Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TUTORIAL FARMAKOTERAPI TERAPAN

KASUS RENAL DAN ENDOKRIN

Disusun Oleh :
Dewi Oktaviana 14C018031
Niken Permatasari 14C018032
Alifah Itmi Mushoffa 14C018033
Afifah Dwi Rohmatika 14C018034
Alim Wijaya 14C018035
Suci Ramadhani 14C018036
Yulia Febrianti 14C018037
Astriana Dian Wahdani 14C018038
Ellisa Mahardhika 14C018039
Windi Agle Liza S. 14C018040

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
PURWOKERTO
2018
A. KASUS
Ny M berusia 51 tahun, BB 60kg, TB 155cm. Keluhan saat MRS perut sebah,
kedua kaki bengkak dan nyeri, batuk berdahak, sesak, perut kembung, dan mual.
Pasien menderita DM tipe 2, Hipertensi, dan CKD sejak beberapa tahun yang
lalu.

B. Dasar Teori
1. Patofisiologi

(Smeltzer ,2001)
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat.
a. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan
klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal Penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-
jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat
tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar
kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN)
biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling
sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti
steroid.
b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik yang
berkaitan dengan meningkatnya glukosa darah dan diperkirakan akan
meningkat secara drastis dan terjadi ledakan yang luar biasa dalam 1 atau 2
dekade mendatang. Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang
berlangsung secara kronik dan progresif yang ditandai dengan adanya
hiperglikemi yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja
insulin, dan/atau keduanya . Beberapa gejala klasik dari diabetes melitus
adalah polidipsi (rasa haus berlebih), polifagi (rasa lapar berlebih), dan poliuri
(pengeluaran urin berlebih)

c. Hipertensi
Resistensi Insulin akan meyebabkan hiperglikami kronik  lalu terjadi proses
glikosilasi protein glomerular sehingga terjadi progressive renal disease &
hipertensi.Selain itu, resistensi insulin atau hiperinsulinemia juga akan
meningkatkan aktivitas RAAS sehingga retensi Na meningkat dan terjadi
ekspansi volume yang menyebabkan hipertensi. Hipertensiadalah kondisi
yang terjadi ketika sejumlah darah dipompakan oleh jantung melebihi
kemampuan yang dapat ditampung dinding arteri. Ketika jumlah darah
tinggi, komplikasi dapat terjadi tergantung pada hubungan antara jumlah
darah dan kapasitas arteri. Semakin banyak darah yang mengalir dan
semakin sempit dinding arteri, tekanan darah akan semakin tinggi.
d. Asites
Asites adalaha kumulasi dari cairan (biasanya cairan serous yang adalah
cairan kuning pucat dan bening) dalam rongga perut (peritoneal). Rongga
perut berlokasi dibawah rongga dada, dipisahkan darinya oleh diaphragma.
Cairan ascites dapat mempunyai banyak sumber-sumber seperti penyakit hati,
keganasan, gagaljantung, atau gagalginjal (Sudaryo, 2006).
e. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi,
disertai keletihan, angina dan sesak napas.

2. Guideline Terapi
1. Penentuan stage CKD Stage 5
.

(Kidney Health Australia, 2015)


Pada kasus ini, pasien Ny. M usia 51 tahun dengan SCr 5,66 mg/dl
memiliki nilai GFR 8,4 mL/min/1.73 m2. Berdasarkan algoritma diatas, untuk
pasien dengan nilai GFR <15 mL/min/1.73 m2 sudah termasukd alam CKD stage
5 atau End Stage Renal Disease (ESRD), sehingga membutuhkan dialisis.

2. Terapi Diabetes Melitus

AAC
E (2017)
Cheng dan Zinman (2005)
Pada kasus ini, pasien Ny. M usia 51 tahun dengan GDS 225,dan
HbA1c 7,9. Berdasarkan algoritma diatas, untuk pasien diabetes melitus
diberikan terapi farmakologis pasien DM dapat menggunakan obat
antihipoglikemik oral atau menggunakan insulin. Klasifikan penggunaan
insulin berdasarkan nilai A1C (AIC < 8% atau A1C >8%). Pasien mendapatkan
terapi insulin prandial (AACE,2018)

3. Terapi Hipertensi

(PERKI, 2015)
Pada kasus ini, pasien Ny. M usia 51 tahun dengan Tekanan Darah
tingggi sekitar 150/90. Berdasarkan algoritma diatas, untuk pasien hipertensi
diberikan terapi farmakologis pasien Hipertensi stage1 dapat menggunakan
obatACEi atau ARB dan CCB atau Thiazid ( Perki, 2015).

4. Terapi Nyeri (Acites)

(Phuong dkk., 2017)

C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN

1. Subjective
Nama :Ny. M

No rekammedik : XXX

Umur/TTL : 51 tahun

BB/TB :60kg/ 155 cm

Tanggal MRS :16/8

Diagnosa Dokter : DM tipe 2, Hipertensi, CKD, Asites dan


Obesitas.
Data lab dan TTV saat MRS : suhu tubuh 36,6oC, nadi 92x/menit, Nafas
30x/menit, dan tekanan darah160/80 mmHg.
Pemeriksaan urin lengkap: Bakteri (+) > 30.

2. Objective
a. Pemeriksaan TTV
NILAI KETERANGAN
TTV NORMA
16/8 17/8 18/8 19/8 20/8 21/8
L
TD 120/80 160/ 160/ 160/ 150/ 150/ 150/ Meningkat
mmHg 80 80 100 100 100 90
36,6 37oC 36,5o 37oC 36oC 36oC
Suhu 36 – 37oC o Normal
C C

80 – 100 92 88 92 90 85 83
Nadi Normal
X/Menit

16 – 20 20 Meningkat,(16/8-
Nafas 26 24 30 28 20
X/Menit 19/8)indikasi asites
Mual ++ ++ + + + + Indikasi asites
Perut ++ ++ + + + + Indikasi asites
membesar
Perut ++ + - - - - Indikasi asites
sebah
Perut - + + + + + Indikasi asites
kembung
Sesak + + + + + + Indikasi asites
nafas
Kedua ++ + + + + + Indikasi asites
kaki
bengkak
Kedua + + + + + + Indikasi asites
kaki nyeri

b. Data Laboratorium
NILAI
Parameter NORMA 16/8 18/8 21/8 Keterangan
L
Albumin 3,5-5 2,67 - - Menurun,
gr/dL Hipoalbumin

2,3-6,6 8,8 - - Meningkat,


Asam urat
mg/dl Hiperusemia

13-18 - - Menurun, indikasi


Hb 10,3
gr/dl anemia
3200- - - Normal
Leukosit 10000 85/90
/mm

< 126 - 160 Meningkat, DM


GDS 225
mg/dL

HbA1C 7,9 - - Meningkat, DM

3,6 – 6,9 5,9 Meningkat,


Kalium 7
4,8% Hiperkalemi

0,5-0,1 - 6,38 Meningkat, CKD


Kreatinin 5,66
mg.dl Stage V

135 – 144 139 - Normal


Natrium 140
mmol/L
15-40 - - Meningkat, CKD
Ureum 240,5
mg/dl

Pemeriksaan
penunjang

Warna : kuning muda


Urine lengkap
Bakteri : > 30

c.Terapi yang diberikan sebelumnya


Obat Dosis 16/8 17/8 18/8 19/8 20/8 21/8

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr v v v v v v

Inj. Novorapid 3x6 iu v 4-4-4 4-4-4 4-4-4 4-4-4 4-4-4


Inj. Ca Glaukonas 2 fls drip - v - - - -

Inj. Bicnat 2 fls drip - v - - - -

Drip Furosemid 6 v v v v v v
Amp/24ja
m
Amplodipin 1x10mg v v v v v v

Ibesartan 1x300mg v v v v v v

Nocid 3x1 v v v v v v

Asam folat 3x1 v v v v v v

Kalitake 3x1 - v v v v v

Infus Nacl 12tpm - v - - - -

Infus RL 20tpm - v v v v v

3. Problem Medik
Diagnosa pasien: DM Tipe 2, Hipertensi, CKD, Asites, Obesitas
Problem medik yang perlu diterapi: DM Tipe 2, Hipertensi, CKD, Asites,
Obesitas

4. Assessment
Problem
Tgl Subjektif Objektif Assesment
medic
16/8 - GFR = 8,4 CKD DRP : Terdapat terapi yang lebih efektif
mL/min/1. stage 5 Berdasarkan Guideline Kidney Health Australia
73 m2 (2015) dan K/DOQI (2002), pasien sudah masuk
dalam End Stage Renal Disease (ESRD) sehingga
membutuhkan terapi hemodialisis. Oleh karena itu,
terapi menggunakan inj. Ca Glaukonas, inj. Bicnat,
dan Kalitake kurang tepat untuk pasien ini.
16/8 - TD Hiperte DRP :dosis terapi hipertensi untuk pasien
pasien> nsi dialysis terlalu banyak (amlodipine +
140/90 irbesartan)
Pasien mendapat terapi amlodipine 10 mg/hari dan
irbesartan 300 mg/hari. Namun, setelah dihitung
ClCr nya, pasien termasuk dalam kategori pasien
ESRD yang harus menerima terapi dialysis.
Sehinggaobat yang diberikan untuk mengatasi
penyakit lain pada pasien harus dilakukan
penyesuaian dosis.

16/8- - Bakteri di ASB DRP : Terdapat terapi yang lebih efektif


21/8 urin > 30 (ceftriaxone)
Pemberian antibiotik ceftriaxone inj pada pasien
kurang tepat dikarenakan pasien hanya mengalami
asymptomatic bacteriuria (ASB), dimana
ditemukan bakteri dalam urin (>10 cfu) tanpa
diserta gejala yang disebabkan saluran kemih.
Sedangkan ceftriaxone iv adalah terapi yang
digunakan untuk antibiotik empiris pada ISK berat.
Antibiotik pada ASB belum terbukti menunjukkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas (Beahm et
al., 2017). Menurut Donald et al., (2017) dan Sendi
et al., (2017), penggunaan antibiotik pada ASB
hanya meningkatkan kemungkinan efek samping
dan resistensi antibiotik.
24/8- Sesak nafas (+) - Sesak DRP: Terdapat indikasi sesak nafas namun
29/8 tanggal 16/8- Nafas belum ada terapi (Oksigen)
21/8 Pasien dikasus ini mengalami sesak nafas selama
dirumah sakit. Sehingga dibutuhkan terapi
tambahan oksigen untuk mengatasi sesak nafas
pasien.
16/8 Kedua kaki - Ascites DRP : Terdapat indikasi nyeri namun belum
bengkak dan ada terapi (Paracetamol)
nyeri Pasien merasakan nyeri pada kedua kaki yang
dimungkinkan merupakan gejala dari gout, namun
belum diberikan terapi untuk mengatasinya.
16/8 Mual Ureum CKD DRP : Terdapat indikasi mual namun belum ada
meningkat terapi (metoklopramide)
(240,5) Pasien mengalami uremia-associated nausea (mual)
yang merupakan common nonpainsymtoms ESRD
namun belum diterapi, sehingga perlu untuk
diterapi. Terapi yang diberikan yaitu
metoklopramid 2,5 mg 2 kali sehari (O’connor and
Amy, 2012.
16/8 - Hb 10,3 Anemia DRP: Terdapat terapi yang lebih efektif (Asam
g/dL Folat)
Penggunaan terapi asam folat tidak sesuai dengan
kondisi pasien. Menurut Kemenkes (2011) dalam
situasi anemia yang terjadi karena kekurangan atau
penurunan nutrisi maka diperlukan penggantian
besi, vitamin B12 atau asam folat. Sedangkan pada
penurunan fungsi ginjal, anemia biasanya terjadi
karena menurunnya produksi eritropoetin sehingga
terapi yang tepat adalah pemberian eritropoetin.

16/8 - - Kebutuh DRP: Terdapat terapi yang lebih efektif (Infus


an NaCl)
cairan Pada kasus, Ny. M mengalami hipertensi.
(mainten Sedangkan menurut Hoorn (2017) penggunaan
ance) normal saline atau NaCl 0.9% yang memiliki
kandungan natrium dapat memperburuk kondisi
hipertensi.
17/8 - IBW = Kebutuh DRP : dosis terapi yang terlalu banyak (Infus
47,31 kg an RL  20 tpm)
GFR < 15 cairan Pasien mengalami CKD dan obese. Menurut NICE
ml/min (mainten (2013) kebutuhan cairan maintenance pada pasien
ance) dengan gangguan ginjal yaitu 20-25 ml/kgBB/hari
dan pada pasien obese harus dihitung sesuai dengan
Ideal Body Weight (IBW).
Perhitungan Kebutuhan Cairan
= 20 ml/kgBB/hari x IBW
= 20 ml/kgBB/hari x 60 kg
= 1200 ml/hari
Perhitungan TPM
= (1200 ml x 20 tetes)
(60 menit x 24)
= 16,66 tpm setara 17 tpm

5. Plan
 Rekomendasi Problem Medik

Problem Subjektif Obyektif Assessment Plan


medik
CKD - GFR = 8,4 Terdapat terapi Rekomendasi problem:
mL/min/1.7 yang lebih efektif - Pasiendengan CKD stage 5
3 m2 (inj. dianjurkanuntukmenjalanidialisis3-4
CaGlaukonas, inj. kali dalam seminggu, dengan durasi
Bicnat, 3-5 jam tiapdialisis (KDOQI, 2015).
danKalitake) - Monitoring pada 15 menit pertama
untuk melihat adanya reaksi transfusi
(misalnya pasien merasa menggigil,
sakit, sesak napas atau merasa cemas),
setelah itu dipantau setiap jam selama
dialisa (WHO, 2011).

Hiperten - Tekanan Dosis terapi Rekomendasi problem:


si darah hipertensi untuk Dilakukan penyesuaian dosis untuk
pasien>140/ pasien dialysis masing-masing obat.
90 terlalu banyak  Amlodipine :
(amlodipine + Dosis awal : 2,5-5 mg/hari
irbesartan) Pemeliharaan : 2,5-10 mg/hari
 Irbesartan :
Dosis awal : 75-150 mg/hari
Pemeliharaan : 150-300 mg/hari
ASB - Bakteri di Terdapat terapi Rekomendasi problem:
urin > 30 yang lebih efektif Pemberian ceftriaxone injeksi
(ceftriaxone) dihentikan.

Sesak Sesak nafas - Kebutuhan terapi Rekomendasi diberikan preoksigenasi 2


Nafas (+) tanggal tambahan lpm untuk mencegah hipoksemia (BMJ,
16/8-21/8 (oksigen) 2017).
Ascites Kedua kaki - Kebutuhanterapita Rekomendasi :
bengkakdan mbahan Paracetamol kaplet dosis 650 mg 4 x
nyeri (Paracetamol) sehari

CAP mual Ureum Terdapat indikasi Rekomendasi problem:


meningkat mual tetpi belum Pemberian amoxicillin metoklopramid
(240,5) diterapi 2,5 mg 2 kali sehari (O’connor and
Amy, 2012).
Anemia - Hb Terdapat terapi Penggunaan terapi asam folat
menurun yang lebih efektif dihentikan. Untuk atasi anemia
10,3 g/dL (Asam Folat) diberikan eritropoietin alfa 50IU/kgBB
3x seminggu selama 4 minggu.
Kebutuh - IBW = Terdapat terapi Penggunaan infus NaCl dihentikan.
an 47,31 kg yang lebih efektif Untuk maintenance cairan diberikan
(mainten GFR < 15 (Infus NaCl) Infus RL 13 tpm.
ance)cair ml/min
an
Kebutuh - IBW = Terapi yang Dosis pemberian infus RL diturunkan
an cairan 47,31 kg diberikan terlalu menjadi 16,77 tpm setaradengan 17 tpm
(mainten GFR < 15 banyak (Infus RL
ance) ml/min  20 tpm)

6. Terapi Farmakologi
a. Terapi CKD Stage V
 Hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu cara pengeluaran produksi
sametabolisme berupa zatterlarut (solut) dan air yang berada dalam darah
melalui membran semi permeabelatau yang disebut dengan dialyzer
(Price dan Wilson, 2005). Pemberian terapi hemodialisis pada pasien
gagal ginjal kronik stadium 5 yaitu bila laju filtrasi <15 ml/ menit sangat
bermanfaat karena dapat mempertahankan kualitas hidup pasien dan
memperpanjang umur, terlebih pada pasien gagal ginjal tahap akhir
(Thomas, 2003).
Tindakan terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia dan malnutrisi. Namun demikian, terapi dialysis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien gagal ginjal kronik tahap awal, karena
dapat memperburuk kondisi faal ginjal. Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi hemodialisis segera dan indikasi hemodialisis kronik.
Beberapa yang bermasuk dalam indikasi hemodialisis segera, yaitu
keadaan uremik berat (LFG <10ml/menit), oligouria (produksi urine
<200ml/12 jam), anuria (produksi urine <50ml/12 jam), dan ensefalopati
uremikum yang disebabkan karena nilai GFR < 10ml / menit secara
persisten dan mengganggu fungsi otak pasien sehingga menyebabkan
kelelahan, kejang hingga koma. Gejala uremia meliputi lethargy
syndrome, anoreksia, nausea, mualdanmuntah, adanya malnutrisi atau
hilangnya massa otot, hipertensi (>140/80 mmHg) dan adanya kelebihan
cairan (overdehidrasi) yang dapat ditandai dengan penambahan berat
badan secara cepat, disebabkan karena pengeluaran cairan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan asupan cairan (Dourgirdas et al., 2007).

 Epoetin Alfa
Kondisi gagal ginjal kronik dapat menyebabkan produksi eritropoetin
oleh ginjal terhambat. Eritropoetin memiliki peran yang sangat penting
untuk produksi sel darah merah di sumsum tulang, sehingga apabila
produksi eritropoetin terhambat maka produksi sel darah merah juga
terhambat yang pada akhirnya menyebabkan anemia. (Jodie L. Babitt &
Herbert Y. Lin, 2012). Sehingga, pada kasus ini, terapi anemia yang
direkomendasikan adalah Erythropoietin Stimulating Agent (ESA). ESA
bekerja pada semua agen yang meningkatkan eritropoiesis baik melalui
aksi langsung maupun tidak langsung pada reseptor erythropoietin. Ada 3
jenis ESA yang tersedia pada saat ini yaitu epoetin alfa, epoetin beta, dan
darbepoetin. Epoetin alfa dan beta telah dirancang menyerupai
eritropoetin endogen secara molekuler dan memiliki farmakokinetik yang
sama. Epoetin alfa dan beta merupakan short acting ESA, sedangkan
daebepoetin merupakan ESA generasi kedua yang memiliki aksi long
acting (KDOQI, 2006).
Epoetin alfa dan beta termasuk ke dalam Formularium Nasional
(Kemenkes RI, 2016). Menurut Loughnan et al. (2011), Epoetin Alfa dan
Epoetin Beta sama-sama efektif untuk mengatasi anemia, pada terapi ini
dipilih Epoetin Alfa.
Epoetin Alfa diberikan secara intravena (IV) dengan dosis 50
IU/kgBB 3 kali dalam seminggu. Terapi diberikan selama 4 minggu
karena pada pasien CKD dengan anemia dan tingkat Hb awal kurang dari
target Hb meningkat sebesar 0,7-2,5 g/dL pada 4 minggu pertama
pemberian. ESA short acting dapat diberikan secara IV maupun
SC/subkutan, namun pada pasien CKD dengan hemodialisis (HD)
pemberian secara SC berisiko menyebabkan terjadinya aplasia sel darah
merah (PRCA) (KDOQI, 2006).

b. Terapi Diabetes Melitus


 Novorapid
Menurut Perkeni (2015) tujuan terapi diabetes mellitus adalah untuk
menghilangkan keluhan terkait penyakit, memperbaiki kualitas hidup,
serta mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati
dan makroangiopati. Tatalaksana terapi diabetes mellitus meliputi
edukasi, nutrisi, latihan jasmani, dan terapi farmakologi. Terapi
farmakologis pasien DM dapat menggunakan obat antihipoglikemik oral
atau menggunakan insulin. AACE (2018) mengklasifikan penggunaan
insulin berdasarkan nilai A1C (AIC < 8% atau A1C >8%). Pasien
mendapatkan terapi insulin prandial (Novorapid) saat masuk rumah sakit
dengan dosis 3 x 6 U pada hari pertama, dilanjutkan 3 x 4 U.
Menurut Cheng dan Zinman (2005) pemberian dosis insulin prandial
sebanyak 60% dari jumlah total harian dengan rentang dosis 0,3 – 0,5
U/Kg/hari, sehingga dosis total yang didapatkan pasien adalah sebesar
10,8 -18 U/hari insulin prandial. Pertimbangan penggunaan insulin adalah
kadar GDS pasien sebesar 225 mg/dL pada hari pertama, adanya riwayat
penyakit diabetes mellitus yang menahun, dan disertai gangguan fungsi
ginjal yang berat. Insulin prandial diberikan selama 3 bulan dan dilakukan
pemerikaan HbA1C untuk menentukan terapi selanjutnya (Perkeni,
2015).
AACE (2017)

Cheng dan Zinman (2005)


c. Terapi Hipertensi
 ACEI / ARB
Pasien dengan diagnosis hipertensi Karena apabila memiliki
tekanan darah > 140/90. Menurut Perki (2015), terapi yang utama yaitu
perubahan gaya hidup seperti menurunkan berat badan, mengurangi
garam, alcohol, dan merokok. Kemudian dengan melihat TD pasien
yaitu 140-160 / 90-100 (stage 1) dan umur < 60 tahun ,maka terapi
untuk pasien yaitu pemberian ACEI / ARB kemudian CCB / Tiazid.
Pasien memiliki keluhan batuk yang apabila pasien diberikanterapi
ACEI akan memparah batuk yang dirasa pasien ini (Ahmad, et al,
2016). Sehingga dipilihkan terapi ARB (Irbesartan). Menurut Graham,
et al (2002), substitusi obat dari losartan atau valsartan menjadi
irbesartan sudah tepat. Dimana irbesartan ini lebih poten menurunkan
tekanan darah dibandingkan kedua obat tersebut. Pasien juga diberikan
terapi amlodipine yang merupakan golongan CCB. Penggunaan terapi
ACEI dan ARB pada pasiendengan hemodialysis membutuhkan
penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis yang dilakukan mengacu pada
pada table berikut (Ahmad et al, 2016) :
 Oksigen
Pasien mengalami sesak nafas (+) mulai tanggal 16/8-21/8. Pasien
dikatakan hipoksemia jika mengalami penurunan nilai PaO2, namun pada
kasus tidak dicantumkan nilai PaCO2 atau Sat O2. Selain itu, hipoksemia
juga dapat terjadi karena defisiensi hemoglobin dan nilai Hb pasien
dibawah nilai normal (CRTO, 2013). Sesak nafas yang dialami pasien
merupakan salah satu manifestasi dari hipoksemia, namun masih perlu
dilakukan pengecekan ulang terkait nilai PaO2. Untuk mencegah terjadinya
hipoksemia maka diberikan preoksigenasi 2 lpm melalui nasal cannulae
(BMJ, 2017).

(BMJ, 2017) (CRTO, 2013)

d. Terapi Acites
 Loop diuretik
Furosemide untuk mengatasi penumpukan cairan pada asites (Runyon et
al.,, 2012). Obat ini bekerja dengan memblok co-transporter Na+ K+ 2Cl-
dengan menghambat reabsorpsi Na dan Cl pada lengkung henle. Loop
diuretik merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan ESRD (Katzung,
2010). Menurut Oh et al (2015) pemberian forusemide secara IV sebayak
dua kali perhari memiliki bioavailabilitas yang lebih besar daripada
pemberian secara oral. Dosis awal frusemid adalah 80 mg/hari dan
umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160
mg/hari. Menurut KDOQI (2015) bioavailabilitas furosemid tidak
dipengaruhi oleh CKD namun perlu dilakukan peningkatan dosis untuk
mencapai respon yang efektif. Pemberian dilakukan secara IV untuk
menghindari berkurangnya absorbsi (Oh et al., 2015). Menurut Kemenkes
RI (2016) obat furosemid telah berada dalam daftar BPJS sehingga obat ini
seusai dengan status jamkesmas pasien. Dosis yang diberikan pada pasien
tersebut adalah 80 mg/hari.

Oh et al (2015)

 Paracetamol
Kedua kaki pasien nyeri dan bengkak yang dapat disebabkan karena
ascites sehingga disarankan untuk diberianti inflamasi. Menurut Dipiro (2015)
first line antiinflamasi dalam manajemen nyeri adalah menggunakan
paracetamol atau NSAID. Menurut Phuong dkk., (2017) dan Phuong dkk.,
(2009) pada pasien gagal ginjal paracetamol lebih direkomendasikan karena
lebih aman dibandingkan dengan NSAID karena NSAID berisiko
memperparah kondisi pasien gagal ginjal. NSAID perlu dihindari pada pasien
moderate-severe CKD (Nderitu, 2013).Dosis paracetamol yang diberikan
yaitu 650 mg 4x sehari.
(Phuong, 2017)

(Phuong, 2009)

(Nderitu, 2013)

e. Terapi Mual
Pasien dalam kasus ini merupakan pasien End-Stage Renal Disease
(ESRD) yang memiliki common nonpain symtoms berupa uremia-associated
nausea(mual). Tatalaksana untuk mengatasi mual dapat menggunakan
ondansetron mg tiap 8 jam, metoklopramid 5 mg 2 kali sehari atau haloperidol
0,5 tiap 8 jam. Terapi yang dipilih yaitu metoklopramide dikarenakan
penggunaannya hanya 2 kali sehari sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pasien. Untuk penggunaan metoklopramide perlu ajustment dose 50 %
sehingga dosis yang diberikan yaitu 2,5 mg 2 kali sehari (O’connor and Amy,
2012).

f. Terapi Kebutuhan Cairan

 Infus Ringer Lactate


Menurut Hoorn (2017) pada kondisi hipertensi, pemberian normal salin
dapat memperburuk kondisi hipertensi karena efek hipertensif dari natrium
juga dipengaruhi oleh jumlah klorida. Selain itu pemberian normal salin dapat
meningkatkan kadar klorida dan menurunkan pH darah, sedangkan ringer’s
laktat tidak memiliki efek tersebut. Adanya hiperkloremi yang disebabkan
oleh peningkatan klorida karena NaCL, pada pasien diabetes dapat
menyebabkan diabetes asidosis hiperkloremia. Sehingga dipilih penggunaan
RL pada kasus ini.
Pasien mengalami CKD dan obese. Menurut NICE (2013) kebutuhan
cairan maintenance pada pasien dengan gangguan ginjal yaitu 20-25
ml/kgBB/hari dan pada pasien obese harus dihitung sesuai dengan Ideal Body
Weight (IBW).
Perhitungan Kebutuhan Cairan
= 20 ml/kgBB/hari x IBW
= 20 ml/kgBB/hari x 60 kg
= 1200 ml/hari
Perhitungan TPM
= (1200 ml x 20 tetes)
(60 menit x 24)
= 16,66 tpm setara 17 tpm

 Nocid (Asam Amino)


Nocid merupakan suplemen asam amino yang diindikasikan untuk
memenuhi kebutuhan asam amino pada pasien kondisi gagal ginjal kronis
(Bolasco et al., 2011 dan MIMS, 2018). Menurut Bolasco et al (2011)
penggunaan asam amino pada pasien hemodialisis dapat memperbaiki kadar
albumin dan total protein pada hipoalbuminemia. Pasien diberikan nocid
sebanyak 3 x 1 selama berada di rumah sakit sedangkan dalam MIMS dosis
penggunaan nocid adalah 3 x 1 sebanyak 4-8 kaplet sehingga dosis pemberian
nocid perlu untuk ditingkatkan.

 Putih Telur
Penanganan hipoalbuminemia tidak terbatas pada pemberian suplemen
oral saja tetapi bisa melalui nutrisi makanan putih telur sebanyak 80 gram 2
kali sehari selama 3 hari dapat meningkatkan kadar albumin sebanyak ± 0,7
g/dL (Susilawati, 2010).

7. Terapi MRS

Obat Dosis 16/8 17/8 18/8 19/8 20/8 21/8 22/8


75 150 75 150 150 75
Irbesartan 75 mg/hari
mg/hari mg/hari mg/hari mg/hari mg/hari mg/hari
Amlodipine 2,5 mg/hari V V V V V V
Metoklopramid 2,5 mg V
V V V V V
2 x sehari
Oksigen 2 lpm V V V V V V
Drib Furosemid 4 amp
V V V V V V
1x sehari
Paracetamol 650 mg 4x sehari. V V V
Infus RL 17 tpm V V V V V V
Epoetin Alfa 50 IU/kgBB, IV 3 V V V
kali/ minggu
Novorapid 3 x 6 U (RS), V V V V V V
3 x 1 sebanyak 4-8
Nocid V V V V V V
kaplet

8. Terapi KRS
Obat Dosis Cara Pemakaian
Irbesartan 150 mg (setelah Peroral 1 kali sehari
hemodialisis)
Amlodipine 2,5 mg Peroral 1 x sehari
50 IU/ kgBB, IV (3 9 x inj. IV
Epoetin Alfa
kali/ minggu) 9 kali IV
Furosemid 40 mg IV IV, 2 x sehari
Novorapid 3x4U IV, 3 x sehari
Nocid 4-8 kaplet Peroral 3 xsehari

9. Terapi Non Farmakologi


- malakukan latihan fisik, membatasi asupan gula dan garam
- Melakukan aktivitas fisik 3-4 kali per minggu kurang lebih selama 40
menit (JNC 8, 2014)
- Menyium aroma terapi dapat membantu mengurangi rasa mual
- Terapi non farmakologi hipokalemia dapat disarankan untuk konsumsi
makanan tinggi kalium seperti pisang, kiwi, jeruk, brokoli, wortel, dan
lain-lain (John et al., 2000).
- Pasien mengalami anemia sehingga disarankan makan sayur-sayuran
seperti bayam.

10. KIE (Konseling, Informasi, dan Edukasi)


a. KIE kepada dokter
 Tingkat nyeri pasien
 Edema pasien
 GDS tiap minggu, AIC tiap 3 bulan

b. KIE kepada perawat


 Cara pemberian obat untuk paien
 Mengecek TTV pasien seperti kadar saturasi oksigen, respiratory rate,
nadi

 Mengkonfirmasi kepada dokter terkait penggantian terapi yang


disarankan.
 Perlu dilakukan pengecekan kadar ferritin dan saturasi transferin pada
pasien untuk memutuskan perlu digunakan suplementasi besi sebagai
terapi adjuvant atau tidak.
 Pemberian Epoetin Alfa dengan dosis 50 IU/kgBB secara IV 3 kali
dalam seminggu.
 Pemberian infus RL diturunkan dosisnya menjadi 13 tpm.
 Perlu dilakukan monitoring gejala dan tanda anemia (Hb) setiap 1
minggu sekali.
 Perlu dilakukan monitoring adanya hipovolemi (edema kaki dan perut)
dan volume urin.
 Pengecekan tekanan darah pasien setiap hari.
 Monitoring kadarkaliumpasien

c. KIE Keluarga
 Cara penggunaan insulin pen yang benar, motivasi untuk selalu
menggunakan insulin
 Menyarankan pasien kompres air hangat untuk mengatasi nyeri
 Menjelaskan cara pemberian , penyimpan, aturan pemakaian dan
indikasi masing – masing obat yang diberikan
 Untuk obat antibiotik harus diminum sesuai aturan dan secara teratur
sampai habis. Walaupun gejala penyakitnya sudah membaik.
 Senantiasi mengiatkan pasien untuk patuh meminum obat.
 Meningkatkan motivasi untuk melaksanakan pola hidup sehat pada
pasien
 Menjelaskan cara pengaturan gaya hidup sehat pasien seperti batasi
asupan garam.
 Meningkatkan motivasi pasien untuk melaksanakan pola hidup sehat
dan mengurangi makanan yang mengandung purin.

11. Monitoring

OBAT Monitoring Target keberhasilan


Keberhasilan ESO
Novorapid Kadar Gula Normal Hipoglikemi GDS Normal
Irbesartan Pengecekan Frekuensi BAK Tekanan darah pasien
tekanan darah pasien menjadi <140/90
pasien setia phari berkurang
Amlodipine Pengecekan Pengecekan apabila Tekanan darah
tekanan darah terjadi peningkatan pasien<140/90
pasien setiap hari nadi dan pasien
merasa dada sesak
Furosemid Menghilangkan Diare,anemia,anapi Volume cairan efusi
cairan pada efusi laksis ,anoreksia pleura, asites, dan
pleura, edema edema pulmo
pulmo dan asites berkurang.
Monitoring setiap
hari

Metoklopram Memonitoring Sakit kepala, pusing, Mual pasien


id mual pasien gelisah tertangani
Epoetin Alfa Nilai Hb, Hct, Demam (10-42%) Hb: 11-12 g/dL
Eritrosit, MCV, Mual (11-35%) Setiap 1 kali/ minggu
MCH Hipertensi (14-27%) selama 4 minggu.
Batuk (4-26%) (KDOQI, 2006)
Muntah (12-28%)
Pruritus (12-21%)
Ruam (2-19%)
Sakit kepala (5-18%)
Arthralgia (10-16%)
(Medscape, 2017)
D. Kesimpulan

Problem medik pasien sesuai diagnose adalah CKD, HT, DM Tipe 2,


Asites. Terdapat beberapa DRP dalam pengobatan pasien Ny. M yaitu Terapi
terdapat terapi yang lebih efektif ceftriaxon, Asam Folat, Infus Nacl, inj Ca
Glaukonas, inj Bicnat ,dan Kalitake. Terapi yang diberikan terlalu banyak
Infus RL, amlodipine dan irbesartan. Terdapatinidikasi penyakit tetapi belum
diterapi Paracetamol, oksigen dan Metoklopramid.
DAFTAR PUSTAKA

.Beahm, N.P., Nicolle, L.E., Bursey, A., Smyth, D.J., Tsuyuki, R.T., 2017, The
assessment and management of urinary tract infections in adults : Guidelines for
pharmacists, CPJ/RPC, 150 (5) : 298-305
Beatriz, Vargas-Santos, Neogi, Tuhina, MD, PhD, 2017, Management of Gout and
Hyperuricemia in CKD, Am J Kidney Dis. 2017;70(3):422-439.

BMJ, 2017, BTS Guideline For Oxygen Use in Adults in Healthcare and Emergency
Settings, Thorax an International Journal Of Respiratory Medicine, 72 : i1-j90.

Cheng AYY, Zinman B. Chapter 39: principles of insulin therapy. In: Kahn CR,
Weir GC, King GL, et al., editors. Joslin’s Diabetes Mellitus. Boston, MA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005. pp. 559–670

College of Respiratory Therapist of Ontario, 2013, Oxygen Therapy Clinical Best


Practice Guideline, 22.

Daugirdas, J. T., 2007, Physiologic Principles and Urea Kinetic Modeling . In J. T.


Daugirdas, P. G. Blake, & T. S. Ing, Handbook of Dialysis fourth edition,
Lippincott Williams & Wilkins,Philadelpia.

Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M., Barbara, G.W., L.Michael P,
2015, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th Edition, New
York: Mc Graw Hill.

Donald, N.G., Amy, G., 2017, Asymptomatic Bacteriuria,


file:///D:/PSPA/Tutor/Asymptomatic%20Bacteriuria%20-%20StatPearls%20-
%20NCBI%20Bookshelf.html, diakses tanggal 30 Oktober 2018.

Hoorn, E.J., 2017, Intravenous flids: balancing solutions, J Nephrol, 30:485–492


Jodie L. Babitt & Herbert Y. Lin, 2012, Mechanisms of Anemia in CKD, J Am
SocNephro, l23:1631–1634.
JNC-8. 2014. The Eight Report of the Joint National Committee. Hypertension
Guidelines: An In-Depth Guide. Am J Manag Care.
KDIGO, 2012, KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney
Disease, Official Journal Of The International Society Of Nephrology, 2(4).
KDOQI, 2006, Anemia In Chronic Kidney Disease In Adults, American Journal of
Kidney Diseases, 47(5):S54-S57.
Kemenkes RI, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta.
Kemenkes RI, 2016, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.02.02/Menkes/137/2016 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/523/2015 Tentang Formularium Nasional,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Kopke, A., Greeffa, OBW, 2015, Hyperuricaemia and gout, South African Family
Practice 2015; 57(1):6-12.

Loughnan, A., Ali, G. R., Abeygunasekara, S. C., 2011, Comparison of the


Therapeutic Efficacy of Epoetin Beta and Epoetin Alfa in Maintenance Phase
Hemodialysis Patients, Renal Failure, 33(3):373-375.
Medscape, 2017, Epoetin Alfa, http://reference.medscape.com/drug/epogen-procrit-
epoetin-alfa-342151#0, diakses pada tanggal 21 Maret 2017.
Nderitu P, Doos L, Jones PW, Davies SJ, Kadam UT, 2013, Non-steroidal anti-
inflammatory drugs and chronic kidney disease progression: a systematic
review.Fam Pract., (3):247-55.

NICE, 2013, Intravenous fluid therapy in adults in hospital Clinical Guideline,


nice.org.uk/guidance/cg174.
NIH, 2011, Your Guide To Anemia, US Department of Health and Human Services :
United State.
Oh, S. W., and Han, S.Y., 2015. Loop Diuretics in Clinical Practice. Electrolyte
Blood Press 13:17-21.
O’connor, M., and Amy, M. C., 2012, End-Stage Renal Disease: Symptom
Management and Advance Care Planning, American Family Physician, 85 (7) :
1-6.
PERKI, 2015, PedomanTatalaksanaHipertensi pada PenyakitKardiovaskular, edisi
pert., PerhimpunanDokterSpesialisKardiovaskular Indonesia, Jakarta.

Phuong-Chi T. Pham, Edgar Toscano, Phuong-Mai T. Pham, Phuong-Anh T. Pham,


SonV.Pham, dan Phuong-Thu T. Pham, 2009. Pain management in patients
with chronic kidney disease, J. Nephrology Dialysis Transplantation, 2: 111–
118.
Phuong Chi T. Pham, Kathy Khaing, Theodore M. Sievers, Phuong Mai Pham,
Jeffrey M. Miller, Son V. Pham, Phuong Anh Pham, dan Phuong Thu Pham,
2017 update on pain management in patients with chronic kidney disease,
Clinical Kidney Journal, vol. 10, no. 5, 688–697
Razi, Ahmad, et al. 2016. Management of hypertension in patient with end stage renal
disease leading to hemodialysis. International journal of advance in medicines
3(4):790-798

Runyon, Bruce A, 2012, Management of Adult Patients with Ascites Due to


Cirrhosis, The American Association for the Study of Liver Diseases.

Sandoval, J.C.R., Madero, M., 2018, Treatment of Hyperuricemia in Chronic Kidney


Disease, Treviño-Becerra A, Iseki K (eds): Uric Acid in Chronic Kidney
Disease. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2018, vol 192, pp 135–146 ( DOI:
10.1159/000484288 )

Sendi, P., Borens, O., Wahl, P., Clauss, M., Uckay, I., 2017, Management of
Asymptomatic Bacteriuria, Urinary Catheters and Symptomatic Urinary Tract
Infections in Patients Undergoing Surgery for Joint Replacement: A Position
Paper of the Expert Group 'Infection' of swissorthopaedics, J. Bone Joint Infect.
, 2(3) : 154-159

Smeltzer C, Suzanne, dan Brenda G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatanmedikal


Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Alih Bahasa Agung Waluyo, Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta .
Sudaryo, Aru W et al. IlmuPenyakitDalamJilid II. Edisi 4.Buku Ajar FK UI, 2006.

Kidney Health Australia, 2015, Chronic Kidney Disease (CKD) Management in


Practice 3rd Edition, Kidney Health Australia, Melbourne.

KDOQI, 2002, Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification, National Kidney Foundation, New York.

WHO, 2011, Clinical Transfusion Practice, Guideline For Medical, Bangladesh.


Price, S.A and Wilson, L.M., 2005, Patofisiologi: KonsepKlinis Proses-Proses
Penyakit, EGC, Jakarta.

Thomas, N., 2003, Renal Nursing 2nd Edition, Elsevier Science, Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai