Homiletika
a) Tujuan (skopus) nats khotbah juga menjadi tujuan khotbah. Skopus khotbah adalah kalimat
berita, tetapi bisa juga kalimat imperatif. Dengan menentukan skopus berarti tujuan khotbah
itu sudah jelas keterarahannya. Maka, tujuan (skopus) itu perlu ditulis supaya dalam
menyusun khotbah, kita tidak keluar dari tujuan itu.
b) Bagian-bagian yang penting di dalam nats kita diutamakan dari yang kurang penting.
c) Bagian-bagian di dalam khotbah sesuai dengan bagian-bagian di dalam nats; boleh dibagi
dua, tiga, empat atau lima sesuai dengan nats itu. Pada dasarnya, bagi Rothlisberger,
pembagian itu bukanlah persoalan yang teramat penting sebab mimbar bukanlah tempat
kuliah atau kamar bedah. Yang menjadi perhatiannya adalah ketika pembagian itu
menyebabkan jelasnya dan terangnya pokok khotbah itu. Maksud pembagian itu adalah
mengolah pokok berita dan mengembangkannya.3
d) Nats khotbah diterangkan dengan kata-kata, kalimat-kalimat dan uraian-uraian yang jelas.
Setiap aspek yang dipersiapkan dalam khotbah dipertimbangkan secara mendetail.
1
William Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hal. 56.
2
H. Rothlisberger, Homiletika: Ilmu Berkhotbah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 61.
3
Ibid., hal. 71-72.
1
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika
2
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika
f) Pengkhotbah menyampaikan dengan lebih menarik tanpa terpaku pada buku persiapannya.
Variasi dalam berkhotbah mempengaruhi daya penerimaan jemaat pada isi khotbah.
Sebaliknya, jika ia kaku pada buku/kertas persiapannya malah ketidaksiapan yang akan
menjadi penilaian umum oleh jemaat kepadanya.
g) Waktu ditentukan agar tidak terlalu pendek atau terlalu panjang (sekitar 20-25 menit).
h) Gerak pengkhotbah harus asli dan muncul dari dalam hatinya. Demikian juga gerakan
tangan/cukup menolong untuk menekankan sesuatu melalui kotbah. Tetapi kesemuanya itu
harus terkendali. Jangan karena menggunakan gerak, akhirnya kita seperti menari-nari dalam
mimbar dan jangan pula badan kita kaku seperti patung.
i) Mimik si pengkhotbah menampilkan wajah yang cerah, ceria, dan penuh senyuman.
Pengkhotbah menatap mata para pendengar sewajarnya dengan mengarahkan pandangannya
ke audiens. Pengkotbah harus mampu memandang sebagai satu kesatuan. Peranan sorotan
mata amat penting. Tidak boleh memandang ke bawah seakan-akan membaca atau
memandang ke atas karena tidak tahan menghadapi pendengar, baik yang duduk di sebelah
muka, belakang, samping kiri, kanan, agar mereka semua juga merasa dekat dengan kita.
C. Hubungan Pengkhotbah dengan Jemaat
Jemaat sebagai pendengar dari sebuah khotbah bisa merasa puas ketika mendengarkan
khotbah yang dirasa menarik serta menjawab pergumulan mereka. Sebaliknya, jemaat dapat
merasa kecewa ketika khotbah yang mereka dengar dirasa tidak menarik, tidak menjawab
pergumulan mereka dan mungkin malah menyindir kehidupan pribadi jemaat yang dianggap
buruk oleh pengkhotbah. Dalam hal ini, tugas seorang pengkhotbah dalam mempersiapkan
khotbahnya memang tidaklah sederhana. Seorang pengkhotbah diharapkan mampu untuk
menyajikan khotbah yang sekurang-kurangnya dapat menjawab pergumulan jemaat.
Pengkhotbah diharapkan dapat meramu dengan baik antara Firman Tuhan yang bersumber dari
Alkitab, masalah-masalah yang aktual, pergumulan jemaat, dan menggabungkan dengan ilustrasi
yang menarik menjadi sebuah khotbah yang benar-benar berkualitas.
Dalam pada itu, pengkotbah harus bisa menyesuaikan diri kepada semua lapisan manusia.
Seorang pengkotbah harus menganggap semua manusia sama-sama berdosa di hadirat Allah dan
membutuhkan keampunan dosa. Paulus mengatakan: “Demikianlah bagi orang Yahudi aku
menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…” (I Korintus
3
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika
9:20-22). Seorang pengkotbah harus mempunyai solidaritas yang tinggi. Dia tidak merasa tinggi
hati menghadapi orang yang lemah dan hina dan tidak merasa minder di hadapan orang-orang
terhormat dan orang-orang besar. Sikap yang seperti ini bisa lahir dalam hidup pengkotbah
bilamana ia senantiasa dekat kepada Allah. Harus diingat bahwa Firman Allah ini ditujukan
selain kepada diri pengkotbah sendiri juga kepada semua orang tanpa kecuali. Baik dia kaya atau
miskin, berpendidikan atau tidak, pejabat atau rakyat biasa, sebab kepada merekalah Firman
Tuhan diberitakan.
Khotbah yang disampaikan dalam kebaktian minggu tidak bisa dipisahkan dari
pengkhotbahnya/orang yang membawakan khotbah tersebut. Kelakuan oknum yang berkhotbah
menjadi sebuah kesaksian yang kuat daripada isi khotbahnya, atau dengan perkataan lain,
khotbahnya akan berpengaruh atau berkuasa, karena diiyakan dan diperkuat oleh kelakuannya.4
4
P.H.Pouw, Homiletik: Uraian Singkat Tentang Ilmu Berkhotbah, (Bandung: Kalam Hidup, 2013), hal. 9.