Anda di halaman 1dari 4

ORANG-ORANG PAJANGAN

Sore itu begitu riuh. Aku, dengan sebatang rokok masih saja tersenyum memperhatikan
orang-orang yang sibuk menikmati waktu mereka. Menikmati musik-musik koplo yang
diperdengarkan oleh para seniman jalanan, atau juga menikmatin paduan suara dari orasi yang lalu
lalang di tempat itu. Aku rasa keberuntungan akan dapat kepadaku sebab banyaknya umat-umat yang
bersandiwara diatas panggung itu. Kulangkahkan kakiku diantara jalan setapak. Mataku tertarik oleh
kerumunan orang dengan sepanduk dan baliho besar yang menuliskan kata-kata yang umpatan.

“Selamat datang di negara terbebas dalam hal menuntut”

Kuhampiri orasi sangat kontras sebelah kananku. Terlihat jelas mereka dari kalangan elit.
Sepatu pantofel kilat dan ikat pinggang dengan standar logo crocodile.

“Mari bersama untuk memajukan keadilan. Kita tidak bodoh. Kita adalah masyarakat berpendidikan,
apa mereka berpikir bahwa kita dapat dibodohi? Tidak!” teriaknya di tengah kegaduhan suara
penuntut.

Apa yang dituntut kalangan penguasa ini? Bukankah mereka punya segala hal didunia ini
untuk apa mereka menuntut lagi, mereka punya tombol kendali di kantong mereka. Sembari
menghabiskan puntungan rokokku aku masih saja memperhatikan orasi itu, banyak sekali antek-
anteknya mulai dari kalangan ibu-ibu sampai pemuda-pemuda yang sekarang tengah menenteng jas
yang kupikir adalah almamater kebanggaan kampusnya.

“Bila semakin melambungnya harga BBM lalu kita mau makan apa?”

“Betul!” setuju massa yang berada dibawah panggung besar itu.

“Bila hanya harga BBM yang naik tidak apa-apa, cumannya harga pangan juga harusnya turun, untuk
meringankan masyarakat, setuju?” gaung seorang lelaki berperut mobil pertamina, entahlah hanya
saja aku melihatnya seperti itu.

“Turunkan BBM bapak presiden, sebab kami bukanlah orang kaya. Tolong kasihani kami masyarakat
kecil ini, Bapak presiden”

Kubuang rokok yang sudah kandas. Aku jijik mendengar kata-kata mereka. Katanya dia tidak
dapat membeli BBM tapi dia bisa memakai setelan khas kalangan orang elit itu. Dan lihatlah para
orang-orang bodoh yang bersama mereka, mata mereka tidak dapat melihat kebenarannya lagi dan
hanya ikut melolong seakan menyahuti pimpinannya. Inilah contoh orang-orang yang sekolahnya
hanya sampai depan gerbang sekolah. Apa mereka tidak tau apa gunanya pajak bagi negara?

Muakku telah memenuhi urat-urat nadi dari pada mendengar ocehan mereka lebih baik aku
melancarkan aksiku. Aku berjalan lebih dekat dengan mereka, menghampiri mereka satu persatu.
Jelas, kantong mereka tebal oleh lembaran puluhan rupiah.

“Bapak-bapak ....”

“Gak.” Potong lelaki berambut botak licin yang sedang berdiri dengan angkuhnya diantara orasi
tersebut.

“Bang, saya ....”

“Gak ada bang, gak punya duit. Periksa saja kantongku bang, lagi bokek aku ini.” Pemuda berjas itu
menunjukkan dompet berwarna biru tua yang hanya berisikan kertas-kertas dari Indomaret. Mungkin
ada sekitar segepok.
“Belum lagi aku selesai ngomong sudah dipotong terus pergi gitu aja. Dasar manusia-manusia pelit,
semoga tuntutan mereka tidak didengar pemerintah. Apa dia pikir dia aja yang mau makan? Kami
juga. Bayar pajak susah, ngasih sedikit rupiah pun gak, dasar manusia rakus.”

Langkah sepatuku mengajak keluar dari orang-orang pelit itu. Mataku seketika terpesona
dengan seorang nenek penjual kerupuk. Dia tengah dikerumuni oleh para ibu-ibu yang mungkin
sedang memilih-milih barang jajahannya. Dengan rasa dongkol kuhampiri nenek itu, kulampiaskan
rasa kesalku pada dua bungkus kerupuk peyek kacang jajahan nenek itu.

“Udah berapa lakunya, Nek?”

“Sudah mau habis paling tinggal 7 bungkus lagi, kau udah berapa ribu dapat?” tanyanya yang tak
menghilangkan senyum khas seorang nenek.

“Cuman tiga puluh ribu ini pun belum dikurang lima ribu buat bayar peyek. Aduh, padahal udah sore
kali ini” tuturku sembari memberi selembar kertas dari hasil hari ini.

“Jangan mengeluh, karna mengeluh pun gak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sepanjang
masih bisa berjalan lakukanlah. Nenek aja sudah tiga puluh delapan tahun jualan di lapangan merdeka
ini gak pernah mengeluh. Ya, walaupun karna memang gak bisa jalan lagi dan harus pake tongkat”

“Iya, Nek iya. Setiap jumpa kenak siraman sabda terus. Yaudahlah, mau pigi dulu aku siapa tau ada
yang mau beli” kutinggal nenek itu dan jajahannya yang hanya tinggal beberapa bungkus lagi.

Sebelah kiriku terlihat ada orasi lagi. Berbeda dengan orasi sebelas sana, disini tidak ada
panggung, tidak ada mic bahkan kursi untuk mereka. Mereka hanya duduk berlapiskan sendal jepit
kebanggaan mereka. Lihatlah, betapa dekilnya sendal itu. lumpur, pasir, dan rumput menyatuh
disendal jepitnya. Jika dilihat, topi ayaman bambu, baju kaos berlapis kemeja yang compang-camping
ditambah lagi sedal jepit, dia seorang petani. Sejenak aku berpikir, ada apa dengan mereka? Apa
mereka juga menuntut hal yang sama? Tapi tunggu dulu apa yang ditulis mereka?

Kami ingin tanah kami jangan diambil secara paksa. Kami ingin tanah kami. Kami punya hak untuk
tanah indonesia.

Apa yang terjadi dengan tanah mereka? Apa tanah mereka digusur? Entahlah tapi aku kasihan
dengan mereka walaupun keadaanku lebih parah dari mereka. Aku akan lebih setuju kalau tuntutan
mereka yang didengarkan oleh pemerintah. Kuperhatikan lebih lagi, tidak begitu ramai kurang lebih
hanya dua puluhan orang tapi lihatlah berapa tangguhnya mereka dengan kekuatan dari emak-emak,
mereka akan berhasil pikirku.

“Kita harus menuntut hak kita, kita tidak boleh diusir dari tempat tinggal kita” suara itu dari pria
berambut warna matahari saat meninggalkan bumi.

“Mari sama-sama menyuarakan suara kita, para petani”

bila satu tangan tidak mampu berjuang, satu tangan lainnya akan membantu mengangkat, bila kedua
tangan tidak sanggup maka tangan yang lain akan membantu, karna bila bersama-sama kita kuat.

Miris sekali rasanya mendengar sorak-sorak orasi tersebut. Tanah mereka diambil secara
paksa. Terasa kejam setiap inci pada kebijakan pemerintah, apa mereka tidak memandang orang-
orang seperti kami ini? Lihatlah, orang yang memakai sepatu boot berwarna kulit kuda yang
senantiasa berada diantara para ibu-ibu orasi ini. Sungguh murah hati sekali dia ikut turun dalam
kegiatan seperti ini, melihat dirinya dengan jam yang kutaksir berharga jutaan rupiah dan kalau tidak
salah, dia pemilik mobil berwarna hitam yang sudah beberapa hari terakhir diminggu in datang
ketempat ini.

“Kita akan selalu menjadi orang-orang yang bungkam bila kita tidak bersuara, jadi mari kita berjuang
untuk suara kalangan kita dan saya pastikan, saya akan bersama orang-orang dari kalangan yang
suaranya tidak didengar oleh pemerintah kita” ucap lelaki bersepatu boot tersebut dengan lugas dan
siap mengambil aba-aba untuk menjadi pemandu sorak-sorak mereka lagi.

bila satu kaki tidak mampu berjuang, satu kaki lainnya akan membantu berdiri, bila kedua kaki tidak
sanggup maka kaki yang lain akan membantu, karna bila bersama-sama kita kuat.

Lelaki bermobil itu, sepertinya aku mengenalnya tapi dimana? Aku hanya seorang penjual air
mineral dan sepertinya kedua orangtuaku tidak pernah menyebutkan bahwa aku memiliki keluarga
terpandang seperti lelaki itu, tapi kenapa aku stak asing melihat lelaki berjam rolex berwarna titanium
tersebut. Sekilas kulihat saku belakang lelaki tersebut mengembang, sepertinya dia banyak
menyimpang lembaran uang, baiklah sepertinya dia akan membantuku untuk makan malam ini.

“Permisi, Pak” seruku penuh keberanian seperti biasa

“Iya?”

“kayaknya, Bapak kelelahan, lagianpun hari ini begitu panas apa tidah haus, Pak?”

“Iya, hari ini memang panas. Tapi tak masalah, setelah hari ini selesai, maka aku akan berteduh
diruangan full AC dan bersantai diatas kursi ” jawabnya memelan sembari terseyum sarkastik
menurutku.

“Baiklah, kalo begitu selagi menunggu acaranya selesai bagaimana kalau bapak membeli beberapa air
mineral saya dan lihatlah orang-orang yang berorasi itu, mereka juga sepertinya kehausan. Bapaktidak
ingin dipandang menelantarkan mereka, bukan?” godaku yang mulai meraba-raba situasi.

“Hem, benar juga baiklah bawa semua barang daganganmu, aku akan membeli semuanya”

“Serius, Bapak mau belik semua? Kalo gitu tunggu sebentar biar saya bawa semuanya, Pak”

Bersemangat kuangat semua barang daganganku kesana dan kujajahkan semuanya, tidak ada
satupun kutinggalkan. Hari ini memang hari keberuntunganku walaupun aku harus memanfaatkan
orang lain namun, itulah cara untuk bertahan hidup. Aku pergi dari orasi tersebut, namun sebelumnya
kuperhatikan wajah bahagia para masa diorasi itu, sunggu miris jika mereka tau ada selimut yang
menutupi sisi serigala lelaki itu.

Hari sudah semakin larut, lampu-lampu jalan telah mencetak bayangan disekitarnya. Hari ini
sepertinya dewi Fortuna sedang mengasihani aku makanya penghasilanku hari ini berlipat-lipat
gandanya. Kulangkahkan kakiku di jalan setapak, menyusuri jalan yang tidak jauh lagi menuju
gerbang keluar. Pandanganku teralih oleh bayang seseorang kujumpai sore tadi. Dia duduk di satu
kursi taman di lapangan itu. lihatlah, betapa rakusnya dia memakan nasi bungkus dihadapannya.

“Apa kau punya air minum?” tanyaku sembari meletakkan botol minum yang segaja kusisahkan
untukku

“Oh, makasih bang. Udah habis pulak minumku, sekali lagi makasih bang.” Ucapnya sebelum
menengguk air didalam botol itu.

“Anak rantau?”

“Tau-tau aja abang ya”

“Orang yang hidup di jalan pasti tau, soalnya tingkahmu tadi terlalu barbar—“ mengalihkan
pandangku ke lautan bintang diatas kepala.

“Sekali lagi, kalo mau ikut jangan bawak almamater kebanggaan kampusmu itu ketempat seperti ini.”
Sambungku
“Kek mana lagilah, Bang tadi pas dibilang kawanku ada makan dikasih langsung kesini aku. Lumayan
dua bungkus dapat—” senyumnya menunjukan sebungkus makanan yang belum dimakannya.

“Ini masih ada satu lagi, sama abanglah nah, udah kenyang aku”

“Betul? Nanti gak makan pulak lagi kau di kost mu”

“Kupikir tadi gak cukup satu. Eh, satu aja udah kenyang aku, terlalu rakus rasanya aku bah”

“Yaudah, makasih ya. Pas kali belum makan aku” meraih bukusan itu

“Tadi kudapat juga kue-kue bungkus dari lapak sebelak, lumayanlah. Pas di tempat jualan abang yang
diborong sama calon DPRD itu yang banyak ibu-ibunya itu.”

Anda mungkin juga menyukai