PENDAHULUAN
Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial mengancam nyawa yang
mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan menyebabkan obstruksi
progresif dari jalan nafas. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Wilhelm Frederick
von Ludwig pada tahun 1836 sebagai infeksi ruang fasial yang hampir selalu fatal.
Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri
berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter
spesifik yang membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris). Faktor predisposisi pada pasien Angina Ludwig berupa karies dentis,
perawatan gigi terakhir, sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah.
Selain itu penyakit sistemik seperti diabetes melitus, neutropenia, aplastik anemia,
glomerulositis, dermatomiositis dan lupus eritematosus dapat mempengaruhi terjadinya
angina Ludwig. Penderita terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Rongga mulut terdiri dari lidah bagian oral (dua pertiga
bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras),
dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal,
‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila
adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut. Pipi
membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari
rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh
kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang
tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun
dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan
membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir
pada bagian bibir.
3
luas di seluruh dasar mulut dan leher ketika angina Ludwig diperiksa secara
kritis. Pasien dengan penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus, malnutrisi,
sistem kekebalan tubuh yang terganggu, dan transplantasi organ juga umumnya
cenderung ke angina Ludwig.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi
penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi mempunyai akar yang
terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan
menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perwatan gigi terakhir juga
dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari
gangren pulpa ke jaringan periapical saat dilakukan terapi endodontik, serta
inokulasi Sptreptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan
4
jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi (Lestari
P, 2015).
Ada juga penyebab lain yang sedikt dilaporkan antara lain sialadenitis
kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat
keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus,
epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi,
intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran
pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut (Lestari P, 2015).
Infeksi gigi seperti nekrosis pulpa karena karies profunda yang tidak
terawat dan deep periodontal pocket, merupakan jalan bagi bakteri untuk
mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi
akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis,
maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi
ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh (Raharjo SP, 2015).
Penyebaran infeksi odontogen dapat melalui jaringan ikat
(perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe
(limfogen). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi
sebagai tempat berkumpulnya pus (Raharjo SP, 2015).
5
Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal,
abses submukosa, abses gingiva, trombosis sinus kavernosuş abses labial dan
abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses
sublingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter dan angina
Ludwig (Raharjo SP, 2015).
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea
mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) dalam ruang submandibula,
menyebabkan infeksi yang terjadi pada gigi tersebut dapat membentuk abses
dan pusnya menyebar ke ruang submandibular, bahkan meluas hingga ruang
parafaringeal. Abses pada akar gigi yang menyebar ke ruang submandibula akan
menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi, nyeri terjadi jika terjadi
ketegangan antara tulang (Raharjo SP, 2015).
6
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan
yang keras dari fascia cervikal profunda dengan m. digastricus anterior dan os
hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas (Raharjo SP, 2015).
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu
sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilaris Whartoni
dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga
meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fascia leher
(Raharjo SP, 2015).
Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di
bagian superior dan posterior sehingga mendorong supraglotic larynx dan lidah
ke belakang akhirnya mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas
(Raharjo SP, 2015).
Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula dan di
bagian inferior yaitu m. mylohyoid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian
superior dan posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah (Raharjo SP,
2015).
Os hyoid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior sehingga
pembengkakan menyebar ke daerah depan leher yang menyebabkan perubahan
bentuk dan gambaran 'bull neck" (Raharjo SP, 2015).
7
Karena morbiditas dan mortalitas dari angina Ludwig terutama
disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas, proteksi dari jalan nafas
merupakan prioritas utama dalam tatalaksana awal pasien ini'. Konsultasi
anesthesiologist dan otolaringologis sangat diperlukan dengan segera. Transfer
pasien ke nuang operasi harus dipertimbangkan sebelum manipulasi jalan nafas
dimulai. Pasien yang tidak memerlukan kontrol jalan nafas segera harus
dimonitor terus menerus. Pada pasien yang sangat memerlukan bantuan
permapasan, kontrol jalan nafas idealnya dilakukan di ruang operasi, untuk
dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi jika diperlukan'. Angina Ludwig
lebih memerlukan trakeostomi dibandingkan infeksi lain yang terjadi di leher
dalam,Intubasi Nasotracheal saat pasien terjaga dapat menimbulkan obstruksi
jalan napas akut, persiapan untuk trakeostomi harus dilakukan dalam setiap
kasus bahkan ketika intubasi sedang dilakukan oleh anestesi yang terampil,
Narkotika sebaiknya dihindari karena menyebakan depresi pernapasan dan
dapat memperburuk kesulitan dalam ventilasi, beberapa penulis menganjurkan
penggunaan anestesi hirup.
8
terdapat infeksi supuratif, bukti radilogis adanya penumpukan cairan didalam
soft-tissue, krepitus, atau aspirasi jarum purulen. Drainase juga diindikasikan
jika tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi antibiotik. Drainase
ditempatkan di muskulus milohioid ke dalam ruang sublingual. Mencabut gigi
yang terinfeksi juga penting untuk proses drainase yang lengkap.
2.6 Prognosis
9
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
10
mulut terangkat sehingga lidah terangkat ke atas. Tampak gigi 24,25,26,46
gangren radiks.
Dilakukan pemeriksaan foto toraks dan soft tissue lateral. Dari hasil
pemeriksaan darah tampak leukositosis. Dari serangkaian pemeriksaan, pasien
didiagnosis dengan sepsis, Ludwigs angina yang telah meluas ke colli dan
suprasternal. Memperhatikan kondisi pasien maka segera dilakukan asprasi
abses, lalu dilakukan pemeriksaan dengan kultur resistensi. Setelah itu kepada
pasien diberikan obat antibiotik dan analgetik via infus untuk meringankan
gejala sistemik, lalu diinsisi drainase untuk mengeluarkan abses. Selanjutnya
pasien dirawat di dalam ruang perawatan. Selama 4 hari dirawat di ruang
perawatan, terjadi sesak pada pasien dengan respirasi sekitar 40x/menit;
dilakukan insisi di daerah leher, lalu pasien dikonsul ke bagian THT untuk
dilakukan trakeostomi dengan menggunakan anastesi umum. Setelah 8 hari
pasca perawatan kondisi pasien telah tampak membaik, bukaan mulut membaik
dan pernapasan sudah kembali normal. Setelah itu dilakukan pencabutan gigi
penyebab abses.
B. Pembahasan
11
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai tanda-tanda infeksi hilang,
dan tindakan selanjutnya adalah menilai keadaan gigi penyebab. Pada keadaan
akut tidak dibenarkan mengadakan pencabutan gigi penyebab karena
dikhawatirkan akan terjadi infeksi yang lebih berat dan kemungkinan terjadi
kematian karena sepsis. Tindakan drainase hampir selalu dilakukan pada setiap
kasus abses.1,2 Insisi drainase yang dilakukan bertujuan untuk membuat suatu
jalan keluar bagi akumulasi abses dan bakteri yang terdapat di bawah jaringan
tersebut. Drainase dari abses juga akan mengurangi ketegangan daerah tersebut
sehingga mengurangi rasa nyeri serta akan meningkatkan suplai darah dan
pertahanan tubuh di daerah tersebut. Tindakan insisi drainase kemudian diikuti
dengan memasang rubber drain untuk mencegah penutupan insisi tersebut agar
terjadi drainase yang adekuat. Konsultasi dengan bagian lain diperlukan bila
ditemukan keadaan sistemik yang memperberat keadaan, seperti diabetes
melitus atau dispnoe. Penggantian drain dilakukan tiap hari sampai abses
tampak kering. Bila kondisi telah memungkinkan segera dilakukan ekstraksi
gigi penyebab. Bila tampak gangguan pernapsan seperti pembengkakan yang
menekan saluran napas, kortikosteroid dapat diberikan sesuai indikasi;
sedangkan tindakan trakeostomi dilakukan bila diperlukan.
D. Kesimpulan
A. Kasus
12
Pasien Nn. S 20 tahun masuk rumah sakit RSUD Undata pada bulan September
2018 dengan keluhan bengkak pada pipi kiri dan rahang kiri bawah, yang
dirasakan sejak kurang lebih tiga minggu sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya, pasien mengeluhkan sakit pada gigi geraham bagian bawah
sebelah kiri. Keluhan disertai dengan adanya rasa nyeri pada leher, demam dan
sakit kepala. Pasien baru datang ke rumah sakit setelah muncul keluhan sulit
untuk membuka mulutnya yang dialami sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu
dan memberat tiga hari sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien memiliki riwayat
gigi geraham kiri bawah berlubang sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu.
Riwayat DM (-), hipertensi (-), tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang
serupa dengan pasien. Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang,
kesadaran composmentis, tanda tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
82x/menit pernapasan 20 x/menit dan suhu 38ºC. Didapatkan anemis pada
konjungtiva. Pada pemeriksaan status lokalis THT didapatkan, pada
pemeriksaan telinga dan hidung dalam batas normal tidak ditemukan kelainan.
Tidak dilakukan pemeriksaan tenggorokan karena pasien mengalami trismus 2
cm. Terdapat karies pada molar 2 dan 3 dibagian kiri bawah. Sedangkan pada
pemeriksaan leher didapatkan leher tampak kemerahan, tampak pembengkakan
pada daerah submandibula kiri dengan ukuran 4 cm x 4 cm yang berwarna
kemerahan, nyeri tekan dan tampak adanya fluktuasi. Pada pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan darah didapatkan WBC 16,53 x 103 /µL, HGB 6,0
gr/dL.
B. Diskusi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual
dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Ruang submaksila dibagi
lagi menjadi ruang submental dan submaksila (lateral) oleh otot digastrikus
anterior. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula
berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibular. Selain disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang
submandibula bisa disebabkan oleh limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan
bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi
13
dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.1,2,5 Organisme
penyebab yang lazim ditemukan seperti Streptococcus viridans,
Staphylococcusepidermidis, Staphylococcus aureus, grup Abetahemolytic
Streptococcus (Streptococcus pyogenes), Bacteroides, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spesies. 1,6,8 Secara epidemiologis penyakit ini paling
sering terjadi pada usia 20 dan 60 tahun, dengan perbandingan antara laki-laki
dan perempuan adalah 3:1. Angka kematian akibat abses submandibula sebelum
dikenalnya antibiotika mencapai 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan,
sejalan dengan perkembangan antibiotika, setelah dikenalnya perawatan bedah
yang baik dan tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian
mulai berkurang yaitu hanya terdapat 5%.4,7 Dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, didapatkan pada kasus ini, didiagnosis abses
submandibular sinistra. Pasien mengeluhkan adanya bengkak pada pipi kiri dan
rahang kiri bawah. Yang diawali dengan sakit pada gigi geraham bagian bawah
sebelah kiri serta pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada molar 2 dan 3
kiri bawah. Dimana dikehatui bahwa salah satu penyebab dari abses
submandibular adalah adanya infeksi pada gigi dan dasar mulut. Selain itu,
keluhan disertai dengan adanya demam dan trismus yang dialami sejak kurang
lebih 2 minggu. Kemudian dari pemeriksaan darah ditemukan adanya
leukositosis dan anemia yang menandakan adanya infeksi yang lama pada
pasien.
C. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana pada pasien abses submandibula adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan infeksi orofasial (termasuk
infeksi submandibular space) meliputi intervensi pembedahan untuk
mendrainase pus yang terlokalisir dan dukungan medis untuk pasien.
1. Insisi dan drainase.
Hal ini dapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral tergantung
pada lokasi infeksi. Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan metode
pengambilan sampel lebih akurat karena mengurangi kontaminasi dan
membantu melindungi dari bakteri anaerob. Pembengkakan yang
berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan didefinisikan sebagai transmisi
fluida dengan menggunakan palpasi bidigital.9 Pada pasien dilakukan insisi
drainase. Insisi dilakukan dengan panjang kurang lebih 2 cm pada daerah
14
yang paling fluktuatif. Setelah di insisi, eksplorasi pus dilanjutkan secara
tumpul dengan menggunakan klem bengkok sampai ruang submandibula.
Setelah pus berhasil dieksplorasi, dilakukan pemasangan draine handschoen
yang dilumuri dengan betadine pada luka insisi kemudian ditutup dengan
mengguankan kasa steril dan direkatkan dengan menggunakan hipafix.
Penderita dievaluasi setiap hari dan dilakukan dilatasi pada luka insisi untuk
mengeluarkan pus yang masih diproduksi. Setelah dilakukan insisi dranase
keluhan pasie mulai berkurang begitu juga dengan trismus yang dialami
pasien semakin membaik.
2. Antibiotik.
Antibiotik dapat diberikan secara empiris atau antibiotik spesifik yang
diberikan berdasarkan tes kultur dan sensitivitas. Pada pasien ini diberikan
antibiotik berupa amoksisilin yaitu penisilin spektrum luas. Dimana
diketahui bahwa penisilin memiliki potensi untuk menjadi agen lini pertama
dalam pengobatan infeksi odontogenik. Sebagian besar antibiotik beta-
laktam lainnya, termasuk sefalosporin generasi keempat, tidak ditemukan
memiliki efektivitas yang lebih besar daripada penisilin. Amoksisilin adalah
obat spektrum luas yang berguna dalam konteks ini walaupun banyak
klinisi lebih menyukai efek anti-anaerobik spesifik dari metronidazol.9
selain itu, pasien juga diberikan metilprednisolon 3x4 mg. pemberian obat
ini untuk mencegah terjadinya inflamasi yang luas.
3. Analgesik.
Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor penyebab
infeksi terkendali. Pilihan analgesik harus didasarkan pada kesesuaian
pasien. Obat anti inflamasi nonsteroid digunakan pada nyeri ringan sampai
sedang. Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan petidin, digunakan
untuk rasa sakit yang parah. Parasetamol, ibu profen dan aspirin cukup
untuk sebagian besar nyeri ringan akibat infeksi gigi. Analgesik perlu
diberikan dengan hati-hati, terutama apabila menggunakan narkotika,
karena membawa risiko depresi pernapasan.
D. Kesimpulan
Pada kasus abses submandibular, pasien akan mengeluhkan adanya demam dan
nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau dibawah lidah,
mungkin berfluktuasi serta trismus sering ditemukan. Keadaan ini merupakan
15
salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi
dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibular. Penatalaksanaan
pada penderita dilakukan dengan tindakan insisi drainase untuk evakuasi pus
dari daerah submandibula sinistra serta pemberian terapi antibiotika dan
analgetik serta anti-inflamasi. Keterlambatan diagnose atau kesalahan diagnosis
dapat menimbulkan konsekuensi terjadinya komplikasi berupa mediastinitis,
sepsis bahkan kematian akibat obstruksi Jalan napas.
1.3 Laporan Kasus III
A. Kasus
Seorang wanita berusia 25 tahun dirujuk ke departemen bedah mulut dan
maksilofasial kami sebagai kasus neuralgia trigeminal kanan. Pasien memiliki
riwayat pengobatan konservatif untuk neuralgia tanpa hasil. Riwayat
pengobatannya mengungkapkan bahwa molar pertama mandibula kanan
diekstraksi sebelum satu tahun. DS didiagnosis empat hari setelah ekstraksi oleh
dokter gigi didiagnosis dan pembalut intra-alveolar yang mengandung pasta
ZOE diberikan. Dengan menghilangkan rasa sakit selanjutnya, pasien tidak
mengunjungi dokter gigi, dan pembalutnya tetap berada di soket. Tapi
berminggu-minggu kemudian, pasien kembali mengalami nyeri mandibula
kanan. Pasien kemudian pergi ke dokter gigi yang berbeda untuk mengobati rasa
sakitnya. Nyeri hemifacial bertahan, dan pasien akhirnya dirujuk ke ahli saraf.
Dia salah mendiagnosis sebagai neuralgia trigeminal. Carbamazepine
diresepkan untuk sekitar enam bulan tanpa banyak manfaat; kemudian ahli saraf
merujuk pasien ke departemen kami. Pasien melaporkan molar ketiga rahang
bawah kanan. Benda asing itu dihapus dan kuretase pada daerah yang terkena
telah dilakukan. Antibiotik dan obat antiinflamasi nonsteroid diberikan selama
satu minggu setelah operasi. Jaringan yang diangkat. Semua jaringan dikirim ke
ahli patologi.
16
B. Diskusi
17
C. Kesimpulan
Terjadinya dry socket tidak terhindarkan. Itu bisa dicegah dengan berlebihan
penggunaan irigasi, penggunaan antibiotik secara bijaksana dan pemeliharaan
kebersihan mulut yang tepat. Meskipun tidak ada perawatan khusus yang
tersedia untuk DS tetapi ketika pembalut eugenol dan pembalut non-
bioresorbable digunakan maka instruksi pasca operasi tertulis harus diberikan
kepada pasien dengan pernyataan yang jelas tentang pembalut soket
intraalveolar, durasi yang diperlukan untuk tetap dalam perawatan. stopkontak
dan kapan harus dilepas. Pengingat dalam bentuk SMS atau email juga bisa
bermanfaat bagi pasien.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dry socket (alveolar osteitis) adalah gangguan dalam
penyembuhan luka berupa inflamasi yang meliputi salah satu
atau seluruh bagian dari lapisan tulang padat pada soket gigi
(lamina dura). Dry socket dikenal sebagai osteitis lokal atau
vokal dan secara klinis bermanisfestasi berupa inflamasi yang
meliputi salah satu atau seluruh bagian dari lapisan tulang
padat pada soket gigi (lamina dura).Dry socket digambarkan
sebagai komplikasi pada disentegrasi bekuan darah intra
alveolar yang dimulai sejak hari ke dua hingga ke empat pasca
pencabutan gigi. Dry socket adalah gangguan dalam
penyembuhan yang terjadi setelah pembentukan bekuan darah
yang matang, tapi sebelum bekuan darah tersebut digantikan
oleh jaringan granulasi.(Khitab dkk,2009)
Penatalaksanaan Alveolar Osteotitis (Dry Socket)
18
dengan larutan salin isotonic steril yang hangat, larutan garam normal yang
hangat atau larutan hydrogen peroksida yang dicairkan untuk membuang
material nekrotik dan debri lainnya yang diikuti oleh aplikasi obtudent (eugenol)
atau anestesi topical (butakain [benzokain]). Sebagai tambahan terapi lokal,
analgesic antipiretik atau narkotik seperti kodein sulfat (1/2 gram) atau
meperidin (50 mg) setiap 3 -4 jam harus di berikan kepada pasien. Pemilihan
obat bergantung keparahan dari rasa nyeri. Lalu diperiksa dan dipalpasi yang
hati-hati dengan menggunakan aplikator kapas membantu dalam menentukan
sensivitas. Apabila pasien tidak tahan terhadap hal tersebut, maka dilakukan
anestesi topical atau local sebelum melakukan packing. Pembalut obat-obatan
dimasukkan ke dalam alveolus. Pembalut diganti sesudah 24-48 jam, kemudian
diirigasi dan diperiksa lagi. Kadang-kadang diperlukan resep analgesik dan
diinstruksikan pasien untuk kumur-kumur dengan larutan garam hangat, dan
buatlah janji agar pasien kembali dalam waktu 3 hari. Pasien diperiksa dalam 24
jam, jika nyeri telah berhenti, medikasi dalam soket tidak diperlukan lagi. Jika
rasa nyeri masih bertahan, irigasi dan dressing soket harus diulangi jika perlu.
Penggunaan rutin antibiotik dalam perawatan alveolar osteitis tidak
direkomendasikan karena masalah utama adalah kontrol rasa nyeri daripada
infeksi yang tidak terbatas.
19
tindakan bedah dimulai atau secara langsung setelah tindakan ekstraksi.
Dosis yang digunakan harus minimal dan digunakan untuk periode
pendek.
20
DAFTAR PUSTAKA
Kumar. MDA, Gheena. S. 2015. Incidence of Dry Socket after Third Molar Extraction.
Journal Of Pharmceutical Science and Researc. Vol. 7. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/profile/Gheena_Sukumaran/publication/282936537_Incide
nce_of_dry_socket_after_third_molar_extraction/links/591e8c510f7e9b642817d589/Inci
dence-of-dry-socket-after-third-molar-extraction.pdf Pada 6 Desember 2019
Lubis,Wina Sabrina. 2016. Prevalensi Dry Socket pada Rahang Atas dan
Rahang Bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada
Tahun 2014 dan 2015. Universitas Sumatera Utara.
Rizkadnt,2015. Dry Socket: Etiologi,Pencegahan, dan Penatalaksanaan.
21