Anda di halaman 1dari 23

PANTUN DAN SYAIR DAERAH SUMATERA SELATAN

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1:

1. DWINA SARI (2018143499)


2. SEFTI DWI SINTA (2018143535)
3. PUTRI KEMBANG DADAR (2018143498)
4. WIDIYA SANTIKA (2018133501)

KELAS : 5N

DOSEN PENGAMPUH :

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG

2020

i
KATA PENGANTAR

     ”Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. yang telah memberikan tugas ini kepada kami.”

      “kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita.
Kami juga meminta maaf apabila makalah kami ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna.”

      “Semoga makalah kami ini dapat dimengerti bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri maupun orang lain.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.”

Palembang, Oktober 2020

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1. Latar Belakang..............................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................1

1.3. Tujuan...........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

2.1. Pengertian, Ciri- Ciri, dan Sejarah Pantun...................................................................2

2.2. Pantun di Daerah Sumatera Selatan..............................................................................3

2.3. Pengertian, Ciri- Ciri, dan Sejarah Syair......................................................................6

2.4. Syair di Daerah Sumatera Selatan................................................................................7

BAB III PENUTUP...........................................................................................................19

3.1. Kesimpulan...................................................................................................................19

3.1. Saran.............................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pantun merupakan sastra lisan yang dibukukan pertama kali oleh Haji Ibrahim Datuk
Kaya Muda Riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji. Antologi pantun
yang pertama itu berjudul Perhimpunan Pantun-pantun melayu. Genre pantun merupakan genre
yang paling bertahan lama. Mengungkapkan perasaan tidak hanya dapat diceritakan dan ditulis
dalam bentuk prosa. Ungkapan perasaan pun dapat dinyatakan dalam bentuk puisi, seperti puisi
lama yang disebut pantun. Selain pantun, masih ada bentuk puisi lama lainnya, seperti pantun
kilat (karmina), talibun, seloka, gurindam, dan syair.

Syair adalah salah satu kebanggaan karya sastra yang di miliki Indonesia.Banyak karya
puis lama Indonesia yang terkenaldikalangan sastra dunia,seperti syair yang dikarang oleh
hamzah fansuri.Dewasa ini syair sudah mulai pudar dikalangan masyarakat Indonesia,khususnya
kaum remaja.Mereka lebih suka pada novel dan karya yang terbit dari barat. Hal ini akan
mengurangi kekayaan karya sastra Indonesia yang dulunya menjadi kebanggan di dunia. Oleh
karena itu,penulis tertarik untuk mengulas tentang pantun dan syair.Diharapkan dengan melalui
ini masyarakat Indonesia lebih tahu dengan lanjut mengenai syair ini, serta membangkitkan
kembali sastra Indonesia yang pernah hilang dan menjadikannya sebagai ajang mengembangkan
diri.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian, ciri- ciri, sejarah pantun dan syair ?

2. Bagaimana pantun di daerah sumatera selatan?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian, ciri- ciri, sejarah pantun dan syair.

2. Untuk mengetahui pantun dan syair di daerah sumatera selatan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian, Ciri- Ciri, dan Sejarah Pantun

Pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik
budaya masyarakat.menurut Surana, pantun ialah bentuk puisi lama yang terdiri atas 4 larik
sebait beirama silang (a b a b). larik I dan II disebut sampiran, yaitu bagian objektif biasanya
berupa lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik III dan IV dinamakan
Isi, bagian subjektif. Sama halnya dengan karmina setiap larik terdiri atasa 4 perkataan. Jumlah
suku kata setiap larik anatar 8-12.

Ciri-ciri pantun dapat diintakan yaitu pantun tersusun atas empat baris dalam tiap baitnya.
Baris pertama dan baris kedua berupa sampiran. Baris ketiga dan keempat berupa isi/ maksud
yang hendak disampaikan. Jumlah suku kata tiap baitnya rata rata berkisaran delapan sampai dua
belas. Jenis pantun dapat dibedakan berdasarkan tingkatan umur pemakainya, berdasarkan isinya
dan berdasarkan bentuknya dan susunanya.

Sejarah Pantun, Pantun ialah senandung atau puisi rakyat yang diberi nada. Dalam
kesusastraan, pantun pertama kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat popular
yang sezaman dengan itu. Kata pantun sendiri mempunyai asal-usul yang cukup panjang dengan
persamaan dari bahasa Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau peribahasa
dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka yang berasal dari
India. Pantun merupakan sastra lisan yang pertama kali dibukukan oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya
Muda Riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman dengan Raja Ali Haji. Antologi pantun yang
pertama itu berjudul Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu. Genre pantun merupakan genre yang
paling bertahan lama. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal
dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patun dalam bahasa Minang Kabau
yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa
sunda dikenal sebagai PAPARIKAN dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca:
uppasa). Lazimnya, pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris
terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b,
atau a-b-b-a).

2
Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang
tertulis. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: SAMPIRAN dan ISI. Sampiran adalah dua
baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat
pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan
maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Pada mulanya pantun merupakan senandung atau
puisi rakyat yang dinyanyikan (Fang, 1993 : 195). Pantun pertama kali muncul dalam Sejarah
Melayu dan hikayat-hikayat popular yang sezaman dan disisipkan dalam syair-syair seperti
Syair Ken Tambuhan. Pantun dianggap sebagai bentuk karma dari kata Jawa Parik yang berarti
pari, artinya paribahasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan
umpama atau seloka yang berasal dari India. Dr. R. Brandstetter mengatakan bahwa kata pantun
berasal dari akar kata tun, yang terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam
bahasa Pampanga, tuntun yang berarti teratur, dalam bahasa Tagalog ada tonton yang berarti
bercakap menurut aturan tertentu, dalam bahasa Jawa kuno, tuntun yang berarti benang atau
atuntun yang berarti teratur dan matuntun yang berarti memimpin, dalam bahasa Toba pula ada
kata pantun yang berarti kesopanan, kehormatan. Pada akhirnya, pantun merupakan budaya
orang-orang Melayu yang patut dilestarikan sampai sekarang. Karena selain indah dan enak
didengar, sastra lisan ini juga bisa dipakai pada acara-acara resmi hingga bercandaan anak-anak.

2.2. Pantun di Daerah Sumatera Selatan

Pantun Bahasa Sumatra Selatan, setiap daerah memiliki pantun yang memiliki cirri khas
tertentu dan pantun daerah sering digunakan dalam upacara tradisional seperti melamar,
pernikahan dan acara adat yang lainnya. Pantun daerah bisanya berisikan kata mutiara yang
sering memiliki makna untuk memberikan motivasi kepada lawan berpantun dan pendengarnya.

Contoh beberapa pantun Bahasa Sumatra Selatan :

1. Pantun Palembang
 Gulo batok, Daerah Rambang
Manis sekali, katek duonyo
Kelakar berok, khas Palembang
Menghibur hati, buat ketawo
 Pasar cinde pasar kuto

3
Ke pasar kuto meli bawang
Memang idak nak becinto
Karno lagi dak katek rewang
 Pasar cinde pasar kalangan
Ke pasar kalangan meli selendang
Biar Cuma sekedar ucapan
Salam bahagia dolor Palembang
2. Pantun Ogan
 Pegi ke pulau nanggok udang
Hala lupe makai telasan
Ade ilmu yang nak diadang
Mangke dijagal gadis belasan
 Budak kecek missing bepatun
Tangan dikecek muke diadap
Gades ugan dek pacak bepantun
Tapi hase kupinye sedap
 Cakah tiram ke laut bande
Dapat mutiara didalam peti
Syukur itu adalah pertande
Die si hamba yang rendah hati
3. Pantun Base Semende
 Rapat-rapat daun kuini
masih dapat daun embacang
kalu dik dapat raun ini
masih ku ahap taun dating
 Selame dikde ke sawah
Padang entemu makan api
Lah lame dikde betemu
Betemu kite dalam mimpi

 Empuk nepek jangan dipale

4
Kutan kalu runtuk gumbek
Awak umban timpe tangge
Empai bejalan ngandun lalak
4. Pantun Lahat
 Kecik-kecik perahu lidi
Karam di mulak batu raje
Kecik-kecik nak bebini
Dide tebayang gawi mentue
 Amun lah siang jalan kayak
Titila jalan jerambah susun
Aman nak lemak kite balek
Banyak iluk ngan jeme dusun
 Jangan mudah nyieawkan jale
Kalu dek sanggup nyelaminye
Jangan mudah nganjurke kate
Kalu dek sanggup njalaninye
5. Pantun muara enim
 Netak dabuk dibawah tebing
Buah tupak didalam peti
Nasib buruk jangan diseding
Banyak bedoa kuatkan ati
 Bauh balan titik mehanta
Tersirak sirak ditepi jalan
Jangan segan untuk bepinta
Semoga tuhan gacang kabulkan
 Ahilah petang payulah mandi
Bawe sabun bawe telasan
Pantun kakang samapi disini
Mohon kirenye ade balesan

5
2.3. Pengertian, Ciri- Ciri, dan Sejarah Syair

Syair merupakan jenis puisi lama yang pada tiap-tiap bait itu terdiri atas empat larik
(baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama. Syair tersebut digunakan untuk melukiskan hal-
hal yang panjang contohnya seperti tentang suatu cerita, nasihat, agama, cinta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, bait-bait didalam syair ini sangat banyak. Ditinjau dari struktur
fisiknya, syair ini sangat terikat oleh jumlah baris didalam satu bait, jumlah suku kata didalam
tiap baris, jumlah bait dalam tiap puisi, dan aturan didalam hal rima dan juga ritma.

Ciri Ciri Syair Setelah mengerti Pengertian dan Jenis Syair, dibawah ini akan dipaparkan
Ciri-ciri dari syair , diantaranya. Syair ini terdiri atas empat baris/larik dalam tiap-tiap bait. Syair
ini tidak memiliki sampiran, seperti halnya didalam pantun. Dengan kata lain, semua baris itu
mengandung isi dan juga makna. Syair ini tidak selesai dalam satu bait. Makna syair juga
ditentukan oleh bait-bait selanjutnya (hampir sama dengan paragraf dalam cerita). Syair ini
berPola rimanya a-a-a-a (rima sama). Irama yang terjadi pada tiap pertengahan baris antara
empat (4) sampai enam (6) suku kata.

Sejarah syair berasal daripada bahasa Arab, ertinya dalam bahasa Melayu ialah penyair.
Syair dalam pengertian puisi dalam bahasa Arab disebut qasidah atau sihir. Sampai sekarang
istilah qasidah itu masih popular di kampung-kampung yang gemar akan gambus Arab atau
nyanyian-nyanyian dalam bahasa Arab dengan nama qasidah. Panjang syair sama dengan
panjang pantun, baik kalimat mahupun jumlah suku katanya yang terdiri daripada empat kalimat,
masing-masing sejumlah lapan hingga sebelas suku kata.Umumnya sajak sama keempat baris
itu: a, a, a, a, tetapi ada juga yang bersajak a, b, a, b, seperti pantun. Pada zaman moden ini,
manusia sudah banyak yang mempunyai selera yang kritis terhadap sesuatu hasil seni sastera,
syair dalam bentuk lma itu tidak mampu lagi mewakili degupan jiwa mereka. Syair moden tidak
mengutamakan sajaknya, tetapi pilihan kata teknik dan isinya. dilihat dari isinya, syair hampir
sama dengan prosa, ada yang berupa hikayat, roman percintaan, dongeng dan sejarah, ratapan
dan pendidikan.

6
2.4. Syair di Daerah Sumatera Selatan

A. Syair Mambang Jauhari dari Palembang

Syair Mambang, naskah ini di karang oleh Pangeran Panembahan Palembang (1476–
1568) dan dipublish 1861-1866 oleh Pangeran Panembahan Palembang, bahasanya Melayu
Palembang dan mengandung banyak kata-kata Jawa. Syair tersebut berisikan , Raja Langkara
Indra sudah mangkat dan meninggalkan seorang putri, Kusuma Indra namanya. Adapun Putri
Kusuma Indra ini sudah bertunangan dengan Dewa Syahperi dari Negeri Belanta Pura. Maka
kecantikan Putri Kusuma Indra pun kedengaran pada Raja Mambang Jauhari, Raja Mambang
Jauhari lalu berahikan putri Kusuma Indra dan menculiknya. Maka terjadilah perkelahian. Dewa
Syahperi kalah dan jatuh pingsan. Batara Kala menghidupkannya kembali dan menasehatinya
menculik saudara perempuan raja Mambang Jauhari yang bernama Puspa Indra. Maka
berkobarlah pula peperangan antara raja Mambang Jauhari dan Dewa Syahperi. Akhirnya Batara
Kala muncul dan mendamaikan mereka. Dewa Syahperi lalu kawin dengan Puspa Indra. Raja
Mambang Jauhari kembali kepada Kusuma Indra. Naskah ini berakhir dengan tiba tiba. Syair
Mambang Jauhari (selanjutnya disingkat: SMJ) adalah salah satu karya sastra Melayu tradisional,
yang ditulis di Palembang dalam dasawarsa pertama abad ke-19.

Syair ini ditulis oleh Pangeran Panembahan Palembang, bahasanya melayu Palembang
dan mengandung banyak kata-kata jawa didalam isinya. Raja Langkara Indra sudah mangkat dan
meninggalkan seorang putri, Kusuma Indra namanya. Adapun Putri Kusuma Indra ini sudah
bertunangan dengan Dewa Syahperi dari negeri Belantapura. Maka kecantikan Putri Kusuma
Indra pun kedengaran pada raja Mambang Jauhari, Raja Mambang Jauhari lalu berahikan putri
Kusuma Indra dan menculiknya. Maka terjadilah perkelahian Dewa Syahperi kalah dan jatuh
pingsan. Batara Kala menghidupkannya kembali dan menasehatinya menculik saudara
perempuan raja Mambang Jauhari yang bernama Puspa Indra. Maka berkobarlah pula
peperangan antara raja Mambang Jauhari dan Dewa Syahperi. Akhirnya Batara Kala muncul dan
mendamaikan mereka. Dewa Syahperi lalu kawin dengan Puspa Indra. Raja Mambang Jauhari
kembali kepada Kusuma Indra. Naskah ini berakhir dengan tiba tiba SMJ tergolong syair
romantis yang berciri sintetis, yaitu syair yang ciri-ciri sastra Timur Tengah dan Hindu Jawa
tergabung di dalamnya (lihat juga Liaw Yock Fang, 1982). SMJ menceritakan kehidupan
makhluk halus, seperti mambang, peri, jin, dan dewa- dewa. Peristiwa-peristiwa dalam cerita itu

7
terjadi di kayangan, yang bukan dunia manusia biasa. Hal ini, oleh masyarakat modern, yang
menjunjung tinggi rasionalitas, SMJ tidak diapresiasi, sebab dianggap sebagai konsumsi anak-
anak.

Akan tetapi, bagi masyarakat pendukung cerita tersebut, cerita dalam SMJ sangat
berharga, dipercayai, dan berfungsi bagi kehidupannya. Jadi, ada sesuatu yang paradok antara
alam pikiran masyarakat tradisional Melayu dengan alam pikiran masyarakat modern umumnya.
SMJ dianggap memiliki daya magis oleh masyarakatnya. Tidak sembarang orang dapat
menyalinnya. Klinkert (1886:36) mengemukakan tentang syair ini bahwa beberapa kalangan
masyarakat Melayu sangat menghargai syair ini, dipinjamkan pada orang lain dengan sembunyi-
sembunyi dan ridak mudah memberi izin untuk menyalinnya karena tidak setiap orang kuat
secara batiniah memilikinya (lihat juga van Ronkel, 1921:68). Apalagi dalam karya-karya
semacam ini, menurut kepercayaan orang Melayu, kata-kata mempunyai kekuatan magis (bdk.
Matheson, 1983:26; Philips, 1981:6).

Di samping itu, bila karya tersebut ditempatkan pada situasi karya secara menyeluruh,
SMJ memperlihatkan sesuatu yang kompeks dan unik. Di satu pihak kompleks dan unik dari segi
persoalan cerita, di pihak lain komples dan unik dalam meresepsi syair tersebut. Yang disebutkan
terakhir, dalam arti, pembaca atau pendengar berada di dunia nyata, sedangkan cerita itu terjadi
di dunia gaib. SMJ populis di kalangan masyarakat Melayu, terutama masyarakat Melayu bagian
Sumatera. Tetapi SMJ sebagai naskah yang dianggap mengandung magis, itu sudah dapat
dikatakan relatif banyak. Cerita Mambang Jauhari itu sering disebut-sebut dalam pembicaraan-
pembicaraan masyarakat. Di masing-masing daerah Melayu tersebut, cerita Mambang Jauhari
beredar pula dalam bentuk lisan. SMJ memperlihatkan mutu artistik yang baik. Braginsky
(1989:407) mengemukakan bahwa gaya penyajiannya menimbulkan pesona. Deskripsi-
deskripsinya melahirkan kekayaan warna dan menimbulkan perasaan yang mirip dengan suasana
yang dirasakan dalam setiap peristiwa cerita. Hal ini menyebabkan kita terbawa ke suasana
tamasya jiwa dan merasa terhibur. Penelitian terhadap genre syair belum banyak dilakukan. Syair
yang sesungguhnya merupakan bentuk puisi naratif Melayu tertulis satu-satunya ini, telah cukup
lama diabaikan oleh dunia pengetahuan. Padahal genre syair adalah genre yang cukup kuat
kedudukannya dalam khazanah sastra Melayu. SMJ belum pernah diteliti dari segi ilmu sastra

8
maupun ilmu lain, kecuali filologi yang dilakukan oleh Karim (2007) dan berupa ikhtisar cerita
oleh Spat (1902) dan Braginsky (1998).

Mengingat latar belakang sejarah sastranya dan latar belakang kemasyarakatannya, maka
pembicaraan mengenai SMJ pun dapat dilakukan dari berbagai segi. Akan tetapi, penelitian ini
hanya memfokuskan diri pada wujud SMJ sebagai cipta sastra yang hidup pada suatu zaman dan
mempunyai tempat dalam suatu masyarakat. Dasar-dasar untuk telaah sinkronis semacam itu
antara lain ialah bahwa kajian mengenai asal-usul cerita, baik sebagai keseluruhan maupun
mengenai bagian-bagiannya, tidak pernah akan mengantarkan kita kepada hakikat serta arti dari
pada SMJ itu sendiri sebagai cipta sastra: bagaimana strukturnya, apa maknanya bagi
khalayaknya, dan apa fungsinya dalam masyarakat tertentu pada suatu zaman. Padahal itulah
yang pertama-tama diperlukan untuk menemukan tempatnya dalam sastra dan kebudayaannya
(lihat juga Ikram, 1980). Untuk menentukan adanya ragam-ragam tertentu dalam keseluruhan
sastra Melayu yang begitu beraneka, diperlukan dahulu pengenalan karya sastra yang ada satu
persatu. Perlu dikenal dengan tepat unsur serta ciri yang mengkhususkannya. Kekeliruan dalam
pengenalan ciri-ciri itu dapat membawa kepada khaos. Propp (1968) menunjukkan bahwa
pengenalan suatu cerita rakyat juga tidak bisa dilakukan dengan jalan penelitian genetis atau
dengan meninjau latar belakang historis. Hasilnya bisa sangat menyesatkan. Hanya jika didekati
sebagai sesuatu yang mandiri, barulah dapat dicapai suatu pemahaman. Oleh sebab itu, peneliti
ingin menelaah SMJ lepas dari sejarah perkembangan serta kejadiannya. SMJ oleh publiknya
pun dipandang sebagai sesuatu yang mandiri, dipahami dan dinikmati sebagai sesuatu yang utuh,
lepas dari sejarahnya atau asal-usul bagian-bagiannya.

Alur Cerita Syair Mambang Jauhari (Cod.Or. 1896 berdasarkan Spat 1902).

……Negeri Zamindur Alam,bertahta raja Langkara Indra,berputri Kesuma Indra,kecantikannya


termasyhur, ketika putri berumur 14 tahun baginda wafat. Kesuma Indra belum dewasa
diangkatlah wazir kerajaan sebagai wali. Kesuma dewi bakal menjadi istri Raja Dewa Syahperi
dari kayangan Belantapura. Ia mendesak wazir mempercepat perkawinanya tapi wazir menjawab
satu tahun lagi. Raja Dewa Syahperi minta agar calonnya dibangun sebuah istana terbuat dari
batu permata. Istana itu diberi nama Asmara Brangta. Raja Dewa Syahperi tidak tahan
menanggung gelora asmara lagi dia tidak yakin dapat menguasainya maka ia memutuskan
pulang kembali kenegerinya. Untuk tidak mengecewakan hati Kesuma Indra. Kesuma Indra

9
bersedih hati ,empat dayangnya melipur hatinya, Lela kencana,Ratna Pekaca,Ratna Mengindra
dan Lela Cumbuan. Di negeri Belanta Pura, Mambang Jauhari, raja Roh dan mahluk halus
bertara ilmu sihir dan kesaktiannya. Hendak menculik Kesuma Indra, ia menjelma menjadi
kumbang dan 4 punakawannya Kuda Jauhari,Kuda Pahlawan, Kuda Sentika,Kuda Prawira
menjelma menjadi burung. Mambang Jauhari berunding dengan 4 pengikutnya ia mengirimkan
sepucuk surat ke Belanta Pura untuk menyerang negeri Zamindur Alam. Syair ini juga
melukiskan medan perang sebagai lautan darah. Mambang Jauhari berperang tanding dengan
Raja Dewa Syahperi, perkelahian hebat di udara berhari-hari disaksikan Kesuma Indra dari
istananya. Mambang Jauhari membelenggu lawan-lawannya dengan tali rantai yang turun dari
langit karena sihirnya, Dewa Syahperi lenyap tanpa bekas dilanda cakra sakti Mambang Jauhari.

Pesta perkawinan disiakan ,keesokan harinya dilakukan upacara pemandian. Mereka


ditimbang dengan batu penimbang dari batu permata diperlukan enam bukit batu berharga untuk
mengimbangi berat keduanya. Dewa Syahperi dan bala tentaranya jatuh di sebuah bukit. Batara
Kala sang pengatur nasib menghidupkannya kembali dan menasihatinya agar jangan melawan
Mambang Jauhari. Bagian kedua syair ini simetris dengan bagian pertama, terjadi lagi perang
yang sama dasyhatnya antara dua raja sakti. Muncullah Batara Kala sebagai pendamai, katanya
peperangan antara mereka bisa berlangsung sampai kiamat jika akan diteruskan. Ibunda Raja
Dewa Syahperi meminta Mambang Jauhari, mau mengawinkan adiknya dengan Dewa Syahperi
dan Mambang Jauhari menyatakan persetujuannya. Berlangsung lah pesta perkawinan yang
hampir sama dengan pesta perkawinan sebelumnya. Mambang Jauhari bertemu permaisuri,
dikisahkanlah apa yang terjadi. Kesuma Indra gembira mendengar berita perdamaian dua raja
sakti itu. Resensi syair ini Cod.Or.1943(Juynboll 1899:22) dikatakannya kedua resensi ini
mengakhiri kisahnya dengan “peristiwa-peristiwa penting, yang agaknya bisa dianggap sebagai
penutup kisah”(Spat 1902:334). Syair Mambang Jauhari kombinasi motif hampir sama dengan
Hikayat Indraputra. Pembandingan dua karya juga membenarkan pendapat alur cerita lebih
sederhana dari ‘struktur komposisi parataksis’ dalam hikayat. Unsur deskriptif dalam Syair
Mambang Jauhari lebih kaya dari Hikayat Indraputra. Keistimewaan gaya Syair Mambang
Jauhari :

“Di dalam hati tentu tak gundah,

Tetapi jangan kita permudah,

10
Kalaukan tidak bagai yang sudah,

Perihal duna laksana roda,

Laksana roda jalan berputar,

Yang di atas jadi ke bawah terkitar,

Berubah-ubah dengan sebentar,

Kadar yang sudah tidaklah gentar,

Gentar tiada sekadar itu,

Yang dihadap ini belumlah tentu,

Barangkali raja yang nomor satu,

Niscaya suruh juga di situ,

Di situ kita belum tahulah,

Siapa menang, siapa yang alah,

Meskipun kita jalan yang salah,

Ada ikhtiar masa inilah.

Inilah kita mufakat bicara”,…dst(Spat 1903:309).

Gaya tersebut digunakan dalam monolog dan dialog para pelaku kisah,tidak dijumpai
dalam syair lain. Ulangan yang beraturan dimaksud memperkuat pengarus magis syair menurut
tradisi Melayu. Seperti H.C.Klinkert mengemukan syair ini:

“Sementara kalangan masyarakat melayu sangat menghargai syai ini,dipinjamkan pada orang
lain dengan sembunyi-sembunyi dan tidak mudah member ijin untuk menyalinnya,oleh karena
tidak semua orang kuat memilikinya”(Ronkel 1921:68).

11
B. Syair Dulmuluk Palembang

Dulmuluk adalah salah satu pertunjukan rakyat di Palembang yang berasal dari
pembacaan syair Abdul Muluk yang kemudian berubah menjadi seni teater tradisi. Seorang
pedagang keliling keturunan Arab yang bernama Wan Bakar atau Shecj Ahmad Bakar membawa
kesenian ini ketika ia berdagang ke Palembang, Singapura, Negri Johor Malaysia, Kepulauan
Riau, dan Pulau Bangka. Dengan cara membacakan syair Dulmuluk dari mulut ke mulut yang
berupa pembacaan kitab – kitab berisi hikayat, baik dalam bentuk syair maupun cerita, ia
menyebarkan cerita tersebut. Abdul Muluk kemudian digemari oleh masyarakat yang tersebar di
beberapa tempat. Pada tahun 1910 hingga 1930, pagelaran Dulmuluk pertama kali
dipertunjukkan dalam bentuk teater. Setelah tahun 1930 sandiwara melalui bangsawan yang
masuk dari Jawa, sedikit demi sedikit mempengaruhi pertumbuhan teater Dulmuluk di
Palembang. Karena ketenarannya di dalam masyarakat yang sering menanggap Dulmuluk pada
acara kenduri, pemerintah pernah memanfaatkan teater ini untuk propaganda dalam bentuk
pementasan atau panggung. Pertunjukan teater ini biasanya digelar semalam suntuk, mulai dari
pukul 20.30 hingga pukul 04.00 dini hari.

Gambaran di atas merupakan situasi dan kondisi Dulmuluk di era 1900-an. Pada masa
kini dialog yang digunakan tetap menggunakan syair. Namun, syairnya terkadang diplesetkan
dengan humor hingga memunculkan suasana yang lebih akrab bersama penonton. Peranan
wanita pun dimainkan oleh wanita. Di awal dan di akhir pementasan Dulmuluk tetap ada
Beremas. Namun, saat ini Beremas lebih dikreasikan dengan gerakan yang lebih menarik. Kuda
Dulmuluk yang ditampilkan lebih dibuat menarik dengan hiasan manik - manik dan hiasan
menarik lainnya. Robert Martin Dumas (2000) dalam disertasi yang dipertahankan di Universitas
Leiden dengan judul “Teater Abdulmuluk' in Zuid-Sumatra: op de drempel van een nieuw
tijdperk” mengangkat sejarah perkembangan sandiwara berkaitan dengan terbentuknya kota-
kota multikultural di bagian barat Semenanjung Melayu termasuk Palembang hingga lahirnya
Dulmuluk. Bermula dari teater bangsawan di Penang yang kemudian menyebrang hingga ke
Indonesia dengan sejumlah grup sandiwara, muncul kelompok sandiwara lain yang mengalahkan
pementasan sandiwara sebelumnya dengan menggunakan bentuk seni baru. Masyarakat pun
menilai bahwa kelompok perhimpunan sandiwara lokal yang didirikan menjadi contoh dan
digunakan oleh masyarakat Sumatera dengan nama yang berbeda, seperti tonil Melayu atau

12
“Maleis toneel” (sandiwara Melayu) dan Wayang / Teater Abdul Muluk atau “Abdulmuluk-
theater”. Seiring dengan berjalannya waktu, perkumpulan tersebut mendapatkan kategori
“Abdulmuluk” karena kisah Abdul Muluk (berdasarkan Syair Abdul Muluk) yang populer untuk
waktu cukup lama di masyarakat Melayu. Ada sebuah bagian tetap yang terbentuk dari repertoar
sandiwara selain karya-karya lain dari kesusastraan Melayu yang di dalamnya mewakili syair
dan hikayat berlimpah. Selain sejarah perjalanan kelompok-kelompok teater Melayu dan
persebaran Dulmuluk di seluruh Sumatra Selatan yang dimainkan oleh masyarakat setempat,
Dumas juga menjelaskan struktur Dulmuluk yang terdiri atas 1) sebuah repertoar terbatas dari
dua karya sandiwara, yakni cerita Abdul Muluk dan Siti Zubaidah (Syair Siti Zubaidah); 2)
struktur episodik dari pertunjukan sandiwara. Artinya, hanya satu episode atau lebih dari karya
yang dipilih dimainkan dalam sebuah pertunjukan, dan struktur pertunjukan itu sendiri, yaitu a)
pengaturan podium yang spesifik dengan layar sebagai dekorasi latar belakang dan teritis yang
dipasang lengkap dengan atap dari terpal di tempat terbuka; b) permainan sandiwara dari figur-
figur lucu Khadam dan Mak Dayang yang biasanya menjadi intermeso di layar depan; c)
repertoar musik yang berbeda (lain dari pada yang lain).

Pada perkembangan masa kini Dumas juga mencatat bahwa teater Abdulmuluk modern
pada masa sekarang berada di fase keempat dari Southerns “Tujuh Fase” Theorie: Pementasan
teater Abdulmuluk. Pementasan ini biasanya berlangsung di tempat terbuka dengan podium yang
tertutup oleh atap dari terpal. Pertunjukan tersebut selalu gratis dan terbuka untuk semua orang.
Khusus untuk acara-acara resmi, pementasan Abdulmuluk dilaksanakan di aula lembaga
pemerintahan, stasiun radio (RRI Palembang), atau di studio stasiun televisi lokal di Palembang
(TVRI Palembang). Biaya pementasan dibayar oleh organisator atau sponsor kegiatan dan semua
yang mendukung acara tersebut (keluarga, instansi atau perusahaan komersil). Linny Octovianny
(2009) membahas Dulmuluk dalam penelitian yang berjudul “Teater Tradisional Dulmuluk:
Transformasi Syair Abdul Muluk”. Penelitian ini mengangkat model seni pertunjukan Dulmuluk
untuk pemertahanan seni budaya lokal. Octovianny menjelaskan bahwa untuk memperoleh
informasi kelayakan model seni pertunjukan Dulmuluk dan untuk pemertahanan seni budaya
lokal dilakukan validasi oleh seniman Dulmuluk dan seniman Teater Modern. Validasi dilakukan
terhadap unsur-unsur pementasan, yaitu naskah drama, pemain, tata rias, tata busana, tata lampu,
tata suara, tata panggung, sutradara, dan penonton. Hasil validasi tersebut menurutnya
dikategorikan baik dan layak digunakan oleh berbagai khalayak, generasi muda, serta pelaku

13
teater tradisional dan modern. Struktur pertunjukan Dulmuluk terdiri dari keseluruhan
pertunjukan yang dibuka dengan Beremas atau nyanyian salam pembuka, kemudian Bekisah atau
bekiso ketika salah seorang pemain duduk di samping para pemusik dan melantunkan kisah
dengan suara yang tinggi. Permainan dimulai hingga selesai, lalu ditutup dengan beremas.

Teks Dulmuluk, Pada pertunjukan Dulmuluk yang berjudul “Istri Setia” pada tanggal 9
Agustus 2015 menghadirkan pertunjukan mulai dari pukul 7.00 hingga pukul 00.00 dini hari di
sebuah acara pernikahan di Kecamatan Sungki. Teks yang hadir di dalam penelitian ini adalah
teks berdasarkan rekaman video yang dilakukan pada tanggal yang sama meskipun telah
mengalami pengeditan yang sangat banyak sehingga memotong banyak adegan inti dari
pertunjukan “Istri Setia”. Beremas merupakan salam pembuka berbentuk lagu yang dinyanyikan.
Iringan musik Beremas dan nyanyian pembuka ini diperuntukkan bagi para penonton.

Assalamualaikum wr.wb, penonton sekalian. Jangan tak dapat ketahuan. Cerita Abdul
Muluk, akan kami permainkan. Jika salah dan khilaf mohon dimaafkan. Karena manusia di dunia
ini tak luput dari kekhilafan. Sekalian baiklah kita sekarang menonton. Kisah tentang “istri
setia” menekankan perjuangan Siti Rofiah dalam membebaskan suaminya, Sultan Abdul Muluk
Jauhari dari penahanan yang dilakukan Sultan Hindi setelah kerajaan Berbari yang dipimpin
Abdul Muluk diserang oleh kerajaan Hindi dan mengalami kekalahan. Pertunjukan yang ditonton
secara langsung tersebut dapat diingat dan disekuelkan sebagai berikut.

1. Sultan Abdul Muluk Jauhari pulang dari berlayar dan menanyakan keadaaan negerinya kepada
pamanda Wazir Mansyur. Ia mendapat laporan bahwa keadaan negeri makmur dan tidak
kekurangan.

2. Sultan juga memanggil dua orang perdana menteri (Duli Kholifan) dan meminta laporan
tentang negeri Barbari. Laporan perdana menteri tersebut juga mengatakan negeri aman
sentosa.

3. Sultan kedatangan tamu pedagang pasar yang melaporkan huru hara, yaitu pembakaran pasar
yang dilakukan oleh orang-orang dari negeri Hindi.

4. Sultan kedatangan utusan dari kerajaan Hindi yang mengantar surat tantangan perang untuk
membalas dendam atas kematian perdana menteri Hindi yang sedang berdagang. Bahai dan

14
Jauhari dari Hindi berada dalam penjara Sultan Barbari pada masa pemerintahan ayah Abdul
Muluk. Perdana menteri Hindi tersebut masih sekerabat dengan Sultan Hindi (versi
pertunjukan lain mengatakan bukan perdana menteri, melainkan saudagar yang sekerabat
dengan sultan Hindi).

5. Sultan menemui dua istrinya, yaitu Siti Rafiah dan siti Rahmah, dan mengabarkan akan
berperang.

6. Pertemuan tersebut dihibur oleh kemunculan Khadam atau juru hibur dan dayang-dayang.

7. Sultan Hindi memanggil para pengikutnya untuk membahas rencana penyerangan ke Kerajaan
Barbari.

8. Pertempuran terjadi antara pihak Sultan Abdul Muluk dan pihak Sultan Hindi. Keduanya
menggunakan kuda dalam pertempuran itu. Sultan Abdul Muluk menggunakan kuda putih,
sedangkan Sultan Hindi menggunakan kuda hitam.

9. Sultan Abdul Muluk mengalami kekalahan dan ditawan oleh Sultan Hindi.

10. Siti Rahmah juga berhasil ditawan dan dirayu oleh Sultan Hindi.

11. Siti Rafiah sempat bertemu Siti Rahmah untuk memberitahu akan membebaskan Sultan
Abdul Muluk.

Plot tersebut masih belum memberikan gambaran tentang kesetiaan seorang istri seperti
dalam tema. Perjuangan Siti Rafiah tidak terpresentasikan pada pertunjukan berdurasi sekitar
lima jam tersebut. Plot di atas menunjukkan pengenalan tokoh-tokoh protagonis, yaitu Sultan
Abdul Muluk dan istri-istrinya serta para pengikutnya dan tokoh antagonis, yaitu Sultan Hindi
dan pengikutnya. Selain itu, plot di atas juga menunjukkan permasalahan atau pembalasan
dendam negeri Hindi dan klimaks peperangan dua belah negeri yang berakhir dengan penahanan
dan kekalutan istri-istri Abdul Muluk Jauhari. Kalau pertunjukan tersebut dapat diselesaikan
sesuai tema akan tampak tokoh mana yang paling berperan dan mendapat porsi utama dari
keseluruhan cerita, yaitu Siti Rafiah. Kesetiaan Siti Rahma yang tidak mau diperistri oleh Sultan
Hindi ketika suaminya ditangkap juga hanya tergambar sedikit pada bagian akhir perekaman ini.

15
Dul Muluk berasal dari syair sehingga tipografi teks berbentuk syair yang terikat rima, meskipun
jumlah kata dalam satu baris dan jumlah bait berbeda antara satu dengan yang lain. Tipologi teks
ini menjadi tipe Dulmuluk, seperti dalam kutipan berikut.

Sultan Abdul Muluk:

“Wahai mamandaku antara bedua,

Sudah berapa lama di negeri berbari ini saya duduk merintah,

Akan tetapi belum mendapat habar nyata dan pasti”.

“Nah di sini..

Sayalah tidak berpanjang peri.

Apalah habar bicara negeri.

Ramai tiada engkau habari.

Mamandaku bilang dengan pasti,

barulah saya dapat ketahui”

Wazir Mansyur:

“Anandaku Sultan Abdul Muluk.

Di sini pun saya tidak berpanjang peri.

Kalau kau bertanya bicara negeri.

Negeri kita ramai setiap hari.

Begitu saja saya berperi.

Kepada Tuanku Abdul Hadi

Adapun percakapan-percakapan bebas ada di luar teks pakem, seperti dalam improvisasi-
improvisasi yang dilakukan oleh pemain-pemain tertentu. Hanya tokoh Khadam dan dayang-

16
dayang yang dapat melakukan adegan dan dialog improvisasi. Di dalam transkripsi teks di atas
tidak disebutkan contoh improvisasinya, tetapi di bagian video perekaman ada kalimat humor
Khadam yang mengomentari fisik dayang-dayang . “Kok, bulu-bulunya panjang, Dek.” Selain
itu juga terdapat perkataan Khadam yang berbincang dengan Sultan Hindi. Sultan Hindi
menceritakan maksud kedatangannya pada Khadam bahwa ia ingin membalas dendam pada
negeri Barbari. Khadam menjawab dengan sesuka hati.

“Ohh iya”..

“Ohh begitu”..

Meskipun Khadam kemudian juga memberi nasehat dalam bentuk nyanyian bahwa
hendaknya Sultan Hindi bertemu Sultan barbari dengan cara yang baik karena perkataan amarah
tiada guna.

Pemimpin yang mulia

Kamulah pemimpin saya 2x

Ya pemimpin ya saya orang yang minang 2x

Ku persembahkan patek 2x

Ya pemimpin ya saya kami adalah orang-orang yang hina 2x

Bicara pemimpinku dengarlah pemimpinku 2x

Bicara pemimpinku tiada berguna 2x

Kepada kami ya pemimpin ya saya 2x

Kepada kami berdua 2x

Wanita kenalkan

Pemimpin minta kenalkan adat yang lama 2x

Wanita kenalkan

17
Terkirimlah surat ya pemimpin ya saya

Berilah ujaran

Dikalau tidak diberi 2x

Anda adalah seorang pemimpin ya pemimpin ya saya

Kemunculan tokoh Khadam sebenarnya tidak hanya sebagai penghibur, tetapi memiliki
peran yang penting dalam membawa nilai yang ditawarkan Dul Muluk, meskipun dengan gaya
humor. Khadam yang tidak memiliki batasan pakem menjadi bagian yang dapat ditarik ulur dan
disesuaikan dengan kebutuhan.

18
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik
budaya masyarakat.menurut Surana, pantun ialah bentuk puisi lama yang terdiri atas 4 larik
sebait beirama silang (a b a b). larik I dan II disebut sampiran, yaitu bagian objektif biasanya
berupa lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik III dan IV dinamakan
Isi, bagian subjektif. Sama halnya dengan karmina setiap larik terdiri atasa 4 perkataan. Jumlah
suku kata setiap larik anatar 8-12.

Syair merupakan jenis puisi lama yang pada tiap-tiap bait itu terdiri atas empat larik
(baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama. Syair tersebut digunakan untuk melukiskan hal-
hal yang panjang contohnya seperti tentang suatu cerita, nasihat, agama, cinta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, bait-bait didalam syair ini sangat banyak. Ditinjau dari struktur
fisiknya, syair ini sangat terikat oleh jumlah baris didalam satu bait, jumlah suku kata didalam
tiap baris, jumlah bait dalam tiap puisi, dan aturan didalam hal rima dan juga ritma.

3.2. Saran

Dibuatnya makalah ini di harapkan pembaca lebih memahami, menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan mengenai pembalajaran muatan lokal sesuai potensi yang dimiliki siswa agar
kedepannya dapat terciptanya pendidikan yang terbaik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Rosyadi,Ahmad.2015.Dari mana “pantun” Berasal? Bagaimana


Sejarahnya?.https://www.kompasiana.com/amp/nettik/dari-mana-pantun-berasal-
bagaimana-sejarahnya-simak-sejarah-pantun-
ini_5678a858ad92737c048b4586#aoh=16033708481569&referrer=https://www.google.c
om.diakses pada tanggal 21 Oktober 2020.

Oskandar,Dudy.2020.Syair Mambang Jauhari dari


Palembang.https://palpres.com/2020/04/syair-mambang-jauhari-dari-palembang/.diakses
pada tanggal 21 Oktober 2020.

Susanto,Dinda Amalia.2015.Pendokumentasian Dulmuluk Sastra Lisan Sumatera


Selatan.http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3166/pendokumentasia
n-dulmuluk-sastra-lisan-sumatera-selatan .diakses pada tanggal 21 Oktober 2020.

20

Anda mungkin juga menyukai