Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan


penemuan-penemuan baru di berbagai bidang. Salah satu yang paling pesat
mengalami perkembangan adalah dalam bidang nanoteknologi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi material saat ini


semakin ramai dengan telah ditemukannya fungsionalisasi dari material-
material berukuran nanometer atau yang disebut nano material (Hadiyawarman,
2008). Salah satu dari aplikasi nanoteknologi yang banyak dikembangkan
adalah dalam bidang komposit, yaitu dengan penggabungan dua macam bahan
yang mempunyai sifat berbeda menjadi satu material baru dengan sifat yang
berbeda pula. Komposit banyak dikembangkan karena memiliki sifat yang
diinginkan, yang tidak didapat dari material lain apabila berdiri sendiri.
Komposit pada umumnya tersusun dari material pengikat (matrik) dan material
penguat yang disebut material pengisi (filler) (Rusmiyatno, 2007).

Teknologi komposit saat ini didukung oleh perkembangan teknologi


nanomaterial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa komposit yang
menggunakan nanomaterial menghasilkan sifat yang lebih baik (Twardowski,
2007).
Di sisi lain studi mengenai carbon nanotubes (CNT) sedang
berkembang dengan cepat sebagai bagian dari riset nanoteknologi dewasa ini.
Hal ini karena material ini tersusun atas karbon yang keberadaanya di alam
diketahui sangat melimpah. Sebagaimana diramalkan oleh sejumlah peneliti
bahwa salah satu potensi aplikasi material CNT dalam bidang elektronik adalah
sebagai kawat transmisi dengan resistansi yang sangat kecil. Disamping
kegunaannya sebagai material dasar dalam pembuatan divais nanoelektronik
mengingat bahwa material CNT ini mempunyai sifat superior dengan struktur
pori yang teratur berukuran nanometer.
Alasan itulah yang menjadi pemicu pentingnya studi tentang karakteristik dan
gejala transport elektronik pada material CNT.

Dalam beberapa tahun terakhir, komposit polimer konduktif telah


mendapatkan perhatian luas karena penggunaannya dalam berbagai aplikasi
teknologi termasuk perangkat elektronik, lapisan konduktif, penangkal
gelombang elektromagnetik, dan sensor (Dong dkk, 2004). Komposit polimer
konvensional biasanya dengan menggabungkan karbon hitam konduktif dan
logam ukuran mikro (Xue, 2004). Pada umumnya, diperlukan fraksi volume
yang besar dari mikropartikel konduktif untuk mencapai batas ambang
perkolasi listrik. Hal ini disebabkan pembentukan filler konduktif dalam
matriks polimer. Penambahan jumlah filler yang besar dapat menyebabkan
berat molekul meningkat, kemampuan proses dispersi kecil dan kekuatan
mekanik yang rendah dari polimer komposit (Tjong, 2006).
Kemajuan terbaru dalam nanoteknologi mengarah pada pengembangan
nanomaterial dengan area permukaan yang besar. CNT dengan konduktivitas
listrik dan termal yang sangat baik mencapai 3 x 10 5 S/cm merupakan
nanofiller yang sangat menarik untuk komposit polimer. Polyvynilidene
Flouride (PVDF) adalah material semikristal yang menunjukkan aplikasi yang
luas dalam kimia, biomedis dan industri elektronik karena stabilitas termal
yang sangat baik, elastisitas tinggi dan ketahanan kimia yang sangat baik.
PVDF fase β adalah material penting dalam industri elektronik karena memiliki
efek dielektrik dan konstanta piezoelektrik yang tinggi (Newman dkk, 1983).

Komposit polimer konduktif biasanya menunjukkan peningkatan


konduktivitas yang ditandai dengan menurunnya nilai tahanan ketika suhu
mencapai transisi atau mencairnya matriks polimer (Lee dkk, 2006). Dengan
teknologi rekayasa material diharapkan komposit dari Carbon nanotubes
(CNT) dan Polyvynilidene Flouride (PVDF) dapat meningkatkan nilai sifat-
sifat listrik komposit diantaranya nilai konduktivitas listrik.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yang ingin dicapai dalam penyusunan tugas
akhir ini adalah:
1. Membantu membuat material Komposit Carbon Nanotubes-Polyvynilidene
Flouride (CNT-PVDF).
2. Menganalisis hasil dari pengaruh prosentase massa CNT terhadap karakteristik
kelistrikan Komposit CNT-PVDF.

1.3 Manfaat

Hasil dari makalah ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk perkembangan teknologi
komposit ke depannya, terutama untuk mendapatkan optimasi dari sifat kelistrikan komposit
berbasis CNT yang memiliki potensi besar untuk digunakan dalam berbagai aplikasi
diantaranya dalam mengembangkan teknologi nanomaterial.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Komposit
2.1.2 Definisi Komposit
Komposit adalah perpaduan dari material yang dipilih berdasarkan kombinasi sifat fisik
masing-masing material penyusun untuk menghasilkan material baru dengan sifat yang unik
dibandingkan sifat material dasar sebelum dicampur dan terjadi ikatan permukaan antara
masing-masing material penyusun (Gibson, 1994).
Komposit menurut pembentukannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu komposit alami
dan komposit sintetis (buatan). Material komposit alami yaitu tulang, yang terbuat dari
kolagen dan mineral. Komposit sintetis yang telah ada ribuan tahun yang lalu adalah bata
yang diperkuat dengan jerami (Camponesci, 2007).
Pada umumnya komposit terdiri dari dua unsur, yaitu serat (fiber) dan material pengikat
serat-serat tersebut yang disebut matriks. Unsur utama komposit adalah serat. Serat ini yang
menentukan karakteristik bahan kompositnya, seperti kekakuan, kekuatan serta sifat-sifat
mekanik yang lain. Matriks dipilih dari bahan-bahan yang liat dan lunak. Matriks bertugas
melindungi dan mengikat serat agar dapat bekerja dengan baik (Hadi, 2000).
Material komposit menggabungkan keunggulan kekuatan dan kekakuan serat dengan
massa jenis matriks yang rendah. Hasilnya adalah suatu material yang ringan tetapi kuat dan
kaku. Di samping itu, material komposit juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya
mampu menggantikan material logam (kekuatan tinggi), rasio antara kekuatan dan
densitasnya cukup tinggi (ringan), murah (tidak memerlukan proses permesinan), proses
pengerjaan sangat sederhana, dan tahan korosi (komposit non logam) (Harbrian, 2007).

Sifat dan karakteristik dari komposit ditentukan oleh material yang menjadi penyusun
komposit, bentuk dan penyusunan struktural serta interaksi antar penyusun. Bila terjadi
interaksi antar penyusun maka akan meningkatkan sifat dari komposit (Urquhart, 1991).

2.1.3 Pengelompokan Komposit


Pengelompokan komposit berdasarkan jenis serat dibedakan menjadi empat yaitu
continuous fiber composite, woven fiber composite, discontinuous fiber composite dan hybrid
fiber composite (Gibson, 1994). Gambar 2.1 menunjukkan komposit dengan berbagai jenis
serat.

(a) (b)
(c) (d)

Gambar 2.1 Jenis komposit berdasarkan jenis serat (a) continuous fiber composite, (b) woven
fiber composite, (c) discontinuous fiber composite (d) hybrid fiber composite (Gibson, 1994)

Continuous fiber composite terdiri dari susunan serat panjang dan lurus, membentuk
lamina di antara matriksnya. Jenis komposit ini paling banyak digunakan. Kekurangan jenis
serat ini adalah lemahnya kekuatan antar lapisan. Hal ini dikarenakan kekuatan antar lapisan
dipengaruhi oleh matriksnya (Gibson, 1994).

Woven fiber composite merupakan komposit yang tidak mudah terpengaruh


pemisahan antar lapisan karena susunan seratnya juga mengikat antar lapisan.
Akan tetapi, susunan serat memanjangnya yang tidak begitu lurus
mengakibatkan kekuatan dan kekakuan tidak sebaik jenis continuous fiber
composite (Gibson, 1994).

Discontinuous fiber composite tersusun dari serat yang pendek, sedangkan


hybrid fiber composite merupakan komposit gabungan antara tipe serat lurus
dengan serat pendek (Gibson, 1994).

Jenis discontinuous fiber composite dikelompokkan lagi berdasarkan arah


serat yaitu aligned discontinuous fiber, off-axis aligned discontinuous fiber dan
randomly oriented discontinuous fiber. Arah serat pada tiap jenis komposit
ditunjukkan oleh gambar 2.2.

(a) (b) (c)


Gambar 2.2 Jenis discontinuous fiber composite (a) aligned discontinuous fiber,
(b) off-axis aligned discontinuous fiber, (c) randomly oriented
discontinuous fiber (Gibson, 1994)
Randomly oriented discontinuous fiber merupakan komposit dengan serat
pendek yang tersebar secara acak di antara matriksnya. Tipe acak sering
digunakan pada produksi dengan volume besar karena faktor biaya
manufakturnya yang lebih murah (Gibson, 1994).
Pengelompokan komposit juga dapat berdasarkan jenis matriks. Material
matriks pada komposit dapat berupa logam, keramik atau polimer. Logam dan
polimer telah digunakan sebagai material matriks karena memiliki kelenturan
alami yang tinggi (Camponesci, 2007).
Komposit bermatriks logam (Metal Matriks Composite, MMC) dapat
dibuat dari beberapa matriks logam yang berbeda. Hal ini untuk mendapatkan
MMC yang ringan, kuat, memiliki ketahanan kimia dan ketahanan temperatur.
MMC digunakan dalam aplikasi militer dan luar angkasa. Komposit bermatriks
keramik (Ceramic Matriks Composite, CMC) diketahui memiliki ketahanan
temperatur tinggi dan kuat, namun umumnya rapuh. CMC dimanfaatkan pada
aplikasi mesin, otomotif dan penerbangan. Komposit bermatriks polimer
(Polymer Matriks Composite, PMC) merupakan material komposit yang banyak
digunakan karena kemampuannya menggabungkan sejumlah serat yang berbeda
(Camponesci, 2007).

2.1.4 Nanomaterial
Nanomaterial merupakan material yang berukuran pada jangkauan nanometer
(10-9 meter). Material bulk didefinisikan sebagai material yang disusun atas
atomatom atau ion-ion pada jumlah yang besar, yang dimensinya berukuran
pada jangkauan mikro atau lebih.

Dasar-dasar nanomaterial yang sangat penting adalah bentuk morfologi dari


partikel-partikel yang nantinya akan mempengaruhi sifatnya. Berbagai bentuk
morfologi dari nanomaterial adalah nanotubes, nanorods, nanokepinges,
triangles, nanowire, dan lain-lainnya (Navaladian, 2007).

Sifat-sifat nanomaterial yang berbeda dengan sifat material lain yang


banyak ditemukan adalah pada variasi perbedaan diameter, titik leleh yang
bersifat anomali, kekuatan dan kekerasan yang diperbesar serta struktur kristal
yang tidak biasa (Navaladian, 2007).

Menurut IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry)


bahwa material berpori diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori berdasarkan
ukuran porinya, yaitu mikropori (diameter pori kurang dari 2 nm, terdiri dari
ultramikropori dengan ukuran lebih kecil 0,7 nm dan supermikropori berukuran
1 sampai 2 nm), mesopori (diameter pori antara 2 sampai 50 nm) dan
makropori (diameter pori lebih dari 50 nm).
2.1.5 Carbon Nanotubes
2.1.5.1 Sejarah Penemuan Carbon Nanotubes
Pada tahun 1985, Richart E smalley, Robert F culr Jr dan Sir Harold W
Croto menemukan struktur karbon murni yang tersusun 60 atom (C60).
Penemuan ini cukup menarik, mengingat selama ini hanya ada dua bentuk
karbon murni yaitu grafit dan intan. Dalam perkembangan berikutnya molekul
C60 ini lebih dikenal dengan nama fullerene dan digunakan pula untuk menamai
molekul-molekul serupa yang ditemukan sesudahnya seperti C70, C74 dan C82
dan lain-lain.

Penemuan fullerene ini kemudian memacu penemuan material baru


bernama carbon nanotubes yang sering disebut sebagai CNT. Struktur CNT
mirip dengan fullerene, bedanya atom-atom karbon pada fullerene membentuk
struktur bola sedangkan pada CNT berbentuk tabung silinder yang pada tiap-
tiap ujungnya tertutup oleh karbon-karbon yang berbentuk setengah struktur
fullerene sehingga CNT mempunyai ruang kosong di dalamnya.

Struktur CNT yang berupa MWNT pertama kali ditemukan oleh Sumio
Iijima dari NEC laboratories di Jepang tahun 1991. Berdasarkan jumlah
dinding yang dibentuknya ada dua jenis CNT yaitu Single-Willed Nanotubes
(SWNT) yang hanya membentuk satu dinding dan Multi-willed Nanotubes
(MWNT) yang membentuk lebih dari satu dinding berlapis-lapis (Anggraeni,
2006).
Struktur MWNT mempunyai karakteristik cukup unik, namun
penelitian secara teori mengindikasikan bahwa jenis CNT berdinding satu lapis
(SWNT) mempunyai karakter lebih menarik dan fantastis dari pada MWNT.
SWNT mempunyai diameter yang lebih kecil dari MWNT, yaitu di bawah 2
nm. Oleh karena itu pembuatan SWNT lebih sulit bila dibandingkan dengan
MWNT (Anggraeni, 2006).

2.1.2.6 Struktur Carbon Nanotubes


Struktur carbon nanotubes dapat dianggap sebagai lembaran graphene
yang terbungkus panjang, sehingga CNT dapat dianggap seperti struktur satu
dimensi. Berdasarkan jumlah dinding yang dibentuknya ada dua jenis CNT
yaitu SingleWalled Nanotubes (SWNT) yang hanya membentuk satu dinding
dan Multi-Walled Nanotubes (MWNT) yang membentuk lebih dari satu
dinding berlapis-lapis. Struktur MWNT mempunyai karakteristik cukup unik,
namun penelitian secara teori mengindikasikan bahwa jenis CNT berdinding
satu lapis (SWNT) dan biasanya berdiameter lebih kecil (2 nm) mempunyai
karakteristik yang lebih menarik dan fantastis. Bentuk molekul dari CNT dapat
dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur carbon nanotubes a) struktur SWNT, b) struktur
MWNT (Mu¨ller, 2004)
CNT terdiri dari dua daerah terpisah dengan sifat fisika dan kimia yang
berbeda. Daerah yang pertama adalah dinding samping tabung dan yang kedua
adalah tutup tabung tersebut. Struktur tutup ini didapat dari suatu bagian dari
fullerene yang kecil, seperti C60.

Atom-atom karbon (C) yang ditempatkan dalam sudut segi enam


(hexagonal) dan segi lima (pentagonal) membentuk struktur tutup. Hal itu
dapat dengan mudah diperoleh dari teori Euler bahwa 12 segilima diperlukan
dalam rangka memperoleh suatu struktur sangkar tertutup yang terdiri dari
pentagonal dan hexagonal. Sebuah kombinasi dari suatu segi lima dan 5 segi
enam yang mengelilingi menghasilkan sebuah lengkungan yang diinginkan
untuk dapat melingkupi suatu volume tertentu.

2.1.7 Ikatan Atom Karbon pada Carbon Nonotube


Untuk memahami struktur dari carbon nanotubes, maka perlu dipahami
struktur karbon yang mengikat atom-atom terlebih dahulu. Suatu atom karbon
mempunyai enam elektron dengan dua elektron mengisi orbital 1s dan sisanya
yaitu empat elektron mengisi sp3 atau sp2 seperti halnya hibridisasi orbital sp
yang bertanggung jawab untuk mengikat struktur dari carbon nanotubes seperti
yang ditunjukkan pada gambar 2.5 di bawah.

sp2
Gambar 2.5 Hibridisasi dari carbon nanotubes (Meyappan, 2005)

Carbon nanotubes merupakan suatu silinder cekungan yang dibentuk


dengan menggulung lembaran-lembaran grafit (graphene). Sehingga ikatan di
dalam carbon nanotubes yang paling utama adalah sp2. Sedangkan fullerene
terbuat dari 20 heksagonal dan 12 pentagonal. Ikatannya adalah sp2 walaupun
tercampur dengan karakter sp3 yang diakibatkan adanya lekukan pada
strukturnya (Meyappan, 2005).
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Gerakan muatan listrik yang terus menerus akan menghasilkan arus


lislrik dan proses pemindahan muatan yang disebut konduksi listrik. Arus I
didefinisikan sebagai perubahan muatan yang berpindah melalui suati titik
persatuan waktu di dalam sistem yang berkonduksi. Secara matematik
dinyatakan:

I = dq/dt (2.3)

Arus I adalah sama untuk semua penghantar, walaupun luas penempang


mungkin berbeda pada titik-titik yang berbeda. Tetapi yang membedakan arus
tersebut adalah karakteristik pada setiap penghantar yang direpresentasikan
sebagai hambatan (resistance).

Sesuatu yang dihubungkan dengan hambatan adalah resistivitas (ρ),


yang merupakan karakteristik dari suatu bahan, sehingga nilai hambatan dapat
diketahui melalui persamaan:

R = ρL/A (2.4)

L merupakan panjang penghantar (m) dan A adalah luas penampang


penghantar (m2).

Setelah mengetahui persamaan tersebut, maka akan kita dapatkan


potensial listrik yang besarnya:
V = IR (2.5)

Dalam satuan Standar Internasional (SI), V memiliki satuan Volt, R memiliki


satuan Ohm, dan I memiliki satuan Ampere.

Besarnya nilai konduktivitas listrik berbanding terbalik dengan resistivitas dari


bahan, secara matematik dirumuskan (Soewolo dkk, 2003):

σ = 1/ρ (2.6)
2.1 Perilaku antara Matriks dan Filler serta Surfaktan pada Komposit
Pada temperatur glasis polimer mengalami perubahan keadaaan dan
perilakunya dari kaku, getas, padat seperti gelas menjadi fleksibel, lunak,
elastis, seperti fluida (visko elastik) sehingga rantai polimer meregang. Gambar
2.13 menunjukkan perubahan perilaku polimer terhadap temperatur.
Gambar 2.13 Perubahan perilaku polimer terhadap temperatur
(Saptono, 2008)

Temperatur 40°C merupakan temperatur di atas temperatur glasis (T g)


PVDF yaitu -35°C (Kawai, 1969). Temperatur glasis menjadi temperatur
minimum dalam pengolahan polimer. Pada temperatur 40°C, rantai PVDF yang
meregang menyebabkan aceton semakin mudah berinteraksi dengan PVDF
sehingga mempercepat proses pelarutan.
Proses pengadukan yang dilakukan selama proses pemberian panas
(pada temperatur 40°C) selain membantu pemerataan panas pada larutan, juga
memberikan energi mekanik sehingga penyerapan aceton lebih optimal dan
mempercepat proses pelarutan. Gambar 2.14 menunjukkan perbedaan kelarutan
partikel dengan beberapa keadaan. Pelarutan partikel di atas Tg dengan
pengadukan menunjukkan pelarutan yang lebih efektif dengan terbentuknya
lapisan yang menyerap pelarut lebih merata pada permukaan partikel.

(a) (b) (c)


Gambar 2.14 Pelarutan partikel (a) di bawah Tg (b) di atas Tg (c) di
atas Tg dengan pengadukan (Twardowski, 2007)
PVDF yang terlarut dalam aceton menghasilkan larutan PVDF yang
memilki peran ganda yaitu sebagai pendispersi dan matriks penyusun
komposit. Larutan PVDF mendispersikan CNT dengan proses pengadukan.
Interaksi yang terjadi antar CNT dan larutan PVDF ditunjukkan oleh gambar
2.15.

Gambar 2.15 Gambaran larutan PVDF yang menyelubungi CNT


(Ajayan,
2007)

Rantai polimer dari PVDF menyelubungi dinding CNT (Ajayan, 2007).


Namun demikian, CNT memiliki kecenderungan membentuk gumpalan dengan
material yang sejenis, sehingga sukar untuk didispersikan dengan baik
(Vaisman dkk, 2006), karena itu ikatan antarmuka antara matriks polimer dan
CNT menjadi lemah. Penambahan surfaktan menjadi sangat penting
peranannya pada proses pengadukan komposit untuk dapat menghubungkan
antara matriks polimer dan CNT, sehingga meningkatkan ikatan antarmuka
antara matriks polimer dan CNT (Camponeschi, 2007). Gambar 2.16
menunjukkan proses interaksi antara surfaktan dengan CNT.

Gambar 2.16 (a) satu molekul X-100 Triton, (b) CNT dibungkus oleh molekul
Triton
X-100 (1 CMC), (c) Triton X-100 micelle, (d) CNT dibungkus oleh Triton X-100
micelle (10 CMC) (Yan Geng dkk, 2008)

Gambar 2.16 memperlihatkan bahwa bagian kepala dari Triton X-100


yang terdapat gugus OH- berinteraksi dengan aceton atau bersifat hidrofilik,
sedangkan bagian ekornya yang bersifat hidrofobik berinteraksi dengan CNT.
Dengan adanya surfaktan ini menghasilkan ikatan antarmuka antara matrik dan
CNT semakin kuat. 2.8 Karakterisasi Komposit dengan Scanning Electron
Microscopy (SEM) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan suatu
teknik analisis yang digunakan untuk menggambar keadaan tekstur, topograpi
serta corak dari suatu permukaan molekul berdasarkan berkas elektron yang
diberikan pada sampel senyawa tersebut. Citra atau gambar dari hasil analisis
SEM ini menggambarkan suatu bentuk tiga dimensi dari permukaan molekul
yang diinterprestasikan kedalam sebuah layar (Egerton, 2008 ).

Pada dasarnya prinsip kerja SEM adalah seperti mikroskop, tetapi


dalam SEM menggunakan berkas elektron sebagai ganti cahaya untuk
membentuk suatu gambaran tiga dimensinya. Suatu berkas elektron diberikan
dari electron gun melalui suatu lensa elektromagnetis. Di dalam lensa
elektromagnetis terdapat koil yang berfungsi untuk memfokuskan berkas
elektron agar mengarah pada suatu sampel. Sampel akan menghamburkan
sejumlah elektron (secondary electron) yang nantinya akan ditangkap oleh
detektor. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya
diperkuat sinyalnya, kemudian ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada
layar monitor CRT (cathode ray tube) berdasarkan amplitudonya. Di layar
CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat. Pada
proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga
bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang tiga dimensi (Egerton,
2008 ).

Gambar 2.17 Mekanisme kerja SEM (Egerton, 2008 )


Untuk menghasilkan suatu gambaran dalam suatu layar, berkas elektron
yang diterima di detektor diperbesar dan diinterprestasikan dalam bentuk tiga
dimensi. Berkas elektron sebear 1.000 poin diteruskan secara horisontal ke
seberang sampel secara tegak lurus. Ini memberi 1.000.000 poin informasi.
Elektron yang datang ditransfer untuk disesuaikan titik pada layar. Karena
layar juga mempunyai 1.000 poin horizonal dan 1.000 bentuk tegak lurus,
maka citra atau gambar dapat secara tepat dapat ditampilkan dalam layar
(Egerton, 2008).

2.2 Uji Konduktivitas Listrik


Salah satu parameter untuk mengetahui sifat listrik dari komposit adalah
dengan mengetahui sejauh mana kemampuan dari material komposit tersebut
untuk menghantarkan listrik. Hal ini bisa diketahui dari nilai konduktivitasnya.
Salah satu metode yang digunakan adalah dengan Two Point Probe
yaitu dengan menggunakan I-V meter dua probe.
luas penampang = A
l

probe probe

I terukur

Gambar 2.18 Skema pengukuran menentukan konduktivitas material


(khairurrijal dkk, 2006)
Hasil pengukuran menggunakan I-V meter menunjukkan kurva Ohmik
pada grafik I-V sesuai hukum Ohm. Data Voltage dan Current yang dihasilkan
selanjutnya diolah sesuai hukum Ohm untuk menentukan nilai konduktivitas
bahan (khairurrijal dkk, 2006).
.
2.3 Sintesis CNT dengan metode spray pyrolysis

Metode spray pyrolysis merupakan salah satu metode sederhana untuk


fabrikasi CNT. Sistem pemanas untuk sintesis CNT dirancang dengan
memanfaatkan tabung quartz yang digunakan sebagai tempat sintesis
berdiameter 3,5 cm dan panjang 1 meter. Tabung quartz tidak dipasang secara
permanen di dalam pemanas (furnace) dengan tujuan untuk mempermudah
di dalam pengambilan hasil material CNT yang terdapat di dalamnya
(Subagio, 2006). Gambar 3.1 menunjukkan sistem spray pyrolysis yang
digunakan dalam sintesis CNT.
Gambar 3.2 Skema sistem spray pyrolysis yang digunakan untuk sintesis
CNT (Subagio, 2006)
Sintesis dilakukan dengan mencampurkan 3 gram ferrocene ke dalam
50 ml benzene. Sebelum sintesis, terlebih dahulu dilakukan thermal cleaning
dengan mengalirkan gas argon ke dalam tabung quartz. Setelah temperatur
sintesis yang diharapkan tercapai, selanjutnya campuran ferrocene dan
benzene disemprotkan ke dalam tabung. Proses sintesis dilakukan selama 30
menit. CNT yang dihasilkan berbentuk serbuk berwarna hitam (Rowi, 2008).

Sintesis dilakukan dengan mencampurkan 3 gram ferrocene ke dalam


50 ml benzene. Sebelum sintesis, terlebih dahulu dilakukan thermal cleaning
dengan mengalirkan gas argon ke dalam tabung quartz. Setelah temperatur
sintesis yang diharapkan tercapai, selanjutnya campuran ferrocene dan
benzene disemprotkan ke dalam tabung. Proses sintesis dilakukan selama 30
menit. CNT yang dihasilkan berbentuk serbuk berwarna hitam (Rowi, 2008).

Skema dalam percobaan ini dijelaskan dalam gambar 3.3.


Mulai

Pencampuran
3 g Ferrocene Ferrocene dan 50 mL Benzena
Benz ena

Proses pyrolysis
selama 30 menit pada
suhu 900 oC

Serbuk CNT

Selesai

Gambar 3.3 Skema sintesis Carbon Nanotubes dengan metode spray


pyrolisis 3.3.2 Pembuatan komposit CNT-PVDF

Pembuatan komposit CNT-PVDF dengan menggunakan metode


solution processing. Metode solution processing banyak digunakan dalam
pembuatan komposit polimer/nanotube. Mekanisme pada metode solution
processing yaitu polimer dilarutkan, kemudian ditambahkan nanotube.
Komposit yang dibuat menggunakan Polyvinylidene Flouride (PVDF)
sebagai matriks. PVDF dilarutkan dalam aceton. Pelarutan PVDF dalam aceton
didorong kesamaan sifat polar dari PVDF dan aceton. Adanya gugus hidroksil
menyebabkan PVDF mudah menyerap aceton. Pelarutan PVDF pada
penelitian ini menggunakan konsentarsi PVDF 5%, 1 gram PVDF dilarutkan
dalam 20 ml aceton. PVDF ditambahkan dalam aceton dan diaduk dengan
magnetic stirrer sampai temperatur 40°C.

PVDF yang terlarut dalam aceton menghasilkan larutan PVDF.


Langkah selanjutnya, melarutkan CNT dalam aceton dan menambahkan Triton
X-100 sebagai surfaktan. Pada penelitian yang dilakukan larutan PVDF
memilki peran ganda yaitu sebagai pendispersi dan matriks yang menyusun
komposit. Larutan PVDF mendispersikan CNT dengan proses pengadukan.
Skema percobaan ini dijelaskan dalam gambar 3.4
Mulai

1 g PVA Pelarutan PVDF 40 mL aceton


(0 °C - 40°C )

Larutan PVDF

Penambahan Larutan
CNT /Triton X - 100 (4 mL )
Pengadukan pada
dengan massa CNT
temperatur 40°C
terhadap komposit 0 %,
selama 1 jam
2% , 4%, 6%, 8% dan 1 0% .

Larutan Komposit CNT -PVDF

Komposit di tuang dalam cetakan

Hot pressing 200°C


1 MPa

Komposit CNT -PVDF dalam bentuk padat

Selesai

Gambar 3.4 Skema proses pembuatan komposit dengan


variasi massa CNT terhadap massa komposit

Komposit CNT-PVDF telah dibuat dengan metode solution processing. PVDF


dilarutkan dalam aceton , kemudian CNT dilarutkan dalam aceton dan ditambahkan Triton
X-100 4 ml. Larutan PVDF dan larutan CNT masing-masing diaduk selama 1 jam dengan
menggunakan magnetic stirrer, kemudian keduanya dicampur dan diaduk pada temperatur
40oC sampai aceton menguap. Komposit dicetak menggunakan alat hot-pressing pada
tekanan 1 MPa dan suhu 200oC selama 10 menit. Komposit CNT-PVDF dikarakterisasi
dengan uji konduktivitas untuk menghasilkan nilai konduktivitas. Hasil analisis dari uji
konduktivitas menunjukkan bahwa penambahan CNT pada komposit CNT-PVDF
meningkatkan nilai konduktivitasnya. Pada prosentase massa CNT 2%, 4%, 6%, dan 8%
konduktivitas mengalami peningkatan perlahan. Peningkatan konduktivitas yang tinggi
diperoleh pada prosentase massa CNT 10% yaitu sebesar 5.36 x 10−3 Ω-1m-1. .
Kesimpulan

Berdasarkan contoh hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Komposit CNT-PVDF telah berhasil dibuat dengan metode solution processing, dengan
penambahan surfaktan.

2. Penambahan CNT pada pembuatan komposit CNT-PVDF mempengaruhi nilai sifat listrik
komposit CNT-PVDF. Pada prosentase massa CNT 2%, 4%, 6%, dan 8% konduktivitas
mengalami peningkatan perlahan. Peningkatan konduktivitas yang tinggi diperoleh pada
prosentase massa CNT 10%.

3. Nilai konduktivitas tertinggi diperoleh pada komposisi CNT 10% yaitu sebesar 5.36 x 10−3
Ω-1m-1.

Anda mungkin juga menyukai