Anda di halaman 1dari 23

DAMPAK PANDEMI CORONA

TERHADAP KEBUDAYAAN DAN


MASYARAKAT
Penanganan wabah penyakit harus dilakukan dengan pendekatan sosial budaya.
Berbagai catatan sejarah penangan wabah di seluruh dunia memberikan
informasi bahwa penanganan wabah penyakit tidak bisa jika dilakukan dengan
hanya melibatkan aspek medis saja. Hal ini dikarenakan wabah penyakit dan
aspek sosial-budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi,
penyakit seringkali disebabkan oleh budaya (cara-cara hidup) manusia, atau
setidaknya penyakit mudah menjadi wabah karena budaya tertentu dalam
masyarakat.Di sisi lain penyakit memberikan dampak yang luar biasa dalam
aspek budaya manusia. Penyakit kolera misalnya, diketahui muncul dari budaya
sanitasi yang buruk. Penyebaran kolera dimungkinkan karena pola hidup yang
tidak bersih. Sebaliknya, sejak adanya wabah kolera masyarakat memiliki cara
hidup baru, seperti penggunaan jamban dengan sistem septic tank. Demikian
juga dengan wabah covid-19 saat ini. Penyakit ini ditularkan antar manusia
melalui kontak jarak dekat, karena itu berbagai tradisi masyarakat seperti
kenduri dan pesta untuk sementara waktu tidak boleh dilaksanakan. Bukan tidak
mungkin setelah wabah ini berakhir, manusia memiliki suatu cara hidup yang
baru.

Karena wabah terkait dengan sosial-budaya, maka penanganannya juga harus


mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Dalam langkah penanggulangan
covid-19 yang saat ini dilakukan, pemerintah telah memperhatikan aspek sosial
budaya. Seperti misalnya:(1) himbauan membuat gugus tugas hingga tingkat
Rukun Tetangga, (2) mengkampanyekan penanganan covid-19 dengan gotong
royong, (3) pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat
video sosialisasi pencegahan covid-19 dengan menggunakan konten tradisi
seperti lagu daerah, seni lakon tradisi dan sebagainya, (4) bahkan tidak
dipilihnya opsi lockdown oleh pemerintah pusat adalah suatu bentuk perhatian
pada aspek sosial.
Namun apa yang dilakukan belum memanfaatkan potensi budaya secara
maksimal. Disatu sisi pemerintah mengkampanyekan gotong royong dalam
penanganan covid-19, tetapi di sisi lain pemerintah menghimbau agar
masyarakat menjaga jarak dan interaksi dengan sesamanya.Hal ini berpotensi
menimbulkan kebingungan di masyarakat. Selain itu,himbauan isolasi diri ini
ditambah dengan informasi tentang cara penyebaran virus dengan melakukan
kontak dengan orang lain justru berpotensi menjadikan masyarakat memiliki
sifat anti sosial, paling tidak untuk sementara waktu. Dengan mengisolasi diri,
meskipun di rumah, sesama anggota masyarakat berkemungkinan tidak
mengetahui kondisi para tetangganya, apakah mereka sehat, atau apakah mereka
makan atau tidak.   Apalagi jika keadaan makin memburuk, sifat alamiah
manusia untuk bertahan hidup akan mendorong menguatnya sikap egoisme.
Seorang Sosiolog Inggris, Herbert Spencer pernah mengatakan bahwa untuk
bertahan dalam kondisi yang berat atau kejam, manusia membutukan sikap
egois untuk memungkinkannya bertahan hidup. Sikap egois memungkinkan
“the survival of the fittest” (Koentjaraningrat, 1981: 137).

Sikap inilah yang ditakutkan oleh pemerintah saat ini. Jika terjadi, sikap ini
akan menimbulkan penjarahan, dan kekacauan sosial karena manusia
mementingkan kepentingannya sendiri dan tidak lagi peduli dengan kesulitan
atau penderitaan orang lain. Meskipun pandangan Spencer ini banyak juga
dibantah oleh filsuf lain yang berpendapat bahwa manusia bertahan hidup
dengan azaz altruisme (mengutamakan kepentingan bersama), namun hemat
saya, dengan kondisi masyarakat yang sangat kapitalistik saat ini, dimana hak
kepemilikan pribadi sangat besar, pendapat Spencer lebih mungkin terjadi.
Untuk mengantisipasi hal ini terjadi pemerintah dapat membuat sejumlah
kebijakan dengan menjadikan kebudayaan sebagai ujung tombak. Kebijakan itu
antara lain :

1. Membuat materi kampanye berbasis budaya lokal, tetapi bukan sebatas


konten seni tradisi seperti yang sudah ada saat ini. Materi budaya yang
digunakan mestinya adalah memori lokal mengenai wabah, yang boleh
jadi tersimpan dalam cerita rakyat, nyanyian dan sebagainya, sehingga
masyarakat langsung memahami dampak yang akan ditimbulkan.
Penggunaan memori kolektif ini menjadi penting karena pada dasarnya
manusia mudah digerakkan apabila memiliki memori kolektif yang
relatif sama. Selain itu, manusia bertindak sesuai dengan basis
pengetahuannya, dan pengetahuan manusia disusun oleh beberapa
unsur yaitu : persepsi, apersepsi, pengamatan, konsep serta fantasi.
Oleh karena itu, jika pemerintah mampu menstimulasi lahirnya
apersepsi dan fantasi yang sesuai, saya kira himbauan
mengenai social atau physical distancingakan lebih dipatuhi oleh
masyarakat, tanpa perlu menggunakan tekanan.
2. Melibatkan pemimpin adat, atau agensi lokal lainnya dalam melakukan
kampanye penanganan covid-19. Pelibatan aktor-aktor lokal ini akan
membawa dampak yang cukup signifikan karena himbauan berasal
dari kalangan sendiri sehingga lebih di dengar. Pemerintah Kabupaten
juga dapat membuat atau mengaktifkan posko-posko kesehatan
dilingkungan terkecil. Instansi kesehatan dapat menunjuk duta
kesehatan warga dan memberikan edukasi singkat mengenai 
pencegahan penyebaran virus corona.
3. Apabila diperlukan, pemerintah dapat menstimulus lahirnya aturan
adat atau aturan desa yang bertujuan mensukseskan penanganan dan
pencegahan covid-19. Dalam banyak masyarakat, aturan adat atau
peraturan desa kadangkala lebih dipatuhi dari pada himbauan
pemerintah. Hal ini dikarenakan aturan adat dan desa dirasakan lebih
“dekat” dari pada peraturan pemerintah.
4. Membentuk lumbung pangan warga. Mengingat bahwa pandemi
melumpuhkan sektor ekonomi, maka perlu difikirkan suatu sistem
pengaman pangan. Paling tidak, ada skema yang menjamin bahwa
kecukupan pangan bagi masyarakat kelas bawahsemasa pandemiakan
terpenuhi. Karl Polanyi dalam bukunya The Great Transformation:
The Political and Social Origins of Our Time (1944), menyebutkan
bahwa masyarakat yang masih hidup dalam sistem kesukuan memiliki
suatu skema jaminan ekonomi yang disebut redistribusi. Skema ini
dapat kita terapkan untuk menghadapi wabah saat ini. Pemerintah
dapat memerintahkan setiap Rukun Warga membentuk Tim Lumbung
Pangan Warga yang bertugas mengumpulkan sumbangan atau iuran
bahan pangan yang akandidistribusikan kembali kepada masyarakat
saat kelangkaan bahan pangan terjadi pada masa wabah. Jika skema ini
dikelola dengan baik, ketahanan pangan pada masa pandemi akan
terjaga, dan ini akan berbanding lurus dengan pencegahan tindak
penjarahan serta kerusuhan sosial.

Saya kira, pemerintah pusat maupun daerah mestinya segera menyusun rencana
dan tatalaksana penanganan covid-19 yang menjadikan aspek budaya sebagai
ujung tombak. Karena, jika keadaan makin memburuk dan pelampung ekonomi
warga sudah tenggelam, maka kekacauan sosial hanya akan dapat diredakan
lewat usaha-usaha represif yang beresiko memakan korban jiwa.

Wabah Covid 19 atau masyarakat familiar dengan sebutan Wabah Corona ini
banyak membawa dampak Sosial yang Luar biasa.Dimana tata sosial
masyarakat dengan budayanya yang luar biasa,sudah di obrak abrik oleh si
Corona ini.

Setidaknya yang saya tulis ini adalah pengalaman atau yang bisa saya lihat
langsung di kehidupan masyarakat.walau mungkin banyak yang tidak peduli
dan tidak mau tahu tapi saya yakin mereka telah sedikitnya merasakan
perubahan.

Tata sosial dan budaya masyarakat kita ini terkenal dengan ramah tamahnya,
bertemu bersalaman ,cipika cipiki senyum sapa hangat yang selalu terpancar. 

Tapi apa sekarang yang terjadi,senyum itu seakan hilang tertutup masker yang
beraneka ragam bentuk dan warna,bisa bersalaman  dan cipika cipiki? kita
sekarang harus jaga jarak akibat wabah ini.

Belum lagi dari segi kesehatan ,ya memang menggunakan masker untuk
mengantisipasi virus dan bakteri masuk, tapi bagaimana kalau kita sudah mulai
pengap atau jenuh dengan masker itu, tergantunglah ia di dagu di bawah
mulut,atau diletakan sembarang tempat lalu?

Pasti ini cara yang kurang benar ,karena bisa menimbulkan penyakit yang baru .

Ada lagi,kebiasaan kita berkumpul, arisan,undangan,kegiatan kegiatan


kemasyarakatan,beribadah bersama dan lain lain .Dulu itu jadi hal yang rutin,
sekarang jadi hal yang sangat dirindukan bahkan diimpikan.sementara ini kita
harus lebih banyak berdiam diri di rumah ,keluar bila benar benar ada
keperluan.
Tetapi di balik kehebohan wabah ini yang berdampak pada sosial dan budaya
masyarakat  kita ,tidak selamanya negatif.Coba kita pikirkan, yang dulu kita
tidak dibuat betah di rumah ,selalu ada saja alasan keluar rumah untuk
inilah,untuk itulah.Sekarang harus berusaha betah di rumah,bagi seorang ibu
banyak hal positif yang bisa kita dapat,antara lain:

 kita jadi semakin dekat dengan suami dan anak anak, ngobrol,bercanda
dan mengeluarkan hal hal yang selama ini terpendan,yang positif
tentunya supaya tidak merasa bosan.
 kita jadi semakin kreatif di dapur,selalu berkreasi untuk seluruh anggota
keluarga supaya lebih nyaman  dan betah di rumah.
 kita jadi semakin sensitip dengan hal hal yang biasanya tidak kita
pedulikan ,contoh nya kita peduli dengan kebersihan rumah,peduli
dengan tata letak barang dan lain lain .

Jadi, apapun yang terjadi semoga wabah ini cepat berakhir dan kita akan
menjadi manusia yang lebih baik lagi.

DAMPAK PANDEMI CORONA TERHADAP


ILMU HUKUM

PANDEMI CORONA MEMBUAT RIBUAN NAPI


DIBEBASKAN
Penyebaran virus Corona yang semakin meluas membuat pemerintah
mengambil langkah untuk membebaskan narapidana. Hal tersebut
dikhawatirkan jika narapidana mendekam di sel tahanan akan menambah
jumlah pasien positif Corona Covid-19 di Indonesia.

Sebelumnya, Kemenkumham menyatakan akan membebaskan sekitar 30 ribu


narapidana dan anak dari lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, serta
lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), terkait pencegahan dan
penanggulangan penyebaran Corona.

Pembebasan 30 ribu narapidana dan anak tersebut dilakukan setelah Menteri


Hukum dan HAM Yasonna Laoly menandatangani Keputusan Menteri
(Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan
Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan penyebaran Corona.

Berikut liputan6.com merangkum dari berbagai sumber fakta 30 ribu narapidana


dibebaskan bersyarat dampak Corona, Kamis (2/4/2020).

Program pembebasan 30 ribu narapidana ini diputuskan langsung oleh


Menkumham Yasona Laoly. Keputusan menteri ini tertuang dalam Kepmen
Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020.

Menurut Yasonna Laoly, langkah ini diambil demi mencegah penularan yang
lebih masif di wilayah lapas yang diketahui kelebihan kapasitas.

Kepmen ini berlaku mulai akhir Maret 2020 dan dijalankan sekurangnya dalam
masa 7 hari ke depan dalam membebaskan sekurangnya 30 ribu orang
narapidana, terdiri atas wanita, lansia, dan anak-anak.

Kemenkumham Klaim Negara Hemat Rp 260 Miliar


Kementerian Hukum dan HAM membebaskan 30.000 narapidana dan anak
melalui usulan asimilasi serta hak integrasi terkait pencegahan dan
penanggulangan penyebaran Corona. Direktur Pembinaan Narapidana dan
Latihan Kerja Produkasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Junaedi
mengklaim negara bisa menghemat hingga Rp 260 miliar.

Anggaran yang dihemat ini merupakan dana untuk pemenuhan kebutuhan


warga binaan pemasyarakatan.

"Penghematan anggaran kebutuhan WBP mencapai Rp 260 miliar, selain


mengurangi angka overcrowding," ujar Yunaedi dalam siaran tertulis
Kemenkumham, Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Dia menuturkan, nominal tersebut merupakan hasil penghitungan biaya hidup


Rp 32.000 per orang selama 270 hari (April-Desember). Biaya hidup ini
termasuk makan, kesehatan, pembinaan, dan lainnya untuk 30.000 narapidana.

Harus Penuhi Sejumlah Syarat


Dalam kepmen itu dijelaskan sejumlah ketentuan bagi narapidana dan anak
yang dibebaskan melalui asimilasi. Pertama, narapidana yang dua pertiga masa
pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020, dan anak yang setengah
masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020.

Narapidana dan anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan, tidak sedang menjalani subsider dan bukan Warga
Negara Asing.

Selanjutnya, asimilasi dilaksanakan di rumah, serta surat keputusan asimilasi


diterbitkan oleh kepala lapas, kepala LPKA, dan kepala rutan. Direktur
Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produkasi Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Junaedi menyatakan ini adalah crash program selama bulan
April sampai dengan Desember. Nantinya, mereka yang menjalani ini terlebih
dulu akan menjalani program asimilasi di rumah mereka masing-masing dengan
pemantauan petugas Lapas.

"Jadi dengan melaksanakan asimiliasi, yang bersangkutan secara baik dibutikan


dengan laporan Kalapas dan menyatakan tempat alamat tinggal rumah dan tidak
akan melakukan tindak pelanggaran pidana lagi, dengan cara itu maka bisa
diberikan SK asimilasi," terang Junaedi.

Saat SK diajukan, lanjut dia, dokumen akan diterbit secara online, maka


narapidana berhak mengusulkan program integrasi, untuk dinyatakan bebas
bersyarat, cuti menjelang bebas, atau cuti bersyarat ke Dirjen Pemasyarakatan
secara online.

Kategori Narapidana yang Tidak Masuk Program Pembebasan


Menkum HAM Yasonna Laoly mengikuti Rapat Kerja dengan Badan Legislasi
DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (4/12/201). Rapat membahas sejumlah
rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi program legislasi nasional
(prolegnas) 2019-2024 maupun RUU prolegnas prioritas 2020.
(Liputan6.com/Johan Tallo)
Tidak semua narapidana masuk ke dalam program pembebasan untuk mencegah
penularan virus Corona Covid-19. Ada beberapa kategori narapidana yang bisa
bebas bersyarat untuk mencegah penularan virus Corona Covid-19 tersebut.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nugroho,


menjelaskan skenario dan syarat yang harus ditempuh 30 ribu narapidana di
Indonesia untuk menjalani program pembebasan. Namun, hanya napi yang
tergolong wanita, anak kecil, dan lansia saja yang dapat mengikuti program ini.

"Jadi tidak semua napi yang dibebaskan, berlaku hanya untuk tindak pidana
umum saja, jadi koruptor, teroris dan narkoba yang pidananya berat, dan ilegal
logging yang tindak pidana extraordinary dan tindak pidana khusus tidak
dibebaskan," kata Nugroho saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produkasi Direktorat


Jenderal Pemasyarakatan, Junaedi, menambahkan nantinya narapidana yang
dibebaskan akan menjalani proses asimilasi dan dilanjutkan dengan integrasi.
Hal ini diberikan kepada warga binaan yang tidak terkait dengan PP Nomor 99
Tahun 2012.

"Jadi yang mendapat ini adalah mereka yang sudah menjalani 2/3 masa pidana
pada tindak pidana yang tidak terkait dengan PP 99," jelas dia.

Jakarta Membebaskan 139 Narapidana Hari Ini


Jakarta akan membebaskan sebanyak 139 narapidana pada hari ini. Mereka
mendapat asimilasi berdasarkan keputusan menteri tertuang dalam Kepmen
Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 dalam mencegah penyebaran
Corona Covid-19.

Jumlah narapidana yang sudah menjalani proses asimilasi adalah 12 orang


narapidana di Rutan Kelas 1 Cipinang dan 102 narapidana Lapas Kelas 1
Cipinang.

"Jadi bisa dikatakan ya hari ini mereka bebas, tapi bebas bersyarat," kata Kadiv
Pas Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta Andika Dwi Prasetya,
Kamis (2/4/2020).

Selain itu, Andika juga menambahkan,  selain narapidana di Cipinang yang


sudah menjalankan asimilasi, ada 25 orang narapidana di Lapas Salemba juga
sudah tercatat mendapat asimilasi.

"Untuk lapas/rutan lain juga Lembaga Pembinaan Khusus Anak Jakarta sedang
berproses juga," jelas Andika

TERHADAP ILMU SOSIAL


Menurut catatan sejarah, hampir setiap 100 tahun sekali berbagai wabah,
endemic, bahkan pendemi melanda dunia. Setidaknya, bisa kita urut mulai
tahun 1720, terjadi wabah Marseille. Sesuai dengan namanya, wabah ini terjadi
di Marseille, Perancis. Menewaskan sedikitnya 200.000 orang. Berikutnya pada
tahun 1820, terjadi wabah kolera. Angka kematian karena virus ini juga tidak
sedikit, tidak ada catatan pasti, namun menjalar sampai ke Indonesia. Pada
tahun 1920, terjadi Flu Spanyol, menjangkit sekitar 500 juta orang. Seratus
tahun berikutnya, Dunia diguncang dengan Virus Corona yang memulai
cariernya di daerah Wuhan, China. Bagaimana virus ini memporak-porandakan
kehidupan Negeri Tirai Bambu. China dibuat kerepotan, dalam waktu tidak
begitu lama, Rumah Sakit berhasil dibangun. Pemerintah menghabiskan tidak
kurang dari Rp. 200 Triliun untuk menanggulangi Corona. Karena
penyebarannya yang sangat cepat dan lintas benua, WHO menetapkan
penyebaran virus ini diatas wabah dan endemic, yaitu pendemi. Hampir semua
negara yang terdaftar di PBB terjangkit virus ini, termasuk juga Indonesia. Jika
membaca beberapa literature, baik dari lisan pejabat yang berwenang maupun
tulisan dari para pakar medis atau genetika, virus covid-19 ini sangat
meresahkan. Media penularannya manusia dan hewan. Cukup dengan
bersentuhan virus ini akan menjangkit. Satu orang yang sudah positif berjabat
tangan dengan orang lain kemungkinan besar akan terjangkit, bayangkan saja
berapa angka eksponensial yang terjadi. Selama belum ditemukan anti virus,
yang paling bisa dilakukan oleh penduduk bumi adalah menghentikan atau
mengurangi laju penyebaran. Makanya, ada yang menawarkan solusi Lock
Down. Disatu sisi, gagasan ini dapat menahan laju atau melokalisir penyebaran
virus. Menghentikan ativitas, sekolah, perkantoran, wisata. Semua yang menjadi
tempat aktivitas orang banyak harus dihentikan. Gagasan ini sudah diterapkan
dibeberapa negara yang sudah terjangkit Corona, seperti Italia. Namun ada juga
negara yang tidak melakukan Lock Down, namun tetap berupaya memutus mata
rantai penyebaran virus, seperti Korea Selatan. Kedua solusi itu memiliki
kelebihan dan kekurangan. Lock Down misalnya, jika pemerintah Indonesia
menghentikan semua aktivitas, bisa dibayangkan bagaimana nasib orang yang
bekerja di pasar? Perusahaan swasta? Petani? Nelayan?. Membandingkan
dengan pertanyaan lebih memilih selamat atau hidup juga tidak relevan.
Menghentikan semua aktivitas juga berpeluang besar terjadinya chaos,
penjarahan, dan berbagai konflik sosial. Yang kita inginkan tentunya selamat
dari virus dengan tetap bisa bertahan hidup. Inilah yang harus dipikirkan oleh
pemimpin, mulai dari presiden hingga kepala desa, sesuai peran dan fungsi
masing-masing. Menerapkan protokol kesehatan yang ketat, terutama di pintu
masuk - keluar Indonesia begitu penting, terutama yang menghubungkan
Indonesia dengan dunia luar, harus ada standart operasional prosedur, seperti di
Bandara, Terminal dan Dermaga. Upaya pemerintah dan kesadaran kolektif.
Sejauh ini, pemerintah belum menyampaikan perlu menghentikan semua
aktivitas. Pemerintah mengumumkan kegiatan belajar-mengajar, ibadah, bekerja
dilakukan di rumah. Pemerintah kelihatan sangat berhati-hati terhadap
penggunaan istilah Lock-Down, dimana semua aktivitas dihentikan. “Dengan
kondisi ini, saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah.
Inilah saatnya bekerja bersama-sama, saling tolong menolong, dan bersatu padu,
gotong royong, kita ingin ini menjadi sebuah gerakan masyarakat agar masalah
Covid-19 ini bisa tertangani dengan maksimal,” ucap presiden Jokowi, Minggu
(15/3) Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat, pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota mulai mengikutinya dengan mengeluarkan kebijakan, libur
sekolah selama dua minggu. Belum sampai 24 jam sejak pengumuman itu
dikeluarkan, langsung direspon oleh publik. Bebarapa titik pasar di Banda Aceh
kelihatan banyak di serbu oleh ibu-ibu, mereka belanja tidak seperti biasanya,
belanja dalam jumlah besar, barangkali untuk stok beberapa minggu. Beberapa
jenis komoditi harganya langsung bergerak naik. Dalam ilmu kebijakan publik,
setiap kebijakan harus mempertimbangkan segala aspek. Kebijakan
menghentikan beberapa aktivitas harus diikuti dengan kebijakan lain. Misalnya,
kebijakan libur sekolah, harus dipikirkan bagaimana mengisi waktu libur.
Jangan sampai, waktu libur sekolah digunakan untuk berkunjung ke satu
tempat, baik itu wisata atau ke daerah ibu kota provinsi, Kepala daerah harus
mengeluarkan intruksi kepada jajarannya untuk menghentikan sementara
perjalanan luar negeri, luar daerah dan dalam daerah, kecuali hal yang
mendesak, baik menggunakan anggaran pribadi, apalagi menggunakan
anggaran negara. Jikapun sampai pada kesimpulan perlunya menghentikan
aktivitas total, pemimpin harus memikirkan kebijakan penanggulangan dampak
sosialnya. Bisa dibayangkan, jika pasar tutup, barang kebutuhan sehari-hari
menjadi langka, harga melambung tinggi, masyarakat ekonomi lemah tidak bisa
memenuhi kebutuhan hidup. Itulah sekilas kompleksitas masalah yang harus
dipertimbangkan jika melakukan mengisolasi secara total. Pemutusan
penyebaran virus sangat penting, memastikan masyarakat tetap bisa menjalani
hidup juga tidak kalah penting. Jangan sampai, menghindari dari virus Corona
akan mati merana. Fungsi dari menghentikan aktivitas yang melibatkan orang
banyak adalah untuk memutus mata rantai penyebaran virus, termasuk sekolah,
tempat kerja. Perlu kesadaran dari kita semua untuk mewujudkan hal tersebut.
Kita diharapkan tidak bermigrasi dari satu kota ke daerah yang lain. Karena kita
tidak bisa memastikan terbebas pasti dari virus yang mematikan tersebut. Bisa
saja kita yang membawa virus atau terkena virus, maka baiknya tetap berdiam
disatu tempat. Sebagai upaya pencegahan, hindari kontak langsung, cuci tangan
pakai sabun, jaga pola makan dan kesehatan, ikuti terus perkembangan dari
lembaga berwenang Selebihnya, berpegang teguh kepada Tali-Nya, seraya
berdoa agar virus mematikan ini segera ditemukan pola penanganannya.

TERHADAP ILMU EKONOMI


World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa Coronaviruses (Cov)
adalah virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Infeksi virus ini disebut
COVID-19. Virus Corona menyebabkan penyakit flu biasa sampai penyakit
yang lebih parah seperti Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS-CoV) dan
Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS-CoV). Virus Corona adalah zoonotic
yang artinya ditularkan antara hewan dan manusia. Berdasarkan Kementerian
Kesehatan Indonesia, perkembangan kasus COVID-19 di Wuhan berawal pada
tanggal 30 Desember 2019 dimana Wuhan Municipal Health Committee
mengeluarkan pernyataan “urgent notice on the treatment of pneumonia of
unknown cause”. Penyebaran virus Corona ini sangat cepat bahkan sampai ke
lintas negara. Sampai saat ini terdapat 93 negara yang mengkorfirmasi terkena
virus Corona. Penyebaran virus Corona yang telah meluas ke berbagai belahan
dunia membawa dampak pada perekonomian dunia baik dari sisi perdagangan,
investasi dan pariwisata.

China merupakan negara eksportir terbesar dunia. Indonesia sering melakukan


kegiatan impor dari China dan China merupakan salah satu mitra dagang
terbesar Indonesia. Adanya virus Corona yang terjadi di China menyebabkan
perdagangan China memburuk. Hal tersebut berpengaruh pada perdagangan
dunia termasuk di Indonesia. Penurunan permintaan bahan mentah dari China
seperti batu bara dan kelapa sawit akan mengganggu sektor ekspor di Indonesia
yang dapat menyebabkan penurunan harga komoditas dan barang tambang.

Penerimaan pajak sektor perdagangan juga mengalami penurunan padahal


perdagangan memiliki kontribusi kedua terbesar terhadap penerimaan pajak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor migas dan non-migas
mengalami penurunan yang disebabkan karena China merupakan importir
minyak mentah terbesar. Selain itu, penyebaran virus Corona juga
mengakibatkan penurunan produksi di China, padahal China menjadi pusat
produksi barang dunia. Apabila China mengalami penurunan produksi maka
global supply chain akan terganggu dan dapat mengganggu proses produksi
yang membutuhkan bahan baku dari China. Indonesia juga sangat bergantung
dengan bahan baku dari China terutama bahan baku plastik, bahan baku tekstil,
part elektronik, komputer dan furnitur.
Virus Corona juga berdampak pada investasi karena masyarakat akan lebih
berhati-hati saat membeli barang maupun berinvestasi. Virus Corona juga
memengaruhi proyeksi pasar. Investor bisa menunda investasi karena
ketidakjelasan supply chain atau akibat asumsi pasarnya berubah. Di bidang
investasi, China merupakan salah satu negara yang menanamkan modal ke
Indonesia. Pada 2019, realisasi investasi langsung dari China menenpati urutan
ke dua setelah Singapura. Terdapat investasi di Sulawesi berkisar US $5 miliar
yang masih dalam proses tetapi tertunda karena pegawai dari China yang
terhambat datang ke Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara yang memberlakukan larangan perjalanan ke


dan dari China untuk mengurangi penyebaran virus Corona. Larangan ini
menyebabkan sejumlah maskapai membatalkan penerbangannya dan beberapa
maskapai terpaksa tetap beroperasi meskipun mayoritas bangku pesawatnya
kosong demi memenuhi hak penumpang. Para konsumen banyak yang menunda
pemesanan tiket liburannya karena semakin meluasnya penyebaran virus
Corona. Keadaan ini menyebabkan pemerintah bertindak dengan memberikan
diskon untuk para wisatawan dengan tujuan Denpasar, Batam, Bintan, Manado,
Yogyakarta, Labuan Bajo, Belitung, Lombok, Danau Toba dan Malang. Di
Eropa juga memberlakukan aturan dimana maskapai penerbangan harus
menggunakan sekitar 80 persen slot penerbangan yang beroperasi ke luar benua
Eropa agar tidak kehilangan slot ke maskapai pesaingnya. Bukan hanya di
Indonesia yang membatasi perjalanan ke China, namun negara-negara yang lain
seperti Italia, China, Singapura, Rusia, Australia dan negara lain juga
memberlakukan hal yang sama (www.cnnindonesia.com).

Virus Corona juga sangat berdampak pada sektor pariwisata. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan bahwa wisatawan asal China mencapai 2.07 juta
orang pada tahun 2019 yang mencakup 12.8 persen dari total wisatawan asing
sepanjang 2019. Penyebaran virus Corona menyebabkan wisatawan yang
berkunjung ke Indonesia akan berkurang. Sektor-sektor penunjang pariwisata
seperti hotel, restoran maupun pengusaha retail pun juga akan terpengaruh
dengan adanya virus Corona. Okupansi hotel mengalami penurunan sampai 40
persen yang berdampak pada kelangsungan bisnis hotel. Sepinya wisatawan
juga berdampak pada restoran atau rumah makan yang sebagian besar
konsumennya adalah para wisatawan. Melemahnya pariwisata juga berdampak
pada industri retail. Adapun daerah yang sektor retailnya paling terdampak
adalah Manado, Bali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Medan dan Jakarta.
Penyebaran virus Corona juga berdampak pada sektor usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) karena para wisatawan yang datang ke suatu destinasi
biasanya akan membeli oleh-oleh. Jika wisatawan yang berkunjung berkurang,
maka omset UMKM juga akan menurun. Berdasarkan data Bank Indonesia,
pada tahun 2016 sektor UMKM mendominasi unit bisnis di Indonesia dan jenis
usaha mikro banyak menyerap tenaga kerja.

Beberapa langkah yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi dampak dari


virus Corona ini adalah menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
sebesar 25 bps menjadi 4.75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps
menjadi 4.00% dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5.50%.
Kebijakan ini dilakukan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi
domestik di tengah tertahannya prospek pemulihan ekonomi global sehubungan
dengan terjadinya Covid-19. Bank Indonesia akan mencermati perkembangan
ekonomi global dan domestik untuk menjaga agar inflasi dan stabilitas eksternal
tetap terkendali serta memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi
(www.bi.go.id).

Di lain sisi, virus Corona tidak hanya berdampak negatif, namun juga dapat
memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah
terbukanya peluang pasar ekspor baru selain China. Selain itu, peluang
memperkuat ekonomi dalam negeri juga dapat terlaksana karena pemerintah
akan lebih memprioritaskan dan memperkuat daya beli dalam negeri daripada
menarik keuntungan dari luar negeri. Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan
sebagai koreksi agar investasi bisa stabil meskipun perekonomian global sedang
terguncang.

Dampak yang disebabkan oleh virus Corona bukan hanya di Indonesia saja
melainkan di beberapa negara di belahan dunia. Pada tanggal 22-23 Februari
2020 telah berlangsung pertemuan G20 yang diadakan di Arab Saudi. Anggota
G20 ini terdiri dari Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brasil, Kanada,
China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab
Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris dan Uni Eropa. Wabah
virus Corona menjadi topik diskusi pada pertemuan tersebut. Dalam pertemuan
G20, negara-negara G20 menyampaikan simpati kepada masyarakat dan negara
yang terdampak virus Corona, khususnya China. Munculnya berbagai tekanan
global, salah satunya adalah Covid-19 mendorong negara-negara G20 untuk
meningkatkan kerja sama dengan mempererat kerja sama internasional. Negara-
negara G20 juga sepakat memperkuat pemantauan terhadap risiko global
khususnya yang berasal dari Covid-19, serta meningkatkan kewaspadaan
terhadap berbagai potensi risiko dan sepakat untuk mengimplementasikan
kebijakan yang efektif baik dari sisi moneter, fiskal, maupun struktural
(www.bi.go.id).

Arab Saudi yang menjadi Presidensi G20 pada tahun 2020 mengusung tema
“Realizing The Opportunity of The 21st Century”. Hal ini dilatarbelakangi
perkembangan teknologi yang sangat pesat sehingga mengubah tatanan
perekonomian global menuju ekonomi dan keuangan digital. Namun, partisipasi
masyarakat dalam perekonomian khususnya kelompok muda, perempuan dan
UMKM dipandang belum optimal, sehingga membutuhkan upaya untuk
membuka akses kepada mereka dalam kegiatan perekonomian melalui
pemanfaatan teknologi. Selain itu, agenda Presidensi G20 adalah
pengembangan pasar modal domestik dan penguatan pengaturan dan
pengawasan sektor keuangan.

Di sektor keuangan, penguatan sistem keuangan melalui implementasi agenda


reformasi sektor keuangan dan pemanfaatan teknologi menjadi fokus para
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20. Rencana
Financial Stability Board (FSB), Committee on Payments and Market
Infrastructure dan Standard Setting Bodies (SSBs) dalam menyusun peta jalan
(roadmap) penguatan sistem pembayaran lintas negara disambut baik oleh G20.
Gubernur Bank Indonesia menyampaikan dukungan Indonesia atas agenda
Presidensi G20 Arab Saudi khususnya cross borde payments dan transisi
LIBOR (London Interbank Offered Rate).

TERHADAP POLITIK
Penanganan virus Corona (Covid-19) cenderung dipusatkan di bawah
kendali pemerintah pusat. Apakah pemerintah khawatir wabah ini
menjadi ajang pertarungan politik?

Akhir-akhir ini, publik tengah diramaikan oleh persoalan penyakit menular yang
disebabkan oleh virus Corona baru, yakni Covid-19. Virus yang bermula di
Wuhan, Tiongkok, ini telah menjangkit banyak negara di berbagai benua.
Penyebarannya pun hingga sekarang diprediksi masih jauh dari kata berhenti.
Pasalnya, jumlah kasus penyakit menular ini terus meningkat – khususnya di
negara-negara yang menjadi pusat penularan baru seperti Italia dan Iran.

World Health Organization (WHO) sendiri telah menetapkan penyakit akibat


virus ini sebagai pandemi global – berarti bahwa penularan dan ancamannya
telah melampaui batas-batas antarnegara. Kewaspadaan berbagai negara dan
masyarakat internasional pun semakin memuncak.
Rasa cemas yang dirasakan masyarakat internasional ini tentunya turut
dirasakan oleh publik di Indonesia. Apalagi, dari hari ke hari, jumlah kasus
positif Covid-19 terus meningkat – mencapai 69 kasus dan 4 pasien meninggal
kala artikel ini ditulis.

Menghadapi wabah global virus korona, kita perlu menyesuaikan diri dengan
kebiasaan-kebiasaan baru. Misalnya, tetap saling menyapa tanpa harus berjabat
tangan, rajin mencuci tangan dengan sabun, mengenakan masker bagi yang
sakit.

Dengan adanya perkembangan kasus-kasus positif, menjadi wajar apabila


publik semakin ingin tahu mengenai seluk beluk dari penyebaran virus ini di
Indonesia. Soal lokasi penyebaran misalnya, dianggap perlu agar masyarakat
dapat berantisipasi terhadap penularan di daerahnya.

Namun, tampaknya, pemerintah tidak semudah itu untuk menuruti keinginan


ini. Sekretaris Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto menyebutkan bahwa
publikasi atas lokasi penyebaran tidak perlu dilakukan oleh pemerintah karena
dapat menimbulkan respons bermacam-macam.

Keengganan pemerintah untuk membuka data lokasi penyebaran Covid-19 ini


tentunya tak terhindar dari beberapa kritik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra
Arief Poyuono misalnya, menilai bahwa pemerintah telah melanggar Undang-
Undang (UU) No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan – tepatnya Pasal 154.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga dinilai cenderung membatasi ruang gerak
pemerintah daerah dalam menangani Covid-19. Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD misalnya,
menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak dianjurkan untuk berbicara
mengenai penyakit ini karena informasi penanganannya dianggap terpusat di
Kemenkes.

Tentunya, beberapa upaya pemerintah ini menimbulkan pertanyaan. Apakah


benar pemerintah daerah dan masyarakat tak berhak membicarakan dan
memperoleh informasi terkait Covid-19 tersebut? Lantas, bagaimana dinamika
politik membayangi “perebutan” kewenangan dan informasi ini?

Bisa dibilang bahwa pemerintah pusat berupaya untuk memusatkan informasi


penanganan Covid-19 di Kemenkes. Hal ini bisa jadi membuat akses informasi
publik dan pihak-pihak lain semakin terbatas.

Padahal, berdasarkan UU Kesehatan yang sempat dikutip oleh Arief Poyuono,


pemerintah sebenarnya perlu menyebutkan daerah-daerah yang dapat menjadi
sumber penularan penyakit. Selain itu, UU tersebut juga memberikan
kewenangan pada pemerintah daerah untuk melakukan hal serupa.

Selain UU Kesehatan, kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kesehatan


juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam Pasal 13, disebutkan bahwa penanganan bidang kesehatan termasuk
dalam urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Dengan adanya fakta ketentuan yang terkandung dalam UU Kesehatan dan UU


Pemerintah Daerah, bisa dibilang bahwa penanganan penyakit menular Covid-
19 ini seharusnya tidak secara eksklusif berada di bawah kendali pemerintah
pusat.

Hal ini tentunya menyisakan pertanyaan baru. Mengapa pemerintah pusat lantas
berupaya memusatkan penanganan Covid-19? Bagaimana hal ini dapat
dipahami dari dimensi politik?

Apa yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini mungkin dapat
dipahami melalui hubungan konseptual akan pengetahuan (knowledge) dan
kekuatan (power). Hubungan konseptual di antara keduanya ini pernah dikupas
oleh beberapa ahli dan pemikir.

Harold Adams Innis – profesor ekonomi politik asal Kanada – misalnya,


mencetuskan sebuah istilah atas penguasaan pengetahuan dan informasi, yakni
monopoli pengetahuan (monopolies of knowledge). Meski Innis lebih banyak
menekankan pada penguasaan melalui medium komunikasi, monopoli
pengetahuan juga membuat informasi menjadi eksklusif untuk kelompok
tertentu.

Implikasi politik yang perlu dipahami adalah adanya


konsekuensi knowledge terhadap power. Konsekuensi ini mungkin dapat
diamati melalui pemikiran Michel Foucault – filsuf asal Prancis.

Berdasarkan pemikiran Foucauldian, power dan knowledge memiliki hubungan


yang saling memberi arti. Seseorang yang memiliki power dapat
membentuk knowledge – seperti kebenaran yang diyakini – di masyarakat.
Begitu juga sebaliknya, knowledge dapat memberikan power pada pemilik
pengetahuan.

Mungkin, dengan membuat informasi dan pengetahuan menjadi eksklusif,


pemerintah pusat berupaya untuk menjaga power yang dimilikinya. Hal inilah
yang disebut-sebut dilakukan oleh pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok.

Dalam mengatasi penyebaran Covid-19, Xi disebut berupaya untuk menutupi


informasi penularan. Pemerintah Tiongkok juga dikabarkan
semakin memusatkan kekuatan dan kontrol dalam merespons penyakit ini.

Sinyal politisasi juga terlihat dari kunjungan Xi ke Wuhan, Tiongkok, baru-


baru ini. Presiden negeri Tirai Bambu tersebut dianggap berupaya untuk
mengirimkan pesan bahwa Tiongkok telah berhasil melalui krisis kesehatan ini
dan ingin menjadikan negaranya sebagai percontohan.

Bila kita berkaca pada Tiongkok, bukan tidak mungkin pemerintah pusat di
Indonesia juga ingin menjaga citra pemerintahannya melalui pemusatan dan
pembatasan knowledge layaknya Xi. Namun, asumsi ini juga menyisakan
beberapa pertanyaan.

Pasalnya, publik dan media Indonesia sendiri semakin ragu dengan kapabiltas
pemerintah pusat. Apalagi, pemerintah dinilai tidak melakukan koordinasi yang
efektif atas penanganan virus ini.
Belum lagi, dugaan-dugaan kapabilitas dari dunia internasional bisa juga
membuat pemerintah malah dianggap tidak memiliki knowledge atas
penyebaran virus Covid-19. Beberapa pihak di Australia misalnya, sempat
menganggap pemerintah Indonesia tidak memiliki peralatan yang cukup untuk
mendeteksi penularan.

Bila benar pemerintah justru tak memiliki pengetahuan yang lengkap atas virus
ini, mengapa pemerintah malah terkesan membatasi informasi?

Peningkatan jumlah kasus yang signifikan akhir-akhir ini tentunya membuat


publik merasa terancam. Perasaan tidak aman yang dirasakan di masyarakat
bukan tidak mungkin dapat memengaruhi dinamika politik di Indonesia.

Alvin Johnson dalam tulisannya yang berjudul Economic Security and


Political Insecurity mungkin dapat menggambarkan situasi ini. Dalam tulisan
itu, Johnson menjelaskan bahwa setiap manusia pasti menginginkan adanya rasa
aman (security).

Kecemasan yang dirasakan publik Indonesia kini bisa jadi berakar dari adanya
ancaman keamanan dari Covid-19. Pasalnya, berdasarkan buku milik Barry
Buzan, Ole Wæver, dan Jaap De Wilde yang berjudul Security, keamanan di era
sekarang bukan lagi hanya meliputi keamanan tradisional seperti militer.

Bisa jadi, ancaman kesehatan yang disebabkan oleh Covid-19 turut menghantui
negara-negara. Ancaman kesehatan seperti ini digolongkan oleh Buzan dan tim
penulisnya ke dalam ancaman sektor lingkungan (environmental).

Lantas, bagaimana ancaman kesehatan bisa memengaruhi dinamika politik?

Buzan dan tim penulisnya mengenalkan sebuah konsep yang disebut sebagai
sekuritisasi (securitization) – upaya untuk memunculkan isu keamanan di
masyarakat. Konsep ini sebenarnya lebih banyak berbicara soal keamanan
dalam hubungan internasional.
Namun, Buzan dan tim penulisnya tidak memungkiri bahwa sekuritisasi juga
dapat meliputi politik domestik. Apalagi, konsep ini dapat melibatkan sintesis
antarsektor yang disebutkan dalam tulisan itu – militer, lingkungan,
ekonomi, societal, dan politik.

Dari lima sektor tersebut, sekuritisasi yang terjadi terkait Covid-19 di Indonesia
mungkin adalah sekuritisasi di sektor politik. Pasalnya, sekuritisasi di sektor ini
bisa menjadi ancaman bagi entitas politiknya seperti pemerintah.

Mungkin, pembatasan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat


adalah bentuk kekhawatiran (insecurity) atas ancaman sekuritisasi yang bisa
saja dilakukan oleh pemerintah daerah.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kerap berseberangan dengan


pemerintahan Jokowi misalnya, dianggap menjadi salah satu pemerintah daerah
yang tanggap dalam penanganan Covid-19. Bukan tidak mungkin upayanya ini
menyebabkan sekuritisasi di sektor politik – menimbulkan ancaman untuk
pemerintahan Jokowi.

Mungkin, sekuritisasi di sektor politik yang bermula dari ancaman kesehatan


Covid-19 ini dapat tercermin pada situasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS)
kini. Partai Demokrat AS akhir-akhir ini dianggap melakukan politisasi atas
virus itu guna menyerang pemerintahan Presiden Donald Trump.

Bila berkaca pada apa yang terjadi di AS, bukan tidak mungkin hal serupa dapat
terpikirkan di benak pemerintah pusat. Maka dari itu, pemusatan penanganan
dan informasi terkait Covid-19 bisa menjadi jawaban bagi pemerintahan
Jokowi.

Namun, penjelasan ini belum tentu benar menggambarkan motif pemerintah


pusat untuk mengontrol penanganan agar terkontrol. Hal yang jelas adalah
ancaman Covid-19 ini bisa jadi sasaran empuk sebagai sumber sekuritisasi bagi
banyak pihak. Mari kita nantikan saja langkah “antisipasi” pemerintah
selanjutnya.
TERHADAP ASPEK ILMU
PENDIDIKAN
Virus Corona COVID-19  saat ini telah berdampak bagi seluruh masyarakat dan
bagi sektor pendidikan di Indonesia. hal ini telah diakui oleh (UNESCO) pada
kamis (5/3) bahwa wabah Virus Corona telah berdampak terhadap sektor
pendidikan. hampir 300 juta siswa terganggu kegiatan sekolahnya diseluruh
dunia dan mengancam hak-hak pendidikan mereka di masa depan. Sejak
Presiden Joko widodo  mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia
pada (2/3), Jokowi mengimbau masyarakat untuk mengurangi aktivitas diluar
rumah demi menekan penyebaran virus corona COVID-19 di
Indonesia.  “saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di
rumah” ujar jokowi dalam konferensi pers di istana bogor, jawa barat Minggu
(15/3).

Jokowi meminta masyarakat Indonesia untuk melakukan social distancing untuk


mencegah penyebaran Virus Corona. Upaya untuk mencegah, menahan, atau
memperlambat penularan corona yaitu dengan social distancing. kebijakan
social distancing kelihatannya belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh
masyarakat sebagai strategi pencegahan penyebaran Covid-19. Karena,
sekalipun Covid-19 sangat meresahkan masyarakat terkait dengan kesehatan
dan keselamatan diri, namun ikatan relasi sosial masih lebih kuat dalam
perspektif masyarakat. Peran dari perspektif interaksionis simbolik dalam social
distancing dapat dilihat pada perilaku masyarakat, di mana istilah social
distancing menjadi sulit  diterapkan. karena masyarakat kebiasaan dalam
kebersamaan, kerja sama, solidaritas, dan bentuk dari interaksi sosial lainnya
terutama pada daerah perdesaan.

Sejak diberlakukannya Social distancing memberi dampak bagi pendidikan.


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim
mendukung kebijakan pemerintah daerah untuk meliburkan sekolah karena
penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan. “Dampak penyebaran
COVID-19 akan berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Kami
mendukung kebijakan (meliburkan sekolah) yang diambil pemda,” ujar Nadiem
seperti dikutip Antara, Minggu (15/3).

menurut perspektif  sosiologi Untuk belajar dirumah sudah tepat dilakukan


dalam kondisi seperti saat ini. karena  Dalam Ilmu Sosiologi, interaksi antar
manusia itu tidak harus bertemu langsung, tidak harus bersentuhan atau bertatap
muka langsung. Interaksi bisa melalui media cetak, teknologi dan media sosial.
oleh karena itu, Instansi pendidikan mengalih pertemuan kelasnya dengan
pertemuan daring ataupun tugas rumah guna meminimalisir pertemuan satu
sama lain disuatu ruangan yang sama dalam jarak yang dekat serta menghindari
kerumunan. Persekolahan mengganti pertemuan kelas dengan pemberian tugas
rumah kepada murid, pemberian tugas bertujuan agar murid belajar dirumah.
Sedangkan di perguruan tinggi, mengalih pertemuan kelasnya dengan
pertemuan daring dan tugas daring. covid-19 Sebagai gejala sosial, kontak
sosial menggunakan kontak sekunder yaitu menggunakan perantara melalui
teknologi dalam pertemuan kelasnya, sebisa mungkin dapat memanfaatkan
teknologi dalam pertemuan pembelajaran secara online dengan baik . 

permasalahan sosial covid 19 ini menurut teori intraksi simbolis, yaitu teori
labelling theory suatu kondisi sosial didalam masyarakat dikatakan
bermasalah/adanya pelabelan. kondisi pandemi wabah covid-19 saat ini sebagai
suatu masalah internasional. dan pada faktanya memang permasalahan virus
corona membuat suatu kondisi masyarakat menjadi sangat menghawatirkan.
masyarakat melabel permasalahan covid-19 ini adalah permasalahan yang
sangat serius karena keadaan covid-19 berstatus darurat bencana non-alam oleh
BNPB diperpanjang hingga tanggal 29 Mei 2020. 

permasalahan sosial yang diakibatkan covid-19 dirasakan oleh masyarakat


terutama para siswa dan mahasiswa terkait belajar dirumah, para siswa
mengeluh akan belajar dirumah dipenuhi dengan tugas rumah yang diberi oleh
masing-masing guru terlalu banyak, sedangkan mahasiswa mengeluhkan bahwa
pertemuan daring banyak terkendala oleh jaringan Web, teknologi yang kurang
memadai, hingga sinyal. Selain itupula kurang efektifnya belajar dirumah
karena mereka belajar otodidak(sendiri), banyak orang tua yang tidak bisa
mengajari materi yang ada dibuku, hanya bisa membimbing anaknya saja. 

Tujuan belajar dirumah tidak berjalan dengan baik, maka timbulah berbagai
masalah, seperti Banyak para siswa yang menyalahgunakan belajar dirumah
untuk bermain game online di warnet, berbelanja, dan bermaen ketempat-
tempat keramaian, yang berdampak pada munculnya  masalah sosial baru akibat
dari penyalahgunaan belajar dirumah untuk melakukan hal-hal yang tidak taat
akan sosial distancing. Untuk mengupayakan keefektifan belajar dirumah,
terkait hal itu pemerintah bersosialisasi dan menindak tegas bagi siswa yang
ketauan tidak belajar dirumah, seperti siswa bermaen game online di warnet,
remaja belanja di mall dan membuat kerumunan. pemerintah meminta untuk
penutupan warnet, hingga mengatur pengoperasian jam buka tempat-tempat
keramaian seperti tempat perbelanjaan, dan hiburan. Proses Interaksi yang
melibatkan anak dan remaja dalam kajian Sosiologi disebut proses sosialisasi.
Sosialisasi lembaga pemerintah melalui kegiatan yang bertujuan pelajar dan
remaja mematuhi himbauan pemerintah yaitu harus mematuhi kaidah social
distancing yang berlaku didalam masyarakat ditengah wabah virus corona
seperti ini. Tujuan pokok adanya sosialisasi itu bukanlah semata-mata agar
social distancing itu dapat dimengerti tetapi lebih dari itu agar bersikap dan
bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. harus dipatuhi
oleh seluruh masyarakat dalam semua kalangan masyarakat agar  menghargai
aturan social distancing.

Dampak virus corona berdampak pada Ketertundaan Semua Agenda kegiatan


yang ada, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi seperti tugas mahasiswa
dalam pengabdian masyarakat tidak dapat dilakukan karena guna meminimalisir
pertemuan dalam jarak yang dekat serta mengikuti himbauan pemerintah untuk
menghindari kerumunan/membuat kerumunan, maka segala agenda kegiatan
yang sudah direncanakan harus ditunda dalam beberapa waktu yang tidak dapat
ditentukan. Penundaan/Pembatalan agenda kegiatan sangat  baik dilakukan
dalam situasi dan kondisi saat ini yang sangat menghawatirkan. Kita sebagai
warga yang baik harus patuh dalam aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam
upaya pencegahan penularan Virus Corona.  

Virus Corona juga berdampak bagi pelaksanaan UN 2020. Presiden Jokowi


dalam Rapat Terbatas yang diselenggarakan pada Selasa (24/3) bersama menteri
terkait, sudah ketok palu. Hasilnya pemerintah mengumumkan Ujian Nasional
(UN) di tahun ini resmi ditiadakan. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD)
hingga setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Langkah tersebut diambil
sebagai bagian dari sistem respons pandemi COVID-19, yakni dalam rangka
memprioritaskan keselamatan dan kesehatan rakyat. menurut masyarakat
pembatalan dalam pelaksanaan UN 2020 tidak menjadi masalah karena 2019
memang pemerintah memang merencanakan penghapusan UN sehingga
mayarakat merespon baik dalam penghapusan UN 2020. 

Opsi untuk mengganti UN ada dua, melakukan Ujian Sekolah Berstandar


Nasional (USBN) secara online atau menerapkan metode kelulusan dengan
menimbang nilai kumulatif siswa selama belajar di sekolah. Karena belum final,
Kemdikbud masih akan terus berkoordinasi dengan Presiden Jokowi untuk
mengeluarkan kebijakan terkait penggantian UN.

Menurut masyarakat dalam lingkungan sekolah yaitu  para  siswa, guru dan
seluruh individu dalam instansi dengan ditiadakannya UN dirasa memiliki keluh
kesah tersendiri yang dirasakan. seperti perspektif  siswa, disatu sisi siswa
merasa sedih karena siswa telah melakukan banyak persiapan-persiapan terkait
akan dilaksanakannya UN dan ternyata ditiadakan. Di sisi lain, siswa merasa
senang karena UN ditiadakan. walaupun UN ditiadakan, opsi pengganti UN
yaitu USBN online, sebagian sisiwa kurang setuju karena setiap siswa memiliki
kendala tersendiri untuk USBN online seperti jaringan dirumah masing-masing
yang kurang bagus, teknologi yang tidak memadai seperti siswa tidak memiliki
laptop, hingga tidak memiliki kuota internet. 

Anda mungkin juga menyukai