Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KEPERAWATAN BENCANA

CARE GIVER PADA KELOMPOK RENTAN BAYI DAN ANAK

Di susun oleh:

1. Miftahul Jannati Muslimah (163210064)

2. Dasih Sahlul. K

3. Sakanun Eka

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2020

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr, wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan kesempatan,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang di harapkan walaupun dalam
bentuk yang sangat sederhana, dimana makalah ini membahas tentang “Keperawatan
Bencana Care Giver Pada Kelompok Retan Bayi dan Anak” dan kiranya makalah ini dapat
meningkatkan pengetahuan kita khususnya tentang bagaimana konsep keperawatan
bencana.

Dengan adanya makalah ini, mudah-mudahan dapat membantu meningkatkan minat


baca dan belajar teman-teman. Selain itu, saya juga berharap semua dapat mengetahui dan
memahami tentang materi ini, karena akan meningkatkan mutu individu kita.

Saya sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat minim,
sehingga saran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak masih saya harapkan
demi perbaikan makalah ini. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Jombang, 03 Januari 2020

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang
sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut
serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya
risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia, dan kedaruratan kompleks
meskipun disisi lain juga kaya akan sumber daya alam. Pada umumnya risiko bencana
alam meliputi bencana akibat factor geologi (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung
api) bencana akibat hydrometeorology (banjir, tanah longsong, kekeringan, angina topan)
bencana akibat factor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ ternak, hama
tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakaan industry, kecelakaan transportasi, radiasi
nuklir, pencemaran bahan kimia)

Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan
sumber daya yang terbatas, alas an ideology, religious, serta politik. Sedangkan
kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu daerah
konflik. Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan
atau perfencanaan yang matang dalam penanggulangannya. Sehingga, dapat dilaksanakan
secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dapat dilakukan selama ini belum di
dasarkan pada langkah-langkah yang sistematisdan terencana, sehingga seringkali terjadi
tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting tidak tertangani. Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan pada
pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai
pereencanaan penanggulangan bencana Secara lebih rinci disebutkan di dalam peraturan
pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Kedua Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Bencana

Bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan antara
keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang
dahsyat bagi kelangsungan kehidupan. Dalam kejadian tersebut, unsur yang terkait
langsung atau terpengaruh harus merespons dengan melakukan tindakan luar biasa guna
menyelesaikan sekaligus memulihkan kondisi seperti semula atau menjadi lebih baik
(Priambodo, S. Arie, 2009).
Berdasakan UU No 24 Tahun 2007 dalam Kadoatie, Robert J & Syarief,
Roestam, 2010, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.
Kejadian bencana seringkali saling berkaitan. Dengan kata lain, suatu bencana
dapat menjadi penyebab utama dari bencana lainnya yang potensial terjadi dalam
jangkauan wilayah tertentu. Misalnya, bencana gempa bumi dapat berkaitan dengan
gelombang pasang air laut (tsumani), tanah longsor, letusan gunung berapi, semburan
lumpur panas, atau bahkan bencana sosial (penjarahan) pasca bencana (Priambodo, S.
Arie, 2009).

2.2 Kategori Bencana

Secara garis besar ada tiga kategori bencana, sebagai berikut: (Priambodo,

S. Arie. 2009)

a. Bencana alam, yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi alamiah
alam semesta (angina: topan, badai, putting beliung; tanah: erosi, sedimentasi,
longsor, gempa bumi; air: banjir, tsunami, kekeringa; api: kebakaran, letusan
gunung berapi).
b. Bencana sosial, yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sebagai
komponen sosial (instabilitas politik, sosial, dan ekonomi; perang; kerusuhan
massal; terror bom; kelaparan; pengungsian; dll).
c. Bencana kompleks, yakni perpaduan antara bencana sosial dana lam sehingga
dampak negatif bagi kehidupan (kebakaran; epidemi penyakit; kerusakan
ekosistem; polusi lingkungan, dll).

Tabel 1.1 Jenis bencana menurut UU No 24 Tahun 2007


No Kategori Bencana Jenis Bencana
1 Bencana alam Gempa bumi
Tsunami
Gunung Meletus
Banjir
Kekeringan
Angin topan
Tanah longsor
2 Bencana non-alam Gagal teknologi
Gagal modernisasi
Epidemi & wabah penyakit
3 Bencana sosial Konflik sosial antar kelompok dan
kominitas
Masyarakat terror
Sumber: Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam (2010).

2.3 Skala Bencana

Dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat


bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Ada kalanya tingkat bahaya dan risiko yang
ditimbulkan bercampur menjadi satu. Besar kecilnya skala bencana tidak mudah
dipastikan.
Skala Tingkat Bahaya Manusia Bangunan

A Ringan Cedera Rusak ringan


B Menengah Luka parah Rusak sedang

C Berat Cacat Permanen Rusak parah

D Dahsyat Meninggal dunia Hancur

Tabel 1.2 Bagan Skala Bencana


Sumber: (Priambodo, S. Arie. 2009).

2.4 Penyebab Bencana

Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu alam dan manusia. Secara
alami bencana akan selalu terjadi dipermukaan bumi, misal tsunami, gempa bumi, gunung
meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke bumi (misal meteor), tidak adanya hujan
pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga menimbulkan kekeringan, atau
sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi menimbulkan bencana banjir
dan tanah longsor.

Bencana oleh aktivitas manusia adalah terutama akibat eksplorasi alam yang
berlebihan, eksplorasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Pertumbuhan ini mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok meningkat, kebutuhan
infrastruktur meningkat. Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam (2010).

2.5 Definisi Bayi dan Anak

Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan
zat gizi
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut
definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19
tahun. Berdasarkan Konvensi Hak- hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 dan diratifikasi Indonesia
pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud Anak adalah setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Kemenkes, 2014).
2.6 Kerentanan Bayi dan Anak saat Bencana

Korban bencana adalah orang atau kelompok yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana (Pemerintah Republik Indonesia 2008). Kerentanan berasal dari
kata rentan yang berarti mudah terkena penyakit (Kamus besar Bahasa Idonesia (KBBI)
online.
Kelompok rentan merupakan mereka yang memiliki kebutuhan khusus yang
berisiko karena kondisi fisik, psikologis atau kesehatan. Kelompok rentan bencana
adalah bayi, anak usia dibawah lima tahun, anak- anak, ibu hamil atau menyusui,
penyandang cacat dan orang lanjut usia. Kelompok rentan merupakan mereka yang
memiliki kebutuhan khusus yang berisiko karena kondisi fisik, psikologis atau
kesehatan. Pada kejadian bencana pertolongan diprioritaskan pada masyarakat terkena
bencana yang mengalami luka parah dan kelompok rentan berupa penyelamatan,
evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan dan psikososial (Pemerintah Republik
Indonesia 2008).
Bayi dan anak dibawah lima tahun terutama rentan dalam keadaan bencana
dikarenakan kondisi fisik, psikologis dan kesehatan mereka sangat tergantung pada
orang tuanya (orang dewasa). Anak mengalami dampak lebih berat dari pada orang
dewasa pada saat bencana. Mereka sangat terpengaruh oleh peristiwa traumatis yang
dialami (menyaksikan kematian, terpisah dari orang tua, sebatang kara), juga merasakan
dampak peristiwa yang dialami orang tuanya, hal ini diakibatkan orang tua yang
mengalami trauma akibat bencana seringkali berkurang kemampuannya untuk
mendukung dan melindungi anak secara emosional, gangguan parah yang dialami orang
tua seperti tindak kekerasan menjadi trauma baru bagi anak serta anak belum memiliki
kemampuan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan.
1. Kerentanan Psikologis
Menurut Rhodes et al. (2010) terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan
sesudah bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal
dalam lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda- tandanya
perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah
marah, tempertantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali
ataupun semakin meningkat intensitasnya, reaksi ketakutan dan kecemasan,
keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri
dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan
saudara, berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak
menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan
mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol
ataupun prostitusi.
2. Kerentanan Fisik
Jenis bencana memengaruhi kerentanan fisik anak, misalnya bayi di
amerika pada bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang
terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang
meninggal karena kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang rawan
bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya
akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah.
Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal
dalam lokasi pengungsian ataupun darurat, sangat rentan terhadap berbagai
penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan penyakit
kulit. Akses air bersih dan sanitasi yang kurang membuat bayi sangat mudah
terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan mengadakan pengamatan
terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan reproduksi anak
perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara biologis mulai
matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat. Faktor
sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress
orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada
individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp
pengungsian bahwa anak diperlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan
oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri
menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak
3. Kerentanan Pendidikan
Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur
pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang mengungsi,
akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam
jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun diadakan sekolah
darurat, dan juga kampanye untuk kembali bersekolah, banyak orangtua yang
masih enggan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah relokasi
karena mereka belum tahu kepastian tempat tinggal mereka. Pada masyarakat
dengan kultur budaya patriarki yang kuat dimana anak perempuan lebih
diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan domestic, angka putus sekolah untuk
anak perempuan lebih tinggi. Angka putus sekolah yang tinggi menjadi tanda
rentannya intervensi pendidikan anak paska bencana.
Program pengurangan risiko untuk kelompok dengan kebutuhan
khusus dilakukan melalui program-program spesifik yang bertujuan untuk tidak
meningkatkan kerentanan tetapi sebaliknya mendukung ketangguhan kelompok
rentan terhadap bencana (BNPB 2010).
Perlindungan khusus bagi anak korban bencana dilaksanakan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman,
pendidikan, kesehatan, belajar dan rekreasi, jaminan keamanan dan persamaan
perlakuan (Pemerintah Republik Indonesia 2002).
Kerentanan Kerentanan Kerentanan
Psikologis Fisik Pendidikan
 Ancaman  Hidup dalam  Rusaknya bangunan
 Keluarga terpisah komunitas miskin sekolah
 Kematian orangtua  Bersekolah di  Guru dan siswa yang
 Kehilangan materi sekolah dibawah mengungsi
 Kerusakan rumah standar keslamatan  Kehilangan catatan
atau sekolah bangunan penting
 Ekspose langsung  Kehilangan  Tertundanya masuk
oleh media orangtua sekolah
 Minimnya persiapan  Keluarga terpisah  Perubahan sekolah
tanggap bencana  Stress orangtua  Lingkungan sekolah
 Stress orangtua  Lingkungan shelter yangtidak ramah
yang tidak sehat  Prestasi rendah
 Rendahnya  Kehilangan orangtua
dukungan sosial  Permintaan pekerrjaan
 Adanya stressor yang meningkat
tambahan
 Ketrampilan
“coping” randah
 Kurangya dukungan
“coping”
 Pengungsian

2.7 Dampak Bencana Pada Bayi dan Anak

1. Dampak Fisik

Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara
fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Lebih dari
18,000 anak meninggal pada gempa di pakistan(International Federation of Red
Cross and Red Crescent Societies 2007), dan tsunami 2004 di samudra Hindia
menyebabkan 60.000 anak meninggal (Oxfam International 2005). Jenis bencana
juga mempengaruhi kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di amerika pada bencana
badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas, sedangkan di
beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena kedinginan Anak
yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal
ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam
reruntuhan tembok sekolah.
Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal
dalam lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti
epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air
bersih dansanitasi yang kurang membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi
dini bisa dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi
kesehatan anak. Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu
dicermati. Usia yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri
utnuk bisa hidup secara sehat.
Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan
stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan
emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di
kamp pengungsian bahwa anak dieprlakukan sebagai subyek kekerasan yang
dilakukan oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik
diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak.
2. Dampak Psikologis

Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak
sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana. Rasa
aman utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua dan guru)
serta keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat terpengaruh oleh
reaksi orang tua mereka dan orang dewasa lainya. Jika orangtua dan guru mereka
bereaksi dengan panik, anak akan semakin ketakutan. Saat mereka tinggal di
pengungsian dan kehilangan ketaraturan hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur
untuk kegiatan belajar, dan bermain, membuat anak kehilangan kendali atas
hidupnya. Anak mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh orang
dewasa di sekitarnya. Dan seperti orang dewasa, anak mengalami perasaan yang
tidak berdaya dan tidak dapat mengontrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi
tidak seperti orang dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk
membantu mereka meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif.
Children sense the anxiety and tension in adults around them. Setiap anak
mempunyai respon yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemahaman dan
pengertian mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat
menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir
bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang yang mereka
sayangi.
Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan
orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam lingkungan asing,
menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian di
bawah ini.
a. Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah

Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan psikis adalah
adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah,
temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali
ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al. 2002).
b. Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12)

Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan kecemasan,


keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri
dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan
saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999).

c. Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18 tahun

Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya


ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak,
gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan
dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.
Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang mempengaruhi
“wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak adalah:
a. Kematian orangtua atau orang yang dicintai anak

Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan keluarga yang
meninggal, anak perempuan sangat rentan terhadap praktek prostitusi, kawin
muda, dan menjadi subyek pelecehan seksual. Perdagangan anak juga menjadi
isue pasca bencana ini, dimana anak yang tidak punya orang tua disalah gunakan
oleh pihak yang bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.

b. Nonintegrated family – separated children

Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari orangtuanya. Banyak
dari mereka tidak mengetahui keberadaan orangtua, anak batita dan balita adalah
anak dalam kategori berisiko tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa
menjelaskan jatidiri mereka, seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini
kebanyakan dipelihara oleh orang yang menemukan mereka atau tinggal dalam
lingkungan pengungsian tanpa perlindungan.
c. Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak

Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh dalam
lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup dalam situasi yang “tidak
normal”. Kondisi pengungsian yang sama sekali berbeda dari lingkungan normal
anak menjadi factor resiko bagi anak yang harus beradaptasi secara mendadak.
Perubahan situasi yang baru merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh
dalam lingkungan yang memberinya rasa nyaman.
2.8 Perawatan pada Bayi dan Anak Saat Bencana

Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok- kelompok


rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan
bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010) :
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan

c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan


komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses

e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses

Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan bayi dan anak


menurut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010;
Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):
1. Sebelum Bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi

b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana

c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas


kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
2. Saat Bencana

a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang


digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh
kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan
fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali
mereka
3. Setelah Bencana
d. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya
waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
e. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri

f. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua

g. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional


h. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian
depresi pada anak pasca bencana.
i. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya
serta lingkunganyang aman untuk mereka
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis
akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang
mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa
wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga
apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan
gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan dalam
penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat
dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan
sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan
pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan
mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa
bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak
tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya.
Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
Anak-anak memerlukan perawatan khusus yang berbeda dari orang
dewasa, terutama karena berkaitan dengan tanggap darurat terhadap peristiwa
radiasi skala besar. Masa kanak-kanak dan remaja adalah tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang berbeda dan unik sehingga menimbulkan kerentanan, variasi
biologis, perbedaan fisiologis, dan kebutuhan perkembangan. Skrining,
dekontaminasi, strategi pengobatan, dan penggunaan tindakan pencegahan medis
harus dilakukan dengan memperhatikan perbedaan ini. Menanggapi bencana
radiasi yang berdampak pada anak-anak memerlukan evaluasi dan respon yang
cepat oleh penyedia layanan kesehatan yang dilengkapi dengan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan untuk menangani kebutuhan kesehatan fisik,
emosional, dan mental anak secara tepat.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Anak-anak memerlukan perawatan khusus yang berbeda dari orang dewasa,
terutama karena berkaitan dengan tanggap darurat terhadap peristiwa radiasi skala
besar. Masa kanak-kanak dan remaja adalah tahap pertumbuhan dan perkembangan
yang berbeda dan unik sehingga menimbulkan kerentanan, variasi biologis, perbedaan
fisiologis, dan kebutuhan perkembangan. Skrining, dekontaminasi, strategi pengobatan,
dan penggunaan tindakan pencegahan medis harus dilakukan dengan memperhatikan
perbedaan ini. Menanggapi bencana radiasi yang berdampak pada anak-anak
memerlukan evaluasi dan respon yang cepat oleh penyedia layanan kesehatan yang
dilengkapi dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk menangani
kebutuhan kesehatan fisik, emosional, dan mental anak secara tepat.

3.2 Saran
Sebagai perawat kita harus mampu meningkatka kualitas kita dengan sangat matang,
karena pada dasarnya sifat keperawatan adalah luwes, kita harus mampu di tempatkan
dimana saja tidak terkecuali dalam kondisi benca alam, wabah ataupun yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Janine M. Schroeder, MA;1 Melissa A. Polusny, PhD2 (2004) Risk Factors for
Adolescent Alcohol Use Following a Natural Disaster http://pdm.medicine.wisc.edu
Prehospital and Disaster Medicine Schroeder, Polusny 123

Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam. (2010). Tata ruang Air. Yogyakarta:
C.V Andi OFFSET.

Kemenkes. (2014). Infodatin. Jakarta: Kemenkes.

Kemenkes, 2012. PEDOMAN KEGIATAN GIZI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA,


Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan KIA. Available at: http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2012/11/Buku-Pedoman-Kegiatan- Gizi-dalam-Penanggulangan-Bencana.pdf
[Accessed October 15, 2017].

Kemenkes, 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana


(mengacu pada Standar internasional) Revisi., Jakarta: Pusat Penanggulangan
Krisis Kesehatan Kemenkes RI.

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report 2007:
Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International Federation of Red
Cross and Red Crescent Societies.

Lauten, Anne Westbrook and Kimberly Lietz (2008). “A Look at the Standards Gap:
Comparing Child Protection Responses in the Aftermath of Hurricane Katrina
and the Indian Ocean Tsunami.” Children, Youth and 18(1): 158-
201. Availablefrom:http://www.colorado.edu/journals/cye.

Morris, Kerry-Ann N. and Michelle T. Edwards (2008). “Disaster Risk Reduction and
Vulnerable Populations in Jamaica: Protecting Children within the Comprehensive
Disaster Management Framework.” Children, Youth and Environments 18(1): 389-
407. Available from: www.colorado.edu/journals/cye.

Nursalam. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dan


Keperawatan. (Nursalam, Ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Priambodo, S. Arie. (2009). Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta: Kanisius.

Plutchik, R 2003. Emotions and Life: Perspective from psychology, biology, and
evolution. Washington, DC:APA

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK:
The World Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge
University Press.

Anda mungkin juga menyukai