Anda di halaman 1dari 3

CHAPTER 6

Hari pertama di sekolah

Suatu pagi di hari Senin, bibi Baba yang masih berada di Tian jin, seorang pelayan membantu
ku memakai seragam baru. Ini masih kepanjangan, dengan warna putih dan memiliki nama
sekolah ku, Sheng xin, berwarna merah terang disulan dan saku sebelah kiri.

Selesai sarapan, aku berdiri di bawah untuk menunggu seseorang yang akan membawaku ke
sekolah, mengira-ngira siapa yang membawaku. Aku terlalu senang untuk memulai hari
pertama di sekolah karena aku akan memulai sekolah dasar yang berada di sebelah sekolah
kakak tertua ‘ Aurora middle school’. Kakak tertua, masih berada di tempat tidur. Dia akan
memulai sekolah satu jam lebih lambat dibanding diriku. Supir telah pergi dulu untuk
mengantarkan abang ku yang bersekolah di St.John, yang memiliki arah berbeda dengan
sekolahku.

Aku melihat koki menggunakan sepedanya yang akan menuju ke pasar. Dia melihatku dan
bertanya.

“siapa yang akan mengantarmu kesekolah?” dia bertanya

“aku tidak tahu.” Aku gugup dan tidak dapat menahan untuk berteriak dan menatap jam besar
yang terus berdetak. Ini sudah terlambat dan semua orang melupakanku. Apa yang harus
kulakukan? Aku menjadi panik dan air mata mulai mengalir di pipiki.

Koki terperanjat.”ini jelas bukan tugasku. Tidak ada yang menyebutkan tentangmu.” Dia
tampak menaiki sepeda dan akan pergi ketika dia melihat air mata ku.”sekarang, sekarang!
jangan menangis! Telat ke sekolah tidak akan kiamat... ohh baiklah! Ayo sini! Dia mengomel
dan dia menempatkan ku di dekat stang sepeda. “sekolahmu dekat dengan pasar. Duduk diam
dan jangan menggeliat. Kita tidak punya waktu untuk itu.”

sepulang sekolah yang sudah hampir sore, aku menunggu di pintu keluar sekolah ku. Satu
demi satu mereka dijemput oleh orang tua nya. Sekarang, aku tinggal sendiri. Tidak ada
seorangpun yang datang menjemputku. Gerbang baja itu perlahan tertutup dibelakang ku saat
aku melihat teman sekelasku pergi dengan menggenggam tangan ibu sambil menceritakan
pengalaman mereka di sekolah. Setelah sekian lama, aku bermain di taman. Tidak ada
seorang pun yang terlihat. Perlahan, aku mendorong pintu baja itu. Sudah dikunci. Aku
menggigil dengan rasa takut, aku menyadari tidak ada seorangpun yang datang menjemputku.
Aku berjalan menyusuri jalan Shanghai. Pasti, jika aku berusaha keras pasti aku ingat jalan
pulang kerumah.

Ini sangat cantik dengan pemandangan senja. Ini pertama kali aku berpergian sendiri,
menyusuri jalan dengan pohon yang tinggi, mobil, kereta dan sepeda yang berlalu lalang.
Aku terus berjalan tapi belum berani untuk menyeberang, terpukau dengan pemandangan di
etalase toko yang berwarna warni, menarik, papan dua bahasa. Aku memutar menuju ke
ujung dan melihat trotoar yang penuh dengan orang: tentara yang keren membawa senjata
bambu; kereta yang menjual mainan, jangkrik di dalam kandang, kipas, es teh, permen, roti
daging, kue gulung, teh telur dan kacang fermentasi. Kecuali aku, semua orang pergi menuju
kesuatu tempat. Semua orang punya tujuan. Aku pasti sudah berjalan jauh sekali. Tapi
dimana aku?

Haruskah aku masuk ke toko dan bertanya tentang arah? Tapi aku tidak tahu alamat rumah.
Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku menghampiri orangtua yang tersenyum ramah
kepadaku yang sedang berada di depan toko antik dan berkat,”Tolong tuan, aku ingin
pulang.” Tapi dimana rumah ku?

Semakin gelap. Lampu neon berwarna biru, merah dan oranye datang dan berkedip
kepadaku. Apakah dirumah ada yang merindukanku? Apakah mereka berfikir aku masih di
sekolah? Apakah mereka mencariku? Apa yang harus aku lakukan?

Aku berjalan melewati sebuah toko, toko dimsum. Aroma yang enak dan menggiurkan
menguap dari pintu! Dari etalase toko, aku melihat bebek panggang, ayam saos kacang, dan
babi panggang yang tergantung. Seorang koki muda memotong bebek menjadi potong kecil.
Bukankah sangat nikmat jika diberikan sepotong daging? Tapi aku terlalu berharap banyak.
Aku akan membutuhkan tenaga yang ekstra untuk mengunyah.

Saat aku menelan ludah ku, aku membayangkan kenikmatan daging melewati tenggorokanku.
Sarapan pagi seperti sudah terjadi lama sekali!

Seseorang menyentuh pundakku. Aku mendongakkan kepala dan melihat. Seorang wanita
dengan wajah merah yang aku lihat sedang duduk di meja restoran. “Mengapa kau berdiri di
depan sini hampir 1 jam. Apa yang ibumu lakukan dengan meninggalkanmu di luar sendiri?
Apakah dia tahu bahwa sangat berbahaya untuk anak seusia mu berjalan sendiri di sini? Apa
kalian berencana untuk makan malam disini?”

Buruk, aku menundukkan kepala dan menatap kaki ku. “Ayo masuk dan tunggu dia
didalam,”dia mengajakku dan melirik ke arah seragam sekolah ku. “ Anakku akan bersekolah
ditempatmu juga besok.”

Saat berada didalam, suasana sangat panas dan berisik. Aku berdiri terpaku didekat pintu
masuk. Tiba-tiba, aku melihat telepon genggam berwarna hitam di mesin kasir! Aku teringat
game yang kumainkan bersama abanng tertua dalam memecahkan teka-teki nomor telpon
rumah kami.

Aku bergegas dan memeet nomor tersebut dan tidak ada orang yang berbicara. Ayah
menjawab setelah panggilan yang ketiga.

“Bicaralah! Ayah berteriak.” Ini sangat berisik. Siapa ini?”

“Ini aku, anak kelima.”

“Dimana kamu?” ayah bertanya dengan nada yang sedikit mereda dan tiba-tiba aku nenyadari
suatu hal bahwa tidak ada orang yang merindukanku. Mereka tidak tahu bahwa aku tidak
berada dirumah.
“Aku di restoran. Aku tersesat saat mencoba berjalan menuju kerumah dari sekolah.”

“Biarkan aku biacara pada orang disitu. Kamu tetap disitu dan aku akan pergi
menjemputmu.”

Beberapa saat kemudian, ayah datang. Jalanan sangat ramai dan hanya ada sunyi diantara
kami. Ketika kami sudah sampai, dia mengusap kepalaku. “ Lain kali ketika kau akan pergi
seorang diri untuk pertama kalinya,” dia menyerahkan Peta Shanghai dari mobil,” Baca map
dan temukan dimana dirimu berada dan kemana kamu akan pergi. Dengan cara itu kau tidak
akan tersesat lagi.”

Itulah yang akan aku lakukan, aku berkata pada diriku sendiri. Setelah makan malam, aku
akan menanyakan kakak tertua untuk mengajarkanku cara membaca map. Bibi Baba yang
masih berada di Tianjin, sudah pasti tidak ada orang yang peduli padaku. Aku hanya harus
menemukan jalanku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai