Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ESSAY UTS

MATA KULIAH KEGAWATDARURATAN LANJUT 1


EDUCATION TO INCREASE BYSTANDER NUMBER IN INDONESIA
Dosen: Ns, Tony Suharsono. M. Kep

DISUSUN OLEH: FAQIH NAFIUL UMAM


NIM: 166070300111 033

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
Essay
Education to Increase Bystander Number in Indonesia

Latar Belakang
Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) merupakan kejadian henti jantung yang ditandai
dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi dan terjadi diluar rumah sakit. Di Eropa diperkirakan
300.000 pasien, dan di Amerika Serikat terjadi sekitar 360.000 kasus OHCA (Shuvy et al.,
2017). Di Jepang, untuk kasus OCHA dari tahun 2005-2012 terdapat 925.288 kasus atau 9.639
kasus setiap tahun dan sering dialami oleh lansia dengan umur antara 80-90 tahun (Nagata et al,
2017). Di Indonesia sendiri angka kejadian henti jantung berkisar 10 dari 100.000 orang normal
yang berusia dibawah 35 tahun dan per tahunnya mencapai sekitar 300.000-350.000 kejadian
(PERKI, 2015).
Defibrillasi sesegera mungkin diiringi dengan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
merupakan tindakan utama untuk mengembalikan denyut jantung pada sebagian besar kasus
henti jantung. Setiap satu menit yang dilalui tanpa kombinasi dua tindakan tersebut, maka
prosentase harapan hidup pasien henti jantung berkurang 7 – 10 %, oleh karena itu peran
bystanders (penolong awam) sangat penting dalam kejadian OHCA (American-Heart-
Association, 2017). Sebagaimana penelitian yang dilakukan di Denmark pada tahun 2013 yang
mengatakan bahwa tindakan CPR yang dilakukan oleh bystander menunjukkan angka Return of
Spontaneous Circulation (ROSC) di tempat kejadian sebesar 36% (12 korban) dari total 33
korban OHCA (Moller et al., 2014). Dengan adanya peran bystander yang mampu memberikan
bantuan hidup dasar dapat meningkatkan kemungkinan keberlangsungan hidup pasien henti
jantung hingga 2 – 3 kali lipat jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan pertolongan
hidup dasar (Mani, Annadurai, & Danasekaran, 2015).
Bystander CPR dapat meningkatkan kelangsungan hidup para korban apabila cepat
mengenali dan melakukan tindakan CPR. Akan tetapi disisi lain early CPR yang seharusnya
diinisiasi oleh bystander merupakan unsur penting yang masih lemah pelaksanaannya dalam
chain of survival OHCA. Jumlah CPR yang dilakukan bystander relatif sedikit dalam beberapa
dekade terakhir, data menunjukkan bystander yang melakukan CPR tidak lebih dari 20% dari
keseluruhan kejadian OHCA di Amerika (Vaillantcourt, Stiell, & Wells, 2008). Bahkan
prosentase tersebut masih lebih besar jika dibandingkan di beberapa Negara Asia seperti China
yang prosentasenya hanya 6% (Chen et al., 2017). Sedangkan secara global, prosentase CPR
yang dilakukan oleh bystanders berkisar antara 1% sampai dengan 44% (Sasson et al., 2013).
Keterbatasan, hambatan, atau permasalahan yang dihadapi bystander untuk melakukan
pertolongan pada korban OHCA relatif kompleks. Dari chain of survival OHCA, empat rantai
awal masih menjadi permasalahan utama bagi bystander. Permasalahan yang terjadi secara
umum adalah keterlambatan pengaktifan EMS, memperoleh bantuan tim EMS, dan memulai
CPR (Sasson et al., 2013). Oleh karena kondisi tersebut diatas, maka diperlukan strategi khusus
untuk meningkatkan jumlah bystander dalam kejadian OHCA.

Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
pengembangan startegi dalam meningkatkan jumlah penolong awam di Indonesia.

Analisis Literature
CPR yang dilakukan oleh bystander terbukti dapat meningkatkan survival rates pada
korban OHCA. Terdapat 3 kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh bystander, 1) bystander
diharuskan mampu mengenali kejadian henti jantung dan mengerti bahwa kondisi tersebut
membutuhkan bantuan hidup, 2) bystander mempunyai kemauan untuk mengaktifkan EMS
dengan menelpon 118, 3) bystander mempunyai kemampuan dan kemauan melakukan CPR.
Beberapa penelitian mengidentifikasi beberapa kondisi yang menyebabkan bystander tidak
melakukan tindakan dasar diatas, pada intinya penyebab – penyebab tersebut dapat
dikelompokkan menjadi 4 kategori seperti yang tertera pada gambar dibawah ini.

Gambar: Hambatan bystander dalam tatalaksana OHCA (Sasson et al., 2013)


Permasalahan diatas dapat dijabarkan sebagai berikut: bystander tidak dapat mengenali
tanda – tanda henti jantung, bystander sering mengasumsikan bahwa korban OHCA mengalami
pingsan atau terkena serangan jantung. Permasalahan lain yang muncul adalah masyarakat
berharap ada orang lain yang menolong korban terlebih dahulu, tidak terpapar dengan nomor
EMS, hambatan bahasa antara bystander dengan dispatcher yang memberikan tuntunan melalui
telepon, takut untuk memberikan CPR, takut untuk bertanggungjwab ketika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan, ketidakmampuan melakukan CPR yang berkualitas, kondisi lingkungan yang
tidak aman, dan perasaan takut terinfeksi ketika harus memberikan bantuan nafas melalui mulut
(Sasson et al., 2013).
Berbagai solusi untuk permasalahan diatas telah dirumuskan. Salah satunya adalah
tindakan edukasi kepada masyarakat awam. Edukasi diperlukan untuk meningkatkan
pengetahuan dengan harapan bystander dapat mengenali tanda gejala, mampu memanfaatkan
EMS, dan menginisiasi CPR dengan segera pada kejadian OHCA yang nantinya akan mengarah
pada peningkatan survival rates. Metode edukasi dalam pelatihan CPR sangat beragam,mulai
dari pemberian informasi singkat selama 30 menit, pelatihan singkat 4 jam, dan bahkan pelatihan
komprehensif dalam waktu beberapa hari (National-Academy-of-Sciences, 2015). American
Heart Association bahkan merekomendasikan penggunaan teknologi berbasis internet, video,
televisi, dan tempat umum dalam penyebaran informasi dan panduan pelaksananaan CPR
(Sasson et al., 2013). Pernyataan tersebut diatas diperkuat oleh penelitian di Denmark yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pelatihan dengan peningkatan tindakan CPR oleh
bystander (Wissenberg et al., 2013)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pelatihan CPR adalah:
1. Target pelatihan.
Salah satu metode pendekatan yang digunakan untuk pelatihan CPR adalah dengan
melatih sebanyak mungkin masyarakat awam dalam sebuah kegiatan massal. Kegiatan
masal dapat mengumpulkan ratusan hingga ribuan orang. Akan tetapi beberapa penelitian
mengindikasikan secara kuat bahwa lebih baik untuk melatih masyarakat yang
mempunyai anggota keluarga dengan kemungkinan untuk mengalami OHCA atau yang
mempunyai riwayat penyakit jantung. Target pelatihan yang lain adalah siswa dan anak –
anak berusia ± 10 tahun, dan bahkan di beberapa Negara kemampuan dalam memberikan
CPR diujikan ketika mengurus Surat Ijin Mengemudi (SIM)
2. Program yang diimplementasikan.
Panduan pelatihan CPR yang diterapkan berbeda disetiap Negara. Akan tetapi secara
umum, semua program menyampaikan materi yang sama. Partisipan yang belajar mandiri
dengan manikin juga menunjukkan hasil yang baik.
3. Durasi pelatihan
Pelatihan selama 8 jam terbukti mempunyai hasil yang baik. Meskipun CPR dapat
dilatihkan dalam waktu yang lebih singkat yaitu 4, 3, dan 2 jam, hasilnya terbukti baik.
4. Media yang digunakan.
Media video memberikan hasil yang mendekati dengan pelatihan konvensional. Salah
satu video pelatihan yang bagus diinisiasi oleh Braslow dkk yang sudah diuji
keefektifannya bahkan dalam pelatihan mandiri.
Televisi mempunyai pengaruh dan pemahaman yang baik dalam instruksi CPR. Di
Seattle, Washington menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rasio CPR oleh bystander
yang memperoleh instruksi CPR melalui televisi.
5. Pelatihan ulang
Masyarakat yang sudah lama memperleh pelatihan CPR hendaknya dilatih lagi secara
berkala dan teratur. Data menunjukkan mereka yang sudah lama mengikuti pelatihan
menunjukkan bahwa terdapat penurunan kemampuan skills.

Pembahasan/Strategi Penerapan
Pelatihan CPR diperlukan di Indonesia. Beberapa hal yang dapat diterapkan dalam
melakukan pelatihan CPR dalam rangka meningkatkan jumlah bystander adalah dengan
melakukan pelatihan pada siswa. Level pendidikan yang dapat diberikan bervariasi, mulai dari
Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Siswa pada level SD mempunyai daya ingat
yang baik karena masih berusia muda, sedangkan siswa pada level PT mempunyai pemahaman
yang lebih baik (Guy & Jackson, 2015).
Media video dianggap cocok diterapkan di Indonesia untuk dilakukan dalam pelatihan
CPR. Pelatihan melalui media Video yang berisi instruksi materi dan pelaksanaan CPR terbukti
efektif jika dibandingkan dengan pelatihan konvensional. Penelitian yang mendukung pernyataan
ini adalah penelitian komparasi yang dilakukan oleh Alkhalaileh dkk yang berjudul “evaluate the
effectiveness of clinical simulation and instructional video training on the nursing students,
knowledge about cardiopulmonary resuscitation: comparative study” (Alkhalaileh, Hasan, &
Al-Rawajfah, 2017).
Hal lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pelatihan CPR adalah durasi
pelatihan, dimana sesuai teori minimal pelatihan CPR dilaksanakan dalam waktu 2 jam.
Pelaksanaannyapun juga hendaknya teratur atau berkala. Hal ini berkaitan dengan daya ingat
seseorang terhadap materi yang disampaikan dan kemampuan motoriknya. Disamping itu,
kebaruan teori dari CPR yang selalu diupdate setiap 5 tahun sekali perlu disampaikan
(Vaillantcourt et al., 2008).
Pendekatan dengan berbagai kombinasi juga perlu dilakukan untuk meningkatkan
bystander pada OHCA di setting komunitas. Pemetaan daerah dengan kejadian OHCA
diperlukan sehingga kejadian OHCA dapat diantisipasi dengan melatih komunitas atau
masyarakat untuk siap menjadi bystander pada OHCA. Bahkan jika diperlukan, pelayanan EMS
dan telephone based CPR instructions perlu dikembangkan ketika bystander merasa kurang
percaya diri dalam melakukan CPR, sehingga panduan melalui telepon akan sangat membantu
(Sasson et al., 2013).
Dukungan dari pemerintah dan pihak terkait mutlak diperlukan untuk mensukseskan
program edukasi untuk meningkatkan jumlah bystander. Pemerintah diharapkan berperan aktif
dalam kegiatan edukasi ini, contoh wujud nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah
dengan membuat kebijakan seperti memasukkan materi pertolongan pertama pada kurikulum
pendidikan. Sistem EMS disertai dengan pemetaan daerah rentan kejadian OHCA juga perlu
dikembangkan. Lebih jauh lagi, masyarakat yang mengurus SIM jika dirasa perlu diharuskan
mampu memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD).
Penguatan informasi pun perlu digalakkan. Dengan memberikan informasi melalui
berbagai media diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang CPR. Media
yang paling efektif saat ini selain televisi adalah melalui media sosial atau internet based
application. Hal ini didukung dengan tingginya angka penggunaan smartphone dan media sosial
di Indonesia. Bahkan dimasa sekarang, hampir setiap orang terpapar dengan penggunaan
smartphone, internet, dan televisi setiap harinya. Kementerian Komunikasi dan Informasi
(Kemenkominfo) menyebutkan bahwa pengguna smartphone di Indonesia menempati urutan
keempat di dunia dibawah Cina, India, dan Amerika. Lembaga riset digital marketing E-
Marketer memperkirakan pada tahun 2018 jumlah pengguna smartphone aktif di Indonesia
diprediksi akan mencapai 100 juta pengguna (Kemenkominfo, 2016).

Kesimpulan
Pelatihan CPR pada masyarakat awam yang diharapkan mampu berperan menjadi
bystander pada kejadian OHCA perlu dilakukan di Indonesia. Hal ini mengingat sedikitnya
jumlah bystander dan keterbatasan lain seperti kemampuan dalam memberikan CPR dll.
Dibutuhkan peran aktif dari pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk mensukseskan program
pelatihan CPR. Salah satu media yang dianggap paling efektif adalah penggunaan media
elektronik, dalam hal ini secara khusus melalui televisi, internet, dan smartphone dimana
penggunaannya cukup tinggi di Indonesia.
Daftar Pustaka

Alkhalaileh, M., Hasan, A, A., & Al-Rawajfah, O. (2017). evaluate the effectiveness of clinical
simulation and instructional video training on the nursing students, knowledge about
cardiopulmonary resuscitation: comparative study. american journals of educational
research, 5(2), 7. doi: 10.12691/education-5-2-10
American-Heart-Association. (2017). Cardiac Arrest in Accidental Hypothermia. Retrieved
March, 3rd, 2017, from http://ecgguidelines.heart.org/index.php/cpr-ecc-guidelines-
2/part-10-special-sicumstances-of-resuscitation/cardiac-arrest-in-accidental-hypothermia
Chen, M, Wang, Y, Li, X, Hou, L, Wang, Y, Liu, J, & Han, F. (2017). Public knowledge and
attitudes towards bystander cardiopulmonary resuscitation in China. Biomed Research
International, 2017(32), 7. doi: 10.1155/2017/3250485
Guy, R, S., & Jackson, M, L. (2015). The use of computer simulation to compare student
performance in traditional versus distance learning environtments. Issues in informing
science and information technology, 12(17), 14.
Kemenkominfo. (2016). Pengguna smartphone di Indonesia. Retrieved June 17, 2017, 2017
Mani, G., Annadurai, K, & Danasekaran, R. (2015). Bystander cardiopulmonary resuscitation in
out of hospital cardiac arrest:need of the hour. African Health Science, 15(1), 3. doi:
10.4314/ahs.v15i1.43
Moller, T, P., Hansen, C, M., Fjordholt, M., Pedersen, B, D., Ostergaard, D., & Lippert, F, K.
(2014). Debriefing bystanders of out-of hospital cardiac arrest is valuable. journal of
resuscitation, 85(11), 7. doi: 10.1016/j.resuscitation.2014.08.006
Nagata, T., Abe, T., Hasegawa, M., & Hagihara, A. (2017). Factors associated with the outcome
of out-of-hospital cardiopulmonary arrest among people over 80 years old in Japan.
Resuscitation, 113, 63–69. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2017.01.014
National-Academy-of-Sciences. (2015). The Public Experience with Cardiac Arrest. In U. S. N.
L. o. Medicine (Ed.), Strategies to Improve Cardiac Arrest Survival: a Time to Act.
Rockville Pike, Bethesda MD, USA: National academy of sciences.
PERKI. (2015). Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Pedoman Tatalaksan Sindrome
Koroner Akut. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehn416
Sasson, C., Meischke, H., Abella, B, S., Berg, R, A., Bobrow, B, J., Chan, P, S., . . . Research,
AHA Council on Quality Care and Outcomes. (2013). Increasing Cardiopulmnary
Resuscitation provision in communities with low bystander cardiopulmonary
resuscitation rates: a science advisory from American Heart Association for healthcare
providers, policymakers, public health departments, and community leader. American
Heart Association science advisory, 2013(127), 10. doi: 10.1161/CIR.0b013e318288b4dd
Shuvy, M., Morrison, L. J., Koh, M., Qiu, F., Buick, J. E., Dorian, P., … Ko, D. T. (2017). Long-
term Clinical Outcomes and Predictors for Survivors of Out-of-Hospital Cardiac Arrest.
Resuscitation, 112, 59–64. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2016.12.026
Vaillantcourt, C, Stiell, I, G, & Wells, G, A. (2008). Understanding and Improving Low
Bystander CPR Rates: A Systematic Review of the Literature. Clinical Journal of
Emergency Medicine, 10(1), 15.
Wissenberg, M., Lippert, F, K., Folke, F., Weeke, P., Hansen, C, M., Christensen, E, F., . . .
Pedersen, C, T. (2013). Association of national initiatives to improve cardiac arrest
management with rates of bystander intervention and patient survival after out of hospital
cardiac arrest. JAMA, 310(13), 8. doi: 10.1001/jama.2013.278483

Anda mungkin juga menyukai