Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH BAHASA INDONESIA

‘’ PANTUN ‘’

DISUSUN OLEH
NAMA : DWI PUTRI NATASYA
KELAS : VIII- 10

SMP NEGERI 1
KOTA PEMATANGSIANTAR
2019/2020

1
DAFTAR PUSTAKA

Halaman
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................2

KATA PENGANTAR....................................................................................................................2

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

1.1. Latar Belakang.................................................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................................4

1.3. Tujuan...............................................................................................................................4

a. Tujuan Umum..................................................................................................................4

b. Tujuan Khusus.................................................................................................................5

BAB II..............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN..............................................................................................................................6

2.1. Pengertian Pantun...........................................................................................................6

2.2. Sejarah Pantun.................................................................................................................7

2.3. Ciri-ciri Pantun................................................................................................................7

2.4. Syarat-syarat Pantun.......................................................................................................8

2.5. Jenis-jenis Pantun............................................................................................................8

BAB III..........................................................................................................................................13

PENUTUP.....................................................................................................................................13

3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................13

3.2. Saran...............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................14

2
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas saya ucapkan kepada
Allah STW, karena dengan bimbingan-Nya maka saya bisa menyelesaikan makalah tentang
‘’PANTUN’’ ini dengan tepat waktu.
Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini. Saya menyadari bahwa masih
sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Karena setiap manusia tidak luput
dari tempatnya salah dan keliru. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita
semua.

Pematangsiantar, 14 Desember 20919

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pantun merupakan sastra lisan yang dibukukan pertama kali oleh Haji
Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman
dengan Raja Ali Haji. Antologi pantun yang pertama itu berjudul
Perhimpunan Pantun-pantun melayu. Genre pantun merupakan genre yang
paling bertahan lama. Pantun sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak
dahulu. Misalnya, wawangsalan, paparikan, sisindiran, sesebred dalam
masyarakat sunda; pantun ludruk, dan gandrung dalam masyarakat jawa;
serta ende-ende dalam masyarakat Mandailing. Bahkan, di sebagian daerah
Sumatra, masyarakat Minangkabau menggunakan pantun sebagai pembuka
acara di perayaan-perayaan. Selain dibaca, pantun juga kerap dinyanyikan.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal yang namanya pantun. Tapi banyak juga di
antara kita yang belum mengenal pantun secara menyeluruh ataupun lebih mendalam. Yang
diketahui sebagian orang hanyalah terdiri dari 4 baris, sudah seperti itu saja. Atau hanya
digunakan dalam soal-soal dan acara-acara pernikahan ataupun acara-acara tertentu. Karena
sebagian orang menganggap bahwa pembelajaran ataupun materi pembahasan tentang pantun
tidaklah terlalu penting untuk dipelajari. Mereka beranggapan bahwa materi itu hanyalah
pembahasan yang tidak enak dan tidak menyenangkan. Padahal pantun ini adalah salah satu jenis
karya sastra yang begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia, tidak heran sudah berjuta-
juta orang membuat pantun yang beraneka ragam, unik dan menarik.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian pantun?
2. Bagaimanakah sejarah pantun?
3. Bagaimanakah ciri-ciri pantun?
4. Bagaimanakah syarat-syarat pantun?
5. Apa sajakah jenis-jenis pantun?

1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa
Indonesia di kelas VIII-10 SMP Negeri 1 Pematangsiantar.

4
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui Pengertian pantun.
2. Mengetahui sejarah pantun.
3. Mengetahui ciri-ciri pantun.
4. Mengetahui syarat-syarat pantun.
5. Mengetahui jenis-jenis pantun.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pantun


Tradisi lisan di mana pun, merupakan asal muasal puisi modern. Bahkan cukup aman untuk
mengatakan bahwa pada dasarnya puisi modern pun yang ditulis berdasarkan prinsip
keberaksaraan, memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan prinsip kelisanan. Piranti puisi
seperti rima, irama, pengulangan, aliterasi, asonansi, dan kesejajaran menunjukkan membuktikan
bahwa puisi tulis dan cetak memang harus “dilisankan” untuk mendapatkan keindahan dan
maknanya meskipun tentu kita tidak perlu melisankan secara keras, tetapi cukup dalam pikiran
kita. Dalam perkembangan puisi kita pengembangan berbagai jenis tradisi lisan itu masih nampak
sampai sekarang, seperti yang tampak dalam penggunaan bentuk-bentuk pantun dan mantra.
Pantun dan mantra merupakan bentuk tradisi lisan kita yang boleh dikatakan “asli”, meskipun
istilah itu bisa saja dimasalahkan.
Pantun merupakan satu di antara sekian banyak genre kesusastraan yang lahir dan
berkembang di nusantara. Pada mulanya, istilah pantun ini berasal dari bahasa Minangkabau
“patuntun” yang berarti penuntun. Namun ternyata, istilah pantun ini pun dikenal juga di
kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Batak, dan Melayu.
Dalam masyarakat Jawa, pantun dikenal dengan istilah “parikan” Dalam masyarakat Sunda
dikenal dengan sebutan “paparikan”. Sementara masyarakat Batak mengenal pantun dengan
istilah “umpasa” (dibaca uppasa). Masih tentang pantun, dalam bahasa Melayu, pantun dikenal
dengan istilah “quatrain”.
Pantun adalah sebuah karya sastra lama yang terikat oleh aturan jumlah bait, baris, dan rima
akhir. Pantun digunakan untuk mencurahkan isi hati seseorang.
Dalam pengertian umum, pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang
menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Pantun adalah puisi asli Indonesia
(Waluyo,1987:9). Orang yang pertama kali membentangkan pikiran dari hal pantun Indonesia ini
adalah H.C. Klinkert dalam tahun 1868. Karangannya bernama “De pantuns of minnenzangen
der Maleier”. Sesudah itu datang Prof. Pijnapple; juga beliau memaparkan pikirannya dari hal ini
dalam tahun 1883. Pantun tepat untuk suasana tertentu, seperti halnya juga karya seni lainnya
hanya tepat untuk suasana tertentu pula.
Menurut Surana (2001:31), pantun ialah bentuk puisi lama yang terdiri atas 4 larik sebait
berima silang (a b a b). Larik I dan II disebut sampiran, yaitu bagian objektif. Biasanya berupa
lukisan alam atau apa saja yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik III dan IV dinamakan isi,
bagian subjektif. Sama halnya dengan karmina, setiap larik terdiri atas 4 perkataan. Jumlah suku
kata setiap larik antara 8-12. Namun, dalam buku Bahan Ajar Sastra Rakyat (2005:70)
mengatakan bahwa:

6
Pantun adalah puisi melayu tradisional yang paling popular dan sering dibincangkan. Pantun
adalah ciptaan asli orang Melayu; bukan saduran atau penyesuaian dari puisi-puisi Jawa, India,
Cina dan sebagainya. Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau
laksana.
Sedangkan dalam Kamus Istilah Sastra (2006:173) menjelaskan bahwa: Pantun adalah Puisi
Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasa terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b) tiap
larik biasanya berjumlah empat kata; baris pertama dan baris kedua biasanya tumpuan (sampiran)
saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi; setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata;
merupakan peribahasa sindiran; jawab (pada tuduhan dan sebagainya).
Menurut penulis, pantun merupakan salah satu jenis puisi lama dalam kesusastraan Melayu
Nusantara yang paling popular. Pada umumnya setiap bait terdiri atas empat baris (larik), tiap
baris terdiri atas 8-12 suku kata, berirama a-b-a-b dengan variasi a-a-a-a. Baris pertama dan
kedua adalah sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi.     

2.2. Sejarah Pantun


Pantun pertama kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat popular yang
sezaman dan  disisipkan dalam syair-syair seperti Syair Ken Tambuhan. Pantun dianggap sebagai
bentuk karma dari kata Jawa Parik yang berarti pari, artinya paribahasa atau peribahasa dalam
bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama atau seloka yang berasal dari India. Dr.
R. Brandstetter mengatakan bahwa kata pantun berasal dari akar kata tun, yang terdapat dalam
berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga, tuntun yang berarti teratur, dalam
bahasa Tagalog ada tonton yang berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam bahasa Jawa
kuno, tuntun yang berarti benang atau atuntun yang berarti teratur dan matuntun yang berarti
memimpin; dalam bahasa Toba pula ada kata pantun yang berarti kesopanan, kehormatan.
Van Ophuysen dalam Hamidy (1983: 69) menduga pantun itu berasal dari bahasa daun-daun,
setelah dia melihat ende-ende Mandailing dengan mempergunakan daun-daun untuk menulis
surat-menyurat dalam percintaan. Menurut kebiasaan orang Melayu di Sibolga dijumpainya
kebiasaan seorang suami memberikan ikan belanak kepada istrinya, dengan harapan agar istrinya
itu beranak. Sedangkan R. J. Wilkinson dan R. O. Winsted dalam Hamidy (1983:69) menyatakan
keberatan mengenai asal mula pantun seperti dugaan Ophuysen itu. Dalam bukunya “Malay
Literature” pertama terbit tahun 1907, Wilkinson malah balik bertanya, ‘tidakkah hal itu harus
dianggap sebaliknya?’. Jadi bukan pantun yang berasal dari bahasa daun-daun, tetapi bahasa
daun-daunlah yang berasal dari pantun.

2.3. Ciri-ciri Pantun


Abdul Rani (2006:23) mengatakan bahwa ciri-ciri pantun sebagai berikut:
1. Terdiri atas empat baris.
2. Tiap baris terdiri atas 9 sampai 10 suku kata.
7
3. Dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya berisi maksud si
pemantun. Bagian ini disebut isi pantun.
4. Pantun mementingkan rima akhir dan rumus rima itu disebut dengan abjad /ab-ab/.
Maksudnya, bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga dan baris
kedua sama dengan baris keempat.
Dalam pantun selalu ada dua dimensi yaitu pertama yang disebut sampiran. Konvensi
mengatakan bahwa tidak ada yang sungguh-sungguh dengan sampiran. Sampiran semata-mata
diciptakan sebagai pengantar menuju isi yang sebenarnya dalam dua larik berikutnya. Bila kita
berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia hal yang sama ditegaskan lagi di sana ketika
tentang sampiran dikatakannya sebagai berikut: “Paruh pertama pada pantun, yaitu baris kesatu
dan kedua berupa kalimat-kalimat yang biasanya hanya merupakan persediaan bunyi kata untuk
disamakan dengan bunyi kata pada isi pantun (biasanya kalimat-kalimat pada sampiran tak ada
hubungan makna dengan kalimat-kalimat pada bagian isi)”.

2.4. Syarat-syarat Pantun


Menurut Effendy (1983:28), syarat-syarat dalam pantun adalah:
1. Tiap bait terdiri dari empat baris
2. Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata atau terdiri dari delapan atau sepuluh suku
kata
3. Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b. dapat juga bersajak a-a-a-a.
4. Sajaknya dapat berupa sajak paruh atau sajak penuh
5. Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir merupakan isi dari
pantun itu.

2.5. Jenis-jenis Pantun


Suroto (1989:44-45) membagi pantun menjadi dua bagian yaitu:
1. Menurut isinya:
a. Pantun anak-anak, biasanya berisi permainan.
b. Pantun muda mudi, biasanya berisi percintaan.
c. Pantun orang tua, biasanya berisi nasihat atau petuah. Itulah sebabnya, pantun ini
disebut juga pantun nasihat.
d. Pantun jenaka, biasanya berisi sindiran sebagai bahan kelakar.
e. Pantun teka-teki
2. Menurut bentuknya atau susunannya:
a. Pantun Berkait, yaitu pantun yang selalu berkaitan antara bait satu dengan bait
kedua, bait kedua dengan bait ketiga dan seterusnya. Adapun susunan kaitannya
adalah baris kedua bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua, baris
keempat bait pertama dijadikan baris ketiga pada bait kedua dan seterusnya.
8
b. Pantun Kilat, sering disebut juga karmina, ialah pantun yang terdiri atas dua baris,
baris pertama merupakan sampiran sedang baris kedua merupakan isi. Sebenarnya
asal mula pantun ini juga terdiri atas empat baris, tetapi karena barisnya pendek-
pendek maka seolah-olah kedua baris pertama diucapkan sebagai sebuah kalimat,
demikian pula kedua baris yang terakhir.

Contoh Pantun dan Jenisnya


Pantun Muda Mudi
Tanam melati di rama-rama
Ubur-ubur sampingan dua
Sehidup semati kita bersama
Satu kubur kelak berdua
Pantun Teka-Teki
Kalau puan puan perana
Ambil gelas di dalam peti
Kalaup uan bijak laksana
Binatang apa tanduk di kaki
Pantun Jenaka
Anak rusa di rumpun salak
Patah tanduknya ditimpa genta
Riuh kerbau tergelak-gelak
Melihat beruk berkacamata
Pantun Berdukacita
Ke balai membawa labu
Labu amanat dari situnggal
Orang memakai baju baru
Hamba menjerumat baju bertambal
Pantun Perkenalan
Sekuntum bunga dalam padi
Ambil batang cabut uratnya
Tuan sepantun langit setinggi
Bolehkah berlindung di bawahnya?
Pantun Perceraian
Pucuk pauh selara pauh
Pandan di rimba diladungkan
Adik jauh kakanda jauh
Kalau rindu sama menungkan

9
Pantun Nasib atau Pantun Dagang
Unggas undan si raja burung
Terbang ke desa suka menanti
Wahai badan apalah untung
Senantiaa bersusah hati
Pantun Orang Tua
Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Pantun Pengiring Lagu
Ayam jago jangan diadu
Kalau diadu jenggernya merah
Baju ijo jangan diganggu
Kalau diganggu yang punya marah
Jalan-jalan ke kota Paris
Lihat gedung berbaris-baris
Saya cinta sama si kumis
Orangnya ganteng sangat romantis
Pantun Nasehat
Membuat manisan dari buah salak
Dijual dengan macam-macam harga
Jadi anak berbaktilah pada ibu bapak
Agar kelak bisa masuk surga 
Kelinci kecil berwarna abu
Berlari-lari dengan ceria
Teruslah menuntut ilmu
Agar bahagia di masa tua
Pantun Pendidikan
Berenang-renang dua ekor itik
Pada sore yang indah di hari selasa
Jadilah anak yang berbudi baik
Selalu membantu kepada sesama
Membeli baju bergambar waru
Pulangnya mampir membeli kelapa
Masa muda banyaklah membaca buku
Agar tak sia-sia di masa tua

10
Burung merpati terbang tinggi
Di langit yang indah nan menawan
Jika ingin bersihnya hati
Jangan suka menggunjing teman
Pantun Jenaka
Ke pasar cermai membeli kacang polong
Jatuh di jalan di injak petani
Jika tidak ingin menjadi ompong
Janganlah malas menyikat gigi
Jalan-jalan ke pantai cemara
Melihat nelayan berkacamata
Masa muda jangan banyak tertawa
Nanti gigi garing tak tersisa
Sajadah hitam harum baunya
Dipakai selalu untuk alas berdoa
Jatuh terpental tiada rasa
Malu sendiri akibatnya
Burung gagak terbang perkasa
Mengitari langit tiada batasnya
Melihat mantan bahagia
Bergandengan dengan pacar barunya
Rambut berantakan tak pernah di sisir
Orang melihat tertawa kesenangan
Pengangguran berserakan seperti pasir
Kurang usaha dan keterampilan
Pantun Agama
Mahkota raja di ikat tali
Dilempar ratu kedalam kali
Tahta harta boleh kau cari
Tapi ingat tak di bawa mati
Bawa koran dari mekaki
Dari malam berlari-lari
Baca quran setiap hari
Gundah hilang tentramnya hati
Berjalan sendiri di malam hari
Bersama angin tetap ceria
Amalkan sunah dari para nabi
Hidup berkah penuh bahagia
11
Si manis beo hobinya terbang
Terbang gesit membawa angan
Bergaullah dengan orang sabar
Agar pahala dilipatgandakan
Pantun Anak
Kelinci kecil berlari-lari
Ditengah taman penuh bunga
Mendengar musik mari menari
Bersama teman penuh suka cita
Burung merpati burung cendrawasih
Hinggap di ranting rumah pak badu
Bersama adik bertukar kasih
Hidup bahagia tentram selalu 
Angin sejuk di malam hari
Silir berganti meniupi apa saja
Ayah dan ibu memberi hati
Anak balas memberi segalanya
Anak manis cantik berdandan
Duduk sendiri sambil mengadu
Bermain komedi putar bersama teman
Sangat asik sampai lupa waktu
Durian runtuh nikmat rasanya
Dimakan bersama di tepi pantai
Liburan itu perlu tampaknya
Agar pikiran menjadi santai
Tupai kecil melompat kehutan
Bersama singa diteriakkan
Semua lagu adik dendangkan
Semua tari kakak lakukan
Kucing sembunyi di dalam karung
Tak tahan dengan busuknya bau
Adik lucu berhidung mancung
Tertawa geli di goda ibu

12
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pantun termasuk ke dalam puisi lama, puisi lama merupakan latar belakang lahirnya puisi
modern dan puisi kontemporer. Puisi lama memiliki banyak aturan yang mengikatnya berbeda
dengan puisi modern yang tidak terikat oleh beberapa aturan. Puisi lama sangat patuh terhadap
konvensi yang ada, seperti jumlah bait, rima, maupun baris.
Ciri-ciri pantun dapat dinyatakan yaitu pantun tersusun atas empat baris dalam tiap
baitnya.Baris pertama dan baris kedua berupa sampiran.Baris ketiga dan keempat merupakan isi/
maksud yang hendak disampaikan.Jumlah suku kata dalam tiap baitnya rata-rata berkisar delapan
sampai dua belas. Jenis pantun dapat dibedakan berdasarkan tingkatan umur pemakainya,
berdasarkan isinya ,dan  berdasarkan bentuknya atau susunannya.
Pantun sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh orang tua, anak-anak, maupun
muda-mudi. Walaupun pantun merupakan karya sastra yang terhitung tua karena kehadirannya
telah ada sudah lama namun pantun tetap bisa bertahan hingga abad ke-20 ini. Banyak karya
sastra lain yang merambah luas di masyarakat kini, pantun tetap menjadi pilihan sebagian orang
dikarenakan sifatnya yang elastis, bisa dipakai dalam situasi apapun. Seiring perkembangan
pantun, pantun memiliki bentukan baru yang disebut seloka, talibun, dan karmina.
                 
3.2. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah hendaknya ilmu tentang kesusastraan selalu digali dan
dipelajari serta diterapkan, khususnya tentang pantun oleh para sastrawan, ilmuan, dan lebih
spesifik lagi oleh mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rani, Supratman. 2006. Intisari Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
Djoko Damono Sapardi. 2004. Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Effendy, M. Ruslan. 1983. Selayang Pandang Kesusastraan Indonesia. Surabaya : PT. Bina
Ilmu.
Gawa John. 2007. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta : Buku Kompas.
Hamzah, Amir. 1996. Esai dan Prosa. Jakarta : Dian Rakyat.
Laelasari dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung : Nuansa Aulia.
Mafrukhi, dkk. 2006. Kompetensi Berbahasa Indonesia Jilid 3. Jakarta : Erlangga.
Rahman, Elmustian dan Abdul Jalil. 2005. Bahan Ajar Teori Sastra. Pekanbaru: Labor Bahasa,
dan Jurnalistik Universitas Riau.
Rosidi Ajip. 1983. Kapankah Kesusteraan Indonesia Lahir?. Jakarta : Gunung Agung.
Surana. 2001. Pengantar Sastra Indonesia. Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga.
Widjoko dan Endang Hidayat. 2007. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung : UPI
PRESS. 

14

Anda mungkin juga menyukai