Anda di halaman 1dari 17

“TEOLOGI ISLAM”

TAUHID SEBAGAI PRINSIP POLITIK


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Teologi Islam
Dosen Pengampu: Dr. Ira Suryani, M.Si
DISUSUN OLEH KELOMPOK 10 :

Atikah Nasution ( 0303192091 )

Nur Fadila Angi ( 0303192083 )

Nurul Annisa ( 0303192109 )

Bki – 3/ Semester 2

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 3

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena berkat dan rahmat-Nya lah,kami dapat menyelesaikan tugas tentang “Tauhid
Sebagai Prinsip Politik”. kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada segala
pihak yang telah membantu secara materil dan kerjasamanya.
Tentunya dimakalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan kata,kalimat
maupun dari sistematis pengerjaannya.itu semua karena masih kurangnya pengetahuan
kami dan pengalaman kami. Untuk itu,kritik dan saran sangatlah diperlukan.
Akhir kata, kami ucapkan banyak terima kasih atas segala perhatiannya. Mohon
maaf atas segala kekurangannya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Medan, 24 Maret 2020

BKI III, Kelompok 10


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 2

A. DEFENISI ILMU TAUHID ................................................................... 2


B. TAUHID SEBAGAI PRINSIP POLITIK ............................................... 3
1. Hubungan Masalah Politik dengan Aliran Teologi. ........................... 4
2. Pemikiran Al-Mawardi tentang Politik ............................................. 5
3. Teori Ashabiyah Ibnu Khaldun. ........................................................ 6

BAB II PENUTUP ..................................................................................... 6

A. KESIMPULAN ...................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 8


BAB I

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama Allah SWT sekaligus agama yang terakhir yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril dengan tujuan untuk mengubah akhlak
manusia ke arah yang lebih baik di sisi Allah SWT. Banyak cara yang dilakukan oleh manusia
untuk mencapai ketakwaan di sisi-Nya atau yang disebut juga dengan kata “Politik”. Karena
politik dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak sedikit
masyarakat menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang negatif yang harus dijauhi. Padahal
tidak semestinya selalu begitu, bahkan politik sangat dibutuhkan dalam hidup beragama. Andai
saja kita tidak mempunyai cara untuk melakukan pendekatan kepada Allah SWT, maka dapat
dipastikan kita sebagai manusia biasa juga tidak akan pernah mencapai kata beriman dan takwa
disisi-Nya, dikarenakan tidak akan pernah tercapai suatu tujuan jika tidak ada usaha atau cara
yang dilakukannya untuk mencapai tujuan tersebut. Realita inilah yang harus kita ubah
dikalangan masyarakat setempat, setidaknya dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat,
kemudian untuk bangsa dan negara kita.

Islam bukanlah suatu ilmu yang harus dipertandingnya dengan tulisan atau dengan
ceramah belaka tanpa diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. Karena islam sangat identik
dengan sifat, pemikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari- hari
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, kita harus mempunyai suatu cara tertentu yang
tidak melanggar ajaran agama dan tidak merugikan umat manusia. Banyak yang beranggapan
bahwa jika agama dimasukkan dalam suatu politik, maka agama ini tidak akan murni lagi.
Namun ada yang beranggapan lain, karena jika agama tidak menggunakan suatu politik atau
cara, maka agama tersebut tidak akan sampai pada tujuannya. Kalaupun pada kenyataannya
banyak yang tidak berhasil, mungkin cara yang digunakan belum sempurna dan perlu
menambahan ilmu.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tauhid
Istilah ilmu Tauhid berasal dari bahasa Arab. Secara harafiah, tauhid ialah mempersatukan
berasal dari kata wahid yang berarti satu. Menurut istilah agama islam, Tauhid ialah keyakinan
tetang suatu atau Esanya Tuhan dan segala pikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang
menjurus kepada simpulan bahwa Tuhan itu satu, disebut ilmu tauhid. 1

Ilmu tauhid adalah ilmu yang memberikan bekal-bekal pengertian tentang pedoman
keyakinan hidup manusia, di dalam mengarungi samudra dan gelombang hidup. Secara kodrati
manusia diciptakan Allah di dunia ini, berkekuatan berbeda antara manusia yang satu dengan
yang lain. Tidak sedikit manusia di dalam mengarungi samudera hidup yang sangat luas itu,
kehilangan arah ke pedoman, sehingga ia menjadi sesat. Di situlah ilmu Tauhid berperan untuk
member pedoman dan arah, agar manusia selalu tetap sadar akan kewajibannya sebagai
mahkluk terhadap khaliknya.

Memeplajari ilmu tauhid biasanya didorong oleh keinginan untuk mengetahui lebih
banyak dn lebih mendalam pengertiam tentang tuhan. Sebelum itu orang sudah memiliki
kepercayaan (iman) kepada Tuhan, tetapi masih hanya secara samar-samar. Hal itu disebabkan
karena memang setiap manusia lahir dengan membawa benih iman dan jiwanya.

Kalau tauhid sudah masuk dan meresap ke dalam jiwa seseorang, maka akan
tumbuhlah dalam jiwa peresaan rela atas pemberian Allah untuk dirinya mengenai rezeki
kedudukan dan lain-lain, rasa harga diri dan menghargai orang lain, sebab orang bertauhid
memandang semua manusia sama derajat, berasal dari suatu keturunan dan tidak ad yang
berhak di pertuan atau di perhamba, rasa kasih sayang terhadap sesame manusia. Orang
bertauhid memandang semua manusia bersaudara, umat yang bertauhid itu hidup berdasat
perikemanusiaan dan persaudaraan, selalu bersikap terbuka, kerjasama dan gotong-royong

1
Syafii, “Dari Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam ke Teologi” Jurnal Teologia Vol. 23 No. 1, 2012, h 2-10
Aspek terpenting dalam Ilmu Tauhid ialah keyakinan akan adanya Allah Yang Maha
Sempurna dan Mahakuasa. Keyakinan ini pada gilirannya akan membawa kepada keyakinan

terhadap adanya Malaikat, Kitab-kitab, Nabi dan Rasul, Hari Akhir dan melahirkan
kesadaran akan tugas dan kewajiban terhadap khalik (pencipta).

B. Tauhid Sebagai Prinsip Politik


sistem politik, politik kenegaraan, kekuasaan atau pemerintahan adalah ungkapan-
ungkapan yang menunjuk kepada aturan-aturan dalam bemegara dan bermasyarakat,
sumber kekuasaan, pemegang kekuasaan, tanggung jawab penguasa dan rakyat,
teritorial hukum dan wilayah serta kedaulatan.2
Tuntunan Islam dalam urusan politik dan kenegaraan dalam garis besarnya sudah ada
dalam Alquran dan Hadis Nabi. Namun dalam penerapan dan pelaksanaannya secara
terperinci belum begitu jelas, sehingga menimbulkan berbagai interpretasi dan
pemikiran di kalangan pemuka dan mujtahid Islam. Hal ini karena adanya perbedaan
pandangan ataupun persentuhan dengan berbagai aliran filsafat dan kultur di masanya.
Dalam studi pemikiran politik Islam, khususnya tentang hubungan Islam dan
ketatanegaraan terdapat tiga aliran. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam adalah
segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan politik dan bernegara. Karena itu
umat Islam diwajibkan mengikuti aturan- aturan bernegara dalam Islam dan tidak
meninggalkan sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi saw. bersama-sama dengan
Khulafaur Rasyidin. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain: Maulana Abu al-A’la al-
Maududi, Rasyid Ridha, Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna. Aliran kedua
berpendirian bahwa Islam adalah semata-mata agama yang mengurusi umat manusia
agar hidup mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur, karena itu
merupakan tugas utama para nabi, termasuk Rasulullah saw, bukan untuk mendirikan
sebuah negara. Tokoh-tokoh dari aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Aliran ketiga berpendirian bahwa Islam tidak memiliki ajaran atau tuntunan secara
lengkap dan detail termasuk sistem ketatanegaraan akan tetapi memiliki seperangkat
tata nilai etika bagi kehidupan manusia dalam bernegara. Tokoh-tokohnya antara
lain Mohammad Husein Haikal. 3

2
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Ul Press,
1993), Edisi ke-5, h. 1-2.
3
Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h. 2-3.
1. Hubungan Masalah Politik dengan Aliran Teologi.

Secara umum, dapat ditegaskan Islam dan politik tidak bisa dipisahkan.
Menurut almarhum Buya Hamka, Islam adalah agama dan negara. Tidak ada
pemisahan di antara keduanya, sedangkan peme- rintah merupakan
perlengkapan agama. 4
Pendapat ini bisa dipahami, karena melaksanakan pengabdian (ibadah) dalam
arti yang sebenar-benarnya kepada Allah swt. tidak apat dilakukan tanpa
dukungan penuh dari sebuah pemerintahan Islam, seperti menjalankan amar
ma’ruf dan nahi munkar.
Secara khusus, hubungan masalah politik dengan aliran teologi bermula sesaat
setelah baginda Rasulullah saw. wafat. Ketika itu persoalan politik pertama
yang muncul adalah siapa yang berhak menggantikan beliau? Bagaimana cara
pengangkatannya dan apa saja kriterianya? Suksesi pertama dalam sejarah kaum
muslimin ini berjalan mulus dengan dibaiatnya Abu Bakar ra. secara aklamasi
walaupun melalui proses demokrasi dan musyawarah yang alot. Dengan
demikian persoalan-persoalan di atas sudah terjawab. Abu Bakar lah yang
paling berhak sebagai khalifah pertama dengan cara musyawarah lalu dibaiat,
karenanya beliau memiliki kriteria-kriteria yang dapat diterima oleh seluruh
umat muslimin saat itu.5
Suksesi khalifah yang pertama kepada penerusnya juga berjalan dengan mulus
karena ketegasan Abu Bakar menunjuk calon penggantinya yaitu Umar bin
Khattab. Khalifah inipun dapat dukungan umat Islam secara aklamasi pula.
Karena Umar dipandang paling layak sebagai khalifah dengan kriteria-kriteria
yang dimilikinya.
Baru pada proses suksesi kekhalifahan yang kedua dan ketiga muncul
pertikaian-pertikaian dan praktik-praktik yang kurang bersih. Umar sebelum

4
Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Cet. ke-2, h. 137.

5Husain bin Muhammad bin al-Jâbir, Menuju Jamaatul Muslimah, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tahmid,
(Jakarta: Robbani Press, 1996), Cet. ke-4 h. 87.
diminta menunjuk calon penggantinya. Tetapi beliau hanya menunjuk enam
orang formatur sekaligus khalifah yang ketiga. Mereka semua sahabat senior
Rasulullah saw., yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abi
Waqash, Abdul al-Rahman bin Auf, Zubair bin ‘Awwam dan Thalhah bin
Ubaidillah serta putranya Abdullah bin Umar. Enam orang formatur ini harus
mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai khalilah. Umar memilih
mereka karena mereka itu yang dijamin sebagai ahli sorga oleh Nabi saw.
Kebijakan Umar ini tidak disadari kelak membawa persaingan di kalangan
mereka, yang pada akhirnya di masa Ali berkuasa dua orang di antara mereka
menjadi pemberontak yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin ‘Awwam,
karena keduanya tidak mendapatkan kedudukan yang layak. Sedangkan
putranya Abdullah bin Umar tidak memiliki hak suara. 6
Umar bin Khattab wafat, khalifah pun berpindah kepada Utsman
bin Affan sesuai dengan prosedur yang diwasiatkan Umar sebelumnya. Di masa
khalifah yang ketiga ini, situasi negara sudah mulai goyah, karena kurang
mendapat dukungan dari rakyat ataupun sahabat- sahabatnya sendiri. Sebagai
akibat dari persaingan maupun karena ke- lemahannya sendiri dalam berbagai
kebijakan. Akhirnya Utsman terbunuh oleh musuh-musuhnya. 7
Ali bin Abi Thalib menyambut khilafah yang keempat sebagai pengganti
Utsman dalam suatu pemilihan yang kacau dan jauh dari sempurna. Karena
dibai’at oleh para pemberontak yang tidak lain adalah orang-orang menentang
pemerintahan Utsman. Hal ini menjadi- kan pemerintahan mendapat rintangan
dan tantangan dari berbagai pihak yaitu pihak Thalhah dan Zubair yang
mendapat dukungan dari Siti Aisyah ra. Tantangan dari pihak ini disebabkan
kesediaan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah melalui dukungan dan
pengangkatan dari pihak pemberontak, bukan dari pemuka-pemuka sahabat
sebagaimana khalifah-khalifah sebelumnya. Selain rasa kecewa mereka karena
tidak mendapatkan posisi yang lebih terhormat dari masa khalifah Abu Bakar
hingga khalifah saat ini.
Selain pihak pertama yang tidak mengakui kekhalifahan Ali adalah pihak kedua

6
Sjadzali, Islam dan Tata Negara h. 25.
7
Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1995), Cet. Ke-5,h.4.
yang dipelopori oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan bersama-sama kaum kerabat
Utsman yang menuntut bela atas pembunuhan Utsman. Kelompok ini menuntut
Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan kelompok ini
menuduh Ali berkonspirasi dalam pembunuhan ini dengan indikasi
pengangkatan Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur Mesir yang tidak
lain adalah kepala pemberontakan yang juga anak angkat Ali sendiri.9Pihak
pertama dapat diatasi dan dipatahkan oleh Ali dalam perang Jamal di Irak.
Thalhah dan Zubair terbunuh sedangkan Siti Aisyah dikembali- kan ke
Madinah.
Dalam menghadapi pihak kedua, Ali hampir dapat mengalah- kannya dalam
peperangan yang terjadi di Siffin. Namun karena kepiawaian diplomatik ‘Amar
ibnul ‘Ash dari pihak Mu’awiyah, kekalahan tersebut berubah menjadi
negosiasi untuk perdamaian. Dengan mengadakan tahkim (arbitrasi), maju ke
depan dua orang pengantara yaitu ‘Amar Ibn al ‘Ash mewakili pihak
Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Kelicikan ‘Amar
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Menurut sejarah kedua sepakat
menjatuh- kan kedua pemuka yang bertikai, Ali dan Mu’awiyah. Karena Abu
Musa dianggap sahabat nabi yang lebih senior, Amar mempersilahkan Abu
Musa untuk lebih dahulu menjatuhkan Ali. dari kedudukannya sebagai khalifah
dan Mu’awiyah sebagai gubernur, yang diumumkan di hadapan orang ramai.
Setelah itu giliran Amar tampil ke depan umum dan menyampaikan putusan
yang berbeda dari kesepakatan bersama. Amar menyetujui penjatuhan Ali dan
menolak penjatuhan Mu’awiyah serta mengangkatnya sebagai khalifah yang
baru.
Pengangkatan Mu’awiyah yang hanya seorang gubernur pembangkang menjadi
khalifah sudah terlanjur diumumkan. Meskipun Ali tetap menolaknya dan ia
tetap tidak mau meletakkan jabatannya hingga ia tewas terbunuh. 8
Sikap Ali yang menerima saja saran dari Amar Ibnul ‘Ash ber- damai dengan
mengadakan tahkim tidak diterima oleh sebagian pengikutnya dengan alasan
“tidak ada tahki’m kecuali Allah”. Karena itu tahkim tidak sah. Dengan alasan
ini rnereka menilai Ali telah ber- buat salah. Oleh sebab itu mereka

8
Nasution, Teologi Islam,h. 4-5
meninggalkan barisan Ali. Akhirnya mereka ini disebut dengan Khawarij yaitu
orang-orang yang meninggal- kan barisan Ali. Sedangkan yang tetap setia
kepada Ali membentuk jama’ah yang disebut dengan Syi’ah. 9
Semua persoalan-persoalan politik di atas terseret kedalam persoalan-persoalan
agama dan kepercayaan yang pada perkembangan berikutnya membentuk
aliran-aliran dengan masing-masing ajaran dan akidahnya yang populer dengan
aliran-aliran teologi saat ini.
Abul A’la al-Maududi menyebutkan setidaknya ada empat aliran
teologi yang lahir dari persoalan-persoalan politik sepeninggal baginda
Rasulullah hingga mangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang
keempat yaitu :
1. Syi’ah
Sebenarnya Syi’ah bukan sebuah aliran atau kelompok tetapi jama’ah
muslimin yang mencintai Rasulullah beserta segenap keluarganya. Ketika
beliau hidup maupun sesudah wafatnya. 10

2. Khawarij
Kaum atau aliran khawarij adalah sama sekali berlawanan dengan golongan
Syi’ah meskipun sebelumnya sama-sama berada dalam barisan khalifah Ali.
Aliran khawarij muncul sebagai akibat dari peristiwa tahkim atau arbitrasi
sebagai tersebut di atas. Persoalan teologis yang terseret ke dalam aliran
Khawarij ini, bahwa Ali dan golongan Syi’ah adalah kafir karena mereka
berbuat dosa oleh karena itu mereka wajib dibunuh. Menurut mereka Ali
dan Abu Musa, Mu’awiyah dan ‘Amar Ibnul Ash telah bertahkim di luar
hukum Allah. 11
3. Murjiah
Murjiah adalah aliran teologi yang muncul sebagai akibat atau reaksi
terhadap golongan atau aliran sebelumnya yaitu Syi’ah. Murjiah sesuai
dengan namanya (arja’a: menunda) menyerahkan sepenuhnya urusan dosa
besar kepada Allah swt.12

9
Nasution, Teologi Islam, h.6; lihat juga: Abu Al-A’la al-Maududi,Khilafah dan kerajaan, Tejemahan.M.
al-Baqir (Bandung:Mizan, 1996), cet.ke-6,h.271
10
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,h.273
11
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, h. 275.
12
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan,h.278 lihat juga Nasution,Teologi Islam.h.7.
4. Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran teologi kelahirannya tidak terkait secara
langsung dengan persoalan-persoalan politik sebagaimana halnya dengan
tiga aliran teologi sebelumnya. Aliran ini muncul sebagai reaksi umum dan
kelompok-kelompok muslim yang tidak mau terlibat langsung dalam
persoalan atau tindakan politik.
5. Mayoritas Rakyat Umum
Mayoritas rakyat umum atau jumhur muslimin tentu saja bukan sebuah
aliran teologi tetapi sebagian besar umat Islam yang tidak terpengaruh oleh
gejolak politik ataupun pertentangan teologi. Mereka pada umumnya adalah
orang-orang yang selalu berpegang kepada agama (Alquran dan hadis) yang
menjalani hidup dengan cara saleh. Sayangnya tidak ada kejelasan yang
dapat menegaskan mereka ini dalam sebuah aliran atau mazhab dengan
ajaran-ajaran yang tegas.13

2. Pemikiran Al-Mawardi tentang Politik

Imam al-Mawardi nama lengkapnya adalah Abu Hasan, Ali bin Muhammad bin
Hubaib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi yang hidup antara tahun 364-450 H. atau 975-1059
M. beliau seorang mujtahid mazhab al-Syafi’i.
Untuk ide-ide dan pemikiran politik, beliau menulis dalam kitab yang berjudul Al-

Ahkâm As-Sulthâniyah.19 Perlu juga kita ketahui adanya sebuah kitab yang judul dan isi
pembahasannya hampir sama dengan karya al- Mawardi di atas. Kitab itu berjudul Al-Ahkâm
As-Sulthâniyah yang ditulis oleh mujtahid mazhab Hambali yang bernama Qadhi Abu
Ya’la Muhammad bin Husin al-Qark al-Hanbali yang hidup sekitar tahun 380- 458 H.14
Di antara pokok-pokok pemikiran al-Mawardi adalah:
1. Asal Mula Negara
Allah swt. melalui sunnah-Nya menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dengan
segala kelemahan dan keterbatasannya, yaitu manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang
lain. 15

13
Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan,h.284
14
Abu Ya’la Muhammad bin Husein Al-Qark, al-Akham al-Sulthaniyah,(Beirut: Dar al-Fikr,1994),h.3.
15
Sjadzali, Islam dan Tata Negara,h.60.
2. Sendi-sendi Negara

Sekurang-kurangnya ada enam sendi yang ditegakkan untuk tegaknya sebuah negara:
(1) Agama yang dihayati. Agama diperlukan untuk mengendalikan hawa nafsu dan
membimbing hati nurani manusia. Ini adalah sendi yang paling utama; (2) Penguasa yang
berwibawa. Penguasa itu adalah imam atau khalifah yang dapat mengatur dan membimbing
umat kearah kebaikan dan kesejahteraan; (3) Keadilan yang menyeluruh. Dengan
ditegakkannya keadilan akan membawa kepada wibawa pemerintah dan rasa terlindunginya
masyarakat; (4) Keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat menjadi
tenang. Ketenangan membawa berkembangnya inisiatif dan daya kreasi rakyat. Meratanya
keamanan adalah akibat menyeluruhnya keadilan; (5) Kesuburan tanah yang
berkesinambungan. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan pangan dan
kebutuhan materi lainnya dapat dipenuhi, dan (6) Harapan.

3. Kewajiban Mendirikan Negara


Negara didirikan untuk meneruskan misi kenabian (nubuwwat) dalam rangka menjaga
keutuhan agama dan kemaslahatan ummat adalah sebuah kewajiban dalam agama secara
konsensus (ijma’), meskipun kewajibannya hanya fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang
ditujukan kepada segelintir orang yang mampu melaksanankannya. Dan apabila negara dapat
dijalankan maka gugurlah kewajiban yang lainnya. Tetapi umat wajib mentaati
penyelenggaraan negara itu sebagai pemegang perkara (ulul ‘amri).16

4. Syarat-syarat menjadi Wakil Rakyat dan Pemimpin.

Konsekuensi kewajiban mendirikan negara, maka umat diwajibkan mengangkat


orang-orang yang mewakili umat untuk menetapkan seorang imam atau pemimpin. Wakil-
wakil rakyat itu harus memilih syarat-syarat sebagai berikut: (1) memiliki sikap yang adil; (2)
memiliki ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan cara dan kriteria pemilihan
imam; (3) memiliki wawasan dan hikmat (kearifan) yang mampu memilih imam dengan
tepat. Adapun syarat-syarat menjadi Imam atau pemimpin, yakni:
(1) bersikap adil dengan segala persyaratannya; (2) memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai dalam mengambil pengetahuan yang memadai dalam mengambil keputusan;
(3) sehat panca indera; (4) sehat dan normal anggota jasmani; (5) mempunyai kecakapan
untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; (6). Memiliki
keberanian dan

16
Al-Mawardi,al-ahkamal-Sulthaniyah,h.5-6;lihat juga Sjadzali,khilafah dan kerajaan h.63 - 64
(2) kemampuan untuk melindungi rakyat dan keturunan Quraisy dari musuh.

3. Teori Ashabiyah Ibnu Khaldun

1. Pengertian Ashabiyah

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abd. Al-Rahman bin Muhammad bin Hasan
bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdi al Rahman bin Khaldun. Lahir di Tunisia
tahun 732 H/1332 M, pindah ke Mesir tahun 784 H/1382 M dia wafat di sini tahun 808
H/1406 M.Beliau sangat terkenal melalui teorinya “al-Ashabiyah” yang termuat di dalam
17
kitabnya “Muqaddimah”.

Sebagian dari pemikiran politik Ibnu Khaldun yang terkenal dan diakui sebagai hasil
ijtihadnya yang orisinil adalah “Teori al-Ashabiyah”. Istilah ini oleh Franz Rosenthal di
terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “Group Feeling” atau di dalam bahasa
Indonesia “Perasaan satu kelompok” atau solidaritas kelompok. Ashabiyah adalah fitrah
manusia yang dimiliki setiap orang. Setiap orang memiliki kebanggaan akan
keturunannya. Rasa saling sayang dan saling haru antara mereka yang mempunyai
hubungan darah dan keluarga. Itulah yang melahirkan semangat saling mendukung dan
saling membantu. Serta rasa ikut malu dan tidak rela kalau di antara mereka mendapat
perlakuan yang lidak adil atau hendak dihancurkan dan hasrat berbuat sesuatu untuk
melindungi pihak yang terancam. 18

2. Dasar Pijakan Teori Ashabiyah


Ibnu Khaldun dalam memulai pemikiran politiknya dari realitas dan fakta-fakta
sejarah sebagai pijakan teori-teori atau konsep ilmu pengetahuannya, meskipun
demikian sebagai muslim lagi mukmin ia tetap memperpegangi dalil-dalil dari Alquran dan
Hadis Nabi. Dalam teori 19
Ashabiyah ini ia merujuk kepada ungkapan “ushbah” (group)
dalam surat Yusuf ayat 14, mengenai sifat dan watak manusia ia merujuk kepada surat As-
Syams ayat 7-8

17
Sjadzali,khilafah dan kerajaan,h,90;lihat teks salinya,Ibnu khaldun,Muqaddima h,2.
18
Sjadzali, Khilafah dan kerajaan,h.104.
19
Khaldun,Muqaddimah, h.127-129.
Qur’an Surat Yusuf Ayat 14

َ‫صبَةٌ ِإ َّنا ٓ ِإذًا لَّ َٰ َخس ُِرون‬ ۟ ُ‫قَال‬


ِ ُ‫وا لَئ ِْن أ َ َكلَه‬
ُ ْ‫ٱلذئ‬
ْ ُ‫ب َونَ ْحنُ ع‬

Qālụ la`in akalahuż-żi`bu wa naḥnu 'uṣbatun innā iżal lakhāsirụn


Terjemah Arti: Mereka berkata: "Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami
golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi".
Qur’an Surat As-Syams ayat 7
َ ‫َونَ ْف ٍس َو َما‬
‫س َّو َٰى َها‬
Wa nafsiw wa mā sawwāhā

Terjemah Arti: Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

Qur’an Surat As-Syams ayat 8

‫ورهَا فَأ َ ْل َه َم َها‬


َ ‫َوت َ ْق َو ٰى َها فُ ُج‬

Fa al-hamahā fujụrahā wa taqwāhā

Terjemah Arti: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.

3. Ashabiyah dalam Hubungannya dengan Negara dan Dakwah Islamiyah.


Adanya ashabiyah yang kuat merupakan suatu keharusan bagi tegaknya sebuah
negara yang besar. Oleh karena jarang sekali terjadi suatu dinasti atau negara yang
memiliki ragam suku dengan aspirasi dan politiknya masing-masing dan salmg
bertentangan. Karena itu se- orang kepala negara harus berasal dari Ashabiyah yang terbesar
yang dapat mendominasi kelompok-kelompok yang lain. Atau dengan mem- bentuk aliansi
dengan kelompok-kelompok yang lain dalam segi ashabiyah yang lain yang dapat
diandalkan atas kesamaan tujuan dan hak. 20
Banyak negara yang besar dan kuat karena “Ashabiyah agama” melalui ajaran
agama, kelompok-kelompok yang berlainan dapat dipersatukan menjadi Ashabiyah
yang bulat dan bersatu hati untuk meraih tujuan-tujuan yang lebih mulia. Bagi orang Arab
mereka dapat membangun negara kalau dapat dukungan agama (pemeluk agama) karena
bangsa Arab bersifat keras kepala, tidak mau tunduk kepada orang lain, kasar, angkuh,
ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. Tetapi dengan pengaruh agama
mereka dapat mengendali- kan diri masing-masing.

20
Khaldun,Muqaddimah, h.131
Ashabiyah dalam hubungannya dengan dakwah Islamiya Agama (Islam) tidak akan
berhasil (dalam dakwah dan pengamalan) tanpa dukungan ashabiyah. Sesuai dengan sabda
Nabi saw “Tuhan tidak mengutus seorang nabi yang tidak mendapatkan perlindungan dari
rakyatnya, para nabi saja harus dapat dukungan dan rakyat apalagi orang biasa. Karena itu,
dakwah tidak akan sukses tanpa dukungan rakyat, akan tetapi rakyat yang lebur dan satu
dalam ashabiyah. 21 Dari pemikiran - pemikirannya ini kita dapat menilai Ibnu Khaldun
termasuk pemikir kelompok pertama yang tidak memisahkan agama dan negara.

21
Sjadzali,Islam dan Tata Negara, h. 105-107.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa
pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi:
mewujudka persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan
hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullah dan Ulill
Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik
menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan
tegas mengenai politik yang menghalalkan segala cara. Pemerintahan yang otoriter adalah
pemerintahan yang menekan dan memaksakn kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan
harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat. Sedangkan penyimpangan yang terjadi adalah
pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan
yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip
islam. Dalam politik luar negerinya islam menganjurakan dan menjaga adanya perdamain.
Walaupun demikan islam juga memporbolehkan adanya perang, namun dengan sebab yang sudah
jelas karena mengancam kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan perang inipun telah memiliki
ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi tidak sembarangan perang dapat dilakukan.
Politik islam menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat.
DAFTAR PUSTAKA

Islam dan Politik.John L, Esposito. ISBN 0-3156-2332-4.Cetakan Pertama,PT


Bulan Bintang, Jakarta,1990
Pemikiran Politik Dalam Islam,Jurnal Ushuluddin,Januari 2010,hlm. 75-89
.ISSN 1412-5188
Pergolakan Politik Islam.Dr. Azyumardi Azra.Cetakan I Mei 1998
Tauhid dan Etika Lingkungan Telaah atas Pemikiran Ibn ‘Arabi, Jurnal Teologia, Ahmad
Munji (2014) Vol. 25 No. 2 Halaman 515-542
Anshari, Endang Saefuddin, (1990). Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran
tentang Islam dan Umatnya, Jakarta: Rajawali. Cet. ke-2.
Hamka, (1983). Studi Islam, editor M. Rusydi, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Cet ke-2.
Harun Nasution, (1995). Teologi Islam, Jakarta: UI Press, Cet. ke-5.
Ibn Husin, Abû Ya’lâ Muhammad, (1994). al-Qark al-Ahkâm al-Sulthaniyah,
Beirut: Dâr al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai