran timpani dan keluarnya nanah ke telinga luar dapat terjadi jika pemberian
antibiotika terlambat atua virulensi kuman tinggi. Anak yang tadinya gelisah dapat menjadi
tenang pada stadium ini., suhu badan turun, dan anak dapat tidur nyenyak.

5. Stadium Resolusi
Membran timpani akan kembali normal secara perlahan jika membran timpani tetap utuh.
Bila terjadi perforasi, sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Jika daya tahan tubuh
baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.
OMA dapat berubah menjadi OMSK jika perforasi menetap dengan sekret yang keluar
terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media
serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

Manifestasi Klinis
- Biasanya sebelumnya mengalami gejala ISPA
- Nyeri telinga(otalgia/earache) dan terasa sakit jika dipegang
- Demam tinggi
- Telinga terasa penuh atau pendengaran terganggu
- Otorrhea karena rupturnya membrane tympani dan otalgia serta demam menjadi berkurang
- Pada Anak-anak:
o Demam bisa sampai suhu 39.5 oC( pada stadium supurasi )
o Diare
o anak gelisah dan sukar tidur, tiba- tiba menjerit waktu tidur
o kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit
o Bila terjadi ruptur membran, sekret telinga mengalir, suhu tubuh turun, dan anak
tidur tenang.

Pemeriksaan penunjang OMA


- Diagnosis
a. Darah
o Leukoscytosis
o Bacteremia
b. Kultur sekret telinga
o Bakteri Pathogenik
c. Tes Imun
o IgA dan IgG untuk OMA Rekuren
o

Terapi
Pengobatan OMA tergantung dari stadium penyakitnya.
A. Stadium Oklusi
Pengobatan pada stadium ini bertujuan untuk membuka kembali tuba esutachius. Sehingga
tekanan negatif telinga hilang. Dapat diberikan:
o HCL efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis (anak <12 tahun) atau HCL 1% dalam
larutan fisiologis untuk umur > 12 tahun dan pada orang dewasa
o Antibiotik jika kuman penyebab nya adalah virus
B. Stadium Presupurasi
Dapat diberikan:
o Analgesik
o Obat tetes hidung
o Antibiotika(dianjurkan minimal 7 hari)
 Penisilin (Intramuskular pada awal terapi agar konsentrasinya adekuat dalam
darah, tidak terjadi mastoiditis, gejala sisa dan kekambuhan)
 Eritromisin jika pasien alergi terhadap penisilin
 Untuk anak:
 Ampisilin 50-100mg/KgBB per hari dibagi dalam 4 dosis
 Atau amoksisilin 40mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
 Atau eritromisin 40mg/kgBB/hari
C. Stadium Supurasi
Miringotomi jika membran timpani masih utuh
D. Stadium Perforasi
o Obat cuci telinga H2O2 3 % selama 3-5 hari serta anti biotik yang adekuat.
Biasanya sekret menghilang selama 7-10 hari
E. Stadium Resolusi
Antibiotika di lanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih
banyak kemungkinan terjadi mastoiditis. Bial OMA berlanjut dengan keluarnya sekret
setelah lebih dari 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media subakut. Bila lebih dari
satu setengah bulan atau 2 bulan, maka disebut otitis media supuratif kronik

Prognosis
Acute Otitis Media Otitis Media Dengan Effusi
AOM dapat sembuh sendiri. Jika supprasi sembuh Prevalensi OME pada anak >7 tahun berkurang
dan meninggalakan effusi selama lebih dari 3 tajam karena fungsi tuba eustachi sudah baik dan
bulan, diagnosis OME harus ditegakkan. Jika matangnya system imun.
terjadi perforasi dan otorrhea, diagnosis CSOM
ditegakkan.

b) Otitis Media Supuratif Kronik


DEFINISI

Infeksi kronis liang telinga tengah dengan perforasi membrane timpani dan secret yang keluar dari telinga
terus menerus atau hilang timbul.

OMSA dengan perforasi membrane timpani menjadi OMSK bila prosesnya >2 bulan.
Bila proses infeksi <2 bulan disebut otitis media supuratif subakut.

KLASIFIKASI

OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :

1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.

Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi
dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi
tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien
dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat
perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan
hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:

1.1. Penyakit aktif

Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas
atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret
bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai
perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luas. Perluasan
infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus
dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada mesotimpanum
dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas
kuadran posterosuperior .

1.2. Penyakit tidak aktif

Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat.
Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau
suatu rasa penuh dalam telinga.

Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :

1. Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis.


2. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis.
3. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang terkontaminasi.
4. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia.
5. Otitis media supuratif akut yang berulang.
2.2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang

Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars
flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai
menghasilkan kolesteatom.

Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan
epitel bertatah yang telah nekrotis. kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :

a. Kongenital

b. Didapat.

ad a. Kolesteatom kongenital.

1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.

2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.

3. Biasa terdapat di cavum timpani, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontine angle.

Ad b. Kolesteatom didapat.

1. Primary acquired cholesteatoma.

Teori invaginasi: terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrane timpani. Timbul akibat terjadi proses
invaginasi dari membrane timpani pars flaksida karena tekanan negative di telinga tengah akibat gangguan
tuba.

2. Secondary acquired cholesteatoma.

Teori imigrasi: kolesteatom terbentuk setelah adanya perforasi membrane timpani. Terbentuk sebagai aikbat
dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membrane timpani ke telinga tengah.

Teori metaplasia: Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari metaplasia mukosa kavum timpani karena
iritasi infeksi yang berlangsung lama.

Bentuk perforasi membran timpani adalah :

1. Perforasi sentral

Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior, kadang-kadang sub total.

2. Perforasi marginal

Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi marginal yang
sangat besar digambarkan sebagai perforasi total.Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan
dengan kolesteatom
3. Perforasi atik

Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi sosial, ekonomi, suku, tempat
tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi yang jelek.Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak
termasuk anak yang mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden
OMSK saja, tidak ada data yang tersedia.

ETIOLOGI

Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah
dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai
telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor
predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom. Adanya tuba patulous,
menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat.
Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti infeksi HIV, sindrom
kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.

Penyebab OMSK antara lain:

1. Lingkungan

Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan erat antara
penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang
lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet,
tempat tinggal yang padat.

2. Genetik

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan
luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada
penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

3. Otitis media sebelumnya.


Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan / atau otitis
media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang
lainnya berkembang menjadi keadaan kronis

4. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media
kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama
dijumpai adalah Gram-negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.

5. Infeksi saluran nafas atas

Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat
mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme
yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis.

7. Alergi

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang
menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria
atau toksin-toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.

8. Gangguan fungsi tuba eustachius.

Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini
merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai
metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba
tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada OMSK :

• Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret telinga purulen
berlanjut.
• Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi.
• Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel.
• Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas sisi medial
dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari perforasi. Faktor-faktor
yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis majemuk, antara lain :
1. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang.
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan
parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan
tubuh.
PATOFISIOLOGI

Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap. Keadaan
kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari pada keseragaman gambaran patologi.
Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kekambuhan ini ditambah
dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut. Secara umum gambaran
yang ditemukan adalah :

1.Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat

bervariasi mulai kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh membrana dan terkenanya bagian-
bagian dari anulus. Dalam proses penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa kedalam
ketelinga tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau dapat mengisi seluruh
rongga telinga tengah. Kadang-kadang perluasan lapisan tengah ini kedaerah atik mengakibatan
pembentukan kantong dan kolesteatom didapat sekunder. Kadang-kadang terjadi pembentukan membrana
timpani atrifik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membrana ini cepat rusak pada periode infeksi aktif.

2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan tampak normal kecuali bila
infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi
aktif, mukosa menjadi tebal dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah
pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid menetap akibat disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor
alergi dapat juga merupakan penyebab terjadinya perubahan mukosa menetap.

Dalam berjalannya waktu, kristal-kristal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, membentuk
granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasilkan granulasi pada membran mukosa dan
infiltrasi sel datia pada cairan mukus kolesterin.

3.Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi sebelumnya.
Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami nekrosis karena penyakit trombotik pada pembuluh darah
mukosa yang mendarahi inkus ini. Nekrosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes, kecuali kalau terjadi
pertumbuhan skuamosa secara sekunder kearah ke dalam, sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat
rusak. Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan oleh terbentuknnya enzim osteolitik
atau kolagenase dalam jaringa ikat subepitel.
4. Mastoid

OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid paling akhir

terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti atau mundur oleh otitis media yang terjadi
paa usia tersebut atau lebih muda. Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami proses sklerotik,
sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil dan pneumatisasi terbatas, hanya
ada sedikit sel udara saja sekitar antrum.

GEJALA KLINIS

1. Telinga berair (otorrhoe)

Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan.
Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK
tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi
mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang
timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang
telinga luar setelah mandi atau berenang.

Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna
kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping
kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang
atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya.
Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun
dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra
ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan
pendengaran lebih dari 30 db.

Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar
suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.Penurunan fungsi
kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela
bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis
supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea.

3. Otalgia ( nyeri telinga)

Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada
OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna
sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses
atau trombosis sinus lateralis.

4. Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan
tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul
biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo
dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan
vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius,
karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul
labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membran
timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah.

TANDA KLINIS

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :

1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular


2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

PEMERIKSAAN KLINIK

Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagai berikut :

Pemeriksaan Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai
adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga tengah.
Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang
dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum,
sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal
terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea.

Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian total,
tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan
membandingkan rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO
1964 yang ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO
1964 dan ANSI 1969.

Derajat ketulian NormalTuli ringanTuli sedang

Nilai ambang pendengaran

:  -10 dB sampai 26 dB
:  27 dB sampai 40 dB
:  41 dB sampai 55 dB
:  56 dB sampai 70 dB
:  71 dB sampai 90 dB
:  lebih dari 90 dB.
Tuli sedang beratTuli beratTuli totalEvaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan
fungsi

kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur,
biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi
rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut
bisa membantu :

1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif 30-50 dB apabila disertai
perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih utuh menyebabkan tuli
konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan hantaran tulang,
menunjukan kerusakan kohlea parah.
5. Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengaran
dengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking adalah dianjurkan,
terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur.
Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari secret
telinga.

PENATALAKSANAAN

1. Prinsip terapi OMSK tipe benigna: Konservatif dan medikamentosa

a. Bila secret keluar terus-menerus: beri obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3-5% selama 3-5 hari

b. Bila secret berkurang: beri obat tetes telinga yang mengandung antibotik dan kortikosteroid.

c. Terapi oral: antibiotic golongan ampisilin atau eritromisin sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada
infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan kombinasi
ampisilin-asam klavunat.

Bila secret kering tetapi perforasi menetap setelah observasi 2 bulan: lakukan miringoplasti atau
timpanoplasti.

Bila ada sumber infeksi yang menyebabkan secret tetap ada: obati sumber infeksi yang ada sebelumnya.

2. Prinsip terapi OMSK tipe maligna: Operatif

Terapi konservatif diberikan untuk sementara sebelum pembedahan.

Pembedahan:
Komplikasi

Pembagian komplikasi OMSK menurut Shambough (2003):

1. Komplikasi intratemporal:

 Perforasi membrane timpani


 Mastoiditis akut
 Paresis nervus fasialis
 Labirintitis
 Petrositis
2. Komplikasi Ekstratemporal

 Abses subperiosteal
3. Komplikasi Intrakranial

 Abses otak
 Tromboflebitis
 Hidrosefalus otikus
 Empiema subdural
 Abses subdural/ekstradural
c) Otitis Media Eksterna
Definisi
Otitis eksterna (OE) adalah radang liang telinga akut maupun kronis yang disebabkan
infeksi bakteri, jamur, dan virus.
Predisposisi

 Perubahan PH kulit canalis yang biasanya asam menjadi basa


 Perubahan lingkungan terutama peningkatan suhu dan kelembaban
 trauma ringan sering kali karena membersihkan telinga secara berlebihan

1) Otitis Eksterna Akut


- Otitis Externa sirkumpskripta (furunkel=bisul)
Definisi
Infeksi pada kulit di 1/3 luar liang telinga (mengandung adneksa kulit  infeksi
pilosebaseus) yang dapat menyebabkan terbentuknya furunkel (bisul).
Etiologi
Staphylococus aureus , staphylococcus albus
Gejala
1. Rasa nyeri hebat (tidak sesuai dengan besar bisul), nyeri saat membuka mulut
2. Gangguan pendengaran
3. Nyeri jika auricula digerakkan
Terapi
Tergantung keadaan furunkel

Bila sudah abses, di aspirasi untuk mengeluarkan nanah

Lokal  Diberikan antibiotik dalam bentuk salep seperti Polymiksin B atau


Bacitracin atau antiseptik

Jika dinding furunkel tebal, dilakukan insisi kemudian dipasang salir (drain) untuk
mengalirkan nanah.

- Otitis Externa Difusa


Definisi
Infeksi pada kulit liang telinga 2/3 dalam yang tidak jelas batasnya dan tidak
terdapat furunkel dan biasanya infeksi ini dikenal dengan nama swimmer’s ear
Etiologi
Pseudomonas,streptococcus, staphylococcus atau jamur
Otitis eksterna difus terjadi sekunder pada otitis media supuratif
Danau, laut dan kolam renang pribadi = sumber potensial untuk infeksi ini
Gejala
1. Nyeri tekan tragus
2. Liang telinga sempit (kgb regional membesar, nyeri tekan)
3. Gatal, kadang kadang nyeri dan sekret yang bau
4. Telinga berair, sekret tidak mengandung musin (lendir) seperti sekret yang
keluar dari kavum timpani
5. Pendengaran normal atau sedikit berkurang
Terapi

 Membersihkan liang telinga


 Memasukkan tampon yang mengandung antibiotika 
 Antibiotik sistemik jika perlu

- Otomikosis
Definisi
Infeksi jamur superfisial pada liang telinga luar

Etiologi
Pityrosporum, aspergillus niger

Gejala

 Gatal, rasa penuh di liang telinga


 Adanya debris yang berisi hifa (terbentuk sisik yang menyerupai ketombe)
 Asimptomatik

Terapi

1. Membersihkan liang telinga

2. Larutan asam asetat 2% dalam alkohol, tetes telinga yang mengandung antibiotik
dan steroid.

3. Obat anti jamur (salep)  nistatin, klotrimazol

- Otitis Externa Maligna


Definisi
infeksi difus di liang telinga luar dan struktur lain di sekitarnya

Penyebab : Pseudomonas Aeroginosa

Faktor Resiko : DM

Gangguan :

- Peradangan progresif ke lapisan subkutis


- Gatal di liang telinga, nyeri, sekret banyak, dan pembengkakan

- osteomielitis yang progresif

Terapi :

- Ciprofloxasin (oral)

- Aminoglikosida (keadaan lebih berat)

- Debridemen secara radikal

- Herpes Zoster Otikus


 Herpes zoster oticus adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella
zoster. Virus ini menyerang satu atau lebih dermatom saraf cranial.
 Dapat mengenai saraf trigeminus, ganglion genikulatum, dan radiks servikalis
bagian atas. Keadaan ini disebut Sindroma Ramsay Hunt. 
 Tatalaksana herpes zoster

- Infeksi Kronis Liang Telinga


Infeksi bakteri maupun infeksi jamur yang tidak diobati, iritasi kulit yang
disebabkan oleh cairan otitis media, trauma berulang, adanya benda asing,
penggunaan cetakan (mould) pada alat bantu dengar (hearing aid) dapat
menyebabkan radang kronis akibatnya terjadi stenosis/ penyempitan liang telinga
akibat terbentuknya jaringan parut. Pengobatannya diperlukan operasi rekonstruksi
liang telinga. 

- Keratosis Obturans
Keratosis obturans  Gumpalan epidermis di liang telinga disebabkan oleh
terbentuknya sel epitel yang berlebihan yang tidak migrasi ke arah telinga luar
Gangguan 
- bilateral dan usia muda
- Tuli konduktif akut
- Nyeri hebat
- Liang telinga yang lebar
- Membran timpani yang utuh tapi lebih tebal
- Erosi liang telinga sirkumferensial
Penyakit penyerta
Sinusitis
Bronkiektasis

Terapi

Pengangkatan sumbatan
Pembersihan secara berkala debris akibat radang

- Kolesteatom Externa
Kolesteatoma Eksterna  invasi jaringan skuamosa ke dalam tulang liang telinga
yang bersifat lokal
Gangguan  unilateral dan usia tua
Otore
Nyeri tumpul menahun
Erosi liang telinga posteroinferior
Pendengaran dan membran timpani normal.

4. Jelaskan kelainan pada hidung


a) Rhinitis Alergi
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut.
Menurut WHO Aria (Allergic Rhinitis and Its Impact On Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorea, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitasi dan diikuti dengan tahap reaksi alergi.
Tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan
menangkap alergen yang menempel pada mukosa hidung. Antingen yang telah diproses
akan membentuk peptide dan bergabung dengan molekul HLA II membentuk kompleks
peptida MHC II (Major Histocompatibility Complex). Kompleks peptida MHC II
dipresentasikan pada sel T helper (T0). Sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti
interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL4 dan IL 13 yang dapat diikat oleh
reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan dapat
memproduksi IgE. IgE yang beredar disirkulasi darah akan diikat oleh reseptornya
dipermukaan sel mastosit/basophil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif
(Proses sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi).
Setelah mukosa yang sudah tersensitasi terpapar alergen yang sama. IgE akan
mengikat alergen spesifik yang mengakibatkan degranulasi mastosit/basophil dan
terlepasnya mediator kimia seperti histamin, leukotrien, bradikinin, platelet activating
factor, dan berbagai sitokin, inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat (RAFC). Histamin
akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus yang mengakibatkan rasa gatal dan
hidung bersin bersin dan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Vasodilasi
sinusoid juga mengakibatkan hidung tersumbat. Gejala ini akan mencapai puncaknya yaitu
6-8 jam.
Pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung selama 24-48 jam akan
ditandai dengan penambahan dari sel inflamasi seperti eonsinofil,limfosit,netrofil,basophil
dan mastosit dipermukaan hidung serta peningkatan sitokin yang menyebabkan terjadinya
hiperresponsif hidung. Pada fase ini iritasi oleh faktor non spesifik seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi akan memperberat
gejala.

Klasifikasi rinitis alergi


Menurut WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinits and its impact on Asthma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1) Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2) Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Berdasarkan derajat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :


1) Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Diagnosis
1) Anamnesis
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja, gejala rinitis alergi
yang khas ialah serangan bersin berulang. Bersin ini terutama merupakan gejala RAFC
dan kadang-kadang RAFL sebagai dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah rinorea yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Pada anak gejala yang timbul tidak lengkap.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
yang diutarakan oleh pasien.

2) Pemeriksaan fisik
 Rhinoskopi anterior : Tampak mukosa edema, basah, warna pucat disertai adanya
sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi.
 Terdapat Alergic shiner, yaitu bayangan gelap dibawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
 Alergic salute, yaitu pasien (umumnya anak) menggosok-gosok hidung karena
gatal dengan punggung tangan yang lama kelamaan akan menimbulkan garis
melintang di sepertiga bawah dorsum nasi, yang disebut Alergic crease.
 Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi.
 Terdapat Cabblestone appearance, yaitu tampak dinding posterior faring granuler
dan edema.
 Terdapat Geographic tongue, yaitu lidah tampak seperti gambaran peta.

3) Pemeriksaan penunjang
 IgE RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
 Skin End Point Titration

4) Penatalaksanaan
a) Menghindari kontak allergen
b) Medikamentosa
 Antihistamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-
1 sel target dan dapat dikombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Contoh obat cetirizine, loratadine.
 Kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon
fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain. Contoh obat beklometason,
budesonide, mometason.
 Pengobatan baru lainnya, anti IgE, DNA Rekombinan, anti leukotriene.
c) Operatif
 Tindakan konkotomi parsial (pemotongan Sebagian konka inferior),
konkoplasti perlu diperhatikan jika konka inferior hipetrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.
d) Imunoterapi
 Pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberrikan yang memuaskan. Tujuannya untuk pembentukan igG
blocking antibody d an penurunan IgE.

5) Komplikasi
 Polip hidung
 Otitis media perfusi
 Rinosinusitis
b) Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada
mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada
mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.2 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-
infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor
rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis
atau intrinsic rhinitis.

ETIOLOGI :

            Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan
fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi
tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan
normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2.     faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan
bau yang merangsang.
3.    faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
4.  faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

EPIDEMIOLOGI :

        Mygind ( 1988 ), seperti yang dikutip oleh Sunaryo ( 1998 ), memperkirakan sebanyak 30 –
60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis vasomotor dan lebih banyak
dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.10 Walaupun demikian insidens pastinya tidak
diketahui.2,5 Biasanya timbul pada dekade ke 3 – 4.3 Secara umum prevalensi rinitis vasomotor
bervariasi antara 7 – 21%.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai sebanyak 21%
menderita keluhan hidung non – alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan
dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non – alergi dijumpai pada dekade ke 3.
 Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita rinitis
perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor.
 Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1 tahun di RS
Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus ( 1,38 % ) sedangkan
pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus ( 10,07 % ).

PATOFIOLOGI :
          Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar.
Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan
parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf
otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf
simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif,
keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas
kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti.
Peningkatan peptide vasoaktif dari sel - sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah
histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini
tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga
meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang
menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E
mediated) seperti pada rinitis alergi.
 Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak kasus
yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah
perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional
atau fisikal ).

 MANISFESTASI KLINIS :
Gejala klinis Rhinitis Vasomotor sulit sekali dibedakan dengan Rhinitis Alergikan namun adapun
gejala klinis yang sering dijumpai dari Rhinitis Vasomotor adalah :
1.     Hidung tersumbat : diakibatkan adanya paparan terhadap suatu iritan seperti obat – obat
vasokontriktor topical yang digunakan berlebihan dapat memicu ketidak seimbangan sistem saraf
otonom dalam mengontrol pembuluh darah pada hidung yang mengakibatkan vasodilatasi dan
edema pembuluh darah  mukosa hidung yang menyebabkan hidung tersumbat.
2. Rinore : disebabkan karena paparan terhadap suatu iritan seperti obat – obat vasokontriktor
topical yang digunakan berlebihan dapat memicu ketidak seimbangan sistem saraf otonom dalam
mengontrol kelenjar pada mukosa hidung yang mengakibatkan Rinore.

DIAGNOSIS :
Gambaran pemeriksaan Rhinitis Vasomotor adalah : 
1. Riwayat penyakit
 - Tidak berhubungan dengan musim
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-anak  ( - )
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin ( - ) 
2. Pemeriksaan THT
- Struktur abnormal ( - )
- Tanda – tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering dijumpai 
3. Radiologi 
X – Ray / CT  
- Tidak  dijumpai  bukti  kuat  keterlibatan sinus
- Umumnya dijumpai penebalan mukosa 
4. Bakteriologi
- Rinitis bakterial ( - ) 
5. Test alergi 
a. Ig E total  : didapatkan hasil Normal
b. Prick Test : didapatkan hasil Negatif atau positif lemah
c. RAST : diapatkan hasil  Negatif atau positif lemah

PENATALAKSANAAN :
      Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung dengan penyebab dan gejala yang
menonjol.

 NON-FARMAKOTERAPI

a.     Menghindari penyebab terjadinya stress


Dimana seseorang yang mengalami gejala rhinitis mudah mengalami terjadinya stress karena
gangguan system saraf parasimpatisnya. Oleh sebab itu maka seseorang yang mengalami rasa ini
harus bisa menghindari terjadinya stress.

b.     Melakukan yoga


Dimana dengan melakukan yoga seseorang dapat berfikir positif dan membuat pikiran menjadi
ringan.

c.      Melakukan olahraga diruang terbuka


Karena berolahraga diruang terbuka dapat menyebabkan fikiran menjadi tenang dengan melatih
tubuh kita untuk menjadi lebih bugar dan dengan berolahraga ditempat terbuka kita bisa melihat
pemandangan yang indah dibandingkan berolahraga diruangan.

FARMAKOTERAPI
a)     Dekongestan (pseudoefedrin)
Mekanisme kerja         : menstimulasi secara lansung reseptor Alpa 1 adregenik yang terdapat pada
pembulu darah mukosa saluran pernafasan bagian atas yang menyebabkan terjadinya
vasokontriksi.
Efek samping              : hypertension, insomnia, takikardi.

Dosis penggunaan       :
a. < 2 tahun diberikan dosis 4mg /6 jam.
b. 2 – 5 tahun diberikan dosis 15mg/6 jam dengan pemberian maksimal 60mg/24jam.
c. 6 – 12 tahun diberikan dosis 30mg/6jam dengan pemberian maksimal 120mg/24 jam
d. >12 tahun diberikan dosis 30 – 50 mg/4 – 6 jam dimana pemberian maksimal 240 mg/24 jam.

Interaksi obat              :  menurunkan efek keluhan hidung tersumbat.

b)    Antihistamin
Mekanisme kerja         :  mengantagonis H1 secara kompotitif dan reversible, tetapi tidak memblok
pelepasan histaminin.
Farmakokinetik           :  Absorsinya baik, dimana kadar puncak plasmanya 2 – 3 jam. Dimana efek
kerja obat 4 – 6 jam.
Indikasi                       : Rhinitis alergika, syok anafilatik, asma, dermatitis alergika.
Interaksi obat              : mengurangi gejala beringus.

c)     Kortikosteroid
Mekanisme kerja         : kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sistesis protein.
Mulekul hormone masuk kedalam sel melewati membrane plasma secara difusi pasif.
Interaksi obat              : mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin – bersin dengan
menekan respon imflamasi local yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.

PROGNOSIS :
          Penyakit ini prognosisnya bervariasi, dimana kadang – kadang dapat membaik dengan tiba –
tiba, tetapi bisa juga resistensi terhadap pengobatan yang diberikan.

RHINITIS ALERGI

Definisi
Rhinitis alergi adalah Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1968).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorhea, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh igE.
Prevalensi
Rhinitis alergi sangat sering terjadi di Amerika Serikat. Pada studi populasi dilaporkan
bahwa prevalensinya sekitar 14%-40% dari total populasi. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit
ini adalah lebih dari 6 juta dollar.

Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi
musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino
konjungtivitiskarena gejala klinik yang tampak adalah gejala pada hidung dan mata (mata
marah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau
terum-menerus, tanpa variasi musiman, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen dalam rumah (outdoor).
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Intiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemuak gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menggangu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gangguan tersebut diatas.

Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernafasan misalnya tungau debu
rumah (D. Pteronyssinus, D.Farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,
anjing), rerumputan (bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran misalnya tungai atau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rhinitis
alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer : terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons skunder.
2. Respon sekunder : reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respon tertier : reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan bagi tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).
Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensititasi
yang diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu,
Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi
Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-
reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell atau APC) akan menangkap alergen yang
menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diperoses antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipersentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan
sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (igE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor igE di permukaan sel
mastosit atau basosil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensititasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai igE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain
histami juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglansin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5 IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor)) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga menjadi rhinorea.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dan granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan
penambalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan menjadi perubahan yang ireversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperflasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rhinorea) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat hidung dan mata gatal, yang disertai kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada
anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3. Pemeriksaan penunjang.
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi
yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan igE spesifik dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergei
inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggak atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk
alergen dalam berbagai konsentrasi yang ver-tingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain
alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantangan selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi-2 (non sedatif). Anti histamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Yang termasuk kelompok ini antara lain antara lain defenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek
pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinorhea, bersin, gatal, tetapi
tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non-
sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah
astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia
ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipaki adalah kortikosteroid topikal
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel matosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
alergen (bekerja pada repon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan
mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifitas sel netrofil, eosinofil dan monosit. hasil terbaik dapat dicapai bila
diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rhinorea, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/monotelukast), anti igE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan igG blocking antibody dan penurunan igE. Ada 2
metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasalis
c) Rhinosinusitis
A. DEFINISI
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya
dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan
pada sinus paranasal.
Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.
Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi),
sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis
(terletak di belakang dahi).

B. EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak
signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi
pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar
dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan rhinosinusitis. Pada tahun 2007 di
Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka kejadian rhinosinusitis mencapai 26 juta
individu. Di Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan
bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit
peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang ditemukan. Pada anak
hanya sinus maxilla dan sinus etmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan
sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Sinusitis pada
anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas
6 – 8 kali per tahun dan diperkirakan 5%– 10% infeksi saluran nafas atas akan
menimbulkan sinusitis.

C. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor predisposisi terjadinya sinusitis antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia
silia seperti pada sindrom Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis
kistik.
Faktor predisposisi yang paling lazim adalah polip nasal yang timbul pada
rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus. Pada anak,
hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu
dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi
lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.

D. ETIOLOGI
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi
dalam terjadinya obstruksi akut ostium sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia,
yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis
alergika, barotrauma, atau iritan kimia.
Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus,
bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus
parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarralis. Bakteri
anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan
infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis
pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang
mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies
Rhizopus, Rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.

Penyebab sinusitis dibagi menjadi :


 Rhinogenik
Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, deviasi septum dan lain-lain.
Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan
hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
 Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus maksila
adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa
pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau
inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau
melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Bakteri
penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus
viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain.
 Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
jarang ditemukan.Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang
sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida.
E. PATOGENESIS
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens
silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan
retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen.
Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi
karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah
sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi
drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan kualitas mukosa.
Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian
besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti Rhinovirus, Influenza A dan B,
Parainfluenza, Respiratory syncytial virus, Adenovirus dan Enterovirus. Sekitar 90 %
pasien yang mengalami ISPA memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan
sinus paranasal.
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung
dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polip,
tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium sinus. Virus yang
menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan
mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan
silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang
merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi
cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus,
bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa, parut, atau primary
cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan
terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri
akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media
yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen
juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat
disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase
sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre
molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi yang
berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus.
Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada
mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan drainase
sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi
sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab
kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak
didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas
pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan
gambaran histologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan
bau busuk.
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau
kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar
kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada
sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga
penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi

F. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok
(post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri
khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred
pain). nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang
kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida, nyeri di dahi atau kepala
menandakan sinusitis frontal, dan nyeri di kepala yang mengarah ke vertex cranium
menandakan sinusitis sfenoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang terdapat nyeri alih ke
gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip
yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di
bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius

G. KLASIFIKASI
Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya
berlangsung kurang dari 12 minggu, sedangkan kronis berlangsung lebih dari 12 minggu.
Tetapi apabila dilihat dari gejala, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila
terdapat tanda-tanda radang akut.
Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan
sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor.
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang
dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10) :
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS >3-7
- Berat = VAS >7-10
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan: Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?

H. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Tabel 1 : Tanda dan gejala sinusitis
Berdasarkan lokasinya, diagnosis sinusitis dapat ditegakkan sebagai berikut :
1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan
pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa
nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada
palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk.

2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata
atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip
dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung.
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau
perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik pada sinusitis
frontalis.

4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan
oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.

 Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema,


pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak nanah di
meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid
nanah tampak keluar dari meatus superior. (Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,
tumor maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus melakukan
penatalaksanaan yang sesuai).
 Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada
posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit, dan
provokasi test, yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung
pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat.
Jika positif sinusitis maksilaris,
maka akan keluar pus dari hidung.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos
posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, air-fluid
level , atau penebalan mukosa. Rontgen sinus dapat menunjukkan kepadatan parsial
pada sinus yang terlibat akibat pembengkakan mukosa atau dapat juga menunjukkan cairan
apabila sinus mengandung pus. Pilihan lain dari rontgen adalah ultrasonografi
terutama pada ibu hamil untuk menghindari paparan radiasi.
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. CT scan mampu memberikan gambaranyang
bagus terhadap penebalan mukosa, air-fluid level, struktur tulang, dan kompleks
osteomeatal. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis
sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai
panduan operator saat melakukan operasi sinus.
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak
sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis
alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan
kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada
neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit
gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah.
Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat
merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti
meningitis atau abses intrakranial

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi
sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas,
pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-Scan. Dengan pemeriksaan radiologis
tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi
anatomi, kelainan-kelainan patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang
sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.Pemeriksaan foto
kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi antara lain:

a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)


Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum
diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai
apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal.
Gambar 3 : Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus
maksilaris
https://de.wikipedia.org/wiki/Sinusitis
b. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar
kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama
lain. Pada sinusitis tampak : penebalan mukosa, air fluid level (kadang-kadang),
perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal, penebalan dinding sinus
dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik)
Gambar 4 : Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila

http://atlas.mudr.org/img

c. Foto kepala posisi waters


Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus
membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum
diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi
sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut
terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.
Pemeriksaan Foto Waters merupakanpemeriksaan yang paling baik untuk mengevaluasi
sinus maksilaris. William et al menyimpulkan bahwa Foto Waters dapat diterima untuk
mendiagnosis suatu kelainan di sinus maksilaris. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis
dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. Sensitifitas dan spesifisitasnya yaitu 85% dan
80%. Berdasarkan gambaran radiologis dengan Foto Waters dapat menilai kondisi sinus
maksilaris yang memperlihatkan perselubungan, air fluid level, dan penebalan mukosa.
Gambar 3 : Foto waters sinus maksilaris

http://www.ssmedika.co.id/ref/sinusitis/

K. TATALAKSANA
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
 Mempercepat penyembuhan
 Mencegah komplikasi
 Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan pembedahan
(operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu:
 Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala klinik
sinusitis akut telah hilang.
 Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar drainase hidung.
 Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit.
 Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium sinus
sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi antrum maksilaris
dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat melalui fossa incisivus ke dalam
antrum maksilaris. Cairan ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui
ostium normal.
 Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan oleh gigi.
 Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan
sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
a. Antibiotik
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromisin dan dulfonamide atau
cephalexin dan sulfonamide.
Terapi antibiotik harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol. Karena
banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu mempertahankan kadar antibiotika
yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase dan
pembersihan sekret dari sinus. Untuk sinusitis maxilaris dilakukan pungsi dan irigasi
sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sfenoidalis dilakukan
tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila
setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen,
maka perlu dilakukan bedah radikal.
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami komplikasi seperti
komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak.
Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi semua bakteri
terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan metronidazole
atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal. Antihistamin hanya
diberikan pada sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres
hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani bermanfaat.
Pengontrolan lingkungan, steroid topikal, dan imunoterapi dapat mencegah eksesarbasi
rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi sinusitis.
b. Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang) berupa
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa adrenergik. Obat
ini bekerja pada osteomeatal komplek .Dekongestan topikal yaitu Phenylephrine Hcl 0,5%
dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan
pernapasan dengan mengurangi oedema mukosa.
c. Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II mempunyai
keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore, dan menghilangkan
obstruksi, serta tidak memiliki efek samping menembus sawar darah otak.
d. Kortikosteroid
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid oral yaitu metil
prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal, begitupula dengan efek
terhadap lambung juga minimal

Skema 1 : Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan


Primer.

Euro
pean Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2007;
www.rhinologyjournal.com

Skema 2 : Pedoman rujukan pasien rhinosinusitis


European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2007;
www.rhinologyjournal.com

Skema 3 : Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa
Untuk Dokter Spesialis THT

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2007;


www.rhinologyjournal.com

L. KOMPLIKASI 1,3
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi
infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan pasien
imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali dari penyakit bakteri atau jamur
mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama orbital dan otak.
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan.
Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada
komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden
dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan
bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi lain
menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari sinusitis
setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh penyebaran bakteri yang
berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya.
Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area
yang mengalami kontaminasi. Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain :
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.


Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. CT scan merupakan suatu
modalitas utama dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar
sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan
pada sinusitis refrakter, kronik atau berkomplikasi.
M. PROGNOSIS 2,3
Sinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,
sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang
dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan
tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %.Pasien dengan
sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan
perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah
kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya
gejala, pasien dievaluasi kembali.

5. Jelaskan kelainan pada tenggorok


a) Tonsilitis Difteri
Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, dan adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang pula menyerang
konjungtiva atau vagina. Namun kasus yang lebih banyak terjadi yaitu berupa infeksi akut yang
menyerang saluran pernapasan atas.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri tersebut
merupakan salah satu jenis bakteri gram-positif yang tidak membentuk spora. Pada kedua ujungnya
bakteri ini memiliki granula metakromatik yang memberi gambaran pada pewarnaan. C.
diphtheriae berdiameter 0,5-1 µm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak berspora, tidak
bergerak, dan termasuk pada organisme yang tidak tahan asam. Bakteri ini bersifat anaerob
fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Dibandingkan dengan
kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan,
dan pembekuan. Namun kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Di alam C. diphtheriaeter
dapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang
normal yang membawa bakteri (karier). Bakteri ini terdiri dari beberapa tipe atau varian jenis yaitu
tipe mitis, intermedius, dan gravis. Sementara itu WHO sendiri menambahkan tipe belfanti
menggenapkannya menjadi 4 varian bakteri. Tipe mitis merupakan tipe yang paling sering
menimbulkan penyakit diantara tipe lainnya.
Sementara untuk keganasannya, bakteri ini dibagi menjadi bakteri toksigenik dan bakteri
non toksigenik. Perbedaan keduanya yaitu pada strain toksigenik terinfeksi oleh
corynebacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Tipe bakteri nontoksigenik tidak
bersifat patogenik, hanya saja dapat berubah sewaktu-waktu menjadi toksigenik bila terinduksi
dengan bakteriofag. Pada dasarnya produksi toksin hanya terjadi bila bakteri tersebut mengalami
lisogenasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin, hanya galur toksigenik
yang dapat menyebabkan penyakit gelap. Spesies bakteri coryneform lain yang dapat juga
menimbulkan manifestasi klinis difteri yaitu Corynebacterium ulcerans. Strain toksigenik mampu
menghasilkan toksin berupa eksotoksin. Eksotoksin inilah yang merupakan faktor virulensi dari C.
diphtheriae. Masa inkubasi biasanya 2-5 hari tapi dapat juga lebih lama. Gejala klinisnya
tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imunisasi, dan penyebaran toksin.

Patogenesis
Toksin difteri adalah polipeptida tidak tahan panas yang dapat mematikan pada dosis 0,1
µm/kg. Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan
respons
peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam dalam eksudat fibrin dan sel-sel
darah merah dan putih, sehingga terbentuk pseudomembran yang berwarna putih keabu-abuan
yang sering melapisi tonsil, faring, atau laring.
Tonsilitis difteri adalah salah satu klasifikasi difteri tipe respirasi yaitu Difteri faucial yang
merupakan bentuk paling umum dari difteri. Gejala dapat berupa tonsilitis disertai dengan
pseudomembran yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau kedua tonsil.
Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula, palatum mole, orofaring, nasofaring, atau
bahkan laring. Gejala dapat disertai dengan mual, muntah, dan disfagia;
Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan mengakibatkan
pendarahan. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Selain
itu kelenjar getah bening regional pada leher membesar, dan dapat terjadi edema yang nyata di
seluruh leher.
Timbulnya penyakit ini ditandai dengan adanya pertumbuhan membran (pseudomembran)
berwarna putih keabu-abuan, yang lokasi utamanya di nasofaring atau daerah tenggorokan.
Membran tersebut dapat menutup saluran pernapasan dalam waktu yang sangat singkat dalam
hitungan beberapa jam sampai beberapa hari saja. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu,
misalnya saraf tenggorokan. Efek nekrotik dan neurotoksis toksin difteria disebabkan oleh
penghentian sintesis protein yang mendadak. Selain toksin yang dihasilkan, ternyata keberadaan
bakteri ini sendiri juga merugikan. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri
sampai ke hidung, lalu cairan hidung dapat menyebarkannya dari tenggorokan ke pita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan
pernapasan.
Manifestasi klinis
Penetapan kasus salah satunya dilihat dari tanda dan gejala klinis yang muncul hal ini karena
penanganan sedini mungkin sangatlah penting untuk dilakukan. Tanda dan gejala yang digunakan
sebagai alat diagnosa penyakit difteri, yaitu:
a. Mengalami infeksi pada faring, laring, trakhea, atau kombinasinya;
b. Muncul selaput berwarna putih keabu-abuan (pseudomembran) yang
tidak mudah lepas pada tenggorokan, amandel, rongga mulut, atau
hidung;
c. Pembengkakan kelenjar limfa pada leher (bullneck);
d. Demam yang tidak tinggi (< 38,5˚C);
e. Mengeluarkan bunyi saat menarik napas (stidor); dan
f. Kesulitan bernapas.

Diagnosis
Definisi operasional difteri menurut Kemenkes RI (2017), diantaranya:
a. Suspek difteri adalah orang dengan gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis atau
kombinasinya disertai demam tidak tinggi dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang
sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.

b. Probable difteri adalah orang dengan suspek difteri ditambah dengan


salah satu gejala berikut:
1) Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)
2) Imunisaasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster.
3) Berada di daerah endemis difteri
4) Stidor, bullneck
5) Pendarahan submukosa atau petechiae pada kulit
6) Gagal jantuk toksik, gagal ginjal akut
7) Miokarditis
8) Meninggal
c. Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek difteri dengan hasil kultur positif
Corynebacterium diphtheriae strain toxigenic atau PCR yang telah dikonfirmasi dengan elek test.
d. Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus yang memenuhi kriteria suspek difteri
dan mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laboratorium.
e. Kasus karier adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan positif Corynebacterium diphtheriae

Penularan
Sumber penularan yang utama adalah penderita maupun karier difteri. Karier merupakan
orang yang terinfeksi difteri (hidung maupun tenggorok) tetapi tidak mengalami gejala penyakit.
Masa penularan difteria dari penderita adalah 2-4 minggu, jarang hingga 4 minggu.Pada penderita
yang menerima pengobatan dengan antibiotik, masa menularnya hanya 1-2 hari. Sementara untuk
karier penularaan bisa mencapai 6 bulan. Biasanya mereka yang berada di sekitar orang yang
terinfeksi difteri sangat rentan tertular penyakit ini seperti keluarga dekat, teman sekolah, teman
bermain, tetangga, atau rekan kerja. Penularan terjadi melalui droplet yakni ketika penderita
maupun karier batuk atau bersin. Selain itu, debu atau muntahan juga bisa menjadi sumber
penularan. Jarang terjadi penularan melalui peralatan yang tercemar lesi pederita difteri kulit.
Dikatakan pula susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan difteri.

Tatalaksana
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien lainnya.
Isolasi dapat dilakukan selama 48 jam sejak pemberian antibiotik hingga tidak lagi menular.
Tujuan pengobatan sendiri terdapat dua tujuan utama yaitu untuk memulihkan pasien dari
peradangan dan toksin bakteri itu sendiri. Pengobatan tersebut diantaranya:
a. ADS (Antidiphteria Serum), merupakan antitoksin yang dapat mengikat toksin dalam darah.
Sayangnya ADS ini tidak mampu mengikat toksin dalam jaringan. ADS dapat diperoleh dari
serum kuda. ADS ini diberikan kepada suspek difteri tanpa menunggu hasil laboratorium.
b. Antibiotik berupa eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi dan profilaksis. Pengobatan
jenis ini diberikan kepada suspek difteri serta kontak kasus dengan tujuan untuk dapat menekan
penularan penyakit.
c. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.
b) Tonsilitis Kronis
DEFINISI
persistent tonsillar
infection and usually occurs in older children
and young adults

- Adalah infeksi tonsil persisten yang biasanya terjadi pada anak yang lebih tua atau orang dewasa
yang lebih muda
FAKTOR PREDISPOSISI

- Rangsangan menahun oleh rokok


- Beberapa jenis makanan
- Hygiene mulut buruk
- Pengaruh cuaca
- Kelelahan fisik
- Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

GEJALA

- Tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti
terisi oleh detritus.
- Rasa ada yang mengganjal di tenggorok,
- rasa kering di tenggorok
- napas berbau

KOMPLIKASI

- rinitis kronil
- sinusitis
- otitis media per kontinuatum
- komplikasi yang jauh terjadi secara hematogen dapat timbul seperti:
o endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, indosiklitits, dermatitis, pruritus, urtikaria,
dan furunukulosis.

TERAPI

- untuk terapi lokal bisa dengan hygiene mulut dengan obat kumur atau obat isap
- tonsilektomi jika infeksi berulang atau kronik, gejala sumbatan serta curiga neoplasia. Indikasi
tonsilektomi:
o serangan tonsiilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang
adekuat
o tonsil hieprtrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menybabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
o sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep
apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale.
o Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidka berhasil hilang
dengan pengobatan
o Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
o Tonsilitis nerulang yang disbebaban oleh bakteri grup A streptokokkus beta hemolitikus
o Hipertrofi tonsil yang dicurigai dengan adanya keganasan
o Otitis media efusa/otitis media supuratif

6. Sebutkan dan jelaskan kegawatdaruratan di bidang THT


1) Abses leher dalam
 Abses peritonsil
 Angina Ludovici
Merupakan selulitis pada ruang submandibular tanpa terbentuk abses dan keras pada
perabaan.

Gejala
 Nyeri tenggorok
 Bengkak dibawah dagu, hiperemis, dan keras pada palpasi.
 Lidah terangkat keatas dan belakang.
 Dapat timbul sesak napas.

Terapi
 Trakeostomi
 Antibiotik dosis tinggi
 Rawat inap sampai infeksi reda

2) Vertigo
 Benign paroxysmal positional vertigo
3) Meniere disease
4) OMSK dengan komplikasi
5) Benda Asing
Benda asing di laring
Benda asing di trakea
Benda asing di bronkus
Benda asing di esofagus
Benda asing di faring
Benda asing di hidung
Benda asing di telinga
6) Tuli mendadak
7) Trauma laring
8) Epistaksis

Epistaksis atau perdaharan hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Seringkali merupakan gejala dari penyakit lain. Kebanyakan ringan dan
dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat
merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat faal bila tidak segera ditangani.

Etiologi
 Idiopatik
 Trauma
 Kelainan pembuluh darah
 Tumor
 Penyakit kardiovaskular
 Infeksi sistemik
 Gangguan hormonal
 Kelainan kongenital

Terdapat 2 jenis epistaksis berdasarkan asal perdarahan


1) Anterior
Sumber perdarahan dari pleksus kisselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior.

2) Posterior
Sumber perdarahan dari arteri ethmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.

Tatalaksana
1) Pencet cuping hidung
2) Tampon anterior
3) Tampon posterior
4) Jika terjadi perdaharan hebat dan syok segera pasang infus

Anda mungkin juga menyukai