Anda di halaman 1dari 17

Sastra Karo

Disusun untuk memenuhi tugas Sastra Nusantara

Oleh:
1 Sry putrika sebayang (173306010086)
2 Lidia simamora (173306010029)
3 Polma Juliati (173306010084)
4 Jesika Anatasya (173306010028)
5 Inka Indriani (173306010084)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2018
Kata pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, berkah dan
nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok ini tepat pada
waktunya. Dimana tugas kelompok ini ditujukan untuk melengkapi penyusunan Tugas
kelompok Jurusan Bahasa Indonesia dengan topik “Sastra Karo”

Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada ibu Wahyu Ningsih, S.Pd. Selaku dosen
pembimbing mata kuliah Sastra Nusantara ,yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengerjakan tugas tentang “Sastra Karo”.

Makalah ini disusun untuk semua kalangan masyarakat.penulis.dan penulis juga


mengharapakan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini sekian
dan terimakasih.

Medan, 26 April 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata pengantar............................................................................................... i

Daftar isi.......................................................................................................... ii

BAB 1
PENDAHUALUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2

C. Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB 2
PEMBAHASAN

A.Perkembangan Sastra Karo.............................................................................. 3

1.Era klasik...................................................................................................... 3

2.Era modern...................................................................................................... 4

B. Folkor, Tradisi Lisan, Sastra Lisan, dan Sastra Tulis( Aksara Karo)................ 5

1.Folklor, Tradisi Lisan dan Sastra Lisan............................................................. 5

2.Ciri-ciri dan bentuk sastra lisan......................................................................... 6

a.Bentuk puisi.................................................................................................. 7

b.Bentuk prosa liris.......................................................................................... 9

c.Bentuk prosa................................................................................................. 10

3.Sastra Tulis (Aksara Karo)............................................................................... 10

a.Anak surat.................................................................................................... 11

b.Penengen/pemantik...................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 13

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Karo.
Ruang lingkup penggunaan bahasa tersebut hanya pada tempat tinggal yang
masyarakatnya mayoritas suku-suku Karo. Dalam percakapan sehari-hari,
masyarakat Karo tidak memerlukan susunan bahasa yang teratur sekali. Yang
perlu adalah pemahaman tentang bahasa yang digunakan.

Kendati pun demikian, penggunaan bahasa Karo yang benar dan baik tetap
diperlukan karena dengan cara demikian akan memberikan suatu gambaran bagi
pendengar bahwa yang berbicara memiliki wibawa serta dapat dipercaya.
Pemilihan dan penempatan kata-kata yang tepat pada suatu kalimat akan
menciptakan suasana tersendiri, dengan kata lalin di dalamnya telah terdapat
unsur yang menarik dan indah didengar. Itu telah berarti terjalinnya suatu
bahasa bernilai seni sastra atau kesusastraan. Seni sastra itu sendiri dalam
bahasa Karo dapat digolongkan dengan pengertian Cakap-Lumat.Seni sastra
(cakap lumat)oleh masyarakat Karo digunakan dalam suasana tertentu. Untuk
lebih memperindah dan untuk membuat lebih menarik, seni sastra yang
digunakan terkadang harus diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan,
pantun, dan gurindam.

Hasil karya sastra masyarakat Karo umumnya terlestarikan lewat mulut- ke


mulut dan saat ini sudah ada beberapa hasil karya tersebut yang dibukukan.
Hasil tersebut, baik dalam rupa pantun, gurindam, perbandingan (anding-
anding), bintang-bintang (mirip dengan pantun), bilang-bilang (cetusan rasa
sedih), cerita berupa mitos, dan legenda. Beberapa cerita, dongeng, dan legenda
yang telah jamak dikenal oleh masyarakat Karo adalah;cerita Putri Hijau,
Sibayak Barusjahe, Pawang Ternalem Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga
Kuning, dan Si Beru Karo Basukum.

1
B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan perkembangan sastra karo


2. Menjelaskan pengertian, ciri-ciri, bentuk Folklor, Tradisi Lisan dan
Sastra Lisan

C. Tujuan

1. Dapat memahami perkembangan sastra karo


2. Dapat menjelaskan pengertian, ciri-ciri, dan bentuk dari Folkor, Tradisi Lisan,
Sastra Lisan, dan Sastra Tulis( Aksara Karo)

2
BAB II
PEMBAHASAN
SASTRA KARO

A.Perkembangan Sastra Karo


Sejak kapankah sastra Karo ada? Sejauh penelitian yang dilakukan, tidak ada yang tahu
pasti tentang masa perkembangan sastra Karo. Namun, untuk memudahkan penelaahan,
perkembangan sastra Karo dapat dibagi dalam dua masa, yakni Era Klasik dan Era Modern.

a. Era Klasik

Yang dimaksud dengan Era Klasik, adalah karya sastra yang lahir sebelum 28 Oktober
1928, yang bercorak cipta kedaerahan. Tema-tema yang di usung, lebih mengedepankan
dongeng dan mitos. Seperti, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan bisa berbicara. Peperangan
antara gunung sibayak dan sinabung. Seperti kisah Ampie Ampio. Ampie ampio melukiskan
suara siulan untuk memanggil burung. Cerita rakyat Karo ini berkisahkan tentang suami-istri
yang berubah menjadi burung. Hal ini dikarenakan anak-anak mereka sangat malas, suka
melawan orangtua dan suka berkelahi satu sama lain. Meskipun telah dinasehati berkali-kali,
tetap saja tidak ada pertobatan dari anak-anak tersebut. Karena keputusasaan, akhirnya ayah
dan ibu mereka berdoa, bersumpah dan meminta agar takdir kehidupannya dirubah apabila
anak-anak mereka tetap tidak berubah.

Doa ayah dan ibu tersebut dianggap angin lalu oleh anak-anak mereka. Di penghujung
keputusasaan, akhirnya orangtua mereka meminta kepada Penguasa Kehidupan, agar diri
mereka diubah menjadi burung yang akan terbang kesana-kemari. Sehingga diri mereka
terlepas dari beban penderitaan hidup. AKhirnya, sepasang suami istri tersebut berubah
menjadi sepasang burung.

Semenjak kejadian ini, perubahan drastis terjadi pada anak-anak mereka yang merasakan
kehilangan mendalam. Mereka sangat menyesali tingkah laku mereka. Yang tadinya malas
dan suka bertengkar, tiba-tiba menjadi akur dan rajin sekali. Setiap senja tiba, anak-anak
mereka selalu bernyanyi sambil menengadah ke langit;

Ampie ampio, sora kami erlebuh bandu

Ampie ampio, ulihi kami nande bapa kami

Ampie ampio, ukur metedeh kami la erngadi-ngadi

3
Artinya:

Ampie ampio, suara kami memanggil-manggil dirimu.

Ampie ampio, kembalilah kepada kami wahai ayah ibu kami

Ampie ampio, rasa rindu di hati kami datang tiada hentinya

Penyesalan selalu datang terlambat. Ayah ibu mereka tidak dapat lagi berubah menjadi
manusia. Kisah ini sering dijadikan orangtua sebagai dongeng bagi anak-anak mereka
sebelum tidur. Dongeng ini memiliki amanah utama, agar anak-anak tidak malas, cinta
orangtua dan akur dengan saudara-saudaranya. Amanah tambahan, agar manusia juga
mencintai margasatwa yang ada. Karena di ujung cerita diungkapkan, anak-anak tersebut
tidak lagi mengenal burung yang mana yang menjadi jelmaan orangtua mereka. Akhirnya,
mereka sangat mencintai setiap burung. Dan setiap senja, mereka menaburkan makanan
burung di halaman rumah mereka. Dengan harapan, dari puluhan burung yang datang untuk
makan, dua diantaranya adalah orangtua mereka.

b. Era Modern

Era Modern ditandai dengan lahirnya nasionalitas Indonesia dengan pengakuan secara resmi
bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Meskipun demikian, penulis belum ada
menemukan karya sastra Karo yang bertemakan nasionalitas Indonesia pada masa tersebut.
Walaupun begitu, setidaknya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga membahana ke
bumi turang meski terlambat beberapa waktu, karena minimnya sarana komunikasi. Tema-
tema yang diusung, didominasi oleh gambaran kehidupan social kemasyarakatan.

Pemandangan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada sastra Indonesia. Beragam pendapat
muncul perihal tonggak kelahiran kesusastraan Indonesia. Menurut pandangan Nugroho
Notosusanto sebagaimana dikemukakan Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 1995, kesusastraan Indonesia lahir seiring
berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yang pertama, yakni Budi Utomo,
pada 20 Mei 1908.

Namun, penentuan kelahiran tersebut, harus juga didasarkan pada adanya karya sastra nyata,
yang bersifat nasional. Kenyataannya, pada tanggal tersebut belum ada karya sastra yang
bersifat nasional Indonesia. Ada karya sastra yang terbit sekitar tahun 1920 yang telah berciri
nasional dengan bahasa Indonesia. Yakni, roman Student Hidjo karya Mas Marco, 1919 dan
Hikayat Kadirun karya Semaun, 1920. Sementara pengakuan secara resmi perihal bahasa,
bangsa dan tanah air Indonesia baru dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.

4
Pergumulan dan kegelisahan perihal bunga rampai sastra daerah dan nasional, tidaklah perlu
dianggap sebagai penghalang. Tetapi akan lebih nikmat bila dijadikan santapan awal guna
menggeluti lebih jauh perihal khasanah sastra. Lebih baik menjaga dan melestarikan apa yang
masih tersisa, sembari tetap mencari apa yang masih terasa hilang.

Secara tidak langsung, mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra
Indonesia. Sebab, khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan
daerah yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi kegelisahan,
adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak tenggelam diantara `hiruk pikuk`
kesusasteraan di Indonesia.

Agar sastra Karo dapat dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus
memakai `jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin
dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal
menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.

Sementara, penilaian akan kualitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini
tergantung `kaca mata` penelaahan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan
tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya. Penilaian
tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya untuk menggali dan
mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era Karo Klasik dan Era Karo
Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan cerminan sosial sebuah peradaban
yang mengandung amanah-amanah kehidupan. Sebagaimana kaidah sastra, maka dia akan
berkembang dan tumbuh seiring zamannya.

B. Folklor, Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sastra Tulis (Aksara


Karo)

a. Folklor, Tradisi Lisan dan Sastra Lisan

Folklor sering dikacaukan dengan tradisi dan sastra lisan. Sebagai istilah menurut Bouman
(1992: 29-30) folklor diadopsi dari bahasa Jerman (volkskunde), pertama kali digunakan
tahun 1846 oleh William John Thoms. Meskipun demikian dalam perkembangan berikut
secara etimologis leksikal folklore (folklore) dianggap berasal dari bahasa Inggris, dari akar
kata folk (rakyat, bangsa, kolektivitas tertentu) dan lore (adat istiadat, kebiasaan). Jadi, lore
adalah keseluruhan aktivitas, dalam hubungan iniaktivitas kelisanan dari folk. Dalam
hubungan inilah folklor, yaitu kelisanan itu sendiri, sebagai oralty (Ong, 1982)
dipertentangkan dengan keberaksaraan, literacy.

5
Brunvand (dalam Hutomo, 1991: 8) membedakan folklor menjadi tiga macam, yaiu folklor
lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan
(nonverbal folklore). Secara praktis ketiganya dapat dikenali melalui bentuk masing-masing,
yaitu oral (mentifact), sosial (socifact), dan material (artifact).

Folklor lisan terdiri atas ungkapan tradisional (pepatah, pribahasa, semboyan), nyanyian
rakyat, bahasa rakyat, teka-teki, dan cerita rakyat. Folklor setengah lisan, di antaranya: drama
rakyat, tari, upacara, permainan dan hiburan rakyat, dan pesta rakyat. Folklor nonlisan, di
antaranya: material (mainan, makanan, arsitektur, alat-alat musik, pakaian, perhiasan, obat-
obatan, dan sebagainya) dan bukan material (bunyi musik, bahasa isyarat). Folklor lisan
dalam hubungan ini disamakan dengan sastra lisan, sedangkan folklor setengah lisan dan
nonlisan termasuk tradisi lisan.

Dalam hal ini yang dipermasalahkan adalah dua istilah terakhir, yaitu tradisi dan sastra
lisan. Secara definisi tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup
secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra yang
dikemukakan secara lisan. Jadi, tradisi lisan membicarakan tradisinya, sedangkan sastra lisan
masalah sastranya. Sebagai sumber informasi antropologi sastra jelas berkaitan baik dengan
tradisi lisan maupun sastra lisan. Artinya, dalam proses kreatif, kedua objek, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat menyumbangkan berbagai masalah dalam rangka
penyusunan suatu karya sastra.

b. Ciri-ciri dan Bentuk Sastra Lisan

Tidak hanya sastra lisan Karo, tetapi semua sastra-sastra daerah pasti memiliki ciri-ciri.
Berikut ini adalah ciri-ciri sastra lisan.

 Penyebarannya dilakukan dari mulut ke mulut. Oleh karena itu pula pada umumnya
terdiri atas beberapa versi dan tidak ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas
untuk menyalinnya.
 Pada umumnya hidup dalam masyarakat tradisional.
 Dianggap sebagai milik masyarakat bersama.

Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa sastra lisan hidup subur di wilayah-wilayah yang
tradisi tulisnya belum maju.

Menurut bentuknya, sastra lisan Karo itu dapat dibedakan atas tiga bentuk yaitu:

1. Bentuk puisi

2. Bentuk prosa liris

3. Bentuk prosa

6
1. Bentuk Puisi

 NdungNdungen, Dapat disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4


baris bersajak abad. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir
merupakan isi.

Contoh:

Isuan buluh belin : Ditanam bambu besar

Tehndu bulung pagi man rabin : Kamu tahu daun yang harus dibersihkan

Adi sereh kam man parang mbelin : Kalau kamu kawin dengan duda

Kam naring pagi man tami-tamin : Hanya kamu nanti yang dipuja-puja

Mehuli page i Sabah Lulang : Bagus padi di Sawah Lulang

Ulin denga pagi i Bekilang : Lebih bagus padi di Bekilang

Mesui tading melumang : Sakit hidup yatim piatu

Suin denga si kita sirang : Lebih sakit lagi kita berpisah

 Cakap lumat atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih,
perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain.

a. Bahasa Kias

Contoh: Biang nangko beltu-beltu, kambing ipekpeki

Artinya: Anjing yang mencuri daging, kambing yang dipukuli

“Dikiaskan kepada orang yang menghukum orang yang tidak bersalah, lain yang bersalah,
lain yang mendapat hukuman.”

Contoh: Pengindo sikaciwer, adi udan erkubang-kubang adi lego rabu-abu.

Artinya: Nasib kencur, bila hujan berkubang-kubang, bila kemarau berabu-abu.

“Dikiaskan kepada orang yang selalu mendapat kesusahan (pikiran kusut).”

b. Pepatah-petitih

Contoh: Adi pang ridi ula mbiar litap

Artinya: kalau berani mandi jangan takut basah


Maksudnya: kalau berani melakukan sesuatu perbuatan harus berani pula menanggung
resikonya.

Contoh: Siksik lebe maka tindes

Artinya: Dicari terlebih dahulu baru dibunuh

Maksudnya: pikirkan terlebih dahulu baru diambil keputusan.

c. Perumpamaan

Contoh: Bagi nimai buah parimbalang, erbunga pe lang apai ka erbuah.

Artinya: Seperti menanti buah parimbalang, berbunga pun tidak konon pula berbuah.

“Diumpamakan kepada orang yang mengharapkan sesuatu yang tak mungkin diperoleh.”

Contoh: Bagi kurmak sampe rakit, nggeluh erpala-pala mate terbiar-biar.

Artinya: Seperti kerakap tumbuh di batu hidup segan mati tak mau.

“Diumpamakan kepada yang susah penghidupannya, mungkin disebabkan oleh penyakit yang
dideritanya, badan sudah kurus, harta sudah habis, tetapi ia tak mati-mati.”

d. Pantun

Contoh: Tah kurung tah labang

Tah surung tah lahang

Artinya: Entah jangkrik tanah

Entah jangkrik ilalang

Entah jadi entah tidak

Contoh: Sere-sere sala gundi

Siarah lebe arah pudi

Artinya: Sere-sere sala gundi

Yang di depan menjadi ke belakang.

e. Teka-teki (kuning-kuningen)
Contoh:

 Tulihken reh dohna. Kai?

Artinya: Semakin dilihat kebelakang semakin jauh, apakah itu?

Jawabnya: cuping ‘ Telinga’

 Nguda-ngudana erbaju ratah

Tua-tuana erbaju gara. Kai?

Artinya: Pada waktu muda berbaju hitam

Pada waktu tuanya berbaju merah. Apakah itu?

Jawabnya: Lacina ‘cabai’

 Tabas atau ‘mantra’ umumnya hanya dukun yang mengetahuinya. Konon kabarnya
kalau mantra itu sudah diketahui oleh orang banyak maka keampuhannya akan
hilang. Tabas (mantra) dilantunkan kepada roh-roh untuk upacara penyembuhan
Batak Karo.

Contoh: Kun payakun, Kun kata Allah paya kun kata Muhammad, hukum kata Ali. Nuri pa
Tujum kabul aku perkasih, durma si Alam keturunan Nabi Ullah, nasa ula aku terukum si dua
mata sah mmat si dua mata. Mmat, mmat, mmat, mmat, mmat, mmat, mmat.

Artinya: Tunduk, supaya tunduk, tunduk kata Allah supaya tunduk kata Muhammad.
Memnohon pak Tujum supaya dikabulkan memakai Pekasih, pekasih si alam. Keturunan
Nabi Allah,agar aku tidak di hukum si mata dua, Diam, diam, diam, diam, diam, diam, diam

2. Bentuk Prosa Liris

 Bilang-bilang, yang berupa dendang duka, biasanya didendangkan dengan ratapan


oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu
yang telah meninggal dunia, meratapi kekasih idaman hati yang telah direbut orang
lain atau pergi mengembara kerantau orang.

Contoh:
Entah nidarami kin pe jelma ibabo taneh mekapal enda ni taruh langit meganjang enda entah
di langir nge bagi ajangku enda sera suina nggeluh. Di turina ateku mesui kidah bagi ranting
taman ku para nge kidah rusur. Emaka lanai bo kueteh nurikenca de suntuk nari nge kuidak
kerina te mesui. Man ukurenku, onande beru Tariganku. I je makana entah nidarami kal pe
jelma perliah si la lit nge bagi turina ajang mama nak Karo-karo mergana endah sera suine.
Apai nge dah kam la bage ningku, onande bibingku karina. Enggo kuidah ajangku endah bagi
sumpamana jelang kedataren kutera kin nge turinna jelang kedataren aji nindu gia min. o
turang beru Sembiringku. Di turinna jalang kedataran sekali kelajangen pe labo lit
singembarisa amina sekali penggel pe. Labo kenan tambaren sekali kedabuhen gelap auri pe
la lit sipekarangsa amina sekali bene pe la lit sidaram-daram, o turang. E kal me turina ajang
anak karo-karo mergana enda, o enda beru Sembiring. E makana nidarami kin pe jelma
perliah si la lit nge bagi ajangku enda sera suina nggeluh. Ngkai maka la bage ningku, enggo
kalajangku enda bagi sarintantang ndabuh ku namo, anima ndabuh pe sea tama buena, amina
la ndabuh pe sea tama urakna, o me taktak cibal geluahku ras adumku o nandengku kerina.
Emakana labo lit gunan turiken ningku.

3. Bentuk Prosa

Turin-turian atau ‘cerita’ yang berbentuk prosa, khususnya mite (dongeng) dan legenda yang
disampaikan teutama sebagai tradisi lisan. Turi-turian ini tidak hanya memuat legenda masa
lalu, tetapi juga uraian yentang kosmogoni dan kosmologi. Karena segala sesuatu yang terjadi
di dunia ini dapat di jelaskan memalaui kebijaksanaan yang dipertahankan dalam turi-turian,
pengetahuan ini merupakan prasyarat bagi para dukun magis Batak Karo, meskipun tidak
dibatasi pada spesialis ini. Pagelaran turi-turian berlangsung beberapa hari (siang dan
malam), dirayakan seperti festival kecil. Sang ahli pidato diberi kopi, rokok, dan siri,
penonton setengah mendengarkan sambil mengobrol, bergaul dan jajan. Tindakan menggelar
pertunjukannya dianggap lebih penting dari pada isi ceritanya sendiri, yang memang sudah
dikenal kebanyakan pendengar. Namun, karena urbanisasi dan perubahan sosial lain,
keakraban umum dengan cerita-cerita ini menghilang dengan teratur. Beberapa judul
ceritanya, antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, dan
sebagainya.

c. Sastra Tulis (Aksara Karo)

Tulisen (aksara) Karo, adalah salah satu aksara kuno yang ada di nusantara. Yang merupakan
kumpulan dari tanda-tanda (karakter/simbol-simbol) untuk menyatakan sesuatu, yang
pemakaiannya dimengerti dan disepakati, yakni oleh masyarakat penggunanya, yaitu:
masyarakat Karo itu sendiri.

10

Tulisen Karo merupakan milik dari masyarakat (etnis) Karo atau dengan kata lain, tulisen
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (etnis) Karo serta tersebar luas, dipergunakan
dan diajarkan (awalnya dengan bahasa pengantar, cakap Karo) di ruang lingkup Karo yang
dulunya meliputi pesisir timur di Sumatera (Oostkust van Sumatera) bagian utara dan dataran
tinggi Karo yang terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan.

 Anak Surat

Anak Surat dalam tulisen(aksara) Karo, terdiri atas tiga(3) golongan, yang memiliki
fungsinya

masing-masing, yaitu:

i. Menghilangkan(mematikan) bunyi “a” (penengen/pemantik)

ii. Mengubah bunyi “a” menjadi bunyi “i, u, é, e, dan o”

iii. Menambahkan bunyi “ng” dan “h

 Penengen/pemantik

Penengen/pemantik, berfungsi untuk menghilangkan(mematikan) bunyi “a” pada indung


surat, sehingga menjadi huruf yang berdiri tunggal(berdiri sendiri). Misalkan “Ha” menjadi
“H(h)”-saja, “Ka” menjadi “K(k)”-saja dan seterusnya. Karena, “a” yang mengikuti pada
indung surat sudah dihilangkan(dimatikan)!

11
Adapun tanda(carakter) yang dipakai untuk menghilangkan “a” pada indung surat adalah “
(.._..)” yang diletakkan tepat dibelakan indung surat yang bunyi “a” –nya ingin
dihilangkan(dimatikan). Sehingga akan menjadi huruf-huruf tunggal(berdiri sendiri): “H – K
– B – P – N – W – G – J – D – R – M – T – S – Y – Ng. – L – C – Nd. – Mb.” Lihat tabel
berikut yang menunjukkan indung surat yang telah diberi penengen/pemantik!

Indung Surat setelah diberi tanda penengen/pemantik.

Berikut contoh penggunaan tanda penengen/pemantik “(.._..) ” pada penulisan aksara Karo:

Contoh: 1. “Makanan”
12
Daftar Pustaka
Milala,jony. http://limamarga.blogspot.com/2012/03/seni-sastra-karo.html

FbsEstensia. http://fbsekstensia.blogspot.com/2013/06/sastra-karo.html

Karo,Siadi. https://karosiadi.blogspot.com/2011/11/seni-sastra-dan-suara-karo.html

TM. http://sastrakaro.blogspot.com/

13

Anda mungkin juga menyukai