Anda di halaman 1dari 9

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Kewenangan Desa
UU Pemerintahan Daerah yang lama (UU No. 32/2004) pada Pasal 206 hanyalah membagi kewenangan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa. Berdasarkan ketentuan ini dapat dilihat bahwa
titik berat UU No. 32/2004 tidak secara spesifik memberikan perhatian kepada kewenangan desa, tetapi
lebih memberikan titik tekan pada pembagian urusan pemerintahan saja.

Sedangkan pembagian urusan pemerintahan yang berlaku saat ini, dan relasinya dengan kewenangan
desa, dapat dilihat dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa
urusan pemerintah dibagi menjadi tiga yakni urusan absolut, urusan konkuren dan urusan pemerintahan
umum. Urusan absolut adalah urusan yang hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; urusan
konkuren adalah urusan pemerintah pusat yang dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah; dan
urusan pemerintahan umum adalah urusan yang dijalankan kewenangannya oleh Presiden. Dalam
semesta pembagian urusan ini, Desa dapat menjalankan urusan konkuren yang dijalankan oleh
Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan gubernur jika yang memberikan tugas adalah pemerintah
provinsi dan peraturan bupati/walikota jika yang memberikan tugas adalah pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 18

Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan


Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Penjelasan

Yang dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 19

Kewenangan Desa meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal
berskala Desa; c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau
Pemerintah Kabupaten/Kota; dan d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan
Huruf a: Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup
dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat,
antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa,
serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. Huruf b: Yang dimaksud dengan “kewenangan
lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena
perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat
pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar,
serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Huruf c: Cukup Jelas Huruf d: Cukup Jelas

Pasal 20

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.

Penjelasan

Cukup Jelas

Pasal 21

Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.

Penjelasan

Cukup Jelas

Pasal 22

Ayat (1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Ayat (2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai biaya.

Penjelasan

Ayat (1): Cukup Jelas Ayat (2): Cukup Jelas

Pembahasan di DPR

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang mewakili pemerintah dalam rapat Pansus 4 April
2012, dalam rangka menunjang kemandirian Desa maka Desa perlu diberikan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Menurut RUU Pemerintah, kewenangan Desa meliputi dua hal, yakni (1) kewenangan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul Desa dan kewenangan lokal berskala Desa yang diakui kabupaten/kota.
Terhadap kewenangan ini, Desa berhak mengatur dan mengurusnya; dan (2) kewenangan Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebagai
lembaga dan kepada Kepala Desa sebagai Penyelenggara Pemerintah Desa dan kewenangan lainnya
yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap pelaksanaan kewenangan ini, Desa
hanya memiliki kewenangan mengurus atau melaksanakan, sehingga pembiayaan yang timbul dalam
pelaksanaan kewenangan tersebut menjadi beban bagi pihak yang melimpahkan kewenangan.

Namun demikian, RUU Pemerintah tidak menjabarkan bentuk-bentuk kewenangan yang dijalankan oleh
Desa. Terhadap draf RUU Pemerintah yang masih dianggap kurang lengkap ini, beberapa fraksi di DPR
kemudian mengusulkan berbagai rumusan. Sebagaimana ditemukan dalam DIM, Fraksi PKS
mengusulkan kewenangan Desa untuk mengelola sumber daya Desa. Sedangkan Fraksi PKB
mengusulkan bentuk kewenangan yang lebih lengkap, dimana Desa diberikan kewenangan dalam dua
hal: yakni (1) Bidang Pemerintahan. Dalam hal ini Desa memiliki kewenangan untuk memilih kepala
desa, menetapkan BPD dan perangkat desa lainnya, membentuk peraturan desa, membentuk struktur
organisasi perangkat desa; mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan; dan mengelola
kelembagaan desa; (2) Bidang Perencanaan dan Pembangunan. Dalam bidang ini Desa memiliki
kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengembangkan pembangunan di
wilayahnya; mengelola dan memanfaatkan kekayaan desa untuk kesejahteraan masyarakat; dan
mendapatkan sumber-sumber pendapatan desa.

Fraksi PKB juga tidak sepakat dengan usulan Pemerintah terkait dengan kewenangan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dilimpahkan ke Desa. Menurut Fraksi PKB, kewenangan
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada Desa
bukanlah kewenangan karena Desa hanya mengurus atau melaksanakan saja, tidak bersifat mengatur.
PKB mengusulkan klausul ini dihapus, sehingga kewenangan Desa adalah kewenangan asal usul dan
kewenangan berskala desa.

Fraksi PPP mengusulkan penambahan kewenangan Desa Adat, dengan bunyi rumusan “Desa adat
mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan berdasarkan hukum adat
yang selaras dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya diusulkan, kewenangan Desa adat
meliputi: (a) Mengatur dan melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan hukum adat setempat; (b)
Mengatur dan mengelola sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat, yang meliputi
tanah kas desa, tanah ulayat, hutan adat dan sumber daya alam lainnya; (c) Melaksanakan hukum adat
setempat; (d) Melestarikan nilai-nilai sosial budaya setempat; (e) Mengelola dan melestarikan sumber
daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat; dan (f) Menyelesaikan sengketa adat berdasarkan
hukum adat setempat dalam wilayahnya yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia.

Rapat Tim Perumus (Timus) Pansus RUU Desa pada 12 September 2013 menyepakati rumusan menjadi
“Kewenangan Desa/Desa Adat mencakup kewenangan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan
pemberdayaan berdasarkan prakarsa masyarakat, asal usul, dan adat istiadat setempat.” Rumusan ini
masih mencantumkan Desa Adat, sehingga dalam rumusan turunannya, terdapat dua ruang lingkup
kewenangan, yaitu ruang lingkup kewenangan Desa dan Desa Adat.

Tidak diketahui secara pasti mengapa pada rumusan yang disahkan menjadi UU, kewenangan Desa Adat
tidak dicantumkan. Mengacu pada proses ini, maka dapat dimaknai bahwa kewenangan yang dimaksud
pada bagian ini adalah khusus untuk Desa dan bukan Desa Adat. Sedangkan Kewenangan Desa Adat
dalam UU ini secara khusus diatur pada Bab XIII pasal 103 UU Desa.

Tanggapan

Tujuan pengaturan kewenangan desa yang berdasarkan pada asas rekognisi dan asas subsidaritas adalah
untuk pencapaian kemandirian desa agar masyarakat desa menjadi subyek pembangunan. Selain itu
diharapkan Desa bisa berperan dalam perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteran
masyarakat.

Undang-Undang Desa adalah hasil dari evaluasi terhadap implementasi atas UU No. 32/2004 yang
belum memberikan kejelasan tentang kewenangan Desa. Dalam Naskah Akademik RUU Desa (Direktorat
Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam
Negeri, 2007) dinyatakan bahwa dalam mengatur tentang Desa, UU No. 32/2004 mengandung
ambivalensi. Di satu sisi, ia mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal usul.
Di sisi lain, ia memposisikan Desa sebagai subsistem dari pemerintah kabupaten/kota, karena konsepsi
dasar yang dianut UU ini menempatkan otonomi hanya berhenti di kabupaten/kota. Kewenangan yang
dimiliki oleh Desa menurut UU No. 32/2004 adalah kewenangan kabupaten/kota yang dilimpahkan
kepada Desa.

Pencantuman klausul khusus tentang Kewenangan Desa pada UU Desa ini seakan ingin memberikan
kejelasan terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Desa. Jika dicermati, keberadaan klausul khusus ini
juga masih menyisakan ambivalensi. Hal ini terlihat jelas pada Pasal 19 huruf (c) dan (d), dimana
kewenangan Desa merupakan limpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Daerah, meskipun Desa
juga diberikan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa (huruf (a)
dan (b). Dalam bagian ini tampak pula bahwa ternyata kewenangan untuk menyelenggarakan
pemerintahan desa bukan hanya kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala
Desa yang dimiliki oleh Desa, namun juga pelaksanaan kewenangan berdasarkan pada penugasan dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang ditugaskan kepada Desa (lihat pasal 22). Selain dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan yang bersifat penugasan lainnya adalah dalam hal
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat
desa. Terhadap kewenangan-kewenangan ini, Desa tidak memiliki hak untuk mengatur (membuat
regulasi), tetapi hanya mengurus, sebagaimana dinyatakan pada bagian terdahulu. Selain dalam UU
Desa, pelimpahan kewenangan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada Desa juga dimandatkan
dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Potensi Tarik-Menarik Kewenangan

Ada perdebatan pemberian kewenangan pada Desa antara kewenangan berdasarkan hak asal usul,
kewenangan berdasarkan lokal berskala desa dan kewenangan berdasarkan yang ditugaskan oleh
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang
ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dengan
ketentuan peraturan perundang –undangan. Artinya, Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat
Desa) pada satu sisi bertugas untuk menjalankan kewenangan desa, sedangkan pada sisi lain bertugas
menjalankan penugasan dari pemerintah kabupaten/kota. Konstruksi ini berpotensi menjadi unsur yang
memperkuat Desa dan sekaligus sebagai unsur yang memperlemah Desa. Hal ini bisa memunculkan
dominasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota pada penentuan
skala prioritas pembangunan Desa. Misalnya Desa lebih banyak melaksanakan urusan yang ditugaskan
dari pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dibandingkan kewajiban pemerintah Desa
dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala Desa dan hal ini bisa jadi menghambat pertumbuhan kemandirian Desa.

Kewenangan Asal-usul dan Kewenangan Lokal Skala Desa

Kewenangan Desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa bukanlah kewenangan
yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 tentang Desa.
Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan
langsung oleh UU Desa. Namun demikian mekanisme penetapan kewenangan desa tidak diatur secara
rinci. Pasal 20 UU Desa menyebutkan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan
kewenangan lokal berskala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan
diurus oleh Desa.
Peran Pemerintah Desa dalam Menjalankan Kewenangan

Berkaitan dengan kewenangan ini, Bhenyamin Hoessein (disertasi 1993), menjelaskan bahwa
pengaturan dapat diartikan sebagai kewenangan "...untuk menciptakan norma hukum tertulis yang
berlaku umum dan mengenai hal yang abstrak"; sementara pengurusan sebagai kewenangan "...untuk
melaksanakan dan menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkrit". Dengan kata
lain, pengaturan berkaitan dengan kewenangan membentuk kebijakan (rules making), sementara
pengurusan dengan kewenangan melaksanakannya (rules application).

Mengikuti pengertian di atas, maka pemerintahan yang memiliki sekaligus kewenangan pengaturan dan
pengurusan (sendiri) dapat dipandang sebagai pemerintahan otonom (Bhenyamin: 2001). Kedua istilah
tersebut secara bersama-sama merupakan padanan Bahasa Indonesia untuk istilah Bahasa Inggris ‘self-
governance’.

Berkaitan dengan kewenangan pemerintah, Barton (2000) menyebutkan bahwa dalam ekonomi pasar
yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi
pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat, yaitu: keadilan sosial (social equity) dan
kegagalan pasar. Berdasarkan alasan-alasan itu, secara garis besar peran pemerintah dengan kebijakan
publiknya adalah melakukan koreksi kegagalan pasar untuk memperbaiki efisiensi produksi, yakni:

Peran alokasi sumber daya. Hal ini mencakup soal penentuan ukuran absolut dan relatif pemerintah
dalam perekonomian (keseimbangan sektor publik dan sektor swasta) dan penyediaan barang-barang
publik serta pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.

Peran regulator. Hal ini mencakup undang-undang dan tata tertib yang dibutuhkan masyarakat
termasuk undang-undang yang mengatur dunia bisnis yang memadai untuk memfasilitasi aktivitas bisnis
dan hak-hak kepemilikan pribadi.

Peran kesejahteraan sosial, yang mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerataan sosial di
negara yang bersangkutan seperti perpajakan, jaminan sosial dan penyediaan sejumlah barang publik
campuran bagi masyarakat

Pasal 78 UU Desa mengatur bahwa pembangunan desa bertujuan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan.
Lebih lanjut pencapaian tujuan tersebut diselenggarakan melalui: (a) pemenuhan kebutuhan dasar, (b)
pembangunan sarana dan prasarana desa, (c) pengembangan potensi ekonomi lokal, serta (d)
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Kewenangan Desa dalam Subyek Pembangunan

Berdasarkan pandangan teoritis tentang pemerintahan (Barton, 2000), kewenangan normatif, tujuan
dan cara mencapai tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Desa diturunkan dalam enam peran atau
fungsi derivatif pemerintahan desa, yakni:

Mengelola pelayanan dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa untuk mengelola
pelayanan dasar yang berada di dalam lingkup kewenangannya, seperti ketersediaan layanan
pendidikan anak usia dini, bantuan transportasi ke sekolah, dan sistem desa siaga.

Mengelola pelayanan administrasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam
mengelola pelayanan administrasi, baik administrasi kependudukan maupun beberapa administrasi
perizinan yang berada dalam kewenangannya.

Menyediakan infrastruktur dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam
mengelola penyediaan infrastruktur dasar desa, seperti air bersih, irigasi tersier, jalan desa, listrik desa,
polindes, sarana pendidikan anak usia dini, kantor desa, dan sarana olah raga.

Memperkuat kelembagaan ekonomi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam
memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti
mendorong keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dalam pengelolaan infrastruktur dasar dan
penguasaan sumber daya alam lokal, dan penguatan daya tawar kolektif.

Memperkuat kelembagaan sosial. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam
memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti
memperkuat organisasi sosial seperti posyandu, lembaga amil zakat, penanganan bencana, dan resolusi
konflik.

Membuat regulasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola proses
pembuatan regulasi sebagai salah satu bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya merevitalisasi
aturan-aturan yang bersumber dari adat istiadat.

Kelembagaan Desa
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 pada Bab XII pasal 94, arus bahwa (1) Desa mendayagunakan
lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Lembaga kemasyarakatan Desa yang dimaksud pada ayat (1)
merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa. (3) Lembaga
kemasyarakatan Desa melakukan pembangunan rencana pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta
melaksanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa. (4)
Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan
mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 229 menjelaskan
tugas Lurah dalam membantu Camat selain tugas pemerintahan dan pelayanan, melakukan
pemberdayaan masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2005, bahwa Lembaga
Kemasyarakatan kelurahan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan
dan merupakan mitra lurah dalam anggotadayakan masyarakat, yang memiliki tugas membantu lurah
dalam melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan
pemerintahan. Fungsi lembaga kemasyarakatan kelurahan antara lain (i) penampungan dan penyaluran
aspirasi masyarakat, (ii) penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam
kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Dari maksud uraian diatas, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota harus memiliki komitmen yang
lebih dalam meningkatkan kapasitas dan kemandirian desa, melalui pemberdayaan Lembaga
Kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa / Kelurahan dalam tugas dan fungsi pemberdayaan
masyarakat, membangun basis ekonomi di tingkat lokal dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Berkembangnya Partisipasi dan kegotong-royongan dalam pembangunan sangat
ditentukan oleh fungsi dan peran kemitraan lembaga kemasyarakatan desa dan kelurahan;

Masalah strategis melemahnya peran dan fungsi Lembaga Kemasyarakatan saat ini, berakibat
tersumbatnya saluran aspirasi masyarakat, kejadian konflik sosial, budaya atau memudarnya adat-
istidat, kedepan diperlukan program / kegiatan yang mampu pendorong / menstimulasi untuk
memperkuatkan kembali kemandirian masyarakat dan Desa. Bentuk kegiatan Penataan dan
Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan diharapkan dapat diterapkan dalam situasi sinergis hubungan
pemerintahan desa dengan masyarakat dalam pelayanan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
pemberdayaan masyarakat. Lembaga Kemasyarakatan di Desa dan Kelurahan Provinsi Jawa Timur diatur
dalam Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2008. Peraturan ini sebagai pelaksanaan Amanat Pasal
211 UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 97 PP No 72 tahun 2005 dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.

Jenis Lembaga Kemasyarakatan Desa / Kelurahan, yaitu Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna (KARTAR) dan Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPMD / K) atau yang disebut dengan nama lain, lembaga adat dan lembaga
kemasyarakatan lainnya sesuai kebutuhan. Lembaga kemasyarakatan Desa / Kelurahan melakukan
perencanaan pemberdayaan masyarakat Desa / Kelurahan, ikut serta merencanakan dan melaksanakan
pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat desa. Sebagai mitra Pemerintah Desa /
Kelurahan, tugas Lembaga Kemasyarakatan termasuk 1) menyusun rencana pembangunan secara
partisipatif; 2) mengembangkan, mengembangkan, mengembangkan, mengembangkan,
mengembangkan dan mengembangkan pembangunan secara partisipatif; 3) mengembangkan dan
mengembangkan partisipasi, gotong-royong dan swadaya masyarakat;
Kedudukan dan Tupoksi Kepala Desa

Anda mungkin juga menyukai