Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TEKNOLOGI SEDIAAN LIQUIDA DAN SEMISOLIDA

Disusun oleh:
Siti Antika Nurdin Yati
180106064
Farmasi 18-B

Dosen :Titian Daru Asmara Tugon, M.Farm

PROGAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah Teknologi Sediaan Semisolida dengan
tepat waktu serta tanpa halangan apapun.

Dengan adanya makalah ini, diharapakan dapat membantu proses pembelajaran dan
menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak atas bantuan, dukungan dan doanya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini
dan dapat mengetahui tentang sejarah kesehatan dunia dan Indonesia. Makalah ini mungkin
kurang sempurna, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan
makalah ini.

Cirebon, 29 Mei 2020


Penulis
.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1-1

1.2 Rumusan Masalah 1-2

BAB II Pembahasan

2.1 Definisi 2-1


2.2 Formulasi sediaan 2-1

2.3 Jenis IPC 2-2

2.4 Kemasan sediaan steril dan non steril 2-5

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan 3-1

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat topikal merupakan salah satu bentuk obat yang sering dipakai dalam
terapi dermatologi. Obat ini terdiri dari vehikulum (bahan pembawa) dan zat aktif.
Kecermatan memilih bentuk sediaan obat topikal yang sesuai dengan kondisi
kelainan kulit merupakan salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan terapi
topikal, di samping faktor lain seperti: konsentrasi zat aktif obat, efek fi sika dan
kimia, cara pakai, lama peng-gunaan obat agar diperoleh efi kasi yang maksimal
dan efek samping minimal (yunhendri, 2012).

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat
pembawa (ve-hikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal
yang memiliki efek terapeutik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari
sediaan topikal dapat ber-bentuk cair atau padat yang membawa ba-han aktif
berkontak dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersih-
kan, tidak mengiritasi serta menyenangkan secara kosmetik. Selain itu, bahan aktif
harus berada di dalam zat pembawa dan kemudian mudah dilepaskan.1,2,9-11.
Untuk mendapatkan sifat zat pembawa yang demikian, maka ditambahkanlah bahan
atau unsur senyawa tertentu yang berperan dalam memaksimalkan fungsi dari zat
pembawa (yunhendri, 2012).

1.1 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa perbedaan formulasi sediaan steril dengan non steril ?

1.2.2 Apa saja jenis-jenis IPC dan Evaluasi sediaan steril ?

1.2.3 Apa perbedaan kemasan sediaan steril dan non steril ?


1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui perbedaan formulasi sediaan topikal steril dan non steril.
1.2.2 Mengetahui jenis-jenis IPC dan Evaluasi sediaan steril.
1.2.3 Mengetahui perbedaan kemasan sediaan steril dan non steril
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang


bebas dari mikroorganisme hidup. Formulasi sediaan steril merupakan
salah satu bentuk sediaan farmasi yang banyak dipakai, terutama pada
pasien yang dirawat dirumah sakit. Sediaan steril sangat membantu pada
saat pasien dioperasi, diinfus, disuntuk, mempunyai luka terbuka yang
harus diobati dan sebagainya (MGMP pati, 2012).
Sediaan non steril, tidak mengandung mikroba yang dapat
menyebabkan infeksi akibat penggunaan obat tersebut (medication-borne
infection). TVC (Total Viable Count) dalam jumlah tertentu dan tidak
adanya patogen enterik dalam bahan baku nya.
Obat topikal merupakan salah satu bentuk obat yang sering dipakai
dalam terapi dermatologi. Obat ini terdiri dari vehikulum (bahan pembawa)
dan zat aktif. Kecermatan memilih bentuk sediaan obat topikal yang sesuai
dengan kondisi kelainan kulit merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam keberhasilan terapi topikal, di samping faktor lain seperti: konsentrasi
zat aktif obat, efek fi sika dan kimia, cara pakai, lama peng-gunaan obat agar
diperoleh efi kasi yang maksimal dan efek samping minimal (yunhendri,
2012).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perbedaan formulasi sediaan topikal steril dan sediaan non steril

2.1.1. Sediaan topikal steril

steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari
mikroorganisme hidup. Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk
sediaan farmasi yang banyak dipakai, terutama pada pasien yang dirawat dirumah
sakit. Sediaan steril sangat membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntuk,
mempunyai luka terbuka yang harus diobati dan sebagainya (MGMP pati, 2012).

2.1.2. Sediaan topikal non steril


Sediaan non steril, tidak mengandung mikroba yang dapat menyebabkan
infeksi akibat penggunaan obat tersebut (medication-borne infection). TVC (Total
Viable Count) dalam jumlah tertentu dan tidak adanya patogen enterik dalam bahan
baku nya.

2.1.3. Formulasi sediaan

Pendekatan formula

No Nama Bahan Jumlah Kegunaan


1 Zink oksid 10% Zat aktif
2 Acid stearicum 15% Zat tambahan
3 Cera alba 2% Basis krim
4 Vaslin putih 8% Zat tambahan
5 Tween 80 6% Emulgator
6 TEA 1,5% Pengemulsi
(Trietanolamin)
7 Propilen glikol 8% Pelarut
8 Aquadest Ad 100 Pelarut
gram
Di atas merupakan contoh formulasi dari sediaan topikal steril. Perbedaan yang
diamati antara sediaan topikal steril dan non steril tidak jauh berbeda. Hanya saja,
biasanya untuk sediaan pelarut yang biasa dipakai aquadest. Mereka mempunyai
pelarut dengan standar sendiri. Dan juga dari proses sterilisasi nya pun berbeda.

2.2. Berbagai jenis IPC dan sediaan steril

2.2.1. jenis IPC

Pemastian Mutu mencakup Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)


ditambah dengan faktor  lain. CPOB bertujuan untuk menjamin obat yang dibuat
secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. CPOB mencakup produksi dan pengawasan mutu. Pengawasan
selama proses produksi (in process control) merupakan hal yang yang penting
dalam pemastian mutu produk. Persyaratan industri farmasi di Indonesia diatur
oleh Badan POM dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) (Bambang,
2007).

Sistem Pemastian Mutu yang benar tepat bagi industri farmasi hendaklah
memastikan bahwa:

 Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara


yang memperhatikan persyaratan CPOB dan Cara Berlaboaturium yang
Baik
 Semua langkah produksi dan pengendalian diuraikan  secara jelas dan
CPOB diterapkan.
 Tanggung jawab menegerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan
 Pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pasokan dan penggunaan bahan
awal, bahan pengemas yang benar. Semua pengawasan terhadap produk
antara dan pengawasan selama proses (in-process control) lain serta validasi
yang diperlukan
 Pengkajian terhadap semua dokumen yang terkait dengan proses
pengemasaan dan pengujian bets dilakukan sebelum memberikan
pengesahaan pelulusan untuk distribusi penilaian hendaklah meliputi
semua faktor yang relevan termasuk kondisi faktor yang relevan
termasuk kondisi pembuatan, hasil pengujian dan atau pengawasan
selama proses, pengkajian dokumen produksi termasuk pengemasan,
pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan
persyaratan dan spesifikasi produk jadi dan pemeriksaan produk dalam
kemasaan akhir.
 Obat tidak dijual atau tidak dipasok sebelum Kepala Bagian Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu) menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan
dikendalikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan dalam izin edar dan
peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu dan
pelulusan produk .
 Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat
mungkin produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani 
sedemikian rupa agar mutu  tetap dijaga selama masa edar/simpan obat
 Tersedia prosedur inspeksi diri dan /atau audit mutu yang secara berkala
mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu
 Pemasok bahan awal dan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk
memenuhi  spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan
 Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat
 Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahaan yang berdampak pada
mutu produk
 Prosedur pengolahaan ulang, evaluasi dan di setujui  dan
 Evaluasi mutu produk berkala dilakukan verifikasi konsistensi proses dan
memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan (GMP Center, 2011)

2.2.2. Evaluasi sediaan steril dan non steril

Evaluasi Fisik

1. Organoleptik (Teknologi Farmasi Likuida dan Semisolida, 127)


Tujuan: Memeriksa kesesuaian warna, bau, tekstur dan melihat pemisahan fase
pada krim di mana sedapat mungkin mendekati dengan spesifikasi
sediaan yang telah ditentukan selama formulasi.

Prinsip: pemeriksaan bau, rasa, warna,tekstur dan pemisahan fase krim


menggunakan panca indera.

Penafsiran hasil: warna, bau dan rasa memenuhi spesifikasi formulasi (sesuaikan
Spec. Sediaan yang dibuat)

2. Penetapan pH (FI IV, 1039)


Alat : pH meter

Tujuan : mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah


ditentukan

Prinsip : pengukuran pH cairan uji menggunakan pH meter yang telah


dikalibrasi

3. Uji Kebocoran Tube (FI IV, 1086)


Tujuan : memeriksa keutuhan kemasan u/ menjaga sterilitas & volume
serta kstabilan sediaan.
Prinsip : 10 tube sediaan dibersihkan dan dikeringkan baik-baik bagian
luarnya dengan kain penyerap. lalu tube diletakkan secara horizontal
di atas kain penyerap di dalam oven dengan suhu diatur pada 60o ± 3o
selama 8 jam.

Hasil: tidak boleh terjadi kebocoran yang berarti selama atau setelah pengujian
selesai. Abaikan bekas krim yang diperkirakan berasal dari bagian luar
dimana terdapat lipatan dari tube atau dari bagian ulir tutup tube. Jika
terdapat kebocoran pada 1 tube tetapi tidak lebih dari 1 tube, ulangi
pengujian dengan 20 tube tambahan. Uji memenuhi syarat jika: tidak ada
satu pun kebocoran diamati dari 10 tube uji pertama, atau kebocoran yang
diamati tidak lebih dari 1 dari 30 tube yang diuji.

4. Viskositas (Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika, 2002, hal 18)

Tujuan : mengukur viskositas sediaan

Prinsip : melakukan pengukuran konsistensi krim pada suhu kamar dengan


menggunakan viskometer Brookfield Helipath stand yang memakai spindel
dan pada kecepatan (rpm) tertentu.

Hasil : viskositas dinyatakan dalam cps

Evaluasi Biologi

1. Uji Sterilitas (untuk Krim Steril)(FI IV, 855-863)


Tujuan : menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi syarat berkenaan
dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi.

Prinsip : Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan
mikroba pada inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau
filtrasi dalam medium Tioglikonat cair dan Soybean Casein Digest prosedur
uji dapat menggunakan teknik inokulasi langsung ke dalam media pada 30-
35oC selama tidak kurang dari 7 hari.

Hasil : Tahap Pertama: Memenuhi syarat uji jika pada interval waktu tertentu dan
pada akhir periode inkubasi, diamati tidak terdapat kekeruhan atau
pertumbuhan mikroba pada permukaan, kecuali teknik pengujian dinyatakan
tidak absah. Jika ternyata uji tidak absah, maka dilakukan pengujian Tahap
Kedua.

Tahap Kedua: Memenuhi syarat uji jika tidak ditemukan pertumbuhan


mikroba pada pengujian terhadap minimal 2 kali jumlah sampel uji tahap

2. Uji efektivitas pengawet antimikroba (khusus untuk formula yang menggunakan


pengawet) (FI IV <61>, hal 854-855)

Tujuan: Menunjukkan efektifitas pengawet antimikroba yang ditambahkan pada


sediaan dosis ganda yang dibuat dengan dasar atau bahan pembawa berair
seperti produk parenteral yang dicantumkan pada

Prinsip: Pengurangan jumlah mikroba yang dimasukkan ke dalam sediaan yang


mengandung pengawet dalam selang waktu tertentu dapat digunakan sebagai
parameter efektifitas pengawet dalam sediaan. Inokulasi mikroba pada
sediaan dengan cara menginkubasi tabung bakteri biologik (Candida
Albicans, Aspergillus Niger, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus) yang berisi sampel dari inokula pada suhu 20-25C dalam media
Soybean-Casein Digest Agar.

Syarat/penafsiran hasil:

Suatu pengawet dinyatakan efektif di dalam contoh yang diuji, jika:


a. Jumlah bakteri viabel pada hari ke-14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1% dari
jumlah awal.
b. Jumlah kapang dan khamir viabel selama 14 hari pertama adalah tetap atau kurang
dari jumlah awal.
c. Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap atau
kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b.
2.3. kemasan non steril

Kemasan sediaan non steril terdiri dari kemasan primer dan kemasan sekunder.
Kemasan primer merupakan pengemasan yang berhubungan langsung dengan
produk. Proses ini dilakukan oleh sub bagian produksi dan dilakukan di grey area
atau white area. Sedangkan kemasan sekunder merupakan pengemasan yang tidak
berhubungan langsung dengan produk dan dilakukan di black area.

2.4. Kemasan steril

Kemasan sediaan steril harus steril, baik pada waktu pengisian maupun
penutupan dan wadah harus tertutup rapat dan disegel untuk menjamin sterilitas
pada pemakaian pertama (Murtini,2016). Dalam tube logan dan dalam wadah
terlindung dari cahaya (Brithish Pharmacoppoeia, 2002).

BAB III
PENUTUP
.1 Kesimpulan
Dapat diketahui perbedaan antara sediaan steril dengan non steril. Dari formulasi,
uji evaluasi, cara pembuatan, dan kemasan. Tahap yang paling penting ialah proses
sterilisasi pada tiap sediaan yang dibuat.

DAFTAR PUSTAKA
Bambang P. 2007. Manajemen Industri Farmasi. Yogyakarta: Global Pustaka
Utama.

British Pharmacopoeia. (2009). British Pharmacopoeia. Volume 1 & 2. London:

The British Pharmacopoeia Commission

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia


edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan.

GMP Center. 2011. Pedoman CPOB/GMP Pharma: Manajemen Mutu.http://gmp-


center.com/2011/03/09/pedoman-cpob-gmp pharmaceutical/

MGMP pati. 2012. Ilmu resep teori jilid III. CV BUDI UTAMA. Yogyakarta.

Yunhendri, Dkk. Berbagai bentuk sediaan topikal dalam dermatologi. RS Dr. djamil.
Padang.

Anda mungkin juga menyukai