Disusun Oleh :
Dewi Oktaviana 14C018031
Niken Permatasari 14C018032
Alifah Itmi Mushoffa 14C018033
Afifah Dwi Rohmatika 14C018034
Alim Wijaya 14C018035
Suci Ramadhani 14C018036
Yulia Febrianti 14C018037
Astriana Dian Wahdani 14C018038
Ellisa Mahardhika 14C018039
Windi Agle Liza S. 14C018040
B. Dasar Teori
1. Patofisiologi
(Smeltzer ,2001)
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat.
a. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan
klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal Penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-
jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat
tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar
kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN)
biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling
sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti
steroid.
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik yang
berkaitan dengan meningkatnya glukosa darah dan diperkirakan akan
meningkat secara drastis dan terjadi ledakan yang luar biasa dalam 1 atau 2
dekade mendatang. Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang
berlangsung secara kronik dan progresif yang ditandai dengan adanya
hiperglikemi yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja
insulin, dan/atau keduanya . Beberapa gejala klasik dari diabetes melitus
adalah polidipsi (rasa haus berlebih), polifagi (rasa lapar berlebih), dan poliuri
(pengeluaran urin berlebih)
c. Hipertensi
Resistensi Insulin akan meyebabkan hiperglikami kronik lalu terjadi proses
glikosilasi protein glomerular sehingga terjadi progressive renal disease &
hipertensi.Selain itu, resistensi insulin atau hiperinsulinemia juga akan
meningkatkan aktivitas RAAS sehingga retensi Na meningkat dan terjadi
ekspansi volume yang menyebabkan hipertensi. Hipertensiadalah kondisi
yang terjadi ketika sejumlah darah dipompakan oleh jantung melebihi
kemampuan yang dapat ditampung dinding arteri. Ketika jumlah darah
tinggi, komplikasi dapat terjadi tergantung pada hubungan antara jumlah
darah dan kapasitas arteri. Semakin banyak darah yang mengalir dan
semakin sempit dinding arteri, tekanan darah akan semakin tinggi.
d. Asites
Asites adalaha kumulasi dari cairan (biasanya cairan serous yang adalah
cairan kuning pucat dan bening) dalam rongga perut (peritoneal). Rongga
perut berlokasi dibawah rongga dada, dipisahkan darinya oleh diaphragma.
Cairan ascites dapat mempunyai banyak sumber-sumber seperti penyakit hati,
keganasan, gagaljantung, atau gagalginjal (Sudaryo, 2006).
e. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi,
disertai keletihan, angina dan sesak napas.
2. Guideline Terapi
1. Penentuan stage CKD Stage 5
.
AAC
E (2017)
Cheng dan Zinman (2005)
Pada kasus ini, pasien Ny. M usia 51 tahun dengan GDS 225,dan
HbA1c 7,9. Berdasarkan algoritma diatas, untuk pasien diabetes melitus
diberikan terapi farmakologis pasien DM dapat menggunakan obat
antihipoglikemik oral atau menggunakan insulin. Klasifikan penggunaan
insulin berdasarkan nilai A1C (AIC < 8% atau A1C >8%). Pasien mendapatkan
terapi insulin prandial (AACE,2018)
3. Terapi Hipertensi
(PERKI, 2015)
Pada kasus ini, pasien Ny. M usia 51 tahun dengan Tekanan Darah
tingggi sekitar 150/90. Berdasarkan algoritma diatas, untuk pasien hipertensi
diberikan terapi farmakologis pasien Hipertensi stage1 dapat menggunakan
obatACEi atau ARB dan CCB atau Thiazid ( Perki, 2015).
1. Subjective
Nama :Ny. M
No rekammedik : XXX
Umur/TTL : 51 tahun
2. Objective
a. Pemeriksaan TTV
NILAI KETERANGAN
TTV NORMA
16/8 17/8 18/8 19/8 20/8 21/8
L
TD 120/80 160/ 160/ 160/ 150/ 150/ 150/ Meningkat
mmHg 80 80 100 100 100 90
36,6 37oC 36,5o 37oC 36oC 36oC
Suhu 36 – 37oC o Normal
C C
80 – 100 92 88 92 90 85 83
Nadi Normal
X/Menit
16 – 20 20 Meningkat,(16/8-
Nafas 26 24 30 28 20
X/Menit 19/8)indikasi asites
Mual ++ ++ + + + + Indikasi asites
Perut ++ ++ + + + + Indikasi asites
membesar
Perut ++ + - - - - Indikasi asites
sebah
Perut - + + + + + Indikasi asites
kembung
Sesak + + + + + + Indikasi asites
nafas
Kedua ++ + + + + + Indikasi asites
kaki
bengkak
Kedua + + + + + + Indikasi asites
kaki nyeri
b. Data Laboratorium
NILAI
Parameter NORMA 16/8 18/8 21/8 Keterangan
L
Albumin 3,5-5 2,67 - - Menurun,
gr/dL Hipoalbumin
Pemeriksaan
penunjang
Drip Furosemid 6 v v v v v v
Amp/24ja
m
Amplodipin 1x10mg v v v v v v
Ibesartan 1x300mg v v v v v v
Nocid 3x1 v v v v v v
Kalitake 3x1 - v v v v v
Infus RL 20tpm - v v v v v
3. Problem Medik
Diagnosa pasien: DM Tipe 2, Hipertensi, CKD, Asites, Obesitas
Problem medik yang perlu diterapi: DM Tipe 2, Hipertensi, CKD, Asites,
Obesitas
4. Assessment
Problem
Tgl Subjektif Objektif Assesment
medic
16/8 - GFR = 8,4 CKD DRP : Terdapat terapi yang lebih efektif
mL/min/1. stage 5 Berdasarkan Guideline Kidney Health Australia
73 m2 (2015) dan K/DOQI (2002), pasien sudah masuk
dalam End Stage Renal Disease (ESRD) sehingga
membutuhkan terapi hemodialisis. Oleh karena itu,
terapi menggunakan inj. Ca Glaukonas, inj. Bicnat,
dan Kalitake kurang tepat untuk pasien ini.
16/8 - TD Hiperte DRP :dosis terapi hipertensi untuk pasien
pasien> nsi dialysis terlalu banyak (amlodipine +
140/90 irbesartan)
Pasien mendapat terapi amlodipine 10 mg/hari dan
irbesartan 300 mg/hari. Namun, setelah dihitung
ClCr nya, pasien termasuk dalam kategori pasien
ESRD yang harus menerima terapi dialysis.
Sehinggaobat yang diberikan untuk mengatasi
penyakit lain pada pasien harus dilakukan
penyesuaian dosis.
5. Plan
Rekomendasi Problem Medik
6. Terapi Farmakologi
a. Terapi CKD Stage V
Hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu cara pengeluaran produksi
sametabolisme berupa zatterlarut (solut) dan air yang berada dalam darah
melalui membran semi permeabelatau yang disebut dengan dialyzer
(Price dan Wilson, 2005). Pemberian terapi hemodialisis pada pasien
gagal ginjal kronik stadium 5 yaitu bila laju filtrasi <15 ml/ menit sangat
bermanfaat karena dapat mempertahankan kualitas hidup pasien dan
memperpanjang umur, terlebih pada pasien gagal ginjal tahap akhir
(Thomas, 2003).
Tindakan terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia dan malnutrisi. Namun demikian, terapi dialysis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien gagal ginjal kronik tahap awal, karena
dapat memperburuk kondisi faal ginjal. Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi hemodialisis segera dan indikasi hemodialisis kronik.
Beberapa yang bermasuk dalam indikasi hemodialisis segera, yaitu
keadaan uremik berat (LFG <10ml/menit), oligouria (produksi urine
<200ml/12 jam), anuria (produksi urine <50ml/12 jam), dan ensefalopati
uremikum yang disebabkan karena nilai GFR < 10ml / menit secara
persisten dan mengganggu fungsi otak pasien sehingga menyebabkan
kelelahan, kejang hingga koma. Gejala uremia meliputi lethargy
syndrome, anoreksia, nausea, mualdanmuntah, adanya malnutrisi atau
hilangnya massa otot, hipertensi (>140/80 mmHg) dan adanya kelebihan
cairan (overdehidrasi) yang dapat ditandai dengan penambahan berat
badan secara cepat, disebabkan karena pengeluaran cairan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan asupan cairan (Dourgirdas et al., 2007).
Epoetin Alfa
Kondisi gagal ginjal kronik dapat menyebabkan produksi eritropoetin
oleh ginjal terhambat. Eritropoetin memiliki peran yang sangat penting
untuk produksi sel darah merah di sumsum tulang, sehingga apabila
produksi eritropoetin terhambat maka produksi sel darah merah juga
terhambat yang pada akhirnya menyebabkan anemia. (Jodie L. Babitt &
Herbert Y. Lin, 2012). Sehingga, pada kasus ini, terapi anemia yang
direkomendasikan adalah Erythropoietin Stimulating Agent (ESA). ESA
bekerja pada semua agen yang meningkatkan eritropoiesis baik melalui
aksi langsung maupun tidak langsung pada reseptor erythropoietin. Ada 3
jenis ESA yang tersedia pada saat ini yaitu epoetin alfa, epoetin beta, dan
darbepoetin. Epoetin alfa dan beta telah dirancang menyerupai
eritropoetin endogen secara molekuler dan memiliki farmakokinetik yang
sama. Epoetin alfa dan beta merupakan short acting ESA, sedangkan
daebepoetin merupakan ESA generasi kedua yang memiliki aksi long
acting (KDOQI, 2006).
Epoetin alfa dan beta termasuk ke dalam Formularium Nasional
(Kemenkes RI, 2016). Menurut Loughnan et al. (2011), Epoetin Alfa dan
Epoetin Beta sama-sama efektif untuk mengatasi anemia, pada terapi ini
dipilih Epoetin Alfa.
Epoetin Alfa diberikan secara intravena (IV) dengan dosis 50
IU/kgBB 3 kali dalam seminggu. Terapi diberikan selama 4 minggu
karena pada pasien CKD dengan anemia dan tingkat Hb awal kurang dari
target Hb meningkat sebesar 0,7-2,5 g/dL pada 4 minggu pertama
pemberian. ESA short acting dapat diberikan secara IV maupun
SC/subkutan, namun pada pasien CKD dengan hemodialisis (HD)
pemberian secara SC berisiko menyebabkan terjadinya aplasia sel darah
merah (PRCA) (KDOQI, 2006).
d. Terapi Acites
Loop diuretik
Furosemide untuk mengatasi penumpukan cairan pada asites (Runyon et
al.,, 2012). Obat ini bekerja dengan memblok co-transporter Na+ K+ 2Cl-
dengan menghambat reabsorpsi Na dan Cl pada lengkung henle. Loop
diuretik merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan ESRD (Katzung,
2010). Menurut Oh et al (2015) pemberian forusemide secara IV sebayak
dua kali perhari memiliki bioavailabilitas yang lebih besar daripada
pemberian secara oral. Dosis awal frusemid adalah 80 mg/hari dan
umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160
mg/hari. Menurut KDOQI (2015) bioavailabilitas furosemid tidak
dipengaruhi oleh CKD namun perlu dilakukan peningkatan dosis untuk
mencapai respon yang efektif. Pemberian dilakukan secara IV untuk
menghindari berkurangnya absorbsi (Oh et al., 2015). Menurut Kemenkes
RI (2016) obat furosemid telah berada dalam daftar BPJS sehingga obat ini
seusai dengan status jamkesmas pasien. Dosis yang diberikan pada pasien
tersebut adalah 80 mg/hari.
Oh et al (2015)
Paracetamol
Kedua kaki pasien nyeri dan bengkak yang dapat disebabkan karena
ascites sehingga disarankan untuk diberianti inflamasi. Menurut Dipiro (2015)
first line antiinflamasi dalam manajemen nyeri adalah menggunakan
paracetamol atau NSAID. Menurut Phuong dkk., (2017) dan Phuong dkk.,
(2009) pada pasien gagal ginjal paracetamol lebih direkomendasikan karena
lebih aman dibandingkan dengan NSAID karena NSAID berisiko
memperparah kondisi pasien gagal ginjal. NSAID perlu dihindari pada pasien
moderate-severe CKD (Nderitu, 2013).Dosis paracetamol yang diberikan
yaitu 650 mg 4x sehari.
(Phuong, 2017)
(Phuong, 2009)
(Nderitu, 2013)
e. Terapi Mual
Pasien dalam kasus ini merupakan pasien End-Stage Renal Disease
(ESRD) yang memiliki common nonpain symtoms berupa uremia-associated
nausea(mual). Tatalaksana untuk mengatasi mual dapat menggunakan
ondansetron mg tiap 8 jam, metoklopramid 5 mg 2 kali sehari atau haloperidol
0,5 tiap 8 jam. Terapi yang dipilih yaitu metoklopramide dikarenakan
penggunaannya hanya 2 kali sehari sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pasien. Untuk penggunaan metoklopramide perlu ajustment dose 50 %
sehingga dosis yang diberikan yaitu 2,5 mg 2 kali sehari (O’connor and Amy,
2012).
Putih Telur
Penanganan hipoalbuminemia tidak terbatas pada pemberian suplemen
oral saja tetapi bisa melalui nutrisi makanan putih telur sebanyak 80 gram 2
kali sehari selama 3 hari dapat meningkatkan kadar albumin sebanyak ± 0,7
g/dL (Susilawati, 2010).
7. Terapi MRS
8. Terapi KRS
Obat Dosis Cara Pemakaian
Irbesartan 150 mg (setelah Peroral 1 kali sehari
hemodialisis)
Amlodipine 2,5 mg Peroral 1 x sehari
50 IU/ kgBB, IV (3 9 x inj. IV
Epoetin Alfa
kali/ minggu) 9 kali IV
Furosemid 40 mg IV IV, 2 x sehari
Novorapid 3x4U IV, 3 x sehari
Nocid 4-8 kaplet Peroral 3 xsehari
c. KIE Keluarga
Cara penggunaan insulin pen yang benar, motivasi untuk selalu
menggunakan insulin
Menyarankan pasien kompres air hangat untuk mengatasi nyeri
Menjelaskan cara pemberian , penyimpan, aturan pemakaian dan
indikasi masing – masing obat yang diberikan
Untuk obat antibiotik harus diminum sesuai aturan dan secara teratur
sampai habis. Walaupun gejala penyakitnya sudah membaik.
Senantiasi mengiatkan pasien untuk patuh meminum obat.
Meningkatkan motivasi untuk melaksanakan pola hidup sehat pada
pasien
Menjelaskan cara pengaturan gaya hidup sehat pasien seperti batasi
asupan garam.
Meningkatkan motivasi pasien untuk melaksanakan pola hidup sehat
dan mengurangi makanan yang mengandung purin.
11. Monitoring
.Beahm, N.P., Nicolle, L.E., Bursey, A., Smyth, D.J., Tsuyuki, R.T., 2017, The
assessment and management of urinary tract infections in adults : Guidelines for
pharmacists, CPJ/RPC, 150 (5) : 298-305
Beatriz, Vargas-Santos, Neogi, Tuhina, MD, PhD, 2017, Management of Gout and
Hyperuricemia in CKD, Am J Kidney Dis. 2017;70(3):422-439.
BMJ, 2017, BTS Guideline For Oxygen Use in Adults in Healthcare and Emergency
Settings, Thorax an International Journal Of Respiratory Medicine, 72 : i1-j90.
Cheng AYY, Zinman B. Chapter 39: principles of insulin therapy. In: Kahn CR,
Weir GC, King GL, et al., editors. Joslin’s Diabetes Mellitus. Boston, MA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005. pp. 559–670
Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M., Barbara, G.W., L.Michael P,
2015, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition, New
York: Mc Graw Hill.
Sendi, P., Borens, O., Wahl, P., Clauss, M., Uckay, I., 2017, Management of
Asymptomatic Bacteriuria, Urinary Catheters and Symptomatic Urinary Tract
Infections in Patients Undergoing Surgery for Joint Replacement: A Position
Paper of the Expert Group 'Infection' of swissorthopaedics, J. Bone Joint Infect.
, 2(3) : 154-159
KDOQI, 2002, Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification, National Kidney Foundation, New York.
Thomas, N., 2003, Renal Nursing 2nd Edition, Elsevier Science, Philadelphia.