Anda di halaman 1dari 4

Hottua Antoni Naibaho (0220180498)

Homiletika

Uraian tentang Penyusunan dan Pelaksanaan Khotbah

A. Bagaimana Menyusun Khotbah?

William Evans mendefinisikan berkhotbah sebagai “memberitakan kabar kesukaan yang


dilakukan oleh seorang manusia dan ditujukan kepada sesamanya”. Dalam gambaran Evans,
pengkhotbah boleh diumpamakan sebagai seorang arsitek yang hendak mendirikan bangunan
dari bahan-bahan yang ada; atau boleh juga sebagai seorang panglima perang yang membagi
serta menugaskan resimennya untuk mencapai tujuan kemenangan mereka dalam medan perang.
Demikian juga dengan pengkhotbah, ia harus mengatur dan mengolah bahan-bahan yang sudah
dipersiapkannya itu hingga seluruhnya tertuju pada maksud khotbah. Maka, seyogyanya
pengkhotbah wajib berusaha agar khotbahnya mempunyai susunan yang sebaik-baiknya. 1Senada
dengan pandangan itu, menurut Rothlisberger, berkhotbah adalah mengabarkan Firman Tuhan di
dalam dunia. Oleh karena itu, ia mencoba menguraikan susunan khotbah dalam kaidah umum
sebagai berikut. 2

a) Tujuan (skopus) nats khotbah juga menjadi tujuan khotbah. Skopus khotbah adalah kalimat
berita, tetapi bisa juga kalimat imperatif. Dengan menentukan skopus berarti tujuan khotbah
itu sudah jelas keterarahannya. Maka, tujuan (skopus) itu perlu ditulis supaya dalam
menyusun khotbah, kita tidak keluar dari tujuan itu.
b) Bagian-bagian yang penting di dalam nats kita diutamakan dari yang kurang penting.
c) Bagian-bagian di dalam khotbah sesuai dengan bagian-bagian di dalam nats; boleh dibagi
dua, tiga, empat atau lima sesuai dengan nats itu. Pada dasarnya, bagi Rothlisberger,
pembagian itu bukanlah persoalan yang teramat penting sebab mimbar bukanlah tempat
kuliah atau kamar bedah. Yang menjadi perhatiannya adalah ketika pembagian itu
menyebabkan jelasnya dan terangnya pokok khotbah itu. Maksud pembagian itu adalah
mengolah pokok berita dan mengembangkannya.3
d) Nats khotbah diterangkan dengan kata-kata, kalimat-kalimat dan uraian-uraian yang jelas.
Setiap aspek yang dipersiapkan dalam khotbah dipertimbangkan secara mendetail.

1
William Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hal. 56.
2
H. Rothlisberger, Homiletika: Ilmu Berkhotbah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 61.
3
Ibid., hal. 71-72.

1
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika

B. Sikap dan Unsur-unsur Pelaksanaan Khotbah


a) Sikap nervous adalah suatu kewajaran dalam forum resmi. Nervous adalah mekanisme dalam
tubuh bahwa diri kita sudah siap. Seseorang yang hendak berkhotbah bisa saja merasa gentar
ataupun gugup walaupun sebenarnya ia sudah siap. Rasa takutnya susah hilang dan bahkan
bisa menyebabkan ia lupa akan apa yang harusnya diucapkan di hadapan jemaat.
b) Expresi nervous: berkeringat dingin, pegangan mimbar, atau memasukkan tangan ke saku
dan bahkan bisa membuat pengkhotbah yang gugup itu sampai diare. Secara psikologis,
ekspresi seperti itu disebabkan oleh kecemasan atau munculnya stress dalam pikiran. Maka,
untuk mengurangi nervous tersebut, pengkhotbah dapat mempersiapkan air mineral untuk
menambah energi dan konsentrasinya di depan orang banyak.
c) Memakai bahasa komunikatif dan mudah dipahami oleh jemaat. Pengalaman dan
pemahaman iman jemaat disaksikan dan dikomunikasikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan.
Maka, pengkhotbah harus mampu menjelaskan apa yang sedang atau sudah diimani oleh
jemaat itu. Iman mencari pemahaman (faith seeking understanding). Bahasa dalam khotbah
haruslah bahasa yang dimengerti oleh pendengar. Bahasa ibu adalah sarana khotbah yang
paling efektif dan efisien. Kalau terpaksa menggunakan bahasa asing dapat dijelaskan
artinya. Kalimat-kalimat pendek tajam jauh lebih efektif dibanding kalimat panjang berbelit-
belit. Kalau bisa, pergunakanlah bahasa-bahasa ilustratif yang dapat meninggalkan ingatan
yang membekas bagi para pendengar.
d) Pengkhotbah tidak meniru suara orang lain, cukup dengan suara sendiri saja. Meniru suara
orang justru cenderung membuat suara si pengkhotbah tidak sedap didengar dan biasanya
tidak berlangsung lama. Selain itu, ia juga harus menghindarkan suara yang monoton yang
membuat pendengar bosan dan mengantuk. Tinggi rendahnya suara, cepat lambatnya bahasa
harus dikuasai. Kadang-kadang pengkotbah boleh bernada meninggi, dan bahkan kadang-
kadang dapat seperti berbisik. Semua itu akan menciptakan suasana hidup dan pendengar
tidak menjadi jenuh.
e) Susunan bahasa, kalimat dan vokal yang jelas dimana pengkhotbah harus yakin bahwa
khotbahnya bisa didengar oleh semua orang yang hadir dalam ibadah. Sebelum berkhotbah di
mimbar, pengkhotbah harus memperhatikan bagaimana ia bisa menyesuaikan suaranya
dengan ruangan tempat ibadah. Dalam hal ini kontrol volume suara perlu diatur sedemikian
rupa.

2
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika

f) Pengkhotbah menyampaikan dengan lebih menarik tanpa terpaku pada buku persiapannya.
Variasi dalam berkhotbah mempengaruhi daya penerimaan jemaat pada isi khotbah.
Sebaliknya, jika ia kaku pada buku/kertas persiapannya malah ketidaksiapan yang akan
menjadi penilaian umum oleh jemaat kepadanya.
g) Waktu ditentukan agar tidak terlalu pendek atau terlalu panjang (sekitar 20-25 menit).
h) Gerak pengkhotbah harus asli dan muncul dari dalam hatinya.  Demikian juga gerakan
tangan/cukup menolong untuk menekankan sesuatu melalui kotbah. Tetapi kesemuanya itu
harus terkendali. Jangan karena menggunakan gerak, akhirnya kita seperti menari-nari dalam
mimbar dan jangan pula badan kita kaku seperti patung.
i) Mimik si pengkhotbah menampilkan wajah yang cerah, ceria, dan penuh senyuman.
Pengkhotbah menatap mata para pendengar sewajarnya dengan mengarahkan pandangannya
ke audiens. Pengkotbah harus mampu memandang sebagai satu kesatuan. Peranan sorotan
mata amat penting. Tidak boleh memandang ke bawah seakan-akan membaca atau
memandang ke atas karena tidak tahan menghadapi pendengar, baik yang duduk di sebelah
muka, belakang, samping kiri, kanan, agar mereka semua juga merasa dekat dengan kita.
C. Hubungan Pengkhotbah dengan Jemaat

Jemaat sebagai pendengar dari sebuah khotbah bisa merasa puas ketika mendengarkan
khotbah yang dirasa menarik serta menjawab pergumulan mereka. Sebaliknya, jemaat dapat
merasa kecewa ketika khotbah yang mereka dengar dirasa tidak menarik, tidak menjawab
pergumulan mereka dan mungkin malah menyindir kehidupan pribadi jemaat yang dianggap
buruk oleh pengkhotbah. Dalam hal ini, tugas seorang pengkhotbah dalam mempersiapkan
khotbahnya memang tidaklah sederhana. Seorang pengkhotbah diharapkan mampu untuk
menyajikan khotbah yang sekurang-kurangnya dapat menjawab pergumulan jemaat.
Pengkhotbah diharapkan dapat meramu dengan baik antara Firman Tuhan yang bersumber dari
Alkitab, masalah-masalah yang aktual, pergumulan jemaat, dan menggabungkan dengan ilustrasi
yang menarik menjadi sebuah khotbah yang benar-benar berkualitas.

Dalam pada itu, pengkotbah harus bisa menyesuaikan diri kepada semua lapisan manusia.
Seorang pengkotbah harus menganggap semua manusia sama-sama berdosa di hadirat Allah dan
membutuhkan keampunan dosa. Paulus mengatakan: “Demikianlah bagi orang Yahudi aku
menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi…” (I Korintus

3
Hottua Antoni Naibaho (0220180498)
Homiletika

9:20-22). Seorang pengkotbah harus mempunyai solidaritas yang tinggi. Dia tidak merasa tinggi
hati menghadapi orang yang lemah dan hina dan tidak merasa minder di hadapan orang-orang
terhormat dan orang-orang besar. Sikap yang seperti ini bisa lahir dalam hidup pengkotbah
bilamana ia senantiasa dekat kepada Allah. Harus diingat bahwa Firman Allah ini ditujukan
selain kepada diri pengkotbah sendiri juga kepada semua orang tanpa kecuali. Baik dia kaya atau
miskin, berpendidikan atau tidak, pejabat atau rakyat biasa, sebab kepada merekalah Firman
Tuhan diberitakan.

D. Improvisasi, Meditasi dan Hal Menulis Khotbah


E. Gaya Bahasa Khotbah
F. Hal Menghapal Khotbah

Khotbah yang disampaikan dalam kebaktian minggu tidak bisa dipisahkan dari
pengkhotbahnya/orang yang membawakan khotbah tersebut. Kelakuan oknum yang berkhotbah
menjadi sebuah kesaksian yang kuat daripada isi khotbahnya, atau dengan perkataan lain,
khotbahnya akan berpengaruh atau berkuasa, karena diiyakan dan diperkuat oleh kelakuannya.4

4
P.H.Pouw, Homiletik: Uraian Singkat Tentang Ilmu Berkhotbah, (Bandung: Kalam Hidup, 2013), hal. 9.

Anda mungkin juga menyukai