Anda di halaman 1dari 24

KESEHATAN MASYARAKAT

“PENDIDIKAN KESEHATAN”

DOSEN PEMBIMBING :

EVA SILVIANA RAHMAWATI, SST., M.Kes

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

1. INDRI KURNIAWATI (18.16.1.149.011)


2. SEPTIKA PUTRI AINURUL IZZAH (18.16.1.149.024)
3. NUR KHOFIFAH (18.16.1.149.037)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA TUBAN

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

2020/2021
A. DEFINISI PENDIDIKAN & PENYULUHAN KESEHATAN

Pendidikan kesehatan adalah istilah yang diterapkan pada penggunaan proses


pendidikan secara terencana untuk mencapai tujuan kesehatan yang meliputi beberapa
kombinasi dan kesepakatan belajar atau aplikasi pendidikan didalam bidang kesehatan
(Notoatmodjo, 2013).
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses pembelajaran yang dilakukan kepada
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang dilakukan untuk merubah perilakunya
yang tidak sehat ke pola yang lebih sehat. Proses pendidikan kesehatan ini melibatkan
beberapa komponen, antara lain menggunakan strategi belajar mengajar, mempertahankan
keputusan untuk membuat perubahan tindakan/perilaku, dan pendidikan kesehatan berfokus
kepada perubahan perilaku untuk meningkatkan status kesehatan mereka (Aisyah, 2010).
Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku
masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya pendidikan kesehatan berupaya agar
masyarakat menyadari bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana
menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan dirinya dan kesehatan orang
lain, kemana seharusnya mencari pengobatan jika sakit dan sebagainya (Windasari, 2014).
Penyuluhan adalah proses perubahan perilaku dikalangan masyarakat agar mereka
tahu, mau dan mampu melakukan perubahan demi tercapainya peningkatan produksi,
pendapatan atau keuntungan dan perbaikan kesejahteraannya (Subejo, 2010).
Pengertian penyuluhan kesehatan sama dengan pendidikan kesehatan masyarakat
(Public Health Education), yaitu suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan
kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan
adanya pesan tersebut atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang
lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap
perilakunya. Dengan kata lain, dengan adanya pendidikan tersebut dapat membawa akibat
terhadap perubahan perilaku sasaran.

B. PERBEDAAN PENDIDIKAN & PENYULUHAN KESEHATAN

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan


menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan
mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan
kesehatan (Azwar, 1983 dalam Machfoedz dan Suryani, 2007).
Seseorang atau masyarakat didalam proses pendidikan dapat memperoleh
pengalaman/pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Tetapi masing-
masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda didalam membantu permasalahan
seseorang.

Penyuluhan sebagai proses pendidikan diartikan bahwa, kegiatan penyebarluasan


informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan
perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan
perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar. Hal
ini penting untuk dipahami karena perubahan perilaku dapat melalui beragam cara, seperti:
pembujukan, pemberian insentif/hadiah atau bahkan melalui kegiatan kegiatan pemaksaan
(baik melalui penciptaan kondisi lingkungan fisik maupun sosial ekonomi, maupun
pemaksaan melalui aturan dan ancamaancaman) (Waryana, 2016).

Penyuluhan sebagai proses belajar pendidikan, dalam konsep akademik dapat mudah
dipahami, tetapi dakam praktek kegiatan perlu dijelaskan lebih lanjut. Sebab pendidikan yang
berlangsung disini tidak bersifat vertikal yang lebih berkesan menggurui tetapi merupakan
pendidikan orang dewasa yang bersifat horizontal (Mead, 1959 dalam Waryana, 2016) yang
lebih bersifat partisipatif.

Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan. secara umum adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat,
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi
kesehatan. Dan batasan ini tersirat unsure-unsur input (sasaran dan pendidik dari pendidikan),
proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain) dan output (melakukan
apa yang diharapkan). Hasil yang diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan
adalah perilaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
kondusif oleh sasaran dari promosi kesehatan. (Notoadmojo, 2012)

Pendidikan kesehatan adaalah suatu proses pembelajaran yang dilakukan kepada


individu,keluarga,kelompok,dan masyarakat yang dilakukan untuk merubah perilakunya yang
tidak sehat kepada kepola yang lebih sehat. Proses pendidikan kesehatan ini melibatkan
beberapa komponen antara lain menggunakan strategi belajar mengajar,mempertahankan
keputusan untuk membuat perubahan perilaku untuk meningkatkan status kesehatan mereka
(Aisyah,2010).
Pendidikan kesehatan adalah suatu upaya tatu kegiatan untuk menciptakan perilaku
masyarakat yang kondusif untuk kesehatan artinya pendidikan kesehatan berupaya agar
masyarakat menyadari bagaimana cara memelihara kesehatan mereka bagaimana
menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan dirinya dan kesehatan orang
lain kemana seharusnya mencari pengobatan jika sakit dan sebagainya (windasari 2014).

C. PRINSIP PENDIDIKAN & PENYULUHAN KESEHATAN


(mbak Ofi)

D. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KESEHATAN

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain
dimendi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan dimensi
tingkat pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2007 Hal : 111).

Dari dimensi sasaranya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokan menjadi 3 yakni :

a. Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu


b. Pendidikan kesehatan kelompok Deng an sasaran kelompok
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai


tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:

a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid.


b. Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah sakit dengan
sasaran pasien atau keluarga pasien atau keluarga pasien, di Puskesmas dan
sebagainya.
c. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau karyawan
yang bersangkutan.

Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan


berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari (Leavel and Clark), dan
sebagai berikut
a. Promosi kesehatan (Health promotion). Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan
diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi
lingkungan higiene perorangan, dan sebagainya.
b. Perlindungan khusus (Specific protection). Dalam program imunisasi sebagai bentuk
pelayanan perlindungan khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama
di negara-negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang
pentingnya imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun
pada anak-anaknya masih rendah.
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (Early diagnosis and prampt treatment).
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan
dan penyakit, maka sulit mendektesi penyakit-penyakit yang terjadi dalam
masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan
diobati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sangat
diperlukan pada tahap ini.
d. Pembatasan cacat (Disability limitation). Oleh karena kurangnya pengertian dan
kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak
melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan
pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang
tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau
ketidakmampuan. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap
ini.
e. Rehabilitasi (rehabilitation). Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-
kadang orang menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang
diperlukan latihan-latihan tertetu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran
orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Di
samping itu, orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu
untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima
mereka sebagai angota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu, jelas pendidikan
kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu
pendidikan kesehatan kepada masyarakat

E. METODE PENDIDIKAN KESEHATAN


Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk
menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan
harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok atau individu dapat
memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut
diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya. Dengan kata lain, dengan adanya
pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran. Pendidikan
kesehatan juga sebagai suatu proses, di mana proses tersebut mempunyai masukan (input)
dan keluaran (output). Dalam suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya
tujuan pendidikan yakni perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi suatu proses pendidikan di samping masuknya sendiri juga metode
materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang melakukannya, dan alat-alat bantu/alat
peraga pendidikan. Agar dicapai suatu hasil yang optimal, maka faktor-faktor tersebut harus
bekerja sama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa masukan (sasaran pendidikan)tertentu
harus menggunakan cara tertentu pula, materi juga harus disesuaikan dengan sasaran,
demikian juga alat bantu pendidikan disesuaikan. Untuk sasaran kelompok, metodenya harus
berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus
berbeda dengan sasaran individual dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007 Hal : 116).

Di bawah ini akan diuraikan beberapa metode pendidikan individual, kelompok, dan
massa (public).

1. Metode Pendidikan Individual (Perorangan).


Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual ini
digunakan untuk membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai tertarik
pada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Misalnya, seorang ibu yang baru saja
menjadi akseptor atau seorang ibu hamil yang sedang tertarik terhadap imunisasi
TT karena baru saja memperoleh/mendengarkan penyuluhan kesehatan.
Pendekatan yang digunakan agar ibu tersebut menjadi akseptor lestari atau ibu
hamil tersebut segera minta imunisasi, maka harus didekati secara perorangan.
Perorangan di sini tidak hanya berarti kepada ibu-ibu yang bersangkutan, tetapi
mungkin juga kepada suami atau keluarga dari ibu tersebut. Dasar digunakannya
pendekatan individual ini disebabkan karena setiap orang mempunyai masalah
atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru
tersebut. Agar petugas kesehatan mengetahui dengan tepat, serta membantunya
maka perlu menggunakan metode (cara ini). Bentuk dari pendekatan ini, antara
lain:
1. Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling).
2. Wawancara (Interview).
2. Metode Pendidikan Kelompok.
Dalam memilih metode pendidikan kelompok, harus mengingat besarnya
kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk
kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil.
Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran
pendidikan.
 Kelompok Besar. Metode yang baik untuk kelompok besar itu, antara
lain: Ceramah: Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun
rendah. Seminar : Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan
pendidikan menengah ke atas.
 Kelompok Kecil. Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil ini
antara lain: Diskusi Kelompok, Curah Pendapat (Brain Storming), Bola Salju
(Snow Balling).
 Kelompok Kecil-kecil (Bruzz Group).Kelompok langsung dibagi
menjadi kelompok kecil-kecil (bruzz group) kemudian dilontarkan suatu
permasalahan sama/tidak dengan kelompok lain dan masing-masing kelompok
mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok
tersebut dan dicari kesimpulannya.
 Role Play (Memainkan Peranan). Dalam metode ini beberapa anggota
kelompok ditunjuk sebagai pemegang peranan tertentu untuk memainkan peranan,
misalnya, sebagai dokter Pukesmas, sebagai perawat atau bidan, dan sebagainya,
sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka
meragakan misalnya bagaimana interaksi/ komunikasi sehari-hari dalam
melaksanakan tugas.
 Permainan Simulasi (Simulation Game). Metode ini merupakan
gambaran antara role play dengan diskusi kelompok. Pesan-pesan kesehatan
disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara
memainkannya persis seperti bermain monopoli dengan menggunakan dadu, gaco
(penunjuk arah), selain beberan atau papan main. Beberapa orang menjadi
pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai narasumber.
3. Metode Pendidikan Massa (Public)
Metode pendidikan (pendekatan) massa mengonsumsikan pesan-pesan kesehatan
yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau publik, maka cara yang
paling tepat adalah pendekatan massa. Oleh karena sasaran pendidikan ini bersifat
umum dalam arti tidak menbedakan golongan umur, jenis kalamin, pekerjaan, status
sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagianya maka pesan-pesan kesehatan yang
akan disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh
massa tersebut. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menggugah 'awareness' atau
kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi, belum begitu diharapkan sampai
dengan perubahan perilaku. Namun demikian bila sudah sampai berpengaruh terhadap
perubahan perilaku adalah wajar. Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini
tidak langsung. Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Beberapa contoh
metode ini, antara lain : Ceramah umum (public speaking), Pidato-pidato diskusi
tentang kesehatan melalui media elektronik baik tv maupun radio, Simulasi, dialog
antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya tentang suatu penyakit
atau masalah kesehatan melalui tv atau radio juga merupakan pendekatan pendidikan
kesehatan massa, Tulisan-tulisan di majalah atau Koran, Bill Board, yang dipasang di
pinggir jalan, spanduk, poste, dan sebagainya juga bentuk pendidikan kesehatan
massa (Notoatmodjo, 2007 Hal : 121).

F. ALAT BANTU/ MEDIA

1. Alat Bantu (Peraga)

Yang dimaksud alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik
dalam menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Alat bantu ini lebih sering disebut 'alat
peraga', karena berfungsi untuk membantu dan meragakan sesuatu dalam proses pendidikan
pengajaran (Notoatmodjo, 2007 Hal : 122).

Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap
manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indra. Semakin banyak indra yang
digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula
pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain, alat peraga ini dimaksudkan untuk
mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada suatu objek, sehingga mempermudah persepsi
(Notoatmodjo, 2007 Hal : 122).

Seseorang atau masyarakat di dalam proses pendidikan dapat memperoleh


pengalaman/pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Tetapi masing-
masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda dalam membantu persepsi seseorang.
Elgar Dale membagi alat peraga tersebut menjadi 11 macam, dan sekaligus menggambarkan
tingkat intensitas tiap-tiap alat tersebut dalam suatu kerucut. Macam-macam Kerucut Edgar
Dale : Kata-kata, Tulisan, Rekaman, radio, Film, Televisi Pameran, Field trip, Demonstrasi,
Sandiwara, Benda tiruan, Benda asli (Notoatmodjo, 2007 Hal : 123).

Dalam rangka pendidikan kesehatan masyarakat sebagai konsumer juga dapat


dilibatkan dalam pembuatan alat peraga (alat bantu pendidikan). Untuk itu, petugas kesehatan
berperan untuk membimbing dan membina, bukan hanya dalam hal kesehatan mereka
sendiri, tetapi juga memotivasi mereka sehingga meneruskan informasi kesehatan kepada
anggota masyarakat yang lain (Notoatmodjo, 2007 Hal : 123).

Alat peraga akan membantu dalam melakukan penyuluhan, agar pesan-pesan


kesehatan dapat disampaikan lebih jelas, dan masyarakat sasaran dapat menerima pesan
orang tersebut dengan jelas dan tepat. Dengan alat peraga orang dapat lebih mengerti fakta
kesehatan yang dianggap rumit, sehingga mereka dapat menghargai betapa bernilainya
kesehatan itu bagi kehidupan (Notoatmodjo, 2007 Hal : 123).

Faedah Alat Bantu Pendidikan :

Menurut Notoatmodjo, 2007 Hal : 124,

1. Menimbulkan minat sasaran pendidikan.


2. Mencapai asaran yang lebih banyak.
3. Membantu mengatasi hambatan bahasa.
4. Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan.
5. Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan tepat.
6. Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan pesan-pesan yang diterima
kepada orang lain.
7. Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para pendidik/pelaku
pendidikan.
8. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan. Seperti diuraikan di
atas bahwa pengetahuan yang ada pada seseorang diterima melalui indra. Menurut
penelitian para ahli indra, yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam
otak adalah 'mata'. Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia
diperoleh/disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% sampai 25% lainnya tersalur
melalui indra yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih
mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan.
9. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami, dan
akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik. Orang yang melihat sesuatu yang
memang diperlukan akan menimbulkan perhatiannya. Dan apa yang dilihat dengan
penuh perhatian akan memberikan pengertian baru baginya, yang merupakan
pendorong untuk melakukan/memakai sesuatu yang baru tersebut.
10. Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh. Di dalam menerima sesuatu yang
baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan atau lupa. Untuk
mengatasi hal tersebut, 'AVA' akan membantu menegakkan pengetahuan-pengetahuan
yang telah diterima oleh manusia, sehingga apa yang diterima, akan lebih lama
tinggal/disimpan di dalam ingatan.

Macam-macam Alat Bantu Pendidikan

Menurut Notoatmodjo, 2007 Hal : 125,

1. Alat Bantu Lihat (Visual Aids)

Alat ini berguna dalam membantu menstimulasi indra mata (penglihatan) pada waktu
terjadinya proses pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk:

a. Alat yang diproyeksikan, misalnya: slide, film, film strip, dan sebagainya.
b. Alat-alat yang tidak diproyeksikan: Dua dimensi. Tiga dimensi.

2. Alat-alat Bantu Dengar (Audio Aids)

Ialah alat yang dapat membantu menstimulasi indra pendengar, pada waktu proses
penyampaian bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya: piringan hitam, radio, pita
suara, dan sebagainya.

3. Alat Bantu Lihat-Dengar, seperti: Televisi dan video cassette.


Ciri-ciri alat peraga kesehatan yang sederhana antara main :

1. Mudah dibuat.
2. Bahan-bahannya dapat diperoleh.
3. Mencerminkan kebiasaan, kehidupan dan kepercayaan setempat.
4. Ditulis (digambar) dengan sederhana.
5. Bahasa setempat dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
6. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan petugas kesehatan dan masyarakat.

Sasaran yang Dicapai Alat Bantu Pendidikan :

Menggunakan alat peraga harus didasari pengetahuan tentang sasaran pendidikan


yang akan dicapai alat peraga tersebut, meliputi

a. Individu atau kelompok.


b. Kategori-kategori sasaran seperti: kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, dan
sebagainya.
c. Adat-istiadat serta kebiasaan.
d. Minat dan perhatian.
e. Pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pesan yang akan diterima.

Tempat memasang (menggunakan) alat-alat peraga:

1) Di dalam keluarga; antara lain dalam kesempatan kunjungan rumah, waktu


menolong persalinan merawat bayi, atau menolong orang sakit, dan
sebagainya.
2) Di masyarakat, misalnya seperti pada waktu perayaan hari-hari besar, arisan-
arisan, pengajaran dan sebagainya, serta dipasang juga di tempat-tempat
umum yang strategis.
3) Di instansi-instansi, antara lain: Puskesmas, rumah sakit, kantor-kantor,
sekolah-sekolah, dan sebagainya.

Alat-alat peraga tersebut sedapat mungkin dapat dipergunakan oleh: Petugas-


petugas Puskesmas/Kesehatan, Kader Kesehatan, Guru-guru sekolah dan tokah
masyarakat lainnya, Pamong Desa.

Tujuan penggunaan alat peraga :


a. Sebagai alat hantu dalam latihan/penataran/pendidikan.
b. Untuk menimbulkan perhatian terhadap sesuatu masalah.
c. Untuk mengingatkan sesuatu pesan /informasi.
d. Untuk menjelaakan fakta-fakta, prosedur, dan tindakan.

2. Media Pendidikan Kesehatan

Yang dimaksud dengan media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat
bantu pendidikan (AVA). Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat
saluran (channel) untuk menyampaikan kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan untuk
mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau 'klien'. Berdasarkan
fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan (media), media ini dibagi menjadi 3,
yakni:

a. Media cetak. Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan


kesehatan sangat bervariasi antara lain: Booklet, Leaflet, Flyer (selebaran): ialah
seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan, Flip chart (lembar balik), Poster.
b. Media elektronik : Televisi, Radio, Video, Slide, Film strip, Media papan (Bill
board) (Notoatmodjo, 2007 Hal : 130).

G. PERILAKU KESEHATAN

Konsep Perilaku

Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil
hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan dan respona. Ia membedakan adanya
dua respons, yakni:

1. Respondent respon atau reflexive reapons, ialah respone yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan tertentu.

2. Operant respons atau instrumental respons, adalah respons yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut
reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsangan-perangsangan tersebut
memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme.

Prosedur pembentukan perilaku


Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar perilaku manusia adalah operant
respons. Untuk itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku ini perlu diciptakan adanya
suatu kondisi tertentu, yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku
dalam operant conditioning ini menurut Skinner adalah sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer


berupa hadian-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang


membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang
dimaksud.

3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan


sementara, mengidentifikasi reinfor atau hadiah untuk masing-masing komponen
tersebut,

4. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen yang


telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya
diberikan hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut
cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk, kemudian
dilakukan komponen (perilaku) yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama
tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang, sampai komponen
kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat dan
selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk. Sebagai ilustrasi,
misalnya dikehendaki agar anak mempunyai kebiasaan menggosok gigi sebelum
tidur. Untuk berperilaku seperti ini maka anak tersebut harus: Pergi ke kamar
mandi sebelum tidur, Mengambil sikat dan odol, Mengambil air dan berkumur,
Melaksanakan gogok gigi, Menyimpan sikat gigi dan odol, Pergi ke kamar tidur.

Dari hal tersebut maka akan dapat dilakukan pembentuk kebiasan, sehingga seseorang
akan menjadi berperilaku sehat (Notoatmodjo, 2007 Hal : 134).

Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sintem pelayanan kesehatan,
makanan (Notoatmodjo, 2007 Hal : 136).

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia


berespons, baik secara pasif. (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit
dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif (tindakan)
yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap
sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan
penyakit, yakni:

a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemaliharaan kesehatan (health


prometion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi, olahraga, dan
sebagainya.

b. Perilaku pencegahan penyakit (health preventios behaviour), adalah respons


untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya: tidur memakai kelambu
untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya.
Termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.

c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking


behoviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,
misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan
ke fasilitas-fasilitas keschatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktik, dan
sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinahe, dan
sebagainya).

d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation


behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan
kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet,
mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respons seseorang terhadap


sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun
tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara
pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang terwujud dalam
pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas, dan obat-obatan.
3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yakni respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan, dan sebagainya,
sehubungan kebutuhan tubuh kita.

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour) adalah


respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.
Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri.

H. DOMAIN PERILAKU KESEHATAN

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke
dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai
batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan
pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau
meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari:

a. Ranah kognitif (cognitive domain)


b. Ranah afektif (affective domain),
c. Ranah psikomotor (psychomotor domain).

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan
pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:

a) Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knouwledge).


b) Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
(attitude).
c) Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi
pendidikan yang diberikan (practice).

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain
kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau
objek di luarnya. Sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan
selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang
diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya
tersebut akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap
atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi namun demikian, dalam kenyataan stimulus
yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan.

Menurut Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan nasional kita, ketiga kawasan perilaku
ini disebut: cipta (kognisi), rasa (emosi), dan karsa (konasi). Tokoh pendidikan kita ini
mengajarkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk dan atau meningkatkan
kemampuan manusia yang mencakup cipta, rasa, dan karsa tersebut. Ketiga kemampuan
tersebut harus dikembangkan bersama-sama secara seimbang, sehingga terbentuk manusia
Indonesia yang seutuhnya (harmonis) (Notoatmodjo, 2007 Hal : 143).

Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : Awareness
(kesadaran), Interest (merasa tertarik, Evaluation (menimbang-nimbang), Trial, Adoption.

I. PERUBAHAN PERILAKU

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan
perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau
penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lainnya. Banyak
teori tentang perubahan perilaku ini, antara lain akan diuraikan di bawah ini.

1. Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-0-R)

Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku


tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme.
Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya, kredibilitas, kepemimpinan,
gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok
atau masyarakat.

Hosland, et al. (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakikatnya
adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan
proses belajar pada individu yang terdiri dari:

i. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak.
Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif
mempengaruhi perhatian individu dan berhenti di sini. Akan tetapi bila stimulus
diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut
efektif.
ii. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia
mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
iii. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi bertindak demi
stimulus yang teleh diterimanya (bersikap).
iv. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus
tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Selanjutnya teori ini mengartikan bahwa perilaku dapatberubah hanya apabila


stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus
yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat
meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor reinforcement memegang
peranan penting (Notoatmodjo, 2007 Hal : 151).

2. Teori Festinger (Dissonance Theory)

Teori Finger (1957) telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini
sebenarnya sama dengan konsep 'imbalance' ( tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan
“cognitive dissonance” merupakan keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh
ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi
keseimbangan dalam diri individu, maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi, dan
keadaan ini disebut “consonance” (keseimbangan).

Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat dua


elemen kognisi yang saling bertentangan yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan,
pendapat atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek, dan
stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda/bertentangan dalam
diri individu sendiri, maka terjadilah dissonance. Sherwood dan Borrou merumuskan
dissonance itu sebagai berikut:

Dissonance = Pentingnya stimulus x jumlah kognitif dissonance

Pentingnya stimulus x jumlah kognitif cosonane.


Rumus ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan
menyebabkan perubahan perilaku terjadi disebabkan karena adanya perbedaan jumlah elemen
kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif yang tidak seimbang serta sama-sama
pentingnya. Hal ini akan menimbulkan konflik pada diri individu tersebut. Contoh: Seorang
ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak, dengan bekerja ia dapat tambahan
pendapatan bagi keluarganya, yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan
anak-anakmya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas ia
tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Di pihak lain, apabila ia bekerja, ia
khawatir terhadap perawatan terhadap anak-anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua
elemen (argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai ibu
rumah tangga yang baik. Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuian diri
secara kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali.
Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya perubahan sikap,
dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2007 Hal : 153).

3. Teori Fungsi

Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung
kepada keutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan
perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan
orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang
bersangkutan. Katz berasumsi bahwa:

1. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan
pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap
objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi
kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif. Misalnya, orang mau membuat jamban
apabila jamban tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhannya.
2. Perilaku dapat berfungsi sebagai 'defence mecanism' atau sebagai pertahanan diri dalam
menghadapi lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya, dengan tindakan-
tindakannya manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar.
Misalnya, orang dapat menghindari penyakit demam berdarah, karena penyakit tersebut
merupakan ancaman bagi dirinya.
3. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya itu
seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya melalui tindakannya.
Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah melakukan keputusan-keputusan
sehubungan dengan objek atau stimulus yang dihadapi. Pengambilan keputusan yang
mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu
yang singkat. Misalnya, jika seseorang merasa sakit kepala maka mengatasi rasa sakit
tersebut dengan membeli obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan
lain.
4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu
situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan
pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu, perilaku dapat merupakan 'layar' di
mana segala ungkapan diri orang dapat dilihat. Misalnya, orang yang sedang marah,
senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau tindakannya.

Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi
dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut
kebutuhannya. Oleh sebab itu, di dalam kehidupan manusia, perilak itu tampak terus-menerus
dan berubah secara relatif (Notoatmodjo, 2007 Hal : 154).

4. Teori Kurt Lewin

Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan
penahan (restrining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan
antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Sehingga ada tiga kemungkinan
terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang itu, yakni:

1. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi adanya stimulus-stimulus


yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa
penyuluhan-penyuluhan atau sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Misalnya,
seseorang yang belum ikut KB (ada keseimbangan antara pentingnya anak sedikit,
dengan kepercayaan banyak anak banyak reseki) dapat berubah perilakunya (ikut KB)
kalau kekuatan pendorong yakni pentingnya ber-KB dinaikkan dengan penyuluhan-
penyuluhan atau usaha-usaha lain.
2. Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini akan terjadi adanya stimulus-stimulus
yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Misalnya, contoh di atas, dengan
pemberian pengeritan kepada orang tersebut bahwa banyak anak banyak rezeki, adalah
kepercayaan yang salah, maka kekuatan penahan tersebut melemah, dan akan terjadi
perubahan perilaku pada orang tersebut.
3. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan pendorong menurun. Dengan keadaan
semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Seperti pada contoh di atas,
penyuluhan KB yang berisikan memberikan pengertian terhadap orang tersebut tentang
pentingnya ber-KB dan tidak benarnya kepercayaan banyak anak banyak rezeki akan
meningkatkan kekuatan pendorong, dan sekaligus menurunkan kekuatan penahan
(Notoatmodjo, 2007 Hal : 156).

J. BENTUK PERILAKU

Bentuk perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu organisme atau seseorang
terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut. Respons ini berbentuk dua macam
yakni :

 Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan
tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau
sikap batin dan pengetahuan. Misalnya, seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat
mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke
Puskesmas untuk diimunisasi Contoh lain, seorang yang menganjurkan orang lain
untuk mengikuti keluraga berencana meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga
berencana. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa si ibu telah tahu gunanya,
imunisasi, dan contoh kedua orang tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk
mendukung keluarga berencana, meskipun mereka sendiri belum melakukan secara
konkret terbadap kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih
terselubung (covert behaviaur)

 Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Misalnya pada kedua contoh tersebut, si ibu sudah membawa anaknya ke Puskesmas
atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi, dan pada kasus kedua sudah ikut
keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena perilaku
mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut overt behaviour.

K. STUDI KASUS
STUDI KASUS UPAYA-UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
 
Pemberantasan penyakit menular dan tidak menular. Kasus : penyakit DBD di
kecamatan Sewon Bantul. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Faktor lingkungan. Kebersihan lingkungan tempat tinggal warga yang belum terjaga
dengan baik. Banyak sampah yang menyebabkan genangan air, sehingga menjadi
sarang perkembangbiakann yamuk.
b. Faktor perilaku. Kesadaran warga yang kurang terhadap lingkungan sekitar tempat
tinggal, masih sering membuang sampah sembarangan.

Perbaikan sanitasi lingkungan. Kasus : Wabah diare di desa Bangunjiwo, Kasihan,


Bantul akibat sanitasi yang buruk. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Faktor lingkungan. Pencemaran sumber air dikarenakan jarak jamban dengan
sumber air terlalu dekat/tidak sesuai dengan batas minimal yang diperbolehkan.
b. Faktor perilaku. Perilaku warga untuk cuci tangan sesudah buang air besar kurang,
perilaku merebus airsebelum diminum juga kurang.
c. Faktor pelayanan kesehatan. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang arti
pentingnya kesehatan dan cara penanggulangannya.
 
Perbaikan lingkungan pemukiman. Kasus : Penanganan kampung kumuh di kota
Tangerang. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Faktor lingkungan. Kawasan kumuh tersebut harusnya diperuntukkan sebagai
ruang terbuka hijau. Kondisi fisik bangunan dan lingkungan yang tidak layak.
Pendapatan penduduk yang rendah. Pekerjaan penduduk tidak tetap. Tingkat
pendidikan penduduk rendah. Pertumbuhan penduduk tinggi.
b. Faktor perilaku. Budaya urbanisasi penduduk desa ke kota untuk mencari
pekerjaan dengan bekal keahlian yang rendah.
 
Pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat. Kasus : Tingginya aborsi akibat
pergaulan bebas di lingkungan pelajar/mahasiswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Faktor lingkungan. Kurangnya perhatian dari keluarga terdekat (orang tua) tentang
pendidikan seks di usia dini. Pergaulan dengan teman sebaya yang
juga mempunyai masalah serupa. Beredarnya video porno atau situs-situs porno
yang dapat diakses secara mudah oleh pelajar.
b. Faktor perilaku. Rasa keingintahuan yang besar di kalangan pelajar yang tidak
diimbangi dengan metode pembelajaran yang tepat.
c. Faktor pelayanan kesehatan. Kurangnya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi
di lingkungan sekolah.
 
Pelayanan kesehatan ibu dan anak. Kasus : Gizi buruk pada balita di daerah terpencil
dan tertinggal. Faktor-faktor yang mempengaruhi :
a. Faktor lingkungan. Tingkat pendapatan yang rendah, sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan makanan bergizi bagi anak. Tingkat pendidikan yang
rendah. Akses jalan/transportasi yang kurang memadai untuk menjangkau daerah
tersebut.
b. Faktor perilaku. Budaya masyarakat setempat yang secara turun temurun
memberikan menu makan yang sama/apa adanya, tanpa memperhitungkan asupan
gizi bagi anak
c. Faktor pelayanan kesehatan. Kurangnya akses pelayanan kesehatan seperti
posyandu atau puskesmas. Kurangnya tenaga medis yang bersedia ditempatkan di
daerah terpencil.
DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehata Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT. Rineka
Cipta

http://keperawatanlenisundari.blogspot.com/2016/05/makalah-penyuluhan-kesehatan.html

http://repository.ump.ac.id/677/3/AKHZUL%20RAZAK%20APILAYA%20BAB%20II.pdf
SOAL

1.

Anda mungkin juga menyukai