Anda di halaman 1dari 89

1

I. STROKE

A. Definisi
Disfungsi neurologik akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak dan
timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau cepat (dalam beberapa jam) dengan
gejala-gejala dan tanda-tanda yang sesuai degan daerah fokal otak yang teganggu.

B. Faktor Risiko
Saat ini dimungkinkan untuk prediksi bahwa 10% dari populasi dengan risiko tinggi,
akan terkena stroke, yang meliputi 50% dari penderita stroke seluruhnya.

Non Modifikasi Modifikasi

1. Usia 1. Hipertensi
2. Ras 2. Diabetes Melitus
3. Jenis Kelamin 3. Dislipidemia
4. Genetik 4. Kelainan Jantung
5. Obesitas
6. Fibrinogen Meningkat
7. Kadar Hemosistein Meningkat
8. Perokok
9. Obat Kontrasepsi Oral
10. Konsumsi Alkohol
11. Aktifitas Fisik Kurang

C. Pembagian Stroke
1. Stroke non hemmoragik (SNH)  85%
a. Trombosis : akibat aterosklerosis
b. Emboli : akibat embolus dari jantung dan pembuluh besar lainnya
c. Arteritis : akibat radang pada otak yang luas
2. Stroke hemmoragik (SH)  15%
a. Perdarahan intra serebral (PIS) : oleh karena hipertensi berat
b. Perdarahan sub arachnoid (PSA) : oleh karena AVM dan aneurisma

Klinis Gambaran khas


Transient Iskemik Attack (TIA) - Gangguan neurologis dalam 24 jam
- Sembuh tanpa gejala sis
Reversible Iskemik Neurological Deficit - Gangguan neurologis yang timbul
(RIND) hilang dalam > 24 jam tapi tidak lebih
2

dari 1 minggu
- Sembuh sempurna < 3 minggu
Progresive stroke - Gangguan neurologis yang timbul
makin lama makin berat
- Sembuh tidak sempurna dalam > 3
minggu
Completed stroke - Gangguan neurologis yang gejala
klinisnya sudah menetap
- Sembuh tidak sempurna > 3 minggu

D. Patofisiologi
1. Stroke trombosis
Stroke ini disebabkan oleh aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau
stenosis di arteri karotis interna atau yang ebih jarang di pangkal arteri serebri media atau di
taut arteri vertebralis dan basilaris. Kalau trombotik arteri koronaria, oklusi pembuluh
darahnya cenderung mendadak dan total, sedangkan trombotik pembuluh darah otak
cenderung memiliki awitan bertahap bahkan berkembang dalam beberapa hari. Mekanisme
lain pelannya aliran pada arteri yang mengalami thrombosis parsial adalah deficit perfusi
yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik.

2. Stroke embolus
Stroke jenis ini insidennya sebanyak 30%. Sumber tersering adalah akibat infark
miokard, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung, katup jantung buatan dan kardiomiopati
iskemik. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan deficit neurologic
mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat
pasien beraktivitas. Embolus ini sering tersangkut di bagian pembuluh yang mengalami
stenosis. Stroke kardioembolik didiagnosis apabila diketahui adanya kausa jantung seperti
fibrilasi atrium atau apabila pasien baru mengalami infark miokardium yang mendahului
terjadinya sumbatan mendadak pembuluh besar otak. Embolus berasal dari bahan trombotik
yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan
yang sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari jantung mencapai otak melalui arteri
karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya bergantung dari
bagian sirkulasi otak yang tersumbat.
3

3. Stroke PIS
Stroke Perdarahan Intraserebral adalah perdarahan yang terjadi didalam parenkim
otak sendiri. Penyebab utama stroke perdarahan intraserebral adalah pecahnya arteri dalam
otak karena hipertensi yang kronis. Pembagian stroke PIS dapat dibagi menjadi 2 macam,
yaitu :
 P I S Primer :
- Hipertensi Kronis 50 %
-Arteriopati
 P I S Sekunder :
- Tekanan Darah Normal
- Anomali Vascular Congenital (20%)
- Koagulopati
- Tumor Otak
- Vaskulopati Non Hipertensif (C A A)
- Post Stroke Iskemia
- Obat Anti Koagulansia / Fibrinolitik
- Obat simpatomimetik

4. Stroke PSA
Perdarahan subarachnoid ada dua macam, yaitu Perdarahan subarachnoid primer dan
perdarahan subarachnoid skunder. Perdarahan subarachnoid primer adalah dimana tampak
kebocoran darah dalam ruang subarachnoid akibat ruptur dari arteri atau vena. Sedangkan
perdarahan subarachnoid sekunder adalah perdarahan intracerebral melalui parenkim otak ke
permukaan otak kemudian masuk ke dalam ventrikel.
PSA memiliki dua penyebab utama: ruptur suatu aneurisma dan trauma kepala.
Karena perdarahan dapat massif dan ekstravasasi darah ke dalam ruang subarachnoid
berlangsung cepat, maka angka kematian sangat tinggi (sekitar 50% pada bulan pertama
setelah perdarahan).
Letak aneurisma intracranial biasanya:
- A.serebeli inferior posterior
- A.basilaris
- A.komunikans posterior
- A.karotis interna
4

- A.komunikans anterior
- Bifurkasio a.serebri media

Gambar Patofisiologi Stroke PSA

E. Kriteria Diagnosis Stroke


Kriteria Trombotik Emboli PIS PSA

Umur 50-70 tahun Semua umur >40 tahun 20-30 tahun

Onset Bangun tidur Tak tentu Saat aktivitas Saat aktivitas

Perjalanan Bertahap Cepat Cepat Cepat

Gejala :

Sakit kepala - - ++ ++++

Muntah - - ++ ++++

Vertigo +/- +/- - -

Kesadaran Normal / ↓ Normal / ↓ ↓↓↓ / Koma ↓↓ Pelan

Kaku kuduk - - +/- ++++

Kelumpuhan ↓↓ ↓↓ ↓↓↓ ↓↓

Hemiparese Hemiparese Hemiplegi Hemiparese

Tangan ≠ Kaki Tangan ≠ Kaki Tangan = kaki Stlh 3-5 hari

Afasia ++ / - ++ / - - -

Darah Lumbal
- - +/- ++++
Pungsi (LP)

Arteriografi Oklusi/stenosis oklusi Shift midline Aneurysma

Normal/
Hipodens Hipodens Hiperdens
CT scan Hiperdens
Stlh 4-7 hari Stlh 4-7 hari Intraserebral
Ekstraserebral

F. Penatalaksanaan Stroke
5

1. Penatalaksanaan umum (5B : Breath, Blood, Brain, Blader dan Bowel serta 5 NO)
• Breath
 Bebaskan & bersihkan airway, sedot lendir dlm mulut
 Bila mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan
gangguan pernafasan à ventilasi
 Hipoksia à O2; non hipoksia à tidak perlu O2
 Bila gagal napas psg ETT atau LMA (laryngeal Mask Airway) à
pasien hipoksia (pO2 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang beresiko aspirasi
 Thorax foto apabila perlu
 Monitor pernapasan: ritme, frekuensi, gerak napas
• Blood
 Berikan cairan kristaloid (RL/NaCl) atau koloid intravena
 Dianjurkan pemasangan CVC (central Venous Cateter) dengan tujuan
disamping dapat memantau kecukupan cairan, juga dapat sebagai sarana untuk
memasukkan cairan dan nutrisi. Usahakan CVC 5 – 12 mmHG
 Bila TD < 120mmHg, dan cairan sudah mencukupi dapat dberikan
obat – obat vasopresor secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140
mmHg
 Ambil darah vena untuk lab, indikasi pemeriksaan gula darah,
elektrolit, drh rutin
 Pertahankan & monitor tensi
 EKG cito bila diperlukan, pemantauan jantung harus dilakukan selama
24 jam setelah awitan serangan stroke iskemik
 Bila ada penyakit jantung kongestif segera atasi à konsul kardiologi

• Brain
 Pengendalian peninggian TIK
- Pemantauan ketat terhadap penderita resiko edema à perhatikan perburukan
gejala dan tanda neurologis pada hari – hari pertama setelah serangan stroke
- Monitor tekanan intrakranial haris dipasang dengan GCS <9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadaran karena >>TIK
6

- Penatalaksanaan >> TIK:


- Tinggikan posisi kepala 200 – 300
- hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolemia
- Osmoterapi atas indikasi:
 Manitol 0,25 – 0,50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target < 310 mOsm/L
 Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB iv
- Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 – 40 mmHg)
- Kortikosteroid à tidak direkomendasikan, dapat diberikan kalau diyakini tidak
ada kontraindikasi
- Hidrosefalus akut à drainage ventrikular
- Tindakan bedah dekompresif oada keadaan iskemik serebelar yang
menimbulkan efek massa à tindakan penyelamat nyawa, hasil baik
 Pengendalian kejang
- Kejang à diazepam bolus lambat iv 5 – 20 mg, diikuti phenitoin loading dose
15 – 20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit
- Antikonvulsan profilaktik à tidak dianjurkan
• Bladder
 Pasang kateter tetap & urine tampung 24 jam
 Ambil contoh urine untuk lab
 Perhatikan balans cairan dan elektrolit
• Bowel
 Nutrisi enteral à paling lambat 48 jam, oral à kalau yankin fungsi
menelan baik
 NGT à ggg menelan, kesadaran menurun

 Keadaan akut à kebutuhan kalori 25 – 30 kkal/kg/hari, komposisi:


- Karbohidrat 30 – 40% dari total kalori
- Lemak 20-35 % (pada ggg nafas 35 – 55%)
- Protein 20-30% (stress à> 1.4-2.0 g/kgBB/hari; ggg fx ginjal <0.8
g/kgBB/hari)
7

 NGT > 6 mgg à pertimbangkan gastrotomi


- Tirah baring
• 5 NO dalam penantalaksanaan Stroke :
 No Glukosa
 No Antihipertensi
 No Kortikosteroid
 No Diuretik
 No Antikoagulan

2. Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan stroke non hemmoragik
a. Rapid Revascularisation
 Trombolitik
- rtPa (Recombinant Tissue Plasminogen Activator)
0,9 mg/kgBB IV dengan dosis maksismal 90 mg, diberikan selang 3 jam setelah
serangan akut. Syarat penggunaan rtPa yaitu CT scan tidak ada perdarahan,
trauma tidak ada, stroke 3 bulan terakhir tidak ada, TDS < 185 mmHg dan TDD
<110 mmHg.
 Antiplatetlet
- Asetosal 100-300 mg/tab/hari,diberikan selang waktu < 48 jam
- Aspirin 160-325 mg/tab/hari
- Ticlopidin 250 mg/tab/hari
- Clopidogrel 75 mg/tab/hari
- Cilostazol 50-100 mg/tab 2x/hari
- Depyridamol 50 mg/tab 2x/hari
b. Memperbaiki sistem kolateral
Pentosifilin 16 mg/kgBB/hari, 2x15 cc/IV drip dalam 3 jam selama 7 hari dan 2x400
mg/per oral. Pemberian pentoksifilin dilakukan dalam waktu 6-12 jam setelah serangan.
c. Neuroprotektif
Fungsi neuroprotektif yaitu menghambat influks Ca, menetralisir radikal bebas,
mencegah pergerakan mediator inflamatorik dan melindungi daerah oenumbra adar tidak
mengalami kematian sel.
 Citicolin (nicholin) : 2-3x250 mg/hari
8

 Piracetam (nootrophil) : 3-4 gr/IV/hari dan 12 gr/IV/20 menit


 Nimodipine (nimotop) : 3-4x1 tab/hari (30mg/tab) dan 10 mg/50cc larutan
infus (1-2 mg/jam)
d. Faktor sistemik
 Tensi diatur, tinggi CBF (cerebral blood flow) ditingkatkan, kecuali TDS > 220
mmHg dan TDD > 120 mmHg
 Tidak boleh diturunkan melibih 20% TDAR (tekanan darah arteri rata-rata) 
TDAR : S+2D/3
 Tensi dikontrol sesudag 7-10 hari dengan target TDS 160-170 mmHg dan TDD 90-
100 mmHg
 Atur kadar gula darah kira-kira 100-200 gr% dengan optimal 150 mg%
 Atur hiperlipidemia dengan menggunakan obat golongan simvastatin
 Hindari hipoksemia
 Hindari edema otak
Penatalaksanaan stroke hemoragik
Stroke PIS
Cegah komplikasi dan atur tensi hati-hati
 Atur Tensi
- Tensi diturunkan bila TDS >180 TDD>100
- Tidak lebih dari 25% Tekanan Darah Arteri
 Kontrol Kenaikan Tekanan IntraKranial (TIK)
- Gelisah: CPZ
- Naikkan Kepala 300
- Hiperventilasi sampai PCO2 29-35mg/Hg
- Manitol 20% Bolus 1 gr/KgBB/ 20 menit
(0,25 gr-0,5 gr/KgBB/ 4-6 jam)
- Furosemide 1 mg/KgBB/ I.V ( + Albumin)
- Dexamethasone 10 mg/ I.V / awal à 1 mg/ IV / 6 jam
 Kalau Kejang: Anti Konvulsi
 Cegah Infeksi
 Neuroprotektan: Nimodipine 4 x 1 tab
 Nutrisi yang Cukup
 Cegah Stress Ulcer: H2 Blocker
9

 Cegah Obstipasi: Laxant


 Cegah Decubitus: Phisio Terapi dini
Operasi setelah 12 – 24 jam, bila:
 Besar Hematoma 10-30 cc (non dominant subcortical frontal/temporal)
 30 cc (Subkortikal, Putaminal, Cerebellar, tanpa herniasi)
 Komplikasi Hidrocephalus
 Perdarahan fossa posterior/perdarahan sereberal
Syarat dilakukan operasi :
 Derajat kesadaran (GCS) > 4
 TDS < 200 mmHg
 Kadar GDS < 250 mg%
 Faal hemostasis normal
 Lokasi terjangkau
 Terdapat penyakit lain yang memperparah keadaan
 Terdapat tenaga medis dan fasilitas
Stroke PSA
Secara umum tata laksana stroke PSA sama dengan stroke PIS, namun ada beberapa
terapi tambahan pada stroke PSA
 Anti fibrinolitik
- Epsilon aminoacropic acid (Amicar) 30-36 gr/hr/IV
- Asam tranexamat 4-6 gr/hr/IV

 Antivasospasme
- Nimodipin 30 mg/tab, 6x1-2 tab/per oral selama 3 minggu dan 5-10 cc/ja, dengan
perfusion pump
Operasi pada PSA dapat dilakukan 1-2 hari setelah onset untuk menghindari
vasopspasme, rebleeding dan hidrosephalus.
 Aneurisma
- Clipping leher aneurisma
- Baloon oclusion
- Embilisasi
 AVM
10

- Blocked resection
- Embolisasi
- Radio surgery
 Terjadi komplikasi hidrocephalus  VP shunt

II. EPILEPSI

A. Definisi
Manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala khas yakni
serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara
berlebihan dan paroksimal.

B. Etiologi
1. Epilepsi primer
11

Tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak, diduga bahwa terdapat kelainan
keseimbangan zat kimia dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi sekunder
Akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.
Penyebab spesifik dari epilepsi :
 Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu
 Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran bayi, seperti hipoksia, kerusakan
karena tindakan.
 Penyumbatan pembuluh darah otak
 Radang atau infeksi

C. Patofisiologi
Epilepsi terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat akibat suatu keadaan patologik. Lesi
di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena, antara lain
sebagai berikut :
 Instabilitas membran sel saraf, sehingga lebih mudah mengalami pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
 Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA)
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau
elektrolit, yang menganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmiter eksitatorik atau deplesi neurotransmiter inhiborik.

D. Manifestasi klinis

Klasifikasi Karakteristik
Parsial Kesadaran utuh walaupun mungkin
berubah, fokus di satu bagian tetapi
dapt memnyebar ke bagian lain.
12

a. Parsial Sederhana  Dapat bersifat motorik ( gerakan


abnormal unilateral)
 Sensorik ( merasakan, membaui,
mendengar sesuatu yang abnormal)
 Autonomik ( takikardi,
bradikardi, trakipnu,kemerahan,
rasa tidak enak di epigastrium)
 Psikis ( disfagia, gangguan daya
ingat )
 Biasanya berlangsung kurang
dari 1 menit
b. Parsial Kompleks Dimulai dari kejang parsial
sederhana, berkembang, menjadi
perubahan kesadaran yang disertai
oleh :
 Gejala motorik, gejala sensorik,
otomatisme (mengecapkan bibir,
mengunyah, menarik-narik baju)
 Biasanya berlangsung 1-3 menit

Generalisata Hilangnya kesadaran, tidak ada


awitan fokal, bilateral dan simetrik,
tidak ada aura.
a. Tonik – klonik Spasme tonik – klonik otot,
inkontinensia urin, menggigit lidah
b. Absence  Sering salah didiagnostik
melemun
 Menatap kosong, kepala sedikit
lunglai, kelopak mata bergetar atau
berkedip secara cepat
 Tonus postural tidak hilang
 Berlangsung beberapa detik
13

c. Mioklonik Kontraksi mirip syok mendadak yang


terbatas di beberapa otot atau tungkai,
cenderung singkat
d. Atonik Hilangnya secara mendadak tonus
otot disertai lenyapnya postur tubuh
(drop attacs)
e. Klonik  Gerakan menyentak
 Repetitif, tajam, lambat dan
tunggal atau multipel di
lengan,tungkai atau torso
f. Tonik  Peningkatan mendadak tonus otot
(menjadi kaku, kontraksi) wajah dan
tubuh bagian atas, fleksi lengan dan
ekstensi tungkai
 Mata dan kepala mungkin
berputar ke satu sisi
 Dapat menyebabkan henti napas

Efek Fisiologis Kejang


Awal (kurang dari 15 menit) Lanjut (15-30 Berkepanjangan (>1
menit) jam)
 Meningkatnya denyut  Menurunnya  Hipotensi disertai
jantung tekanan darah berkurangnya aliran
 Meningkatnya tekanan  Menurunnya darah serebrum shg
darah gula darah terjadi hipotensi
 Meningkatnya kadar  Disritmia serebrum
glukosa  Edema paru  Gangguan sawar
 Meningkatnya suhu pusat nonjantung darah otak yang
tubuh menyebabkan edema
 Meningkatnya sel darah serebrum
putih
14

E. Diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium
- pemeriksaan gula darah
- pemeriksaan kadar kalsium
- pemeriksaan ureum
 Pemeriksaan neurologis
 Pemeriksaan EEG
 Pemeriksaan foto rontgen

F. Terapi
Penatalaksanana primer untuk pasien kejang adalah terapi obat untuk mencegah
timbulnya kejang atau untuk mengurangi frekuensinya sehingga pasien dapat hidupnormal.
Sekitar 70% - 80% pasien memperoleh manfaat dari pemberian obat antikejang. Obat yang
dipilih ditentukan oleh jenis kejang dan profilefek samping.

Tipe Obat yang efektif


Parsial
a. Parsial sederhana FB, DFH, Kz
b. Parsial kompleks FB, DFH, Kz

Umum
a. Lena ETS, AVP
b. Mioklonik ETS, AVP
c. Tonik – klonik AVS, FB, DFH, Kz
d. Atonik ETS, AVP

Keterangan :
 FB : Fenobarbital
 DFH : Defenilhidantoin
 Kz : Karbamazepine
 ETS : Etosuksimid
 AVP : Asam valproat
Efek samping OAE (obat anti epilespi) :
15

Dosis obat anti epilepsi

Obat Dosis
Anti Epilepsi: Dewasa: Anak:
Fenobarbital 1,5-3 mg/kg BB 1-5 mg/kg BB
Difenilhidantoin 4 mg/kg BB 4-8 mg/kg BB
Asam Valproat 4 mg/kg BB 10-70 mg/kg BB
Karbamazepin 1,5-8 mg/kg BB 15-25 mg/kg BB
Etosuksimid 1,5-8 mg/kg BB 10-70 mg/kg BB
16

Prinsip terapi pada epiliepsi :


 OAE mulai diberikan bila:
• Diagnosis epilepsi telah dipastikan (confirmed)
• Setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
• Pasien dan / atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping OAE yang akan timbul.
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan (tabel 1)
17

 Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping (kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif)
 Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu di tambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama di turunkan bertahap (tapering off), perlahan lahan

G. Prognosis
Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50% - 70% penderita epilepsi
serangan dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangakan sekitar 50 % pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat. Epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau
yang disertai kelainan neurologik atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.

H. Status Epileptikus
 Keadaan konvulsi umum yang berlangsung terus-menerus atau timbul secara berturut-
turut dengan interval yang sejenak saja.
 Dapat timbul karena berbagai sebab.
 Diagnosis  menyelidiki penyakit yang mendasari:
a. Penderita dapat dikenal sebagai penderita grand mal/epilepsi fokal. Ini
menunjukkan bahwa keadaannya memburuk dan menandakan progresifitas penyakit
yang mendasarinya. Pemakaian obat antikonvulsan harus diselidiki. Penggantian jenis
antikonvulsan / kombinasinya dapat menimbulkan efek ’withdrawal’ yang dapat
berupa status konvulsikus.
b. Jika penderita belum pernah mengalami konvulsi umum (bukan epileptikus),
maka kemungkinan trauma kapitis, diabetes, penggunaan insulin, dan obat-obatan
harus diselidiki.
 Perawatan:
a. Tindakan terapetik pada status epileptikus penderita non-epileptikus
Bila penderita status konvulsikus tersebut didapati tanda-tanda hipoksia dan asidosis,
pemberantasan konvulsi harus dilakukan dengan segera (tindakan nomer D/E).
Adapun tindakan yang harus dilakukan:
1) Lidah harus berada di antara lantai mulut dan ’guide airway’, sehingga lintasan
jalan pernafasan sudah terjamin.
18

2) Penderita posisi tengkurap dengan kepala lebih rendah daripada badan untuk
mencegah aspirasi
3) Tempat tidur harus didindingi kasur tipis agar penderita tidak melukai dirinya
karena konvulsi tonik klonik
4) Pemeriksaan elektrolit, BUN, calsium, magnesium, glukosa, dan pemerikasaan
darah rutin. Kemudian dengan terapi medisinal:

Tindakan Obat Dosis Cara


Dewasa Anak-anak
A. Glukosa 25-50 mg 1-2 mg/kg/BB i.v. cepat
Dextrose 50%
Thiamin 100 mg i.v. cepat
B. Phenobarbital 100-120 mg 5-10mg/kg/BB i.m.
C. Phenobarbital 30-60 mg 5-10mg/kg/BB i.m. setiap 15
menit
Jika dosis phenobarbital total sebesar 500 mg untuk orang dewasa dan 20
mg/kg/BB untuk anak sudah diberikan dan masih saja dalam status konvulsikus,
maka tindakan berikut harus dilakukan.
D. Diazepam 2,5-10 mg 5-10 mg i.v. lambat 2
menit
Jika konvulsi masih belum hilang dalam waktu 15 menit, maka tindakan E harus
dikerjakan
E. Chloral hydrat 20 cc 10 cc intrarektal
10%
Jika pemberian Chloral hydrat masih belum menolong, maka harus dilakukan:
F. Narkosis

b. Tindakan terapetik pada status konvulsikus penderita epileptik


Dapat disebabkan oleh penghentian obat antikonvulsan secara mendadak atau sudah
lama tidak minum obat. Pada umumnya, suntikan intravena 5 mg diazepam cukup untuk
menghentikan konvulsi umum. Bila belum  diberikan lagi suntikan intravena 5 mg
diazepam dan bila perlu diberi 30-60 mg phenobarbital (untuk orang dewasa) atau 5-10
mg/kg/BB mg phenobarbital (untuk anak-anak) setiap 15 menit sampai dosis maksimal
tercapai (untuk dewasa 500 mg dan untuk anak 20 mg/kg/BB). Jika konvulsi umum belum
hilang, maka tindakan E dan F tersebut di atas harus dilakukan.
19

III. TETANUS

A. Definisi
Tetanus adalah suatu keadaan intoksikasi susunan saraf pusat oleh endotoksin bakteri
Clostridium Tetani, dengan gejala karakteristik rigiditas otot yang berkembang progresif
disertai eksaserbasi paroksismal.

B. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif: Clostridium tetani. Bakteri ini berspora,
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Spora dalam keadaan anaerob membentuk eksotoksin Tetanolisin dan
Tetanospasmin. Tetanospasmin mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran
20

neurotransmitter Glisin dan GABA, sehingga pelepasan neurotransmitter inhibisi dihambat.


Sedangkan tetanolisin mempunyai sifat sitotoksik, dan dalam konsentrasi tinggi bersifat
kardiogenik.

C. Patofisiologi
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level
dari susunan saraf pusat dengan cara:
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
asetilkolin dari terminal nerve di otot
b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari reflex
sinaptik di spinal cord
c. Kejang pada tetanus mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari system saraf otonom dengan gejala
berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardi, aritmia jantung,
peninggian katekolamin dalam urine
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal menyebabkan meningkatnya
aktivitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena
itu otot masetter adalah otot yang paling sensitive terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli
terhadap aferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya
kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Ada 2 hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik melalui sumbu silindrik ke kornu anterior
susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorpsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.

Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mencapai CNS. Penjalaran terjadi di dalam axis silinder dari
sarung perineural. Toksin juga dapat menyebar melalui darah dan jaringan/system limfatik.

D. Gejala klinis
21

Masa inkubasi antara terjadinya luka sampai timbul gejala antara 5 – 8 hari, biasanya
tidak lebih dari 15 hari, dan periode onset adalah masa timbulnya gejala ( trismus ) sampai
terjadi spasme otot biasanya 2-3 hari.
Karakteristik dari tetanus:
 Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama dan menetap selama 5-7 hari
 Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
 Setelah 2 minggu kejang mulai hilang
 Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot
masetter
 Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opisottonus, nuchal rigidity)
 Risus sardonikus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik keluar dank e bawah, bibir tertekan kuat
 Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
ekstensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik
 Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi
urine, bahkan dapat terjadi fraktur columna vertebralis (pada anak)

E. Klasifikasi
1. Tetanus Lokal (localited tetanus)
Pada local tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis dan fixator). Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Local tetanus bisa menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Bisa juga local tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin.

2. Cephalic tetanus
22

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2
hari yang berasal dari otitis media kronik, luka pada daerah muka dan kepala, termasuk
adanya benda asing dalam rongga hidung.

3. Generalized tetanus
Bentuk ini paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal
beberapa tetanus local oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai yang disebabkan oleh kekakuan otot masetter bersamaan
dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
(kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan
bisa menimbulkan obstruksi saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi
urine, kompresi fraktur dan perdarahan di dalam otot. Kenaikan temperature biasanya hanya
sedikit, tetapi bisa juga mencapai 400C. Bila dijumpai hipertermi, tekanan darah tidak stabil
dan dijumpai takikardia penderita biasanya meninggal. Diagnose ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis.

4. Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pemotongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan
yang tidak steril, baik karena penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C. tetani
maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril merupakan factor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

5. Klasifikasi tetanus menurut gejala klinis :


 Tingkat Ringan ( I ) :
Trismus ringan dan sedang, kekakuan umum tidak disertai kejang, gangguan respirasi
dengan sedikit / tanpa gangguan menelan.
 Tingkat Sedang ( II ) :
Trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yang berlangsung
singkat, disertai disfagi ringan dan takipnoe lebih dari 30 – 35 kali / menit.
 Tingkat Berat ( III ) :
23

Trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang berlangsung
lama.Gangguan pernafasan dengan takipnoe lebih 40 kali / mnt, kadang apnoe, disfagia berat
dan takhikardi lebih 120 kali / mnt. Terdapat peningkatan aktifitas saraf otonom yang
moderat dan menetap.
 Tingkat Sangat Berat :
Gambaran tingkat III disertai gangguan otonom yang hebat, dijumpai hipertensi berat
dengan takhikardi atau hipertensi diastolic yang berat dan menetap ( D > 110 mm Hg) atau
hipotensi sistolik yang menetap ( S < 90 mm Hg ), dikenal dengan autonomic storm.

F. Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa:
1. Gjala klinik: kejang tetanik, trismus, disfagia, risus sardonicus
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka ada kalanya sudah dilupakan.
3. Kultur C. tetani (+)
4. Lab: SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinemia

G. Komplikasi
a. Kegagalan respirasi / hipoksia
Penderita tetanus sedang, mengalami hipoksia dan hipokapnia akibat kerusakan ventilasi-
perfusi paru, walaupun secara klinis dan radiologist normal. Sedang tetanus berat dengan
spasme otot yang berat dan lama yang tidak terkontrol dengan relaksan dan sedative dapat
mengarah ke henti jantung dan kematian atau kerusakan otak dengan akibat koma.
Komplikasi lain thd paru adalah atelektasi, bronkopneumoni, aspirasi pneumoni.
b. Kardiovaskuler dan otonom
Terutama dimediasi oleh system otonom. Pada hampir semua tetanus berat terjadi
peningkatan yang menetap dan berlangsung terus dari aktifitas simpatis dan parasimpatis.
Komplikasi otonom ditandai oleh episode sinus takhikardi dengan hipertensi berat yang
segera diikuti dengan bradikardi dan penurunan tekanan darah. Ketidakstabilan ini
merupakan awal dari henti jantung dan kematian. Sering juga ditemukan aritmia dan
gangguan hantar jantung.
c. Sepsis yangg berakhir dengan multi organ failure ( MOF )
d. Komplikasi ginjal: berupa kegagalan fungsi ginjal akibat sepsis dan kelainan pre renal
e. Komplikasi hematology: berhubungan dengan anemia karena infeksi .
24

f. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit karena hiperhidrasi, hipokalemi,


hiponatremi.
g. Komplikasi metabolic: asidosis respiratori dan alkalosis respiratorik.
h. Pada kulit: dekubitus dan thromboplebitis
i. Dapat terjadi: fraktur tulang vertebra torakal karena kejang
j. Komplikasi neurologist: berupa neuropati perifer, optalmoplegi serta gangguan memori
dan penurunan kesadaran.

H. Terapi
1. UMUM (5B, Breath, Blood, Brain, Bladder dan Bowel).
2. KHUSUS
Pasien tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus dengan peralatan intensif dan
memadai, dan bila perlu dilakukan trakheotomi. Stimulasi cahaya, taktil dan auditori sedapat
mungkin dikurangi.
 ATS 10.000 U im satu kali @ Tetagam 12 amp / hr ( 5 hr )  Deltoid ka& ki, Paha
ka & ki, Bokong ka & ki.
 Pen.Proc 2 jt U tiap 6 jam atau Tetrasiklin 2 gram / hari
 Metronidazol 3 X 5000 mg
 Sedativa : Diazepam 10 mg iv sesuai kebutuhan, sampai 500 mg / hari
 ICU atas indikasi
 Trakheotomi ; mutlak pd tetanus tingkat III dan IV.
I. Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian:
 Masa inkubasi dan waktu onset, semakin pendek prognosa makin buruk
 Beratnya gejala klinik, ( spasme dan dis otonomi ) makin berat makin buruk
 Usia, neonatus dan usia tua prognosa makin buruk
 Gizi buruk, prognosa buruk
 Penanganan komplikasi, bila ditangani secara optimal maka prognosa baik.
25

IV. PARKINSON

A. Definisi
Penyakit Parkinson (Parkinson desease) adalah bagian dari Parkinsonism, yang secara
patologis ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta
(SNC) yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy Bodies).
Parkinsonis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, rigiditasi,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural, akibat penurunan kadar dopamin dengan
berbagai macam sebab.

B. Etiologi
 Idiopatik
26

 Usia lanjut
 Genetik
Faktor limgkungan
 Faktor resiko:
- Usia, meningkat pada usia lanjut, jarang pada usia diatas 30 tahun
- Rasial, kulit putih lebih sering dari pada orang Asia dan Afrika
- Genetik
- Toksin
- Penggunaan herbisida dan pestisida
- Infeksi
- Cedera Cranio – Serebral
- Stress Emosional

C. Patofisiologi
Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron
di pars kompakta substansia nigra sebesar 40 – 50 % yang disertai adanya inklusi sitoplasmik
eosinofilik (Lewy bodies) akibat multifaktorial.

D. Klasifikasi
1. Idiopatik (Primer)
 Penyakit parkinson
 Juvenile Parkinsonism
2. Simptomatik (Sekunder)
 Infeksi dan pasca infeksi
 Pasca Encefalitis (Ensefalitis letargika), slow virus
 Toksin:
- 1-Methyl-4Phennnyl-1,2,3,6-Trihydroxypyridine (MPTP) ; Co ; Mn ; Mg ;
CS2 ; Metanol, Etanol; Sianid
 Obat:
- Neuroleptik (antipsikotik); anti emetik; reserfin; tetrabenazine; Alfa-Metil-
Dopa; Lithium; Flunarisin; sinarisin
 Vaskuler: multi infark serebral
27

 Trauma kranio serebral (Pugilistic Encephalopathy)


 Lain-lain:
- Hipoparatiroidia
- Degenerasi Hepato Serebral
- Tumor Otak

3. Parkinsonism Plus (Multiple system degeneration)


 Progresif Supranuclear Palsi
 Atrofi Multisystem:
Degenerasi striatogrial; syndroma shy-drager; degenerasi olivo pontosereberel;
sindroma parkinsonism-amiotrofi
 Degenerasi ganglionik kortikobasal
 Sindroma Demensia:
Kompleks parkinsonism-demensials (GUAM; penyakit lewy bodies difus; penyakit
Jacob creut zfeldt; penyakit alzheimer
 Hidrosefalus tekanan normal
 Kelainan Herediter
Penyakit Wilson; penyakit Hallervorden-Spatz; penyakit hutington; neuro
akantositosis; kalsifikasi ganglia basal familial; parkinsonism familial; parkinsonism familia
dengan neuropati perifer

4. Penyakit Heredodegeneratif
 Seroid – Lipofusinosis
 Penyakit Gerstmann-strausler-scheinker
 Kelainan Herediter
 penyakit Hallervorden-Spatz
 Penyakit hatingtong
 Lubag (Filipo X linked dystonia-parkinson)
 Penyakit Machado – joseph
 Nekrosis striatal dan sitopati mitokhondria
28

 Neuroakantosis
 Atrofi famialial olivopontoserebeler
 Syndrom Talamik demensia
 Penyakit Wilson

E. Gejala

F. Diagnosis
1. Kriteria Diagnostik (Kriteria Hughes)
 Possible : terdapat salah satu dari gejala utama
- Tremor istirahat
- Rigiditas
- Bradikinesia
- Kegagalan refleks postural
 Probable
29

Terdapat kombinasi dua gejala utama atau satu gejala dari tiga gejala pertama yang
tidak simetris
 Definite
Terdapat tiga kombinasi dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain
yang tidak simetris. Bila semua tanda-tanda tidak jelas periksa ulang beberapa bulan
kemudian.

2. Tanda Khusus:
Meyerson Sign = tidak dapat mencegah kedip mata bila daerah glabela diketuk
berulang-ulang 2X/detik.

3. Pemeriksaan Penunjang
 Neuroimaging
 CT- Scan
 MRI
 PET
 Laboratorium (penyakit parkinson sekunder)
 Patologi Anatomi
 Pemeriksaan kadar Cu (Wilsonis Disease) prion (Bovine spongiform encephalopathy)

G. Penatalaksanaan
1. Umum (Suportive)
 Pendidikan (education)
 Penunjang (support)
- Penilaian kebutuhan emosional
- Rekreasi dan kegiatan kelompok
- Konsultasi profesional
- Konseling hukum
- Konseling pekerjaan
 Latihan fisik
 Nutrisi

2. Medikamentosa
30

a. Antagonis NMDA Amantadin 100 n 200 mg per hari


b. Anti kholinergik
 Benztropin mesylate 1 n 8 mg perhari
 Biperiden 3 – 6 mg perhari
 Chorphenoksamine 150-400 mg perhari
 Cycrimine 5 – 20 mg per hari
 Orphenadrine 150 – 400 mg perhari
 Procyclidine 7.5 – 30 mg perhari
 Trihexyphenidyl 3 – 15 mg perhari
 Ethoproprazine 30 – 60 mg perhari
c. Dopaminergik
 carbidopa + levodopa 10/100 mg, 25/100 mg, 25/250 mg perhari
 Benserazide + levodopa 50/100 mg perhari
d. Dopamin agonis
 Bromocriptine mesylate 5 – 40 mg perhari
 Pergolide mesylate 0.75 – 5 mg perhari
 Cabergoline 0.5 – 5 mg perhari
 Pramipexole 1.5 – 4.5 mg perhari
 Ropinirole 0.75 – 2.4 mg perhari
 Apomorphine 10 – 80 mg perhari
e. COMT (Catechal-O-Methyl Transferase) inhibitors
 Entacapone 200 mg perhari bersamaan dengan setiap dosis levodopa, maksimal 1600
mg entacapone perhari
 Tolcapone 300 – 600 mg perhari

f. MAO-B (Mono Amine Oxidase ñ B) inhibitor


Selegiline 10 mg perhari (pagi dan siang) ] 5 mg bid perhari
g. Antioksidan
 Asam askorbat (vit.C) 500-1000 mg perhari
 Betacaroten (pro vit. A) 4000 IU perhari
h. Betablocker : Propanolol 10 – 30 mg perhari
31

3. Pembedahan
a. Talamotomi ventrolateral : bila tremor menonjol
b. Palidotomi : bila akinesia dan tremor
c. Transplantasi substansia nigra
d. Stimulasi otak dalam

4. Rehabilitasi Medik
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan
menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah-masalah sebagai
berikut
a. Abnormalitas gerakan
b. Kecenderungan postur tubuh yang salah
c. Gejala otonom
d. Gangguan perawatan diri (activity of daily living-ADL)
e. Perubahan psikologik

H. Komplikasi
 Hipokinesia
- Atrofi / kelemahan otot skunder, Kontraktur sendi
- Deformitas: kifosis; skoliosis
- Osteoporosis
 Gangguan fungsi luhur
- Afasia
- Agnosia
- Apraksia
 Gangguan postural
- Perubahan kardio-pulmonal
- Ulkus dekubitus
- Jatuh
 Gangguan Metal
- Ganggua pola tidur
- Emosional
- Gangguan seksual
32

- Depresi
- Bradifrenia
- Psikosis
- Demensia
 Gangguan Vegetatif
- Hipotensi postural
- Inkontinensia urine
- Gangguan keringat

V. BELL’S PALSY

A. Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer yang mendadak timbul pada
orang sehat tanpa sebab yang jelas.

B. Etiologi
33

1. Masih belum pasti.


2. Beberapa pendapat antara lain :
- Faktor herediter
- Infeksi virus
- Alergi
- Autoimun
- Vaskuler
- Hawa dingin, keradangan
- Penyakit sistemik

C. Perjalanan N.VII
Inti motorik nervus VII di pons  mengitari inti nervus VI  keluar di bagian lateral pons
 diantara nervus VII dan VII keluar nervus intermedius  nervus VII, VII dan intermedius
masuk ke meatus akustikus internus  nervus VII dan intermedius berjalan bersama masuk
ke kanalis fasialis  masuk ke dalam os mastoid  foramen stilomastoid  otot wajah

D. Gejala klinis
 Biasanya akut; hampir selalu unilateral, sering diketahui setelah bangun tidur.
 Kelumpuhan semua otot mimik.
 Waktu diam :
- kerutan dahi hilang
- alis lebih rendah
- celahmata lebihbh besar
- lipatan nasolabial hilang
- bentuk lubang hidung tidak simetris

 Waktu gerak :
- Tidak dapat mengangkat alis
- tidak dapat mengerutkan dahi
- tidak dapat menutup mata
- tidak dapat meringis
- tidak dapat menggembungkan pipi
34

- tidak dapat bersiul


- tidak dapat menegangkan otot platisma
- bila mencucu terjadi deviasi ke arah yang sehat
Perbedaan paralisis nervus VII tipe sentral dan tipe perifer :
 Tipe sentral : kontralateral, bagian bawah wajah saja yang lumpuh (dibawah mata 
dan alis tidak lumpuh karena bagian atas mendapat inervasi hemisfer.
 Tipe perifer : ipsilateral, semua bagian wajah lumouh mulai dari dahi sampai mulut.

E. Diagnosis
 Anamnesis
 Pemeriksaan klinis
- Test Lakrimasi
- Fungsi sensorik (test rasa pada lidah)
- Test refleks stapedius
- Pemeriksaan fungsi motorik

F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
 Kortikosteroid dalam 4 hari  prednison 0,1 -0,5 mg/kgBB (karena masih mungkin
terjadi proses ke arah paralisis total dan menghilangkan rasa nyeri).
2. Pembedahan (dekompresi)
 Letak foramen stylomastoideus
 Indikasi :
- Bila nyeri hebat di belakang telinga yang homolateral sejak saat onset
- Tidak sembuh fungsional dalam 2 bulan
- Kesembuhan tidak sempurna
- Serangan berulang
 Semakin dini dilakukan, tindakan pembedahan ini memberikan hasil yang optimal
(akhir minggu ke-3)
4. Fisioterapi dini
 Masase otot wajah
 Diatermia
35

 Fonodisasi

G. Komplikasi
1. Fenomena air mata buaya ; waktu makan keluar air mata. (akibat regenerasi serabut saraf
otonom yang salah arah)
2. Kontraktur otot wajah
3. Sinkinesis ; gerakan sadar menutup mata, terjadi pengangkatan sudut mulut, kontraksi otot
platisma, atau pengerutan dahi ( regenerasi serabut saraf mencapai otot yang salah)
4. Spasme otot wajah
5. Ptosis alis
6. Bell’s palsy rekuren

F. Prognosis
 80 – 90 % MENGALAMI PERBAIKAN PADA OTOT-OTOT EKSPRESI MUKA.
BILA TERDAPAT TANDA KESEMBUHAN OTOT WAJAH SEBELUM HARI
KE 18; MK KESEMBUHAN SEMPURNA ATAU HAMPIR SEMPURNA DAPAT
TERJADI.
 PERBAIKAN KOMPLIT DIMULAI SETELAH 8 MINGGU DAN MAKSIMAL 9
BULAN – 1 TAHUN.
 FAKTOR-FAKTOR PROGNOSIS YANG BAIK :
- KELAINAN INKOMPLIT,
- UMUR MUDA (< 60 TAHUN),
- INTERVAL YANG PENDEK ANTARA ONSET DAN PERBAIKAN
PERTAMA (2 MINGGU)

VI. MYASTENIA GRAVIS

A. Definisi
Suatu penyakit autoimun yang menyerang reseptor asetilkolin pada motor neuron
junction otot skeletal oleh suatu antibodi.
36

B. Klasifikasi
1. Myastenia gravis dewasa
2. Myastenia gravis anak :
 Myastenia gravis neonatal sementara
 Myastenia gravis kongenital
 Myastenia gravis juvenil
 Myastenia gravis familial

C. Etiologi
Tidak diketahui, namun dipercaya berkaitan degan timoma.

D. Patofisologi
Kegagalan transmisi impuls saraf pada hubungan neuromuskuler dimana asteilkolin
tidak sampai pada membran post sinaptik dalam jumlah yang cukup. Gangguan ini timbul
karena adanya reaksi autoimunologik pada tempat tersebut.

E. Gejala klinis
Gejala klinis muncuk terutama pada saat aktivitas dimana akan timbul kelainan mata
seakan-akan mata akan menutup, gangguan menelan dan gangguan berbicara.
 Fase 1 terutama mengganggu mata seperti ptosis, otot penggerak bola mata cepat
lelah dan terjadi diplopia.
 Kelainan bulbar dapat dilihat dari pasien sulit untuk menelan dan mudah lelah jika
berbicara lama.
 Gangguan pada otot-otot lengan proksimal yaitu pasien tidak mampu mengangkat
kedua lengan lebih dari 3 menit.
 Gangguan pada otot-otot tungkai proksimal yaitu pasien tidak dapat berdiri-jongkok
lebih dari 10 kali.

F. Diagnosis
 Anamnesa
 Pemeriksaan
37

- Test westernberg, yaitu pasien menatap tanpa kedip pada benda yang terletak
diatas bidang ke dua mata beberapa waktu lamanya  pada myastenia gravis mata
akan ptosis.
- Tensilon test, yaitu tensilon 2 mg IV  tidak ada efek samping  tensilon 5-8 mg
IV  terdapat perbaikan dari kelemahan otot (myastenia positif)
- Prostigmin test, yaitu neostigmin dengan pemberian 1,25 mg neostigmin secara
IM, dapat dikombinasi dengan atropin 0,6 mg untuk mencegah efek samping.
Gejalanya akan membaik dalam waktu 30 detik dan akan berakhir dalam 2 atau 3
jam.
- Test Quinine & Curare, memperberat myastenia gravis.

G. Penatalaksanaan
 Antikholin esterase
Obat-obat ini menghambat kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin
- Piridostigmin bromide (Mestinon ,60 mg ) 30 – 120 mg / 3 jam.
- Neostigmin bromide (Prostigmin ,15 mg) 15 – 45 mg.
- Bila diperlukan dapat diberi subkutan atau i.m, didahului dengan pemberian
atropin 0,5 – 1 mg.
 Kortikosteroid
Prednisolon paling sesuai untuk MG, diberikan secara selang-seling untuk
menghindari efek samping. Dosis awal harus kecil ( 10 mg ) dan dinaikkan secara bertahap 5
– 15 mg / mgg.Indikasi :
- setelah timektomi dari timoma invasif
- penderita yang tidak dapat dikontrol secara memuaskan
- kelompok usia lanjut > 50 th
- tipe okular murni

 Azatrioprin
- Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg / kg BB selama 8 mgg
- Dianjurkan pemberian bersama-sama dengan prednisolon
 Timektomi
Indikasi :
38

- timoma yang ganas


- MG (generalized ) yang tak dapat dikontrol dg antikolinesterase
- penderita < 50 th
- 6 – 12 bl setelah MG tidak ada remisi spontan

H. Krisis myastenia
Keadaan penderita yang cepat memburuk, terjadi karena ;
 pekerjaan fisik berlebihan
 emosional
 infeksi
 melahirkan
 obat-obat yang menyebabkan neuromuscular blok (Strepto, Neomicyn, curare,
quinine)
Tindakan terhadap kasus ini adalah sebagai berikut :
 bebaskan jalan nafas
 pemberian antikholin esterase
 obat imunosupresan dan plasmaferesis.

G. Kholinergik krisis
 Karena overdosis / mendekati dosis bahaya dari obat antikholin esterase.
 Gejala-gejala : muntah-muntah, berkeringat, hipersalivasi, lakrimasi, miosis, pucat,
hipotensi
 Tindakan :
- Penghentian antikholin esterase sementara, kemudian diberi lagi dengan
dosis yang lebih rendah.
- Atropin sulfat ( 0,3 –0,6 mg i.v )

VII. CEPHALGIA

A. Definisi
Nyeri kepala adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri di belakang mata
serta perbatasan antara leher dan kepala bagian belakang. Nyeri kepala adalah semua
perasaan tidak menyenangkan di daerah kepala.
39

B. Etiologi
ICH,
Circulation
SAH
Encephalomeningi
tis
Migraine
glaukoma, radang,
keratitis, anomali
Eye
refraksi
komusio, kontusio,
tumor
Neoplasma
otak
perdarahan
ETIOLO Trauma capitis ekstradural,
GI
Ear & nose
perdarahan
mastoiditis, OM, sinusitis,
rhinitis
subdural.
gigi,
Dental
gusi
Cluster headache
headache
tension
Otot
headache
Arteritis temporalis
Trigeminal
neuralgia

C. Patofisiologi
Peradangan, 40
traksi,
kontraksi
Perangsanga
otot, dan
n
dilatasi
Bangunan-bangunan
pembuluh di
daerah kepala
darahdan leher
yang peka terhadap
nyeri
Nyeri
kepala
Struktur peka nyeri

Meningen, terutama dura basalis dan


meninges yang mendindingi sinus
venosus serta arteri-arteri besar pada
otak

D. Diagnosa
1. Anamnesa lama nyeri, frekuensi, lama serangan, lokasi, pemicu, sifat, gejala yang
menyertai, pengobatan, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga.
2. Pemeriksaan GCS, nervus cranialis, palpasi tengkorak dan otot, nyeri tekan tengkuk,
perabaan arteri temporalis, EEG dan Ct scan.

Nyeri Kepala Tegang Otot (Tension Headache)

Definisi
Nyeri kepala tipe tegang adalah suatu keadaan yang melibatkan sensasi nyeri atau rasa
tidak nyaman di daerah kepala, kulit kepala, atau leher yang biasanya berhubungan dengan
ketegangan otot di daerah ini.
41

Patofisiologi
NKTO dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme.

Sebagian besar otot tengkuk berpaut pada periosteum bagian oksiput kepala  Pautan
ini tidak melalui tendon, tapi melalui jaringan miofasial yang melekat langsung pada
periosteum  Periosteum merupakan bangunan peka nyeri sehingga tarikan oleh otot yang
berkontraksi terus menerus menyebabkan rasa nyeri.

Gejala klinis
 Tidak ada gejala prodormal atau aura
 Nyeri kepala dirasakan bilateral di atas kepala seperti ada beban berat, rasa diikat atau
kencang
 Leher terasa kaku
 Intensitas nyeri sedang sampai berat, tetapi tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari
 Nyeri kepala dapat berlangsung episodik (< 15 hari / bulan, nyeri hilang dalam 30
menit - 7 hari) atau secara kronik ( >15 hari / bulan, selama 6 bulan)
 Memburuk atau dicetuskan oleh stress

Klasifikasi
- NKTO Episodik :
- Serangan nyeri kepala yang terjadi < 15 x/ bulan
42

- Setidak-tidaknya 2 dari kriteria berikut


- Terasa seperti ditekan atau diikat namun tidak berdenyut
- Tidak ada gejala prodormal atau aura
- Intensitasnya ringan sampai sedang
- Lokasi bilateral
- Fotofobia dan fonofobia tidak ada atau hanya salah satu
- Tidak ada nyeri kepala akibat sebab lain
- NKTO kronik
Serangan nyeri kepala yang timbul lebih dari 15 x/ bulan dan berlangsung lebih dari 6
bulan, sesuai tipe serangan diatas
- NKTO tak terklasifikasi
Semua bentuk nyeri kepala yang mirip dengan gejala diatas, tetapi tidak memenuhi
syarat untuk diagnosis salah satu NKTO dan juga tidak memenuhi kriteria untuk nyeri kepala
migren tanpa aura

Penatalaksanaan
- Pencegahan
- Hindari faktor pencetus (stress, kelelahan, kecemasan, rasa lapar, rasa marah,dan
posisi tubuh yang tidak sehat)
- Pola hidup sehat
 Istirahat yang cukup
 Olahraga teratur
 Berekreasi
- Non-Farmakologi Kompres hangat atau dingin pada dahi, Mandi air panas, Tidur dan
istirahat
- Farmakologi
 Terapi abortif
 Analgesik Asetaminofen 1000-1500 mg/hari
 NSAID Asam mefenamat 1000-1500 mg/hari, Naproxen sodium 275-
550 mg/hari atau Kombinasinya
 Terapi preventif Amitriptilin 10-50 mg sebelum tidur, Nortriptilin 10-75 mg
sebelum tidur, Doxepin 10-75 mg sebelum tidur
Migrain
43

Definisi
Nyeri kepala berulang dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam
 Nyeri biasanya sesisi (unilateral)
 Sifatnya berdenyut
 Intensitas nyerinya sedang sampai berat
 Nyeri diperhebat dengan aktivitas
 Disertai mual dan/ atau muntah
 Fonofobia dan fotofobia

Faktor pemicu
 Faktor psikologis (79,7%) Stress, depresi
 Faktor hormonal (65,1%) Menstruasi, Hamil, menopause
 Faktor lingkungan (53,2%) Perubahan cuaca, musim
 Rangsangan sensorik, Bau menyegat (43,7%), Sinar yang terang (38,1%)
 Alkohol (37,8%)
 Rokok(35,7%)
 Faktor makanan (26,9%)

Patofisiologi
Sebelum ‘Decade of the Brain’migren adalah suatu prnyakit vaskular yang dipicu
oleh proses-proses yang menyebabkan vasokonstriksi diikuti vasodilatasi, peradangan dan
nyeri kepala.
Saat ini, perubahan beurokimiawi (dopamin dan serotonin)  hilang pengendalian
neuron sentral à aktivasi sistem trigeminovaskular à pembebasan neuropeptida à peradangan
steril di sekitar pemb.darah
Nyeri saat serangan  disfungsi SSP  hilangnya pengendalian neural sentral 
keseimbangan pembuluh darah kranial terganggu dan melebar  plasma keluar à ruang
perivaskular  aktivasi sistem trigeminovaskular untuk neuropeptida  respon peradangan
di sekitar pembuluh darah.

Klasifikasi
44

Klasifikasi migrain menurut ICD-10


 G43 Migraine : Use additional external cause code (Chapter XX), if desired, to
identify drug, if drug-induced.
 Excludes: headache NOS ( R51 )
 G43.0 Migraine without aura [common migraine]
 G43.1 Migraine with aura [classical migraine]
 G43.2 Status migrainosus
 G43.3 Complicated migraine
 G43.8 Other migraine Ophthalmoplegic migraine dan Retinal migraine
 G43.9 Migraine, unspecified

Gejala klinis

Empat fase penting migrain :


 Prodromal : suatu rangkaian peringatan sebelum terjadi serangan, meliputi perubahan
mood, perubahan perasaan/sensasi (bau atau rasa),lelah atau ketegangan otot
 Aura : berlangsung 5-20 menit, biasanya berakhir kurang dari 1 jam
- tanpa aura à klasik migraine
- dengan aura à common migraine
 Sakit kepala : umumnya satu sisi, berdenyut-denyut, disertai mual dan muntah,
sensitif terhadap cahaya dan suara. Terjadi antara 4 -72 jam
45

 Postdromal : tanda-tanda lain migrain seperti tidak bisa makan, tidak konsentrasi,


kelelahan.

Diagnosa
Kriteria diagnosa berdasarkan IHS :
1. Serangan nyeri kepala > 5x, dengan gambaran klinis yang sama selama 4-72 jam
2. Terdapat 2 atau lebih kriteria gambaran nyeri kepala
a. Nyeri unilateral
b. Nyeri sedang-berat
c. Nyeri berdenyut
d. Nyeri yang diperberat oleh aktivitas sehari-hari
3. Terdapat 1 atau lebih dari kriteria berikut
a. Gejala aura
b. Mual selama nyeri kepala
c. Fotofobia atau fonofobia selam nyeri kepala
4. Menyingkirkan nyeri kepala sekunder dari anamnesa dan pemeriksaan fisik

Penatalaksanaan
Akut
 Analgetika (parasetamol, asam mefenamat, aspirin) yang diberikan bersama dengan
obat yang dapat mengurangi stasis lambung seperti metoklorpramid.
 Bila belum menolong, maka diberikan ergotamin atau dehidroergotamin. Efek
samping obat ini adalah obat tersebut juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah koroner dan pembuluh darah perifer lain. Dosis 1 mg (2-3 tab), jika tidak
membaik 1 tab (400 tiap setengah jam, maksimal 6 tab/ hari atau 10 tab/ minggu).
 Sebaiknya diberi sumatripan secara suntikan maupun per oral. Sumatripan hanya
bekerja pada reseptor serotonin 1 D secara spesifik, oleh karena itu efek sampingnya
sangat minimal. Dosis 1 tab = 100 mg, jika gejala masih muncul dosis diulang tiap
maksimal 3 tab/ 24 jam dengan interval 2 jam.
Profilaksis
 Propanolol (beta bloker), dosis : 40-120 mg/ hari
Kontraindikasi : penderita asma, penderita yang sering melakukan kegiatan olahraga.
46

 Pizotifen (antihistamin)
Efek samping : nafsu makan meningkat
 Methysergide (antagonis serotonin, dosis : 8-16 mg tab/ hari
Efek samping : fibrosis retroperitoneal
 Flunarizin (calcium blocker), dosis 5-10 mg tab/hari
Efek samping : mengantuk,parkinson.

Trigeminal Neuralgia

Definisi
Nyeri paroksismal pada daerah distribusi nervus trigeminal yang melibatkan satu atau
lebih cabang nervus trigeminus.
Nyeri saraf trigeminal yang ditandai oleh serangan nyeri mendadak, paroksismal,
tajam, dan hebat seperti tikaman pada daerah percabngan nervus trigeminal disertai gangguan
vasomotor, sekretorik, berlangsung beberapa detik sampai menit dipicu oleh sikat gigi,
mengunyah, mencuci muka, mencukur, terkena air dingin atau menelan.

Klasifikasi
 Idiopatik trigeminal neuralgia (Tic Douloureux)  tidak diketahui penyebabnya.
 Simptomatik trigeminal neuralgia  penyebabnya diketahui misalnya oleh multiple
sklerosis, tumor sekitar ganglion trigeminal atau karena herpes zooster.

Patofisiologi
 Degenerasi ganglia trigeminal Gaserri (sering pada usia > 70 tahun)
 Penekanan akar saraf trigeminus oleh karena aterosklerosis arteri carotis interna,
aneurisma carotis, penekanan oleh karena tumor dan pergeseran batang otak
 Angulasi berlebihan pada akar saraf trigeminus akibat demineralisasi os petrossum
atau karena adanya iritasi ganglia Gasseri oleh os petrosum (sering pada wanita
menepouse)
 Demielinisasi bagian proksimal akar saraf trigeminus
 Cetusan paroksismal neuron nukleus trigeminus di batang otak
47

Gejala klinis
 Usia > 10 tahun
 Intensitas nyeri tinggi terutama di daerah Trigger Point yaitu di cuping hidung dan
mulut
 Nyeri berlangsung antara 20-30 detik, hilang beberapa menit kemudian muncul lagi
 Nyeri dapat berminggu-minggu atau berbulan-bula, mereda kemudian timbul lagi
 Cabang nervus trigeminus ke-2 dan ke-3 lebih sering terkena dan unilateral
 Pemeriksaan neurologis hampir selalu normal
 Bilateral apabila oleh karena multiple sklerosis
 Dapat disertai spasme wajah sesisi

Penatalaksanaan
 Medikamentosa : Carbamazepin (400-1200 mg/hari), difenilhindatoin (200-400
mg/hari) dan Baclofen (60-80 mg/hari).
 Pembedahan : Rhizotomy dan decompresi craniovascular
 TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
48

Cluster Headache

Definisi
Nyeri yang sangat berat yang mengenai separuh dari kepala, daerah sekitar mata
kemudian meluas ke rahang dan pelipis.

Patofisiologi

Simpatik sekresi keringat di dahi


Parasimpatiklaksrimasi dan rinorhea

Gejala klinis
 Nyeri unilateral orbital dan dapat menyebar ke sekitar temporal, rahang, hidung, dagu
dan gigi
 Berlangsung 15-180 menit
 Sering disertai dengan lakrimasi pada sisi yang sama dengan nyeri kepala, konjuntival
injection, nasal kongesti, ptosis, perubahan pupil, berkeringat yang unilateral atau
bilateral dan fasial flushing
 Tidak adanya aura
 Periode serangan bisa berlangsung beberapa kali perhari 1 – 3 serangan perhari,
sering berakhir antara 3 – 16 minggu. Dengan interval antara 6 bulan dan 5 tahun
49

Penatalaksanaan
Sumatriptan, untuk mencegah vasodilatasi, injeksi SC 6 mg dapat diulang setelah 24 jam.

Arteritis Temporalis
Definisi
Nyeri temporal yang hebat di pelipis, kemudian nyeri ini menjadi hebat dan seluruh
kepala terasa nyeri

Patofisiologi

Vasculitis pada arteri temporalis

Inflamasi pada daerah sekitar temporal

Penglihatan kabur
Nyeri kepala
Nyeri rahang
Gejala klinis
 Terutama pada penderita diatas 50 tahun
 Gejala : nyeri kepala unilateral, nyeri tekan, bengkak, pulsasi seakan-akan tidak ada,
didaerah arteria temporalis
 Terdapat pula kelainan polimialgia reumatika
 Laboratorium didapatkan : LED meningkat, anemia, dan gejala lain seperti pada
rheuma

Penatalaksanaan
 Cortison acetat 2x 100 mg (im) /hari à dapat memberikan perbaikan yang jelas dan
menghindarkan gejala sisa, Dilakukan tappering off, untuk penghentian cortison
50

 LED > 45 mm/jam pertama à memastikan diagnosa


VIII. GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

A. Definisi
 GBS adalah penyakit akut/subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan
etiologi yang belum jelas namun cenderung ke arah proses immunologik
 Ciri-ciri patologik yang khas adalah infiltrasi limfosit dan infiltrasi sel makrofag dari
serat saraf perifer dengan destruksi mielin
 Terdapat 3 tipe GBS :
- Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP)
- Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
- Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

B. Patofisiologi
 Adanya kesamaan molekuler antara epitop mielin dan glikolipid pada
Camphylobacter, Mycoplasma yang mendahului serangan GBS
 Antibodi terhadap antigen infeksi mengadakan reaksi silang dengan antigen spesifik
sel Schwan saraf perifer, sehigga terjadi blok konduksi.
 Pada AIDP terjadi demielinisasi, pada AMAN dan AMSAN terjadi degenerasi
aksonal.

C. Gejala klinik
 Permulaan sub akut sering mulai 1 – 3 mgg setelah infeksi saluran nafas bagian atas
 Keluhan utama adalah kelemahan , mulai dari ataksia ringan sampai paralisis total
 Kelumpuhan biasanya mulai dari ekstremitas bagian bawah dan menjalar ke atas
(ascending)
 Otot-otot leher, tubuh dan interkostal terkena lebih lambat
 Pola kelumpuhan simetris
 Refleks fisiologis menghilang
 Gangguan rasa raba, berupa “gloves-stocking” hipestesi
 Paralisis N VII, IX,X
 Gangguan rasa raba, berupa “glove-stocking” hipestesi
51

 Gangguan rasa posisi dan getar terutama terganggu


 Inkontinensi / retensio urin
 Hipotensi ortostatik
 Sinus takhikardi
 Nyeri otot yang terkena

D. Periode perjalanan penyakit


Dibagi dalam 3 periode :
• Periode Progresif, pada periode ini terdapat progresivitas dari gejala-
gejalanya.,lamanya rata-rata 9 hari atau bervariasi antara 2 – 21 hari.
• Periode Stabil, lamanya kira-kira 6 hari
• Periode Penyembuhan, lamanya 3-4 miggu dan kadang-kadang berbualn-bulan atau
tahun

E. Gambaran khas
Disosiasi sito albumin : jumlah protein meningkat (> 0, 55 gr/L) tanpa diikuti peningkatan
limfosit.

F. Penatalaksanaan
 Plasmaferesis : banyak penyelidikan mengatakan berguna untuk GBS yang baru dan
yang diberikan dalam 7 hari setelah permulaan penyakit. Seperti diketahui
Plasmaferesis hanya mengeluarkan antibodi yang beredar, kompleks imun dan
limfokin.
Plasmaferesis / Plasma Exchange
Darah dikeluarkan dari tubuh  sel darah dipisahkan dari plasma  sel darah di
“resuspended” dalam larutan koloid dimasukkan ke dalam tubuh
 Intravenous Immunoglobulin (IVIg)
Mekanisme kerja: penekanan produksi otoantibodi yang bersifat patogen
Immunoglobulin IV: 0,4 gr/kgBB/hari selama 5 hari Diberikan secepatnya → 7 hari
pertama

G. Prognosis
 85% pasien sembuh sempurna
52

 6-8% pasien mengalami kematian

IX. HERNIA NUKLEUS PULPOSUS (HNP)

A. Definisi
Yaitu keadaan patologis yang disebabkan oleh herniasi diskus intervertebralis di
daerah lumbosakral.

B. Patofisiologi
 Herniasi diskus lumbal dapat disebabkan oleh trauma atau perubahan degeneratif pada
diskus.
 Sebagai akibat peregangan pada ligamentum longitudinalis posterior, timbul rasa
nyeri pinggang bawah.
 Sedangkan penekanannya pada akar saraf menimbulkan rasa nyeri radikuler,
gangguan sensorik atau motorik, yang sesuai dengan distribusi segmen saraf yang
terkena.
53
54

C. Gejala klinis
 Nyeri pinggang bawah, dapat timbul mendadak dan hebat, didahului atau tanpa
trauma sebelumnya.
 Nyeri dapat semakin bertambah pada saat melakukan gerakan seperti membungkuk,
batuk atau bersin. Dan biasanya nyeri tersebut berkurang dengan berbaring pada sisi
yang sehat serta posisi fleksi pada tungkai yang sakit.
 Nyeri radikuler, gangguan motorik atau sensorik, yang sesuai dengan distribusi
segmen saraf yang terkena.
 Paraparese dan gangguan miksi/defekasi sebagai akibat kompresi kauda ekuina
dapat dijumpai, seperti pada “midline disc protrusion”.

D. Cara pemeriksaan
 Anamnesa
 Pemeriksaan neurologis
55

- Test Lasegue, pemeriksaan sensorik, motorik, refleks


 Pemeriksaan tambahan
- darah lengkap (terutama LED, Ca, P, Fosfatase alkali/asam, BSN)
- X-foto lumbo-sakral AP / LAT
- EMG
- LP, myelografi / kaudografi
- CT scan

E. Penatalaksanaan
Konervatif
 Penderita dengan gejala klinis ringan :
- Mencegah gerakan-gerakan yang menimbulkan keluhan dan tirah-baring pada saat
timbul keluhan
- Analgesik, bila perlu
- Fisioterapi, seperti terapi panas, latihan, korset lumbal.
 Penderita dengan gejala nyeri pinggang hebat :
- Tirah-baring (alas keras, pada posisi yang dirasakan enak)
- Analgesik, antispasmodik (diasepam), anti-inflamasi (aspirin, NSAID)
- Fisioterapi, seperti traksi pinggul
Pembedahan
 Pembedahan dilakukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
- Dengan cara-cara konservatif ( 3-4 mgg) tidak berhasil
- “Midline disk protrusion” yang menimbulkan gejala kompresi cauda equina
- Kompresi akar saraf yang menimbulkan kelumpuhan otot, seperti foot drop.
56

X. MIOPATI

A. Definisi
Kelainan yang ditandai dengan adanya fungsi abnormal otot (serabut otot/jaringan
intertistiel) tanpa adanya bukti denervasi.

B. Klasifikasi
Herditer : ditrofi muskuler, miotonia dan distrofik miotonika
Acquired : polimiositis dan paralisis periodik

C. Tanda dan gejala


Lemah, lelah, kecil dan lembeknya otot, kram otot, nyeri dan pegal otot, lumpuh,
flaksid, atrofi, proksimal lebih sering daripada distal, refleks fisiologis menurun, reflek
patologis tidak ada.
Penyakit otot Neurogen
Otot yang terganggu Otot proksimal Otot distal, kecuali genu
Gangguan sensibilitas (-) (+) kecuali kelainan kornu
anterior
Fasiculasi (-) (+) kecuali kelainan kornu
anterior
Perjalanan penyakit Kronik, kecuali polimiosistis Akut/sub akut kecuali ALS
EMG Fasuculasi dan fibrilasi (-) Fasiculasi dan fibrilasi (+)

Herediter Acquired
Umur < 30 tahun >30 tahun
Perjalanan penyakit Pelan (tahunan) Minggu-bulan
Insiden Pria >> Wanita >>
Gejala Tenaga berkurang Nyeri bertambah, LED
meningkat
Keadaan umum Baik Terganggu, febris
CPK Meningkat Meningkat
Klasifikasi Distrofi muskular, miotonia, Polimiositis, paralisis
distrofi miotonia periodik
Ditrofi Muskulorum Progresive (DMP) / Distrofi Duchcnee

Definisi
57

Miopati genetik yang ditandai dengan adanya kelemahan otot progresive dan
degenerasi serabut otot.

Patofisiologi
Tidak adanya protein, distrofi pada serabut otot  gangguan membran sel otot 
kebocoran membran sel otak  enzim CPK (creatinin phospokinase) merembes ke otot 
CPK serum meningkat.

Gejala klinis
 Muncul pada usia 5-10 tahun atau lebih muda
 Sering pada perempuan (resesif)
 Anak mulai berajalan lebih lambat dari anak lain
 Pada umur 5 tahun : tidak pandai berlari dan sering jatuh  sulit bangun  seakan
memanfaatkan diri sendiri, awalnya jongkok kemudian kedua tangan berpegangan
pada tungkai bawah  merambat ke atas  lutut  paha  berdiri (Gower sign).
 Anak berjalan seperti bebek (Wadding gait)
 Hiperhidrosis
 Atrofi otot pinggang, tidak dapat menyisir rambut
 Pada umur 10-15 tahun : perlu kursi roda dan terjadi kontraktur oleh karena skoliosis,
lama-lama terjadi pembesaran betis (pseudo hypertrophy)
 Pada umur 20-30 tahun : meninggal karena gangguan otot jantung

Pemeriksaan laboratorium
 Kreatinin serum meningkat
 Aldolase serum meningkat
 CPK sangat meningkat
 Penunjang lain : EKG, EMG dan biopsi otot

Differential diagnosis
 Anak terlambat berjalan
 Dsitrofi lain
 Polimiosis
 Poli neuropathy
58

Penatalaksanaan
 Pengobatan bersifat paliatif, mencegah komplikasi
 Terapi fisik, mencegah kontraktur
 Kontraktur sendi, prosedur pelepasan tendon
 Skoliosis berat, bedah orthopedi
 Kortikosteroid, dapat menurunkan tingkat kehilangan otot, prednisolon 0,75
mg/kgBB/hari selama 6 bulan
 Terapi “Gendong” dengan transplantasi mioblas

Miotonia Kongenital (Thomsen Disease)


Gejala
 Muncul pada usia 10 tahun
 Tangan terasa kaku tapi tenaga masih baik
 Otot tidak atrofi
 Setelah kontraksi otot tidak bisa relaksasi, bila berjabat tangan tidak bisa melepas
tangannya

Terapi
Prinsip terapi mengurangi kekakuan otot dengan pemberian kinin dan dilantin.

Distrofi Miotonika (Steidert)

Gejala
 Lebih banyak pada laki-laki
 Selain miotoni juga didapatkan atrofi otot
 Atrofi otot leher, ptosis, mulut ½ terbuka (atrofi otot orbicularis oris)
 Gangguan suara dan menelan
 Pada wanita dapat terjadi aritmia
 Terapinya dapat diberikan kinin untuk miotonia
Polimiositis
Gejala
 PERADANGAN OTOT AKIBAT PROSES IMUNOLOGIK
59

 KELEMAHAN OTOT PROKSIMAL, SIMETRIS, DIMULAI OTOT PANGGUL,


KEMUDIAN OTOT GELANG BAHU
 KESULITAN NAIK TANGGA, BANGKIT DARI DUDUK, MENAIKKAN
LENGAN KE ATAS

Diagnosis
 KELEMAHAN OTOT PROKSIMAL, SIMETRIS, PROGRESIF
 KENAIKAN ENZIM KINASE KREATIN DAN ALDOLASE

Terapi
 KORTIKOSTEROID
 IMUNOSUPRESIF / SITOSTATIKA

Paralisis Periodik

Gejala
 SEBAGIAN BESAR KARENA KEKURANGAN KALIUM
 TERJADI AKUT, BANGUN TIDUR TAK DPT MENGGERAKKAN LENGAN
DAN
 TUNGKAI
 TONUS OTOT MENURUN, TAK ADA GANGGUAN SENSIBILITAS
 TIDAK MENYERANG OTOT MUKA DAN PERNAFASAN

Terapi
 Pemberian KCl drip
 Terapi pada penyebab penurunan kalium

XI. KOMA

A. Definisi
60

Koma ialah keadaan pada mana kesadaran menurun pada derajat yang terendah.
Koma akan menjadi kenyataan jika korteks serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls
aferen aspesifik yang disampaikan melalui lintasan aspesifik difus substansia retikularis.
Koma juga dapat dibangkitkan jika lapisan substansia grisea kedua hemisferium dibuang
(dekortikasi) atau jika inti intralaminar talamik semuanya dirusak atau jika substansia grisea
di sekitar akuaduktus Sylvii dihancurkan. Akibatnya menimbulkan keadaan dimana
penyaluran impuls asendens aspesifik tersumbat pada nuclei intralaminar atau di substansia
grisea di sekitar akuaduktus Sylvii.

B. Klasifikasi
Koma dapat dibagi dalam:
1. Koma supratentorial diensefalik
2. Koma infratentorial diensefalik
3. Koma bihemisferik difus

Koma Supratentorial Diensefalik

Semua proses supratentorial yang dapat mengakibatkan destruksi dan kompresi pada
substansia retikularis diensefalon (nuclei intralaminar) akan menimbulkan koma. Destruksi
dalam arti destruksi morfologi, dapat terjadi akibat perdarahan atau infiltrasi dan metastasis
tumor ganas. Destruksi dalam arti destruksi biokomia, dijumpai pada meningitis.
Kompresi dapat disebabkan oleh proses desak ruang, baik yang berupa hematoma
atau neoplasma. Proses desak ruang mendesak secara radial kemudian akan mendesak ke
bawah secara progresif, mengingat adanya foramen magnum sebagai satu-satunya pintu dari
suatu ruang yang tertutup. Akibat kompresi rostro-kaudal itu, secara berturut-turut
mesensefalon, pons atau medulla oblongata akan mengalami desakan. Sehingga sindrom lesi
transversal setinggi mesensefalon, pons dan medulla oblongata akan timbul secara bergiliran.
Proses desak ruang supratentorial yang bisa menimbulkan koma supratentorial dapat dibagi
dalam 3 golongan:
1) proses desak ruang yang meninggikan tekanan di dalam ruang intracranial
supretentorial secara akut
2) lesi yang menimbulkan sindrom unkus
3) lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostro-kaudal terhadap
batang otak
61

Tekanan intrakranial supratentorial yang mendadak menjadi tinggi


Keadaan di atas dapat dijumpai jika terdapat hemoragia serebri yang masif atau
perdarahan epdural. Kompresi supratentorial yang tiba-tiba itu, langsung mendesak bangunan
yang terletak infratentorial. Oleh karena itu secara tiba-tiba tekanan darah melonjak, nadi
menjadi lambat dan kesadaran menurun secara progresif. Trias ini dikenal sebagai sindrom
Kocher-Cushing. Pada umumnya trias tersebut merupakan ciri-ciri koma akibat proses
infratentorial.

Sindrom Unkus
Sindrom unkus dikenal juga sebagai sindrom kompresi diensefalon ke lateral. Proses
desak ruang di bagian lateral dari fosa cranii media biasanya mendesak tepi medial unkus dan
girus hipokampalis dan kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukannya
diensefalon yang pertama-tama mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus
occulomotorius. Maka dari itu gejala yang pertama akan dijumpai bukannya gangguan
kesadaran akan tetapi dilatasi pupil kontralateral. Pupil yang melebar itu mecerminkan
penekanan terhadap nervus occulomotorius dari bawah oleh arteria serebeli. Tahap yang
segera menyusul ialah tahap kelumpuhan nervus occulomotorius totalis. Progresi bisa cepat
sekali, dan juga pedunkulus serebri kontralateral mengalami iskemia pada tahap ini. Sehingga
hemiparesis timbula pada sisi proses desak ruang supratentorial yang bersangkutan. Pada
tahap perkembangan ini juga diikuti progresifitas penurunan kesadaran.

Sindrom kompresi rostrkaudal terhadap batang otak.


Proses desak ruang supratentorial secara berangsur-angsur dapat menimbulkan
kompresi terhadap bagian rostral batang otak. Prose tersebut meliputi:
a. herniasi girus singuli di kolong falks serebri
b. herniasi lobus temporalis di kolong tentorium
c. penjiratan diensefalon dan bagian rostral mesensefalon oleh tepi bebas daun tentorium
secara bilateral
Pada tahap dini dari kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan kita dapati (1)
respirasi yang kurang teratur, yang sering mendahului respirasi jenis Cheyne-Stokes; (2) pupil
kedua sisi sempit sekali; (3) kedua bola mata bergerak perlahan-lahan secara konjugat ke
samping kiri dan kanan bahkan dapat bergerak secara divergen; (4) gejala-gejala UMN pada
kedua sisi. Ini merupakan gejala tahap diensefalon.
62

Pada tahap kompresi rostro-kaudal berikutnya (1) kesadaran menurun sampai derajat
yang paling rendah; (2) suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus;
(3) respirasi menjadi cepat dan mendengkur; (4) pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur
menjadi lebar dan tidak bereaksi lagi terhadap sinar cahaya. Itulah manifestasi tahap
mesensefalon.
Tahap selanjutnya ialah tahap pontin, dimana hiperventilasi berselingan dengan apnoe
dan rigiditas deserebrasi akan dijumpai.
Tahap terminalnya dinamakan tahap medula oblongata. Pernafasan menjadi lambat
namun tidak teratur. Nadi menjadi lambat pula atau justru cepat lagi dan tekanan darah
menurun secara progresif.

Koma Infratentorial Diensefalik

Lesi vaskular di batang otak dan lesi desak ruang di fosa serebri posterior merupakan
kausa koma ini. Lesi vaskular terjadi karena penyumbatan arteria basilaris dan lesi non-
vaskular dapat berupa neoplasma primer maupun sekunder, granuloma, dan abses.
Sindroma lesi infratentorial yang dapat membangkitkan terjadinya koma dapat
dibedakan dalam:
1. Sindroma lesi infratentorial dengan kompresi difusse ascending reticular system.
Lesi fosa posterior serebri yang terletak di luar batang otak dapat menimbulkan koma
melalui 3 jalan:
a. Penekanan langsung pada tegmentum pons
b. Herniasi ke atas, dimana serebellum mendesak medio-rostral, sehingga
mesesefalon tertekan.
c. Herniasi ke bawah, sehingga medulla oblongata mengalami penekanan.
Untuk manifes ketiganya biasanya berbaruan, oleh karena manifestasinya berjalan
serempak. Gamabaran manifesnya antara lain:
- Muntah-muntah
- Kelumpuhan beberapa saraf otak
- Deviation conjugee
- Pupil sempit dan tak bereaksi terhadap cahaya
- Proptosis dapat timbul jika vena galeni tersembut
- Kesadaran menurun yang menjurus ke koma
63

- Hiperventilasi
2. Sindroma lesi infratentorial dengan destruksi difusse ascending reticular system
Terjadi destruksi difusse ascending reticular system langsung dapat menimbulkan
koma. Koma yang terjadi diiringi tanda-tanda pola respirasi, pupil, dan gerakan yang
khas. Tanda-tanda yang sering dijumpai:
- Paralisis N.III, yang gejalanya antara lain:
 Paralisis salah satu atau kedua otot rekstus internus
 Gerakan konvergensi masih dapat dilakukan
 Nistagmus telihat pada mata yang berdeviasi ke samping
 Kedudukan bola mata tidak sama tingginya
- Hemiparesis alternans atau tetraplegia
- Hiperventilasi (tingkat pons-medula oblongata)
- Pernapasan tak teratur (tahap medula oblongata)

Koma Bihemisferik Difus

Koma ini terjadi karena metabolism neuronal kedua belah hemisferium terganggu
secar difus. Jika otak tidak mendapat bahan enersi dari luar, maka metabolism oksidatif
serebral akan berjalan dengan enersi intirksik. Jika bahan enersi diri sendiri tidak lagi
mencukupi kebutuhan, maka otak akan tetap memakai enersi yang terkandung oleh neuron-
neuronnya untuk masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Jika keadaan ini berlangsung
cukup lama, neuron-neuron akan menghancurkan diri sendiri.
Bahan yang diperlukan untuk metabolism oksidatif serebral adalah glokose dan zat
asam. Yang mengangkut glukosa dan oksigen ke otak ialah aliran darah serebral. Semua
proses yang menghalang-halangi transprtasi itu dapat mengganggu dan akhirnya
memusnahkan neuron-neuron otak. Jika neuron-neuron hemisferium tidak lagi berfungsi,
maka akan terjadilah koma. Koma akibat proses patologik itu disebabkan oleh 2 golongan
penyakit, yaitu:
1) Ensefalopati metabolic primer
2) Ensefalopati sekunder

1) Ensefalopati metabolic primer


Yang tergolong dalam ensefalopati metabolic primer adalah :
64

a) Degenarasi di substansia grisea otak, yaitu penyakit Jacob-cruetzfeldt, penyakit pick,


penyakit Alzheimer. Korea Huntington.
b) Degenerasi di substansia alba otak, yaitu penyakit schilder, dan berbagai jenis
leukodistrofia.
2) Ensefalopati Sekunder
Sebab-sebab terjadinya ensefalopati sekunder adalah :
 Kekurangan zat asam, glukosa dan kofaktor-kofaktor yang diperlukan untuk
metabolism sel.
a. Hipoksia, yang bisa timbul karena: penyakit paru-paru, anemia, intoksikasi
karbon mono-oksida
b. Iskemia, yang bisa berkembang karena: CBF yang menurun akibat penurunan
cardiac output, seperti pada sindrom stokes-adams, aritmia, dan infark
jantung. CBF menurun akibat resistensi vascular yang meningkat, seperti pada
ensefalopati hipertensif, sindrom hiperventilasi dan sindrom hiperviskositas.
c. Hipoglikemia, yang bisa timbul karena: pemberian insulin atau pembuatan
insulin endogenik meningkat.
d. Defisiensi kofaktor thiamin, niacin, pyridoxine, dan vitamin B1
 Penyakit-penyakit organic diluar susunan saraf
a. Penyakit non-endokrinologik seperti: penyakit hepar, ginjal, jantung dan paru.
b. Penyakit endrokrinologik : M. Addison, M. Cushing, tumor pancreas
miksedema, feokromositoma dan tirotosikosis.
 Intoksikasi eksogenik
a. Sedativa, seperti barbiturate, opiate, obat antikolinergik, ethanol dan
penenang.
b. Racun yang menghasilkan banyak katabolit acid, seperti paraldehyde,
methyalkohol, dan ethylene.
c. Inhibitor enzim, seperti cyanide, salicylat dan logam-logam berat.
 Gangguan balans air dan elektrolit:
a. Hipo dan hipernatremia.
b. Asidosis respiratorik dan metabolic.
c. Alkalosis respiratorik dan metabolic.
d. Hipo dan hiperkalema.
 Penyakit-penyakit yang membuat toksin atau menghambat fungsi enzim-enzim
serebral, seperti meningitis, ensefalitis dan perdarahan subaraknoidal.
65

 Trauma kapitis yang menimbulkan gangguan difus tanpa perubahan morfologik,


seperti pada komosio.

Gejala-Gejala Koma Bihemisferik Difus :


Prodroma koma bihemisferik difus terdiri dari gejala-gejala “organic brain syndrome”
yang tidak disertai gejala-gejala deficit neurologic apapun. Gejala “release” dan iritatif masih
bisa menyertai “organic brain syndrome” yang mendahului timbulnya koma bihemisferik
difus, misalnya: tremor, “muscular twitching” dan ataksia.

C. Pemeriksaan koma
Anamnesis

1. wawancara dengan orang sekitarnya


2. latar belakang social, riwayat medis, lingkungan sekitarnya
3. jika tidak sadar setelah operasi: emboli lemak, krisis addison, koma hipotiroid
4. keluhan sebelum koma
a. sakit kepala SAH
b. Nyeri dada MI, disksi aorta
c. Nafas pendek  hipoksia
d. Kaku leher  meningoensephalitis
e. Vertigo CVA batang otak
f. Mual, muntah  keracunan
5. Riwayat trauma kepala, penyalahgunaan obat, kejang, hemipharesis
6. Perjalanan penyakit
a. Progresif cepat toksik metabolik
b. Cepat  vaskular, infeksi
7. Identifikasi faktor psikiatri
a. Stessor
b. Ketidakbiasaan pasien
c. Respon idiosinkrosi terhadap stress

Interna

1. Vital sign (tekanan darah, nadi, suhu, respirasi)


66

2. bau pernapasan (amoniak alkohol, aseton)


3. kulit (turgor, warna, bekas injeksi)
4. selaput mukosa mulut(darah atau bekas minum racun)
5. kepala (kedudukan kepala, cairan telinga, hidung)
6. leher (fractur vertebre cervicalis, kaku kuduk)
7. torak (jantung, paru)
8. abdomen (hepar, ginjal, retensi urin)
9. Ekstremitas (perfusi, akral, sianosis, oedem)

Neurologik

1. Kesadaran, berdasar GCS


2. Menetapkan letak/topis urutan pemeriksaan:
a. Observasi umum
b. Pola pernapasan
c. Kelainan pupil
d. Refleks sefalik
e. Reaksi terhadap rangsang nyeri
f. Fungsi traktus piramidalis
g. Pemeriksaan laboratorium
h. Pemeriksaan dengan alat

Observasi umum non neurologik

1. Perhatikan apa penderita masih bisa menelan, mengunyah, membasahi bibir,


menguap BO masih bagus
2. Perhatikan apa ada gerakan multifokal yangg berulang (mioklonik jerk) gangguan
metabolik
3. perhatikan letak tungkai dan lengan
a. fleksi (dekortikasi)  gangguan hemisfer, BO baik
b. Ekstensi (deserebrate) gangguan BO

Pola pernapasan
67

1. CHEYNE-STOKES pernapasan apnea, kemudian berangsur bertambah besar


amplitudonyagangguan hemisfer & / BO bag atas
2. KUSSMAUL / BIOT  pernapasan cepat & dalam  gangguan di tegmentum
(antara mesensephalon & pons)
3. APNEUSTIK  inspirasi dalam diikuti penghentian ekspirasi selama waktu yang
lama  gangguan d pons
4. ATAKSIK  pernapasan dangkal, cepat, tak teratur  gangguan d fomartio
retikularis bag. dorsomedial & med. Oblongata

Kelainan pupil

1. Lesi di hemisfer kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang terganggu.
Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
2. lesi di talamus kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil, refleks
cahaya negatif.
3. lesi di pons  kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil kecil, refleks
cahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
4. lesi di serebellum  kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal, refleks cahaya
positif normal
5. gangguan N oculomotorius  pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada pupil yang
lebar, ptosis

Refleks sefalik

1. refleks pupil  refles cahaya , refleks konsensual, refleks konvergensi  bila


terganggu topisnya di mesencephalon
2. doll's eye phenomenon = refleks okulosefalik  bila kepala penderita digerakkan ke
samping maka bola mata akan bergerak ke arah berlawanan
3. refleks okuloauditorik  bila dirangsang suara keras penderita akan menutup mata 
gangguan d pons
4. refleks okulovestibular  bila meatus autikus eksteernus dirangsang air hangat akan
timbul nistagmus ke arah rangsangan  gangguan di pons
5. refleks kornea  gangguan di pons
6. refleks muntah  gangguan d MO
68

Reaksi terhadap rangsang nyeri

1. penekanan pada supraorbita, jaringan di bawah kuku jari tangan atau sternum
2. refleks yang timbul:
a. abduksi  fungsi hemisfer masih baik
b. menghindar (fleksi & aduksi)fungsi tingkat bawah
c. fleksi  gangguan hemisfer
d. ekstensi ekstremitas  gangguan BO

Tes fungsi traktus piramidalis

1. paralisis
2. refleks tendinei  jika gangguan, sisi kolateral refleks tendon menurun
3. refleks patologi  bila terganggu, sisi kolaeral refleks patologis positif
4. tonus  fase akut tonus otot menurun, bila kronis maka tonus meningkat

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Analisa gas arteri : membedakan hipoksia dengan gangguan CNS
b. LFT mungkin normal
c. Periksa elektolit, glukosa, creatinin, hematokrit, platelet, protrombin
2. EKG  untuk mendapatkan gambaran hipokalsemia/hiperkalsemia, gambaran
hipotiroid/hipertiroid
3. EEG  untuk konfirmasi kerusakan structural korteks
4. CT-Scan

D. Terapi koma
Secara umum:
1. Breath : bebaskan dan bersihkan jalan nafas, posisi lateral dekubitus, terdelenberg. k/p
intubasi dan nafas buatan, oksigenasi dan ventilasi.
2. Blood : infuse ns, k/p dopamine 3 µg/kg atau drp dopamine 50-200 µg/500cc

3. Brain :
 Bila hipoglikemia: D40 % 50 cc iv atau tiamin 100mg iv
69

 Bila keracunan  antidotum, diuretic


 Bila kejang : diazepam 10 mg iv atau phenitoin 10-18 mg/kgBB iv pelan-pelan
minimal 50 mg/menit
 Bila herniasi otak : Deksametason 10 mg iv furosemid 0,5-1mg/KgBB iv, manitol
20 % 1g/kgBB perdrip
 Kontusio cerebri deksmetason atau metilprednison, piracetam.
 Suhu tinggi : piramidon 2cc im dan kompres
 Bila gelsah : diazepam 10 mg iv atau chlorpromazine 25 mg im
4. Bladder : pasang Dower Cateter (DC)
5. Bowel : pasang NGT, laksan, lavase.

Secara Etiologis
1. Circulation :
a. Antiedema otak : deksametason, manitol
b. Menaikkan metabolism otak : mesilate, cdp cholin
c. Antiplatelet : dipyridamole, pantoxifilin, aspirin.
2. Encepalomeningitis :
a. Purulent : ampicilin, chloramphenicol, cephalosporin.
b. Serosa/ tbc : triple drug anti tbc
3. Metabolisme : obati penyakit primer
4. Elektrolit dan endokrin
5. Neoplasma : dexametason, manitol, furosemid, operasi
6. Trauma kapitis (komusio, kontusio, edh, sdh) :
a. Contusio/ basis : dexametason, pirecelam/ cdpcholin
b. Edh/ sdh cito bedah saraf.
7. Epilepsi : diazepam 10 mg iv perlahan dilanjutkan dengan pemberian difenihidantoin
iv
8. Drugs : anti dotum

Jika koma disertai dengan peningkatan tekanan intra kranial, penanganan pertama:
1. Elevasi kepala  300
70

2. Intubasi dan hiperventilasi


3. Sedasi jika terjadi agitasi berat (midazolam 1-2 mg iv)
4. Diuresis osmotik dengan manitol atau furosemid (untuk furosemid hati hati efek
samping hiperkalemi)
5. Dexametason atau metilprednison pada kasus edema cerebri

Stage Koma
1. Status Vegetatif
Pola tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan secara
spontan dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap suara keras.
Tetapi penderita kehilangan seluruh kemampuan berfikir dan perilaku sadarnya, baik
untuk sementara waktu maupun selamanya. Sebagian besar penderita memiliki refleks
abnormal yang khas, seperti kekakuan atau sentakan pada lengan dan tungkainya.
2. Status Locked-in
Suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita sadar dan mampu berfikir tetapi
mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya bisa berkomunikasi dengan cara
membuka atau menutup matanya. Hal ini bisa terjadi bersamaan dengan kelumpuhan
saraf tepi yang berat atau dengan stroke akut.
3. Brain death (kematian otak)
Kehilangan kesadaran yang paling berat. Pada keadaan ini secara permanen otak telah
kehilangan seluruh fungsi vitalnya, termasuk kesadaran dan kemampuan
mempertahankan pernafasan. Tanpa bantuan respirator dan obat-obatan, penderita
akan segera meninggal. Secara hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya
telah berhenti berfungsi, meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat
menyatakan kematian otak dalam waktu 12 jam setelah berusaha memperbaiki semua
kelainan medis, tetapi otak masih tidak memberikan respon, mata tidak bereaksi
terhadap cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas. EEG
(elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya fungsi otak. Penderita kematian
otak yang mendapatkan bantuan respirator bisa memiliki beberapa refleks jika medula
spinalisnya masih berfungsi.

E. Prognosis
71

Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari dalamnya
suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat lebih baik
prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial. Koma
lebih dari 1 bulan  prognosis buruk

XII. VERTIGO
72

A. Definisi
 PERASAAN DIMANA PASIEN MERASA DIRINYA/OBYEK DISEKITARNYA
BERPUTAR.
 VERTIGO ADALAH SUATU GEJALA, BUKAN PENYAKIT

B. Etiologi
 VESTIBULUM
 EIGHT NERVE
 RETIKULUM DR BATANG OTAK
 TABES DORSALIS
 IMAGINATION
 GENERALIZED ILLNESS
 OPTHALMIC DISEASE

C. Patofisiologi

Neurovegetatif central

D. Klasifikasi
 Vertigo vestibuler
- Sentral
- Perifer
 Vertigo non vestibuler
- Sistem visual
- Sistem somatosensori

Karakteristik Vertigo vestibuler Vertigo non vestibuler

waktu episodik konstan


73

Sifat vertigo berputar Melayang

Faktor pencetus Gerakan kepala, perubahan Stress, hiperventilasi


posisi

Gejala penyerta Mual, muntah, tuli, tinnitus Gangguan mata, gangguan


somatosensorik

Karakteristik V. Vestibular Perifer V. Vestibular Sentral

Onset Tiba-tiba, onset mendadak Perlahan, onset gradual

Durasi Menit hingga jam Minggu hingga bulan

Frekuensi Biasanya hilang timbul Biasanya konstan

Intensitas Berat Sedang

Diperparah perubahan Ya Kadang tidak berkaitan


posisi kepala
Pendengaran Seringkali berkurang atau Biasanya normal
dengan tinnitus

Nistagmus Nistagmus horizontal dan Nistagmus horizontal atau


rotatoar; ada nistagmus vertical; tidak ada
fatique 5-30 detik nistagmus fatique

Penyebab Meniere’s disease Massa Cerebellar / stroke


Labyrinthitis Encephalitis/ abscess otak
Positional vertigo Insufisiensi A. Vertebral
Neuroma Akustik
Sklerosis Multiple

E. Gejala umum
74

 Vertigo akut, berlangsung lama dan hebat


 Mual muntah
 Gangguan keseimbangan
 Cemas, panik
 Serangan saat bangun pagi (65%)/malam hari
 Faktor pencetus : gerakan kepala
 Nistagmus
 Rasa penuh ditelinga
 Pendengaran normal
 Test Kalori (-) pd sisi yang terganggu
 Sembuh spontan > 24jam (1-2minggu),bisa kambuh setelah hari-minggu
 Bisa timbulkan gangguan kronis

F. Pemeriksaan
 ANAMNESIS
- PASTIKAN APA YANG DMAKSUD DENGAN PUSING OLEH PASIEN
- PERJALANAN RASA PUSING
- GEJALA YANG MNYERTAI
- FAKTOR PENCETUSNYA
- FAKTOR PREDISPOSISI
 PEMERIKSAAN INTERNA
 PEMERIKSAAN NEUROLOGIK
- KESADARAN, PEMERIKSAAN SARAF OTAK, SISTEM MOTORIK,
SENSORIK, REFLEK-REFLEK DAN CEREBELUM
- PEMERIKSAAN KHUSUS : PEMERIKSAAN SARAF OTAK, GANGGUAN
CEREBELUM, PEMERIKSAAN SENSIBILITAS DALAM ( DEEP
SENSIBILITY)

G. Penatalaksanaan
 TERAPI KAUSAL
75

- SESUAI DGN PENYEBAB


- BIASANYA PENYEBABNYA SULIT DITEMUKAN ® Tx SIMPTOMATIS
 TERAPI SIMPTOMATIS
- TERUTAMA DITUJUKAN KEPADA 2 GEJALA UTAMA: RASA
BERPUTAR DAN GEJALA OTONOM
 Antikolinergik à skopolamin 0,6 mg/kg BB; ES à konstipasi & mulut kering à
Shg ditinggalkan
 Antihistamin
- efek kolinergik; sedatif; blokade reuptake monoamine
- dimenhidrinat 3x50 mg
- prometasin 3x25 mg
- beta histin mesilat 3x6 mg
 Fenotiazin, memblok dopamin; antikolinergik; antihistamin, klorpromazin 3x25
mg
 Butirophenon, bila antihistamin tidak membantu, 3x1 mg
 Flunarizin, calsium entry blocker
 TERAPI REHABILITATIF
Terapi rehabilitatif vestibuler :
- Terapi fisik untuk menyebuhkan vertigo.
- Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi pusing, meningkatkan
keseimbangan, dan mencegah seseorang jatuh dengan mengembalikan fungsi
sistem vestibular.
- Pasien melakukan latihan agar otak dapat menyesuaikan dan menggantikan
penyebab vertigo.
- Keberhasilan terapi ini bergantung pada beberapa faktor pasien yang meliputi
o usia, fungsi kognitif (memori, kemampuan mengikuti pentunjuk),
o kemampuan kordinasi dan gerak, dan kesehatan pasien secara
keseluruhan (termasuk sistem saraf pusat),
o serta kekuatan fisik.
- Dalam VRT, pasien yang datang ke dokter, akan menjalani beberapa latihan
yang akan melatih keseimbangan dalam tingkat yang lebih tinggi, meliputi
gerakan kepala, gerakan mata, dan berjalan.
- Latihan visual-vestibuler
76

o Untuk px yang harus berbaring


o Untuk px yang sudah bisa duduk
o Untuk px yang sudah bisa berdiri/berjalan
o Latihan berjalan (Gait Excersise)
o Menyebrang ruangan dg mata terbuka dan tertutup
o Berjalan tandem dg mata terbuka dan tertutup bergantian

XIII. INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT

A. Pendahuluan
Infeksi pada susunan saraf pusat dapat disebabkan oleh beberapa cara, yaitu :
 Hematogen, terjadi setelah adanya suatu bakteremia oleh karena infeksi ditempat
lain.
 Percontinuitatum, yang disebabkan infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak,
sinus cavernosus.
 Implantasi langsung pada trauma kepala terbuka (fraktur basis kranii, tindakan bedah
otak, lumbal pungsi).
Faktor predisposis terjadinya infeksi pada SSP
77

B. Klasifikasi
 Infeksi selaput otak (meningitis)
- Bakterial akut/purulenta
- Bakterial subakut/kronis/serosa
- Aseptik
 Infeksi parenkim otak (enchepalitis)
- Bakterial
- Viral
 Infeksi myelum
- Poliomyelitis
Meningitis

Definisi
Infeksi pada CSS disertai radang pada piamater dan arachnoid, ruang subarachnoid,
jaringan superfisialis otak dan medula spinalis.

Etiologi

M. akut M. subakut M. Aseptik


78

Pada Neonatal: • M. tuberculosa (plg Virus:


E. Coli sering) • Enterovirus
Streptococcus • Treponema – polio
Stafilococcus pallidum – Coxsackie A, B
Pneumococcus • Jamur – ECHO
Pada Bayi dan (Coccidiodes atau • Herpesvirus
anak: Candida) – Herpes simpleks
H. Influenza – CMV
Meningokokus • Mixovirus
Pneumokokus – Campak
E. Coli – Parotitis
Streptococcus – influenza

Dewasa:
Pneumococcus
Meningokokus
Streptokokus
Stafilokokus
H. Influenza

Meningitis Bakterial Akut


Definisi
Meningitis ini disebabkan oleh bakteri pembuat nanah, sehingga disebut juga
meningitis purulenta.

Gejala klinis

Kelompok Umur Gejala Tanda


79

Anak • Panas • Kaku kuduk


• Letargi / kesadaran • Purpura / Ptekhie
• Nyeri kepala • Kejang
• Intabilitas • Ataxia
• Mual dan muntah • Defisit Neurologis
• Gejala pernafasan Fokal
• Fotofobia
Dewasa • Panas • Kaku kuduk
• Nyeri kepala • Kesadaran menurun
• Letargi, bingung sp koma • Defisit Neurologis
• Mual dan muntah Fokal
• Fotofobia
• Gejala pernafasan

Tua • Panas • Kaku kuduk


• Kebingungan sp koma • Kesadaran menurun
• Nyeri kepala • Kejang – Status
• Gejala pernafasan Epileptikus

Diagnosis
 Diagnosis pasti : ditemukan mikroorganisme pada kultur kuman CSS
 Secara klinis, diagnosis dapat dibuat berdasar :
- Sakit kepala
- Febris
- Meningeal sign (+)
 Pada pemeriksaan CSS didapatkan :
- Cairan likuor keruh dan xanthochrom.
80

- Jumlah leukosit, predominan polimorfonuklear 1.000 – 10.000/mm3.


- Kadar gula menurun, kurang dari 45 mg/100 cc.
- Kadar protein meningkat di atas 70–80 mg/dl.
- Kadar klorida dibawah 700 mg%
 Pemeriksaan penunjang
- X-foto sinus paranasalis, thorax
- CT-Scan

Penatalaksanaan
Konservatif
 Breath
- Bebaskan & bersihkan airway, sedot lendir dlm mulut
- Posisi lateral dekubitus, kepala 300
- Bila gagal napas psg ET dan napas buatan
- Thorax foto
- Monitor pernapasan: ritme, frekuensi, gerak napas
 Blood
- Pasang infus RL/NaCl
- Ambil darah vena untuk lab, indikasi pemeriksaan gula darah, elektrolit, drh rutin
- Pertahankan dan monitor tensi bila rendah/shock: IV Dopamin 3
mikrogram/kgBB atau drip dopamin 50-200 mikrogram/500cc cairan
 Bladder
- Pasang kateter tetap & urine tampung 24 jam
- Ambil contoh urine untuk lab
- Perhatikan balans cairan dan elektrolit
 Bowel
- Nutrisi/kalori permukaan dapat diberikan IV, sesudah >3 hari NGT
- Rubah posisi penderita tiap 2 jam
 Tirah baring
 Pengobatan simptomatis :
- Anti kejang, antipiretik, analgetik, anti edema otak
Spesifik
81

 Antibiotika secepat mungkin


 Pemberian antibiotika broadspektrum intravena
 Pemilihan antibiotika berdasar: pemeriksaan klinis, dugaan mikroorganisme, hasil
pengecatan Gram

Meningitis Bakterial Subakut

Definisi
Meningitis yang onset klinis penyakitnya > 4 minggu, biasanya karena M.
tuberkulosa, onsetnya terselubung, bertahap dan progresif.

Patofisiologi
 Terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak.
 Fokus primer biasanya di paru-paru, bisa juga di KGB, tulang, sinus nasalis, GIT,
ginjal, dsb.
 Terdapat tuberkel2 kecil berwarna putih di permukaan otak, selaput otak, sumsum
tulang belakang, tulang. Tuberkel kemudian melunak, pecah, dan masuk ke ruang
subarachnoid
 Penyebaran perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan sekitar à eksudat
kental, serofibrinosa yang berpredisposisi di dasar otak.
 Dapat mengakibatkan pembuntuan aliran likuor pada akuaduktus sylvii dan ruang
subaraknoid sekitar batang otak, akibatnya :
- hidrosefafus
- papil edema
- peningkatan tekanan intrakranial

Gejala klinis
 Fase pertama.
- Onset penyakitnya terselubung, bertahap serta progresif. Gejala berupa
kelesuan, iritabilitas, menurunnya selera makan, mual serta sakit kepala
ringan.
 Fase kedua.
82

- Tanda rangsangan meningen, kelainan saraf otak (n. Vi, n. Vii) dan terkadang
hemiparesis.
- Hemiparesis dapat terjadi oleh karena : arteritis, eksudat yang menekan
pedunkulus serebri, maupun oleh karena hidrosefalus.
 Fase ketiga.
- Tanda rangsangan meningen, tanda neurologik fokal, konvulsi dan kesadaran
menurun.
 Fase keempat.
- Tanda-tanda fase ketiga disertai dengan koma dan shock.
Fase-fase tersebut menentukan prognosa. Fase III dan IV bila sembuh akan
menimbulkan kecacatan.

Diagnosis
 Dapat ditegakkan melalui:
- Gejala klinis
 Sakit kepala
 Panas yang tidak tinggi
 Kaku kuduk (+)
- Pemeriksaan CSS
 Likuor yang jernih
 Pleositosis limfositer yang berjumlah 10-350 per mm3
 Kadar glukosa < 40 mg%
 Jumlah protein > 40 mg% dan terus melonjak pada pemeriksaan
berikutnya
 Kadar Cl < 680 mg%
Jika CSF dibiakkan maka akan terbentuk pelikel seperti laba-laba dan bila dicat
dengan Ziehl-Niehlsen kemungkinan akan ditemukan M. tuberculosa.
 Pemeriksaan Foto Thorax
 CT-Scan
 MRI
 Kontak dengan penderita TB aktif

Penatalaksanaan
83

 Konservatif
- Sama dengan pengobatan meningitis akut.
 Pengobatan spesifik :
 INH, 400 ml/hari
 Pyrazinamid, 15 – 30 mg/kgBB/hari
 Streptomycin, 1 gr/hari IM
 Rifampisin 15 mg/kg per hari
 Indikasi pemberian kortikosteroid :
- Penderita dalam keadaan shock
- Ada tanda-tanda kenaikan tik
- Ada tanda-tanda araknoiditis.
- Timbul tanda-tanda neurologis fokal yang progresif.

Meningitis Aseptik

Definisi
 Penyakit yang self-limited karena disebabkan oleh virus, tapi sering berkembang
menjadi meningoensefalitis yang lebih berat.
 Invasi dan penetrasi dapat melalui usus, serta lintasan oral fekal atau melalui percikan
droplet.

Gejala klinis
 Onset penyakit mendadak dengan gejala:
- Sakit kepala hebat, subfebril dan muntah
- Kaku kuduk yang sangat ringan
 Jika infeksi menyebar ke parenkim akan terlihat kejang fokal, defisit neurologis, serta
peningkatan TIK
Diagnosis
 Meningitis virus dapat ditegakkan berdasarkan :
 Gejala-gejala klinis sakit kepala, kaku kuduk, febris.
 Pemeriksaan cairan serebrospinalis didapatkan :
- Likuor jernih atau opalescent.
84

- Pleositosis antara 50 – 500 dengan predominan limfosit.


- Kadar glukosa dan klorida normal.
- Kadar protein meningkat ringan.
- Diagnosis pasti meningitis virus adalah dengan menemukan virus pada cairan
serebrospinalis.

Penatalaksanaan
 Konservatif à sama dengan pengobatan meningitis akut.
 Pengobatan spesifik
- Acyclovir, 10 mg/kg bb tiap 8 jam selama 10 hari.
- ARA-A (Vidarabine), 15 mg/kgBB/hari intravena 12 jam, selama 10 hari.

Ensefalitis

Definisi
Ensefalitis adalah peradangan parenkim otak, yang menyebabkan disfungsi
neurofisiologi yang difus dan atau hanya fokal.

Etiologi
 Agen Virus,
- HSV 1 dan 2 (banyak dijumpai pada neonatus), VZV, EBV, virus campak (PIE
dan SSPE), gondok, dan rubella, Arbovirus, rabies
 Parasit
 Jamur

Patofisiologi
 Portal pintu masuk virus spesifik tergantung dari jenis virusnya.
 Herpes Simpleks Encepalitis dianggap reaktivasi virus herpes simpleks (HSV) tertidur
di ganglia trigeminal.
 Arbovirus ditularkan dari gigitan Nyamuk atau kutu
 Virus rabies ditransfer melalui gigitan hewan.
 Virus varicella-zoster (VZV) dan sitomegalovirus (CMV) kekebalan host merupakan
faktor risiko utama.
85

 Secara umum, virus bereplikasi di luar SSP


 Penyebaran hematogen atau penjalaran sepanjang saraf (rabies, HSV, VZV,HSV)
 Setelah melintasi penghalang darah-otak, virus memasuki sel-sel saraf, dan
menimbulkan:
- Gangguan fungsi sel,
- Pelebaran perivascular
- Perdarahan
- Respon inflamasi difus
 Focal HSV kecenderungan untuk pada temporal inferior dan medial.
 Rabies adanya Negri bodies di hippocampus dan otak kecil

Gejala klinis
 Tanda-tanda ensefalitis dapat terjadi difus atau fokal.
 Perubahan status mental dan / atau perubahan kepribadian (paling umum)
 Gejala Focal, seperti hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi otonom
 Gejala Cacat saraf cranial
 Disfagia (Rabies)
 Unilateral sensorimotor dysfunction (PIE)

Differential diagnosis
 Brain Abscess
 Hypoglycemia
 Leptospirosis in Humans
 Meningitis
 Status Epilepticus
 Subarachnoid Hemorrhage
 Systemic Lupus Erythematosus
 Toxoplasmosis
 Tuberculosis

Pemeriksaan
 DL
 Serum electrolytes
86

 Serum glucose level.


 BUN/creatinine and liver function tests (LFTs)
 Platelet test and a coagulation profile
 CT scan / MRI
 CSF analysis.
 Biopsi otak
 Electroencephalography (EEG)

Penatalaksanaan
 Mengevaluasi dan mengobati untuk shock atau hipotensi
 Pertimbangkan perlindungan jalan napas pada pasien dengan penurunan kesadaran
 Antivirals : Acyclovir
 Dexamethasone

Poliomielitis

Definisi
Penyakit dengan kelumpuhan oleh karena kerusakan kornu anterior sum-sum tulang
belakang akibat infeksi virus.

Etiologi
 Virus RNA kelompok Enterovirus dan famili Picorna virus.
 Ada 3 tipe yaitu:
- Tipe 1 (Brunhilde)
- Tipe 2 (Lansing)
- Tipe 3 (Leon)

Patofisiologi
Virus tubuh melalui saluran orofaring, setelah ditularkan melalui cara oral-fekal.
Masa inkubasi antara 4 – 17 hari.
Virus yang tertelan akan menginfektir orofaring tonsil, kelenjar limfe leher & usus
kecil  virus akan menempel dan berkembang biak secara local pada sel M usus, Payer’s
patch ileum  menyebar pada monosit dan kelenjar limfosit  Viremia
87

biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya sakit ringan saja.


Pada kasus yang menimbulkan paralysis, diduga virus mencapai system saraf secara
langsung atau retrograde melalui saraf tepi atau saraf simpatik atau ganglion sensorik pada
tempat bermultiplikasi.

Gejala klinis
Bila seseorang terinfeksi virus polio, kemungkinan akan mengalami respons sebaga berikut :
- Infeksi asimtomatik ; biasany dgn daya tahan tubuh yang kuat. ( 90 – 95 % )
- Poliomielitis abortif ; timbul gejala infeksi sistemik ringan : demam, lesu,
anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, tenggorokan/gangguan gastro intestinal,
berlangsung selam 24 -48 jam. ( 4 % ).
- Poliomielitis non paralitik ( meningitis aseptic ) : dapat terjadi 2 – 5 hari setelah
penyembuhan Poliomielitis abortif, dengan gejala mirip tetapi lebih berat
intensitasnya. Ditandai dengan nyeri dan kaku pada otot-otot belakang leher
( tanda rangsang meningen positif ), batang tubuh dan anggota gerak.
- Poliomielitis paralitik : manifestasinya sama dengan polio non paralitik ditambah
dengan kelainan sekelompok otot atau lebih.
 Sebelum terjadi paralysis, diawali dengan periode pre paralysis 1 – 2 hari dengan
keluhan
- Panas
- sakit kepala
- Muntah
- Diare
- Nyeri tenggorokan dan otot.
 Awitan kelumpuhan dpt terjadi sangat mendadak, berlangsung beberapa jam hingga
terjadi kelumpuhan total pada satu atau lebih anggota gerak.
 4 bentuk Poliomielitis tipe paralitik :
- Tipe Spinal : kelumpuhan beberapa otot leher, abdomen, batang tubuh, diafragma,
toraks dan ekstremitas.
- Tipe Bulber : dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan medulla spinalis dan
dapat mengancam jiwa. Terjadi kelumpuhan saraf kranial ( IX,X, ggn menelan,
disfoni ) dengan atau tanpa gangguan pusat pernafasan, otonom dan gangguan
sirkulasi.
88

- Tipe Bulbospinal : campuran gejala bentuk spinal dan bulbar


- Tipe Ensefalitik : penderita irritable, disorientasi, mengantuk sampai koma. Hal
ini terjadi karena terserangnya bagian atas batang otak dan hipotalamus.

Diagnosis
 Adanya kelemahan otot.
 Otot-otot tuuh terserang palig akhir.
 Reflek tendon dalam biasanya menurun/tdk ada sama sekali
 Atrofi otot mulai terlihat 3-5 mgg stlh paralisis dan mjd lengkap dlm wkt 12-15 mgg
dan bersifat permanen.
 Gagguan fungsi otonom sesaat, iasanya ditandai dgn retensi urin.
 Gangguan saraf kranial (poliomielitis bulbar). Dapat mengenai saraf kranial IX dan X
atau III.

Pemeriksaan laboratorium
 LCS  leukositosis dengan jumlah sel 10 – 200 sel / mm3, mulanya dominant PMN,
setelah 72 jam dominant limfosit; protein sedikit meninggi, glukosa dan elektrolit
normal, tekanan tidak meningkat.
 Isolasi dan kultur virus polio dari tinja dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis.
 Pemeriksan IgM spesifik polio virus di serum dan LCS
 Indirect immunofluorescence microscopy dari kultur sel tinja

Penatalaksanaan
 Belum ada pengobatan khusus yang dapat menyembuhkan penyakit ini.
 Rehat baring total harus segera dilakukan pada penderita yang di duga mengidap
poliomyelitis betapapun ringannya gejala, sebab aktivitas fisik pada stadium
preparalitik akan meningkatkan resiko terjadinya paralysis yang berat.
 Penderita poliomyelitis paralitik bentuk spinal posisi ekstremitas harus diperhatikan
untuk menghindari terjadinya kontraktur, lengan dan tangan dapat diberi split, sedang
untuk menghindari kulai kaki dapat diberi papan pengganjal pada telapak kaki agar
selalu dalam posisi dorsofleksi.
  Fisioterapi segera dikerjakan setelah 2 hari bebas demam.
89

 Bila kegagalan pernafasan, maka perlu respirator, sedang pd paralysis bulbaris


diperhatikan kebutuhan cairan, adanya aspirasi, disfagi akan membutuhkan
pemasangan sonde lambung.
 Imunitas aktif didapat sesudah mangalami infeksi asimtomatik atau pemberian vaksin
polio.
 Kekebalan pasif diperoleh dari ibu secara transplasental atau dengan pemberian
gamaglobulin.
 Antibiotik utk mencegah komplikasi adanya infeksi traktus urinarius.

Komplikasi
 Kelumpuhan, Kelemasan & Atrofi pada otot yang diserang
 Kontraktur yang mengakibatkan terjadi talipes quino varus atau skoliosis
 Subluxatio disebab kelumpuah seluruh otot sekitar sendi

Prognosis
 Tergantung berat ringannya kelumpuhan.
 Penderita dengan kelumpuhan ringan, pulih dengan sempurna.
 Penderita polio spinal 50% akan semuh sempurna, 25% mengalami disabilitas ringan,
25% mengalami disabilitas serius dan permanen.

Preventif
 Mengisolasi, penderita memperbaiki lingkungan dan imunisasi polio

Anda mungkin juga menyukai