Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertian PPh Pasal 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong


atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar
negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana


dimaksud pada pasal 2 ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut :

a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk
usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

B. Pemotong dan Pihak yang Dipotong di dalam PPh Pasal 26 :


 Pemotong PPh pasal 26:

1)   Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang


arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa
yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik
Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di
bawahnya.
2)   Subjek Pajak dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan


1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan
tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu
istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif
manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting
tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.

Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang


Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.

3)   Penyelenggara Kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau


kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara
kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti
pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.

4)   BUT (Badan Usaha Tetap)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan
kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri,
pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan
kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang
Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor
perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.

5)   Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di


Indonesia juga merupakan pemotong PPh pasal 23. ContohnyaRepresentative
Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

 Pihak yang dipotong di dalam PPh Pasal 26

Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan
terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat
(4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek
Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.

Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari
Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT.
Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang
menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan
Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib
Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.
C. Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 = penghasilan bruto x 20%

20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri berupa  :

 Dividen;
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
 Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
 Keuntungan karena pembebasan utang.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :

PPh pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%

 Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia. Besarnya perkiraan


penghasilan neto untuk penjualan harta di Indonesia adalah 25% dari harga
jual.
 Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun
melalui pialang (broker) kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan premi
reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi adalah sebagai
berikut :
Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar
negeri baik secara langsung maupun melalui pialang (broker), sebesar 50%
dari jumlah premi yang dibayar.

 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di


Indonesia kepada perusahaan asuransi di Luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang  dibayar.
 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan Reasuransi yangberkedudukan
di Indonesia kepada perusahaan asuransidi Luar negeri baik secara
langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang
dibayar.

3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan
saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company
yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan
perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di
Indonesia;

PPh pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%


Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual.

4. PPh pasal 26 = (PKP-PPh terutang) x 20%

20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT
di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

Penanaman kembali tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah


dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendiri, dan;
 Penanaman kembali dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-
lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh
penghasilan tersebut;
 Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai
dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha
sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama satu tahun sejak perusahaan
tersebut didirikan
 Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-
kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat
penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.

D. Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan


PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau
akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih
dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26
rangkap 3 :

 Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;


 Lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
 Lembar ketiga untuk arsip Pemotong

3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4.    SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti
pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke
KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009,
penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke
Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2009. Dalam hal
jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 26
bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

E. Cara Perhitungan PPh pasal 26


A. Bambang atlet dari Indonesia mengikuti perlombaan menembak di
singapore pada juni 2008, dan berhasil merebut hadiah sebesar
$30,000.
Kurs untuk SG$1 = Rp9.000
Jadi PPh Pasal 26 yang dipotong penyelenggara kegiatan di Indonesia
adalah :
20% x SG$30,000 x Rp9.000 = Rp54.000.000

B. Badan Usaha Asing di Indonesia memperoleh penghasilan kena pajak


sebesar :
Rp20.000.000.000
PPh pasal 26 dihitung Sebagai Berikut :
Penghasilan Kena Pajak                                            Rp20.000.000.000
PPh Terutang :
25% x Rp20.000.000.000                                        ( Rp5.000.000.000 )
Penghasilan Setelah Dikurangi Pajak                        Rp15.000.000.000
PPh Pasal 26 yang terutang
20 % x Rp15.000.000.000                    Rp3.000.000.000
NB : Seandainya Rp15M tersebut ditanam kembali di Indonesia
maka WP luar negeri tersebut tidak perlu membayar PPh Pasal 26.

C. Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Justice


mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan asuransi di luar
negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 1995 sebesar Rp1
Miliar. 
Perkiraan penghasilan =  50% x Rp1 Miliar = Rp500.000.000,-
PPh Pasal 26 yang harus dibayar =   20% x Rp500.000.000,-
= Rp100.000.000,- 

Anda mungkin juga menyukai