Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA

ISOLASI SOSIAL

Oleh :

NANIK HANDAYANI

0701191017

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2020
1. Pengertian
a. Suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku isolasi sosial. (Budi Anna
Kelliat, 2006)
b. Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan
interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak
fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DEPKES RI, 2000 dalam
Fitria 2009).
c. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
d. Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya
dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan
(Dalami, dkk. 2009).

2. Tanda dan Gejala


a. Data Subyektif
1) Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain
2) Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan
orang lain
4) Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5) Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6) Pasien merasa tidak berguna
7) Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
b. Data Obyektif
1) Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
2) Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan.
3) Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain/perawat.
4) Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5) Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang
mobilitasnya.
6) Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7) Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri
dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8) Posisi janin pada saat tidur.

3. Penyebab
a. Factor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini
tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan
rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa
percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun
lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat
penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan
sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu
dalam berhubungan terdiri dari:
a) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk
memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya.
Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan
menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar.
Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi
hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi
yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa
percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
b) Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang
mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak
mulai membina hubungan dengan teman-temannya.Konflik
terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu
dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih
sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya
komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus
anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang
tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah
laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang
harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai
masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
c) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang
intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan
mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari
perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang
menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini
hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih
berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik
akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali
menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada
remaja.
d) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta
mempertahankan hubungan interdependen antara teman
sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan
kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan
menerima perasaan orang lain serta peka terhadap
kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu
kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai
pekerjaan.Karakteristik hubungan interpersonal pada
dewasa muda adalah saling memberi dan menerima
(mutuality). 
e) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya,
ketergantungan anak-anak terhadap dirinya
menurun.Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan
pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh
dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
f) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik
kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan
hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya
kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus
dapat dipertahankan.
2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi
untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.
a) Sikap bermusuhan/hostilitas
b) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan
anak
c) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.
d) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan
pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota
keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka,
terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan
secara terbuka dengan musyawarah.
e) Ekspresi emosi yang tinggi
f) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan
saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat).
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan.Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut
oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan
dari lingkungan sosial.
4) Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan
jiwa.Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang
anggota keluarga yang menderita skizofrenia.Berdasarkan hasil
penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya
menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar
dizigot persentasenya 8%.Kelainan pada struktur otak seperti
atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak
serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
b. Factor presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi:
1) Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam
berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan
pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat
dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan
isolasi sosial.
2) Stressor Biokimia
a) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skizofrenia.
b) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah
akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan
dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
c) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah
ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin
mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin.
Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan
hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah
laku psikotik.
d) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan
gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang
dapat merubah stuktur sel-sel otak.
3) Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun
biologis.
c. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan
yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan
individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai
masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
d. Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena
ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun
realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai
kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan
dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada
fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu
terhambat.
e. Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian
nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering
digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3) Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
6) Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi,
isolasi, represi dan regrasi.
4. Pohon Masalah
Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

Core
Isolasi sosial: problem
menarik diri

Gangguan konsep diri: harga diri rendah

5. Psikopatologi
Individu yang mengalami isolasi sosial seringkali beranggapan
sumber / penyebab isolasi social itu dari lingkungannya. Padahal
rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri secara
psikologikterhadap kejadian traumatic sehubungan dengan rasa bersalah,
marah, sepi dan takut ditinggal orang yang dicintai, tidak dapat dikatakan
segala sesuatu yang dapat mengancam harga diri (Self Esteem) dan
kebutuhan keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Gejala dengan
meningkatnya kecemasan, kemampuan untuk memisahkan dan mengatur
persepsimengenai perbedaan apa yang dipikirkan dengan perasaan
sendiri menurun, sehingga gejala sesuatu yang diartikan berbeda dengan
proses rasionalisasi tidak efektif lagi. Hal ini menyebabkan lebih sukar
lagi membedakan mana yang berasal dari pikiran sendiri dan dari
lingkungan.
Untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan
sumber koping meliputi ekonomi, kemampuan menyelesaikan masalah,
tekhnik pertahanan, dukungan social dan motivasi, sumber koping
sebagai model ekonomi dapt membantu seseorang mengintergrasikan
pengalaman yang menimbulkan rasa stress dan mengadopsi strategi
koping yang berhasil. Semua orang betapapun terganggu perilakunya
tetap mempunyai beberapa kelebihan personal yang mungkin meliputi:
Aktivitas keluarga, hobi seni kesehatan dan perawatan diri, pekerjaan
kecerdasan dan hubungan interpersonal. Dukungan social dari
peningkatan respon psikofisiologis yang adaptif.Motivasi berasal dari
dukungan keluarga ataupun individu sendiri sangat penting untuk
meningkatkan kepercayaan diri pada individu (Stuart & Sundeen, 1998).
Jika individu tidak mempunyai mekanisme koping dari yang kuat
maka akan mengikuti respon destruktif diantaranya:
a. Menarik diri : karena mengalami kecemasan yang berat sehingga
hanya mengurung diri yang mengakibatkan kesulitan dalam membina
hubunga social secara terbuka dengan orang lain.
b. Dependen    : Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dalam
hubungan dengan orang lain.
c. Manipulasi    : Individu sudah tidak bisa membina hubungan social
secara mendalam karena menggap orang lain sebagai objek.
d. Impulsif        : Penilaian yang buruk individu sudah tidak bisa
diandalkan untuk berhubungan dengan orang lain.
e. Individu sudah mengalami harga diri yang rapuh karena
mengharapkan penghargaan dan pujian dan orang lain tidak
mendukung.

5. Diagnose keperawatan utama


Isolasi Sosial

6. Intervensi keperawatan
a. Mandiri
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial
dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP
dengan masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada
SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi
dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi
dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara
berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang
dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan
membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan
pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk.
2008)
1) Tindakan Keperawatan untuk klien
a) Membina hubungan saling percaya
b) Menyadari penyebab isolasi sosial
c) Mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan
orang lain
d) Melakukan interaksi dengan orang lain
2) Tindakan Keperawatan untuk keluarga
a) Keluarga mengetahui masalah isolasi sosial dan dampaknya
pada klien
b) Keluarga mengetahui penyebab isolasi sosial
c) Sikap keluarga untuk membantu klien mengatasi isolasi
sosialnya
d) Keluarga mengetahui pengobatan yang benar untuk klien.
e) Keluarga mengetahui tempat rujukan dan fasilitas kesehatan
yang tersedia bagi klien.
DIAGNOSA
INTERVENSI
KEPERAWATAN
Isolasi Sosial TINDAKAN PSIKOTERAPEUTIK

Klien :
SP 1                                             
 Bina hubungan saling percaya
 Identifikasi penyebab isolasi sosial

SP 2            
 Diskusikan bersama Klien keuntungan
berinteraksi dengan orang lain dan kerugian
tidak berinteraksi dengan orang lain
 Ajarkan kepada Klien cara berkenalan dengan
satu orang
 Anjurkan kepada Klien untuk memasukan
kegiatan berkenalan dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan harian dirumah

SP 3
 Evaluasi pelaksanaan dari jadwal kegiatan
harian Klien
 Beri kesempatan pada Klien mempraktekan cara
berkenalan dengan dua orang
 Ajarkan Klien berbincang-bincang dengan dua
orang tetang topik tertentu
 Anjurkan kepada Klien untuk memasukan
kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan harian dirumah

SP 4
 Evaluasi pelaksanaan dari jadwal kegiatan
harian Klien
 Jelaskan tentang obat yang diberikan (Jenis,
dosis, waktu, manfaat dan efek samping obat)
 Anjurkan Klien memasukan kegiatan
bersosialisasi dalam jadwalkegiatan harian
dirumah.
 Anjurkan Klien untuk bersosialisasi dengan
orang lain.

Keluraga :
 Diskusikan masalah yang dirasakan kelura
dalam merawat Klien.
 Jelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi
sosial yang dialami Klien dan proses terjadinya.
 Jelaskan dan latih keluarga cara-cara merawat
Klien.

TINDAKAN PSIKOFARMAKA
 Beri obat-obatan  sesuai program.
 Pantau keefektifan dan efek sampig obat yang
diminum.
 Ukur vital sign secara periodik.

TINDAKAN MANIPULASI LINGKUNGAN


 Libatkan dalam makan bersama.
 Perlihatkan sikap menerima dengan cara
melakukan kontak singkat tapi sering.
 Berikan reinforcement positif  setiap Klien
berhasil melakukan suatu tindakan.
 Orientasikan Klien pada waktu, tempat, dan
orang sesuai kebutuhannya.

b. Modalitas
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu:
1) Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
a) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
b) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
c) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
d) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
e) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
f) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
g) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan
dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
h) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi
tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala
primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang
dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana
pasien mau mengawali tidurnya.
2) Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan
sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
a) dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
b) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah
sakit.
c) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun
orang lain.
d) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah
laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama
pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya
dan sebagainya.
e) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan
dan sebagainya.
f) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
g) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul rokok sembarangan dan sebagainya.

3) Kolaboratif
a) Terapi Psikofarmaka
 Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya
ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan 
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja,
berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai
efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam
miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal
(distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe).Metabolic (Soundiee).Hematologik,
agranulosis.Biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung.
 Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek
samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi,
hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi,
gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung.
 Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine.Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi
urine.Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil
(THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis.
STRATEGI PELAKSANAAN
PASIEN DENGAN GANGGUAN ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI

1. PROSES KEPERAWATAN
Kondisi Klien
Data subjektif:
 Klien mengatakan malas berinteraksi dengan orang lain.
 Klien mengatakan orang-orang jahat dengan dirinya
 Klien merasa orang lain tidak selevel.
Data objektif:
 Klien tampak menyendiri
 Klien terlihat mengurung diri
 Klien tidak mau bercakap-cakap dengan orang lain.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Isolasi Sosial
3. TUJUAN
a. Umum
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
b. Khusus:
1) Klien dapat membina hupakngan saling percaya
2) Klien dapat menyepakatkan penyebab isolasi sosial
3) Klien mampu menyepakatkan keuntungan dan kerugian berhubungan
dengan orang lain
4) Klien dapat melaksanakan hupakngan social secara bertahap
5) Klien mampu menjelaskan perasaan setelah berhubungan dengan orang
lain
6) Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas hubungan sosial
7) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien.
c. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang
lain.
d. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian berinteraksi dengan orang lain.
e. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
f. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian.
SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal
keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan  

Orientasi (Perkenalan):
“Selamat pagi ”
“Saya perawat Blessa Adhy Nugraha, Saya senang dipanggil Blessa, Saya
mahasiswa Universitas Ngudi Waluyo yang akan merawat Bapak/Ibu.”
“Siapa nama Bapak/Ibu? Senang dipanggil siapa?”
“Apa keluhan Bapak/ibu hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang
keluarga dan teman-teman Bapak/ibu ? Mau dimana kita bercakap-cakap?
Bagaimana kalau di ruang tamu? Mau berapa lama Bapak/bu? Bagaimana kalau
15 menit”
Kerja:
”Apa yang bapak/ibu rasakan selama bapak/ibu dirawat disini? Oh.. bapak/ibu
merasa sendirian? Siapa saja yang ibu kenal di ruangan ini”
 “Apa saja kegiatan yang biasa bapak/ibu lakukan dengan teman yang bapak/ibu
kenal?”
 “Apa yang menghambat bapak/ibu dalam berteman atau bercakap-cakap dengan
pasien yang  lain?”
 ”Menurut bapak/ibu apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah
benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan
beberapa) Nah kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya bapak/ibu ? Ya,
apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya
tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah ya bapak/ibu ? belajar bergaul
dengan orang lain ?
”Bagus. Bagaimana kalau sekarang  kita belajar berkenalan dengan orang lain”
 “Begini lho bapak/ibu ?, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu
nama kita dan nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama
Saya L, senang dipanggil L. Asal saya dari Rembang, hobi memasak”
“Selanjutnya bapak/ibu menanyakan nama orang yang diajak berkenalan.
Contohnya begini: Nama Bapak/ibu siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari
mana/Hobinya apa?”
“Ayo bapak/ibu dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan bapak/ibu. Coba
berkenalan dengan saya!”
“Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali”
“Setelah bapak/ibu berkenalan dengan orang tersebut bapak/ibu bisa melanjutkan
percakapan tentang hal-hal yang menyenangkan bapak/ibu bicarakan. Misalnya
tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya.”
Terminasi:
”Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah kita  latihan berkenalan?”
” bapak/ibu tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali”
”Selanjutnya bapak/ibu dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama
saya tidak ada. Sehingga bapak/ibu lebih siap untuk berkenalan dengan orang
lain. Bapak/ibu mau praktekkan ke pasien lain. Mau jam berapa mencobanya.
Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya.”
”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini  untuk mengajak bapak/ibu
berkenalan dengan teman saya, perawat N. Bagaimana, bapak/ibu mau kan?”
”Baiklah, sampai jumpa.”
SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap  
                      (berkenalan dengan orang pertama -seorang perawat-)
Orientasi :
“Selamat pagi bapak/ibu! ”
“Bagaimana perasaan bapak/ibu hari ini?
“Sudah dingat-ingat lagi pelajaran kita tetang berkenalan »Coba sebutkan lagi
sambil bersalaman dengan perawat !
“Bagus sekali, bapak/ibu masih ingat. Nah  seperti janji saya, saya akan mengajak
bapak/ibu mencoba berkenalan  dengan teman saya perawat N. Tidak lama kok,
sekitar 10 menit
“Ayo kita temui perawat N disana »
Kerja :
( Bersama-sama klien saudara mendekati perawat N)
“Selamat pagi perawat N, ini  ingin berkenalan dengan N”
“Baiklah bapak/ibu, bapak/ibu bisa berkenalan dengan perawat N seperti yang kita
praktekkan kemarin (pasien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat
N : memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan
seterusnya)”
“Ada lagi yang bapak/ibu ingin tanyakan kepada perawat N .coba tanyakan
tentang keluarga perawat N”
”Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, bapak/ibu bisa sudahi perkenalan
ini. Lalu bapak/ibu bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat N, misalnya  jam
1 siang nanti"
"Baiklah perawat N, karena bapak/ibu sudah selesai berkenalan, saya  dan
bapak/ibu akan kembali ke ruangan bapak/ibu. Selamat pagi"
(Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat N untuk melakukan
terminasi dengan klien di tempat lain).
Terminasi:
 “Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah berkenalan dengan perawat N”
”bapak/ibu tampak bagus  sekali saat berkenalan tadi” 
”Pertahankan terus  apa yang sudah bapak/ibu lakukan tadi. Jangan lupa untuk
menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan
keluarga, hobi, dan sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari
kita masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali.
Baik nanti bapak/ibu coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa?
Jam 10? Sampai besok.”
SP 3 Pasien : Melatih Pasien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan
dengan orang kedua-seorang pasien)
Orientasi:
“Selamat pagi bapak/ibu! Bagaimana perasaan hari ini?
”Apakah bapak/ibu bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang”
(jika jawaban pasien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya orang lain
 ”Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah bercakap-cakap dengan perawat N
kemarin siang”
”Bagus sekali bapak/ibu menjadi senang karena punya teman lagi”
”Kalau begitu bapak/ibu ingin punya banyak teman lagi?”
”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien
O”
”seperti biasa kira-kira 10 menit”
”Mari kita temui dia di ruang makan”
Kerja:
( Bersama-sama Perawat L ,X mendekati pasien O )
“Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan"
"Baiklah bapak/ibu, bapak/ibu sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang
telah ibu lakukan sebelumnya"
(pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama,
nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama)
“Ada lagi yang ibu ingin tanyakan kepada O"
"Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, bapak/ibu bisa sudahi perkenalan
ini. Lalu bapak/ibu bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore
nanti"
(bapak/ibu membuat janji untuk bertemu kembali dengan O)
“Baiklah O, karena bapak/ibu sudah selesai berkenalan, saya  dan klien akan
kembali ke ruangan bapak/ibu. Selamat pagi"
(Bersama-sama pasien, perawat meninggalkan pasien O untuk melakukan
terminasi dengan bapak/ibu di tempat lain)
Terminasi:
 “Bagaimanaperasaan bapak/ibu setelah berkenalan dengan O”
”Dibandingkan kemarin pagi, bapak/ibu tampak lebih baik saat berkenalan dengan
O”  ”pertahankan apa yang sudah bapak/ibu lakukan tadi. Jangan lupa untuk
bertemu kembali dengan O  jam 4 sore nanti”
”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan  berkenalan dan bercakap-cakap dengan
orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari bapak/ibu dapat
berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1
siang dan jam 8 malam, bapak/ibu bisa bertemu dengan O, dan tambah dengan
pasien yang baru dikenal. Selanjutnya bapak/ibu bisa berkenalan dengan orang
lain lagi secara bertahap.  Bagaimana bapak/ibu, setuju kan?”
”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman bapak/ibu.
Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok.”
DAFTAR PUSTAKA

Anna Budi Keliat. (2006). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik


Diri, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : Jakarta
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan StrategiPelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP& SP ) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba
Medika : Jakarta
Kusumawati dan Hartono .2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa .Jakarta : Salemba
Medika
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga.Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi
(API).Jakarta : fajar Interpratama.
Stuart dan Sundeen .2005 . Buku Keperawatan Jiwa .Jakarta : EGC .

Anda mungkin juga menyukai