Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam nyawa yang
mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan menyebabkan obstruksi
progresif dari jalan nafas. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Wilhelm Frederick
von Ludwig pada tahun 1836 sebagai infeksi ruang fasial yang hampir selalu fatal.
Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri
berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter
spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris). Faktor predisposisi pada pasien Angina Ludwig berupa karies dentis,
perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah.
Selain itu penyakit sistemik seperti diabetes melitus, neutropenia, aplastik anemia,
glomerulositis, dermatomiositis dan lupus eritematosus dapat mempengaruhi terjadinya
angina Ludwig. Penderita terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Ludwig angina ?
2. Bagaimana cara penatalaksanaannya ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui penjelasan dari Ludwig angina.
2. Mengetahui apa saja terapi yang diberikan pada pasien Ludwig angina

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ludwig Angina

Ludwig Angina merupakan infeksi ruang sub mandibula


(rahang bawah) berupa peradangan selulitis dari bagian
superior ruang suprahioid (Sekitar leher), yang ditandai dengan
pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang
submandibular, yang mencakup jaringan yang menutupi otot-
otot antara laring dan dasar mulut, tanpa disertai
pembengkakan pada limfonodus. Minimnya pengetahuan
masyarakat terhadap gejala dari penyakit ludwig membuat
masyarakat banyak yang mengabaikan penyakit tersebut
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian bagi
orang yang mengalaminya. Penyakit Ludwig Angina memiliki
gejala seperti leher sakit, sulit mengunyah, leher bengkak,
sesak nafas, demam, bercak pada leher, nyeri ditelinga,
linglung ( aisyah, Dharma, Thurnip, 2017) .

2.2 Anatomi Ronnga Mulut

Definisi Rongga mulut (cavum oris) adalah bagian tubuh


yang merupakan awal dari saluran pencernaan. Bagian depan
rongga mulut dibatasi oleh bibir, bagian atas dibatasi palatum
durum hingga palatum mole, bagian bawah terdapat otot-otot
yang membentuk bagian mulut dan lidah serta pipi. Rongga
mulut dibagi menjadi dua bagian oleh proscessus alveolaris dan
gigi yaitu vestibulum oris dan celah antara pipi dan gusi dari
gigi. Posteromedial, terletak medial dari proscessus alveolaris
disebut cavum oris proprium. Rongga mulut dilapisi dengan
mukosa oral (tunika mukosa oris), tertutup oleh epitel skuamus
berlapis.

2
Rongga mulut terdiri dari lidah bagian oral (dua pertiga
bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras),
dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal,
‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila
adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut. Pipi
membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari
rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh
kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang
tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun
dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan
membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir
pada bagian bibir.

2.3 Epidemiologi Ludwig Angina

Angina Ludwig yang penyebab paling umum adalah odontogenik,


menyumbang sekitar 75% hingga 90% kasus. Infeksi molar kedua dan ketiga
yang lebih rendah biasanya berimplikasi karena akarnya memanjang di bawah
otot mylohyoid. Abses periapikal dari gigi-gigi ini juga menghasilkan penetrasi
kortikal lingual, yang menyebabkan infeksi submandibular. Namun, ulserasi
oral, infeksi keganasan oral, fraktur rahang bawah, infeksi kelenjar
submandibular terkait sialolithiasis bilateral, dan cedera penetrasi dari dasar
mulut juga telah dilaporkan sebagai penyebab potensial dari angina Ludwig.
Faktanya, mikroorganisme yang sama yang bertanggung jawab untuk infeksi
kepala dan leher yang kurang sehat ditemukan dalam menyebabkan infeksi yang

3
luas di seluruh dasar mulut dan leher ketika angina Ludwig diperiksa secara
kritis. Pasien dengan penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus, malnutrisi,
sistem kekebalan tubuh yang terganggu, dan transplantasi organ juga umumnya
cenderung ke angina Ludwig.

Ditemukan bahwa sepertiga dari kasus angina Ludwig berhubungan


dengan penyakit sistemik. Sebuah ulasan yang melaporkan kejadian penyakit
yang terkait dengan Ludwig angina menemukan bahwa 18% kasus melibatkan
diabetes mellitus, 9% melibatkan sindrom defisiensi imun yang didapat, dan 5%
lainnya adalah human immunodeficiency virus (HIV) yang positif.

2.4 Etiologi dan Patogenesis Ludwig Angina

a. Etiologi Ludwig Angina

Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh


odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral
hygiene yang kurang. Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang
submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling
berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan
kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari pericoronitis,
yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi sebagian.
Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar
bawah ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap
panas/dingin atau adanya bengkak di sudut rahang (Lestari P, 2015)

Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi
penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi mempunyai akar yang
terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan
menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perwatan gigi terakhir juga
dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari
gangren pulpa ke jaringan periapical saat dilakukan terapi endodontik, serta
inokulasi Sptreptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan

4
jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi (Lestari
P, 2015).

Ada juga penyebab lain yang sedikt dilaporkan antara lain sialadenitis
kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat
keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus,
epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi,
intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran
pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut (Lestari P, 2015).

Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina


Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus
aureus Bakteri anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides,
peptostreptococci, dan peptococci (Lestari P, 2015).

Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium


nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida,
Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif yang dipisahkan
antara spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus
influenza dan spesies Klebsiella (Lestari P, 2015).

b. Patogenesis Ludwig Angina

Infeksi gigi seperti nekrosis pulpa karena karies profunda yang tidak
terawat dan deep periodontal pocket, merupakan jalan bagi bakteri untuk
mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi
akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis,
maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi
ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh (Raharjo SP, 2015).
Penyebaran infeksi odontogen dapat melalui jaringan ikat
(perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe
(limfogen). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus (Raharjo SP, 2015).

5
Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal,
abses submukosa, abses gingiva, trombosis sinus kavernosuş abses labial dan
abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses
sublingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter dan angina
Ludwig (Raharjo SP, 2015).
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea
mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) dalam ruang submandibula,
menyebabkan infeksi yang terjadi pada gigi tersebut dapat membentuk abses
dan pusnya menyebar ke ruang submandibular, bahkan meluas hingga ruang
parafaringeal. Abses pada akar gigi yang menyebar ke ruang submandibula akan
menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi, nyeri terjadi jika terjadi
ketegangan antara tulang (Raharjo SP, 2015).

Gambar 1. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus.

Gambar 2. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fascia dan


kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga.

6
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan
yang keras dari fascia cervikal profunda dengan m. digastricus anterior dan os
hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas (Raharjo SP, 2015).
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu
sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilaris Whartoni
dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga
meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fascia leher
(Raharjo SP, 2015).
Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di
bagian superior dan posterior sehingga mendorong supraglotic larynx dan lidah
ke belakang akhirnya mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas
(Raharjo SP, 2015).
Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula dan di
bagian inferior yaitu m. mylohyoid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian
superior dan posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah (Raharjo SP,
2015).
Os hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior sehingga
pembengkakan menyebar ke daerah depan leher yang menyebabkan perubahan
bentuk dan gambaran 'bull neck" (Raharjo SP, 2015).

Gambar 3. Proses penyebaran kebagian superior dan posterior yang


mendorong lantai dasar mulut dan lidah. Pada penyebaran secara anterior, batas os
hyoid meluas ke arah inferior dan menyebabkan gambaran “bull neck”.

2.5 Penatalaksanaan Ludwig Angina

7
Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama
disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas
merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal pasien ini'. Konsultasi
anesthesiologist dan otolaringologis sangat diperlukan dengan segera. Transfer
pasien ke nuang operasi harus dipertimbangkan sebelum manipulasi jalan nafas
dimulai. Pasien yang tidak memerlukan kontrol jalan nafas segera harus
dimonitor terus menerus. Pada pasien yang sangat memerlukan bantuan
permapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan di ruang operasi, untuk
dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika diperlukan'. Angina Ludwig
lebih memerlukan trakeostomi dibandingkan infeksi lain yang terjadi di leher
dalam,Intubasi Nasotracheal saat pasien terjaga dapat menimbulkan obstruksi
jalan napas akut, persiapan untuk trakeostomi harus dilakukan dalam setiap
kasus bahkan ketika intubasi sedang dilakukan oleh anestesi yang terampil,
Narkotika sebaiknya dihindari karena menyebakan depresi pernapasan dan
dapat memperburuk kesulitan dalam ventilasi, beberapa penulis menganjurkan
penggunaan anestesi hirup.

Apabila jalan nafas telah diamankan, administrasi antibiotik intravena


secara agresif harus dilakukan. Terapi awal ditargetkan untuk bakteri gram
positif dan bakteri anaerob pada rongga mulut. Pemberian beberapa antibiotik
harus dilakukan, yaitu penisilin G dosis tinggi dan metronidazol, klindamisin,
sefoksitin, piperasilin - tazobaktam, amoksisilin klavulanat, dan tikarsilin
klavulanat. Meskipun masih menjadi kontroversi, pemberian deksametason
untuk mengurangi edema dan meningkatkan penetrasi antibiotik dapat
membantu. Pemberian deksametason intravena dan nebul adrenalin telah
dilakukan untuk mengurangi edema saluran nafas bagian atas pada beberapa
kasus Pananganan yang terdiri dari Pembedahan insisi melalui garis tengah,
dengan demikian menghentikan ketegangan yang terbentuk pada dasar mulut,
karena Angina Ludwig merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang
diperoleh, sebelum insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakuan persiapan
terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan melakukan intubasi
pada pasien seperti lidah yang menyebakan obstruksi pandangan laring dan
tidak dapat ditekan oleh laringoskop. Drainase surgikal diindikasikan jika

8
terdapat infeksi supuratif, bukti radilogis adanya penumpukan cairan didalam
soft-tissue, krepitus, atau aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan
jika tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi antibiotik. Drainase
ditempatkan di muskulus milohioid ke dalam ruang sublingual. Mencabut gigi
yang terinfeksi juga penting untuk proses drainase yang lengkap.

Untuk pemberian terapi medikamentosa pada pasien dengan kecurigaan


Angina Ludwig dapat diberikan Antibiotik Clindamycin 600-900 mg/Iv setiap 8
jam, atau kombinasi penicillin dan metronidazole. Pemberian antibiotik dapat
mengurangi kematian akibat dari infeksi ruang leher dalam,tetapi infeksi pada
ruang yang lebih dalam dapat menimbulkan komplikasi yang fatal dan
mengancam jiwa, setelah pembentukan abses terjadi, operasi masih dianggap
sebagai pengobatan yang utama, sedangkan pemberian antibiotik digunakan
pada infeksi awal.

2.6 Prognosis

Prognosis Ludwig Angina sangat tergantung pada proteksi segera jalan


nafas dan pada pemberian antibiotic untuk mengatasi infeksi. Tingkat kematian
pada era sebelum adanya antibiotic sebesar 50%, tetapi dengan adanya antibiotic
tingkat mortilitas berkurang menjadi 5%.

9
BAB III
PEMBAHASAN

1.1 Laporan Kasus I

A. Kasus

Seorang laki-laki berumur 56 tahun datang ke rumah sakit dengan


keluhan utama pembengkakan pada bagian bawah wajah disertai dengan
kesulitan membuka mulut. Dari anamnesis pasien memiliki riwayat sakit gigi
belakang kanan bawah dan demam sekitar 9 hari sebelumnya, disusul
pembengkakan di pipi kiri dan kanan, leher dan sukar membuka mulut. Pasien
telah berobat ke puskesmas tetapi malah semakin bengkak sehingga dirujuk ke
RS. Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh tensi 130/80 mmHg, nadi
108x/menit, temperatur 38,0oC, respirasi 30x/menit. Pemeriksaan ekstra oral
wajah asimetris, kelenjar getah bening tidak teraba, sklera non ikterik, dan
konjungtiva nonanemis. Udem pada submandibula kiri dan kanan, submental,
konsistensi lunak, berfluktuasi, warna lebih merah dari pada jaringan sekitar,
nyeri tekan, dan terasa hangat. Dari hasil pemeriksaan intraoral tampak dasar

10
mulut terangkat sehingga lidah terangkat ke atas. Tampak gigi 24,25,26,46
gangren radiks.

Dilakukan pemeriksaan foto toraks dan soft tissue lateral. Dari hasil
pemeriksaan darah tampak leukositosis. Dari serangkaian pemeriksaan, pasien
didiagnosis dengan sepsis, Ludwigs angina yang telah meluas ke colli dan
suprasternal. Memperhatikan kondisi pasien maka segera dilakukan asprasi
abses, lalu dilakukan pemeriksaan dengan kultur resistensi. Setelah itu kepada
pasien diberikan obat antibiotik dan analgetik via infus untuk meringankan
gejala sistemik, lalu diinsisi drainase untuk mengeluarkan abses. Selanjutnya
pasien dirawat di dalam ruang perawatan. Selama 4 hari dirawat di ruang
perawatan, terjadi sesak pada pasien dengan respirasi sekitar 40x/menit;
dilakukan insisi di daerah leher, lalu pasien dikonsul ke bagian THT untuk
dilakukan trakeostomi dengan menggunakan anastesi umum. Setelah 8 hari
pasca perawatan kondisi pasien telah tampak membaik, bukaan mulut membaik
dan pernapasan sudah kembali normal. Setelah itu dilakukan pencabutan gigi
penyebab abses.

B. Pembahasan

Perawatan Ludwig’s angina harus dilakukan secara tepat dan adekuat,


supaya tidak terjadi penyebaran infeksi lebih lanjut. Pada infeksi akut, dengan
memberikan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis mikrobanya. Antibiotik
yang biasa digunakan adalah, benzyl penisilin sebanyak 1 juta unit, procaine
penicilline sebanyak 600 ribu unit setiap 12 jam, tetrasiklin sebanyak 250-500
mg; antibiotik tersebut diberikan sampai diperoleh hasil kultur bakteri. Pada
pasien dengan diagnosis Ludwig angina segera dipasangkan infus NaCl dan
Dextrose 5%, diberikan antibiotika dosis tinggi berupa penisilin 3 x 2 juta IU
atau klindamisin 3 x 300 mg i.v. Bila dicurigai adanya peran bakteri anaerob,
diberikan infus metronidazole. Bila memungkinkan segera dilakukan
pemeriksaan darah dan urin lengkap, foto toraks dan foto panoramik. Pemberian
antibiotik dapat mempersingkat penjalaran infeksi dan memberikan proteksi
kepada penderita yang mengalami tindakan ekstraksi serta mengurangi risiko
komplikasi.

11
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai tanda-tanda infeksi hilang,
dan tindakan selanjutnya adalah menilai keadaan gigi penyebab. Pada keadaan
akut tidak dibenarkan mengadakan pencabutan gigi penyebab karena
dikhawatirkan akan terjadi infeksi yang lebih berat dan kemungkinan terjadi
kematian karena sepsis. Tindakan drainase hampir selalu dilakukan pada setiap
kasus abses.1,2 Insisi drainase yang dilakukan bertujuan untuk membuat suatu
jalan keluar bagi akumulasi abses dan bakteri yang terdapat di bawah jaringan
tersebut. Drainase dari abses juga akan mengurangi ketegangan daerah tersebut
sehingga mengurangi rasa nyeri serta akan meningkatkan suplai darah dan
pertahanan tubuh di daerah tersebut. Tindakan insisi drainase kemudian diikuti
dengan memasang rubber drain untuk mencegah penutupan insisi tersebut agar
terjadi drainase yang adekuat. Konsultasi dengan bagian lain diperlukan bila
ditemukan keadaan sistemik yang memperberat keadaan, seperti diabetes
melitus atau dispnoe. Penggantian drain dilakukan tiap hari sampai abses
tampak kering. Bila kondisi telah memungkinkan segera dilakukan ekstraksi
gigi penyebab. Bila tampak gangguan pernapsan seperti pembengkakan yang
menekan saluran napas, kortikosteroid dapat diberikan sesuai indikasi;
sedangkan tindakan trakeostomi dilakukan bila diperlukan.

D. Kesimpulan

Disimpulkan bahwa infeksi yang terjadi pada spasium di rongga mulut


dan wajah pada umumnya berasal dari infeksi gigi yang tidak segera dirawat.
Infeksi tersebut bersifat mixed-infections; artinya bakteri yang menyertai infeksi
ini umumnya lebih dari satu macam. Ludwig angina atau flegmon merupakan
suatu selulitis akut yang terjadi pada spasium mandibula primer yaitu spasia
submandibula kiri dan kanan, spasia submental dan spasia sublingual. Ludwig’s
angina berpotensi menimbulkan kematian jika tidak segera dirawat dengan
adekuat, meliputi pemberian obat analgetik dan antibiotik, insisi drainase, dan
pencabutan gigi penyebab. Jika infeksi berpotensi mengganggu jalan napas,
dilakukan trakeostomi.

1.2 Laporan Kasus II

A. Kasus

12
Pasien Nn. S 20 tahun masuk rumah sakit RSUD Undata pada bulan September
2018 dengan keluhan bengkak pada pipi kiri dan rahang kiri bawah, yang
dirasakan sejak kurang lebih tiga minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya, pasien mengeluhkan sakit pada gigi geraham bagian bawah
sebelah kiri. Keluhan disertai dengan adanya rasa nyeri pada leher, demam dan
sakit kepala. Pasien baru datang ke rumah sakit setelah muncul keluhan sulit
untuk membuka mulutnya yang dialami sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu
dan memberat tiga hari sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien memiliki riwayat
gigi geraham kiri bawah berlubang sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu.
Riwayat DM (-), hipertensi (-), tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang
serupa dengan pasien. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang,
kesadaran composmentis, tanda tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
82x/menit pernapasan 20 x/menit dan suhu 38ºC. Didapatkan anemis pada
konjungtiva. Pada pemeriksaan status lokalis THT didapatkan, pada
pemeriksaan telinga dan hidung dalam batas normal tidak ditemukan kelainan.
Tidak dilakukan pemeriksaan tenggorokan karena pasien mengalami trismus 2
cm. Terdapat karies pada molar 2 dan 3 dibagian kiri bawah. Sedangkan pada
pemeriksaan leher didapatkan leher tampak kemerahan, tampak pembengkakan
pada daerah submandibula kiri dengan ukuran 4 cm x 4 cm yang berwarna
kemerahan, nyeri tekan dan tampak adanya fluktuasi. Pada pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan darah didapatkan WBC 16,53 x 103 /µL, HGB 6,0
gr/dL.

B. Diskusi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual
dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Ruang submaksila dibagi
lagi menjadi ruang submental dan submaksila (lateral) oleh otot digastrikus
anterior. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula
berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibular. Selain disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang
submandibula bisa disebabkan oleh limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan
bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi

13
dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.1,2,5 Organisme
penyebab yang lazim ditemukan seperti Streptococcus viridans,
Staphylococcusepidermidis, Staphylococcus aureus, grup Abetahemolytic
Streptococcus (Streptococcus pyogenes), Bacteroides, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spesies. 1,6,8 Secara epidemiologis penyakit ini paling
sering terjadi pada usia 20 dan 60 tahun, dengan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan adalah 3:1. Angka kematian akibat abses submandibula sebelum
dikenalnya antibiotika mencapai 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan,
sejalan dengan perkembangan antibiotika, setelah dikenalnya perawatan bedah
yang baik dan tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian
mulai berkurang yaitu hanya terdapat 5%.4,7 Dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, didapatkan pada kasus ini, didiagnosis abses
submandibular sinistra. Pasien mengeluhkan adanya bengkak pada pipi kiri dan
rahang kiri bawah. Yang diawali dengan sakit pada gigi geraham bagian bawah
sebelah kiri serta pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada molar 2 dan 3
kiri bawah. Dimana dikehatui bahwa salah satu penyebab dari abses
submandibular adalah adanya infeksi pada gigi dan dasar mulut. Selain itu,
keluhan disertai dengan adanya demam dan trismus yang dialami sejak kurang
lebih 2 minggu. Kemudian dari pemeriksaan darah ditemukan adanya
leukositosis dan anemia yang menandakan adanya infeksi yang lama pada
pasien.
C. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana pada pasien abses submandibula adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan infeksi orofasial (termasuk
infeksi submandibular space) meliputi intervensi pembedahan untuk
mendrainase pus yang terlokalisir dan dukungan medis untuk pasien.
1. Insisi dan drainase.
Hal ini dapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral tergantung
pada lokasi infeksi. Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan metode
pengambilan sampel lebih akurat karena mengurangi kontaminasi dan
membantu melindungi dari bakteri anaerob. Pembengkakan yang
berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan didefinisikan sebagai transmisi
fluida dengan menggunakan palpasi bidigital.9 Pada pasien dilakukan insisi
drainase. Insisi dilakukan dengan panjang kurang lebih 2 cm pada daerah

14
yang paling fluktuatif. Setelah di insisi, eksplorasi pus dilanjutkan secara
tumpul dengan menggunakan klem bengkok sampai ruang submandibula.
Setelah pus berhasil dieksplorasi, dilakukan pemasangan draine handschoen
yang dilumuri dengan betadine pada luka insisi kemudian ditutup dengan
mengguankan kasa steril dan direkatkan dengan menggunakan hipafix.
Penderita dievaluasi setiap hari dan dilakukan dilatasi pada luka insisi untuk
mengeluarkan pus yang masih diproduksi. Setelah dilakukan insisi dranase
keluhan pasie mulai berkurang begitu juga dengan trismus yang dialami
pasien semakin membaik.
2. Antibiotik.
Antibiotik dapat diberikan secara empiris atau antibiotik spesifik yang
diberikan berdasarkan tes kultur dan sensitivitas. Pada pasien ini diberikan
antibiotik berupa amoksisilin yaitu penisilin spektrum luas. Dimana
diketahui bahwa penisilin memiliki potensi untuk menjadi agen lini pertama
dalam pengobatan infeksi odontogenik. Sebagian besar antibiotik beta-
laktam lainnya, termasuk sefalosporin generasi keempat, tidak ditemukan
memiliki efektivitas yang lebih besar daripada penisilin. Amoksisilin adalah
obat spektrum luas yang berguna dalam konteks ini walaupun banyak
klinisi lebih menyukai efek anti-anaerobik spesifik dari metronidazol.9
selain itu, pasien juga diberikan metilprednisolon 3x4 mg. pemberian obat
ini untuk mencegah terjadinya inflamasi yang luas.
3. Analgesik.
Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor penyebab
infeksi terkendali. Pilihan analgesik harus didasarkan pada kesesuaian
pasien. Obat anti inflamasi nonsteroid digunakan pada nyeri ringan sampai
sedang. Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan petidin, digunakan
untuk rasa sakit yang parah. Parasetamol, ibu profen dan aspirin cukup
untuk sebagian besar nyeri ringan akibat infeksi gigi. Analgesik perlu
diberikan dengan hati-hati, terutama apabila menggunakan narkotika,
karena membawa risiko depresi pernapasan.
D. Kesimpulan
Pada kasus abses submandibular, pasien akan mengeluhkan adanya demam dan
nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau dibawah lidah,
mungkin berfluktuasi serta trismus sering ditemukan. Keadaan ini merupakan

15
salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi
dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibular. Penatalaksanaan
pada penderita dilakukan dengan tindakan insisi drainase untuk evakuasi pus
dari daerah submandibula sinistra serta pemberian terapi antibiotika dan
analgetik serta anti-inflamasi. Keterlambatan diagnose atau kesalahan diagnosis
dapat menimbulkan konsekuensi terjadinya komplikasi berupa mediastinitis,
sepsis bahkan kematian akibat obstruksi Jalan napas.
1.3 Laporan Kasus III
A. Kasus
Seorang wanita berusia 25 tahun dirujuk ke departemen bedah mulut dan
maksilofasial kami sebagai kasus neuralgia trigeminal kanan. Pasien memiliki
riwayat pengobatan konservatif untuk neuralgia tanpa hasil. Riwayat
pengobatannya mengungkapkan bahwa molar pertama mandibula kanan
diekstraksi sebelum satu tahun. DS didiagnosis empat hari setelah ekstraksi oleh
dokter gigi didiagnosis dan pembalut intra-alveolar yang mengandung pasta
ZOE diberikan. Dengan menghilangkan rasa sakit selanjutnya, pasien tidak
mengunjungi dokter gigi, dan pembalutnya tetap berada di soket. Tapi
berminggu-minggu kemudian, pasien kembali mengalami nyeri mandibula
kanan. Pasien kemudian pergi ke dokter gigi yang berbeda untuk mengobati rasa
sakitnya. Nyeri hemifacial bertahan, dan pasien akhirnya dirujuk ke ahli saraf.
Dia salah mendiagnosis sebagai neuralgia trigeminal. Carbamazepine
diresepkan untuk sekitar enam bulan tanpa banyak manfaat; kemudian ahli saraf
merujuk pasien ke departemen kami. Pasien melaporkan molar ketiga rahang
bawah kanan. Benda asing itu dihapus dan kuretase pada daerah yang terkena
telah dilakukan. Antibiotik dan obat antiinflamasi nonsteroid diberikan selama
satu minggu setelah operasi. Jaringan yang diangkat. Semua jaringan dikirim ke
ahli patologi.

Dilaporkan histologis menunjukkan jaringan ikat fibrosa yang tervaskularisasi


dengan baik dengan inflamasi kronis menyusup dan giant sel berinti banyak.
Tulang nekrotik terlihat dikelilingi oleh bentuk bakteri. Diagnosis akhir adalah
osteomielitis kronis dengan zona reaksi benda asing. Pasien dalam tindak lanjut
selama enam bulan tanpa rasa sakit di wajah selama periode ini.

16
B. Diskusi

Komplikasi yang timbul dengan penggunaan pembalut intra-alveolar sering


diabaikan. Penyembuhan luka yang tertunda dan peningkatan infeksi pada soket
setelah mengepaknya dengan pembalut diusulkan oleh Turner. Penghapusan
jahitan dan irigasi saline hangat di bawah anestesi lokal sebelum penerapan
dressing ZOE disarankan oleh Fazakerley dan Field. Mereka juga menyarankan
agar bungkusan itu diganti setiap 23 hari sampai rasa sakitnya mereda setelah
penggunaannya harus dihentikan. Zuniga dan Leist melaporkan neuritis yang
diinduksi tetrasiklin topikal enam bulan setelah pengangkatan rutin molar ketiga
rahang bawah yang tidak erupsi. Moore dan Brekke melaporkan reaksi sel
raksasa tubuh-asing terkait dengan penempatan asam polylactic yang diobati
dengan tetrasiklin. Mainous melaporkan reaksi benda asing setelah pengemasan
ZOE pada osteitis lokal. Dalam studi jangka pendek selama satu minggu untuk
mencegah DS Bloomer melaporkan komplikasi yang terlihat dalam evaluasi
jangka panjang. Penggunaan eugenol sebagai obat endodontik diikuti oleh nyeri
hemifacial kanan intermiten, yang digambarkan sebagai ketidaknyamanan
dengan periode nyeri penembakan yang intens sebagai keluhan utamanya.
Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak ada zona pemicu. Sedikit pembengkakan
di sisi kanan wajah terlihat jelas saat pemeriksaan. Radiografi periapikal diambil
dan benda asing radiopak ditemukan di wilayah tulang alveolar parestesi
sementara juga telah dilaporkan. Kasa iodoform dengan beberapa tetes eugenol
juga telah digunakan sebagai pembalut tulang intra-alveolar. Namun, itu tidak
boleh digunakan pada pasien yang alergi terhadap yodium.. Kasus yang
disajikan, menggambarkan komplikasi dengan penggunaan obat eugenol seng-
oksida intra-alveolar. Penutup soket yang tidak digunakan yang digunakan
dalam DS menyebabkan tulang nekrosis, reaksi benda asing, penyembuhan
alveolar yang tertunda, dan nyeri hemifacial. Nyeri itu kemudian dikacaukan
dengan trigeminal neuralgia. Eugenol mungkin menyebabkan efek neurotoksik
di daerah yang terkena. Gejala pasien bingung ahli saraf menyesatkan diagnosis
yang salah dari neuralgia trigeminal. Kasus ini mengungkapkan perlunya
melakukan investigasi ilmiah jangka panjang tentang penggunaan pembalut
intra-alveolar dalam pengobatan DS untuk menentukan keamanan
penggunaannya dan potensi efek sampingnya.

17
C. Kesimpulan

Terjadinya dry socket tidak terhindarkan. Itu bisa dicegah dengan berlebihan
penggunaan irigasi, penggunaan antibiotik secara bijaksana dan pemeliharaan
kebersihan mulut yang tepat. Meskipun tidak ada perawatan khusus yang
tersedia untuk DS tetapi ketika pembalut eugenol dan pembalut non-
bioresorbable digunakan maka instruksi pasca operasi tertulis harus diberikan
kepada pasien dengan pernyataan yang jelas tentang pembalut soket
intraalveolar, durasi yang diperlukan untuk tetap dalam perawatan. stopkontak
dan kapan harus dilepas. Pengingat dalam bentuk SMS atau email juga bisa
bermanfaat bagi pasien.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dry socket (alveolar osteitis) adalah gangguan dalam
penyembuhan luka berupa inflamasi yang meliputi salah satu
atau seluruh bagian dari lapisan tulang padat pada soket gigi
(lamina dura). Dry socket dikenal sebagai osteitis lokal atau
vokal dan secara klinis bermanisfestasi berupa inflamasi yang
meliputi salah satu atau seluruh bagian dari lapisan tulang
padat pada soket gigi (lamina dura).Dry socket digambarkan
sebagai komplikasi pada disentegrasi bekuan darah intra
alveolar yang dimulai sejak hari ke dua hingga ke empat pasca
pencabutan gigi. Dry socket adalah gangguan dalam
penyembuhan yang terjadi setelah pembentukan bekuan darah
yang matang, tapi sebelum bekuan darah tersebut digantikan
oleh jaringan granulasi.(Khitab dkk,2009)
Penatalaksanaan Alveolar Osteotitis (Dry Socket)

Perawatan alveolar osteitis langsung mengarah pada pengurangan rasa


sakit dan mempercepat pernyembuhan. Terapi lokal terdiri dari irigasi soket

18
dengan larutan salin isotonic steril yang hangat, larutan garam normal yang
hangat atau larutan hydrogen peroksida yang dicairkan untuk membuang
material nekrotik dan debri lainnya yang diikuti oleh aplikasi obtudent (eugenol)
atau anestesi topical (butakain [benzokain]). Sebagai tambahan terapi lokal,
analgesic antipiretik atau narkotik seperti kodein sulfat (1/2 gram) atau
meperidin (50 mg) setiap 3 -4 jam harus di berikan kepada pasien. Pemilihan
obat bergantung keparahan dari rasa nyeri. Lalu diperiksa dan dipalpasi yang
hati-hati dengan menggunakan aplikator kapas membantu dalam menentukan
sensivitas. Apabila pasien tidak tahan terhadap hal tersebut, maka dilakukan
anestesi topical atau local sebelum melakukan packing. Pembalut obat-obatan
dimasukkan ke dalam alveolus. Pembalut diganti sesudah 24-48 jam, kemudian
diirigasi dan diperiksa lagi. Kadang-kadang diperlukan resep analgesik dan
diinstruksikan pasien untuk kumur-kumur dengan larutan garam hangat, dan
buatlah janji agar pasien kembali dalam waktu 3 hari. Pasien diperiksa dalam 24
jam, jika nyeri telah berhenti, medikasi dalam soket tidak diperlukan lagi. Jika
rasa nyeri masih bertahan, irigasi dan dressing soket harus diulangi jika perlu.
Penggunaan rutin antibiotik dalam perawatan alveolar osteitis tidak
direkomendasikan karena masalah utama adalah kontrol rasa nyeri daripada
infeksi yang tidak terbatas.

Kemungkinan terjadinya komplikasi Dry socket dapat dihindari bila


dilakukan beberapa pencegahan seperti,

 menggunakan obat kumur yang mengandung antimikroba pada pra-


operatif dan pasca-operatif,
 menggunakan antibiotik topikal yang diberikan pada lokasi ekstraksi
setelah dilakukannya tindakan ekstraksi.
 Selama tindakan bedah, jaringan harus dirawat dan dipelihara dengan
baik. Usahakan selama prosedur ekstraksi berlangsung, semua tindakan
yang dilakukan tidak menyebabkan trauma pada jaringan. Instrumen
yang tajam harus digunakan untuk mencegah trauma yang berlebihan.
 Selain itu harus diperhatikan bahwa tidak terdapat fragmen gigi, filling
material atau serpihan tulang yang tertinggal di dalam jaringan luka.
Semua tulang yang cedera harus dibuang, tulang yang tajam dihaluskan.
Obat analgesik harus diberikan sebelum onset nyeri baik sebelum

19
tindakan bedah dimulai atau secara langsung setelah tindakan ekstraksi.
Dosis yang digunakan harus minimal dan digunakan untuk periode
pendek.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ambarawati, I Gusti.2017.Laporan Kasus Osteomielitis.


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_dir/bc8031e9793cff2e3b5317be818637
d3.pdf (diakses tanggal 5 desember 2019)
Ananda. RS, et al. 2016. Perbedaan Angka Kejadian Dy Socket Pada Pengguna Kontrasepsi
Hormonal Dan Yang Tidak Menggunakan Kontrasepsi Hormonal. Dentino Jurnal
Kedokteran Gigi. Vol. 1. No. 1. Diunduh dari
https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/dentino/article/view/415 Pada 6 Desember
2019.
Dinkes Provinsi Kalsel. 2009 Laporan hasil riset kesehatan dasar Provinsi Kalimantan
Selatan tahun 2007. Banjarmasin : Dinkes Provinsi Kalsel.
Khitab U, Khan A, Shah SM. 2012. Chlinical characteristics and treatment of dry socket a
study. Pakistan Oral and Dental Journal ;32(1):110-111.

Kumar. MDA, Gheena. S. 2015. Incidence of Dry Socket after Third Molar Extraction.
Journal Of Pharmceutical Science and Researc. Vol. 7. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/profile/Gheena_Sukumaran/publication/282936537_Incide
nce_of_dry_socket_after_third_molar_extraction/links/591e8c510f7e9b642817d589/Inci
dence-of-dry-socket-after-third-molar-extraction.pdf Pada 6 Desember 2019

Lubis,Wina Sabrina. 2016. Prevalensi Dry Socket pada Rahang Atas dan
Rahang Bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada
Tahun 2014 dan 2015. Universitas Sumatera Utara.
Rizkadnt,2015. Dry Socket: Etiologi,Pencegahan, dan Penatalaksanaan.

Tarakji B,et al.2015.Systemic Review of Dry Socket: Aetiology,Treatment, and Prevention.


Journal of Clinical and Diagnostic Research. Vol 9(4).

21

Anda mungkin juga menyukai