Anda di halaman 1dari 2

ELEGI SURTI

Tidak seperti biasanya, hari itu Surti tertunduk lesu. Matanya sayu. Rambutnya kusut bagai
tak pernah kena shampo. Dengan kaki selonjor di tanah, dia mencoba menikmati
duduknya. Punggungnya disandarkan pada dinding rumah yang terbuat dari anyaman
bambu. Sesekali dia menghela nafas panjang. Pertanda dia sedang menenangkan
pikirannya. Sesekali pula dia sesenggukan menangis meratapi nasib yang dialaminya.
Beberapa lalat terbang dari kandang kerbau sebelah rumahnya, hinggap di tubuh kotornya.

“Nduk, ... Surti, makan nduk.., “ sesayup suara keluar dari dalam rumah. Rupanya suara itu
tidak mampu membuat Surti tergerak menoleh ke sumber suara. Surti lebih asik dengan
jari-jari tangannya yang senantiasa memainkan rambut gimbalnya. “Surti...!” Makin keras
suara itu terdengar.

Surti, gadis remaja dari keluarga tak mampu. Bapaknya pengais pasir di bantaran kali
gelis Kudus. Ibunya pengais tekik, puntung rokok di sudut-sudut jalan. Ia tidak sempat
melanjutkan sekolah. Terakhir ia duduk di bangku kelas 6 SD negeri samping rumahnya.
Bapaknya meninggal saat surti dan dua kakaknya masih kecil-kecil. Bapaknya meninggal
akibat kangker paru-paru, ciri khas penyakit orang miskin. Dua kakak laki-lakiya merantau
entah kemana, tak ada yang tahu. Mereka meninggalkan Surti selepas SMP.

Hari itu Sabtu sore. Orang menyebutnya malam minggu. Malam yang paling dinanti-nanti
Surti dan beberapa temannya: Siti, Siah, dan Rumiati. Mereka selalu berempat jika
kemana-mana. Mereka sepakat jeng-jeng menikmati ramainya dandangan sekitar Menara
Kudus. Seperti umumnya, anak seusia itu, mereka amat riang. Usai berdandan, mereka
bersepakat menikmati dandangan. Semerbak aroma Jovan menyeruak hidung yang
menghirupnya. “Tumben, sore-sore begini sudah berdandan itu?” tanya ibunya. “Iya,
Mak...” jawab Surti, pendek sambil sesekali membetulkan tatanan rambut sebahunya.
“Nduk,....kalau ditanya orang itu harus dijawab” Suara ‘srek, srek, sre’ dari sebuah sapu
mengisi kebekuan sejenak.
“Mak, aku mau jeng-jeng sama Siti, Siah, dan Rumiati. Mumpung ada dandangan, Mak.
Boleh ya, Mak...” bujuk Surti menyakinka emaknya. “Hemm....” gumam emak Saijah
pelan. Entah apa arti gumama itu. Rasanya berat untuk mengatakan iya kepada Surti.
Setengah hati Saijah memberikan izin kepada anak perempuannya itu. Raut mukanya
menampakkan rasa berat melepaskan Surti pergi di sore hari.

“Surti....Surti....Ayo berangkat!’ teriakan teman-teman Surti memecah kebisuan sore itu.


Surti bergegas keluar rumah. Terlihat mereka berbincang kecil. Keasyikan tampak dari
raut wajah mereka. Tanpa pamit dengan emaknya, Surti melangkah riang.

Dari depan pintu, Saijah memandangi kepergian anak perempuan satu-satunya. Butiran air
matanya menetes di kedua pipinya. “Gusti,...berilah keselamatan pada anakku” pintanya
pada Sang Hyang Widi.
.....................TO BE CONTINUED................

Anda mungkin juga menyukai