Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan


inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh
22 juta warga Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi
komplek dari sel, mediator-mediator, sitokin, dan kemokin (Stapleton et al.,
2011). Penyakit ini mempunyai spektrum gejala klinis yang bervariasi mulai dari
ringan hanya berupa batuk, sampai berat berupa serangan yang mengancam jiwa.
Keluhan yang sering dilaporkan pasien kepada dokter beragam, tergantung
persepsi masing-masing pasien (Holzinger et al., 2014).
Prevalensi asma bronkial diperkirakan sebanyak 235 juta orang pada 2011.
Di negara berkembang angka kematian asma mencapai lebih 8% (WHO, 2011).
Prevalensi asma pada orang dewasa sekitar 9,5%, sedangkan menurut jenis
kelamin sebanyak 9,7% pada perempuan dan 7,2% pada laki-laki (NCHS, 2011).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, sedangkan angka kasus asma
masih cukup tinggi. Provinsi dengan prevalensi asma tertinggi adalah Provinsi
Sulawesi Tengah dengan persentase 7,8%, sedangkan Jawa Tengah menempati
peringkat 17 yakni sebesar 4,3% (Depkes RI, 2013).
Telah terjadi peningkatan kematian akibat asma termasuk pada anak di
beberapa negara pada dua dekade terakhir. Jumlah penderita asma terus
meningkat seiring dengan bertambahnya komunitas yang mengikuti gaya hidup
barat dan urbanisasi. Hal tersebut juga berhubungan dengan peningkatan
terjadinya alergi lain seperti dermatitis dan rhinitis (IDAI, 2010; Masoli et al.,
2014). Dalam penelitian yang menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children), periode usia yang sering mengalami
kematian diwakili oleh kelompok usia 1-14 tahun (Gullach et al., 2015).
Faktor risiko yang dapat mengakibatkan asma dan memicu untuk terjadinya
serangan asma di antaranya adalah riwayat atopik keluarga (Xu et al., 2016).
Berdasarkan sebuah studi kohort, apabila seorang anak memiliki satu orang tua
yang memiliki alergi, maka anak tersebut memiliki kemungkinan untuk menderita

1
alergi sebesar 33%, dan kemungkinan alergi pada anak yang kedua orang tuanya
menderita alergi sebesar 70% (Tavacol et al., 2015).

2
BAB II
KASUS
A. Kasus
a. Identitas
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 33 tahun
Alamat : Umbulharjo
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan : Menikah
b. Anamnesis
a) Keluhan Utama
Sesak nafas yang sejak 6 jam yang lalu.
b) Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak kurang lebih 6 jam yang lalu, pasien mengeluh sesak nafas
yang bertambah berat. Sebelumnya pasien sudah merasa sesak sejak 2
hari yang lalu, sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena debu, tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, posisi. Mengi (+), batuk (+) berdahak
berwarna putih, encer, darah tidak ada. Demam tidak ada.
Pasien sudah mencoba minum obat tablet salbutamol dan ambroksol
yang ada di rumah namun keluhan belum membaik. Keluhan nyeri
kepala disangkal, nyeri abdomen disangkal. BAK dan BAB seperti biasa.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat asma (+) sejak kecil, dulu kambuh 2-3 bulan sekali. Saat
dewasa sudah mulai jarang kambuh.
 Riwayat alergi debu (+)
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada (ibu dan adik penderita).
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak sakit
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang

3
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 108 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 32 kali/menit, cepat, dan dangkal
Temperatur : 37,3 ºC

Kepala : Conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)


Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-).
Leher : JVP 2 cmH2O, limfonodi tidak membesar
Thorax
Paru
Inspeksi : statis: simetris kanan = kiri
dinamis: simetris kanan = kiri, retraksi dinding dada (+).
Palpasi : stemfremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru.
Auskultas : vesikuler (+) ekspirasi memanjang, ronkhi (-), wheezing (+)
ekspirasi pada kedua lapangan paru.
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas kanan : linea sternalis dekstra.
Batas kiri : linea midclavicularis sinistra ICS V.
Batas atas : ICS II.
Auskultasi : HR= 108 kali/menit, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Datar, dinding dada sejajar dinding perut.
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit, undulasi (-)
d. Pemeriksaan Penunjang

4
Pemeriksaan Darah Lengkap & Kimia Klinik
AL : 9.200/uL
Limfosit : 18%
Netrofil : 72%
Monosit : 4%
Eosinofil : 6%
Basofil : 0%
HB : 12,5 g/dL
HMT : 38%
MCH : 33,8
MCHC : 34,7
MCV : 97,2
AT : 182.000/uL

B. Diagnosis
Diagnosis pasien adalah serangan asma sedang. Pada pemeriksaan fisik, k
eadaan umum pasien tampak sakit dan kesadaran compos mentis menunjukka
n bahwa pasien tidak dalam keadaan mengancam jiwa karena tidak ada penur
unan kesadaran. Selain itu, frekuensi napas pasien 32 kali/menit, nadi 108 kal
i/menit, dan terdapat wheezing ekspirasi pada kedua lapang paru. Berdasarkan
klasifikasi berat serangan asma akut, serangan sedang memiliki kriteria frekue
nsi napas 20-30 kali/menit, nadi 100-120 kali/menit, dan mengi pada akhir ek
spirasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien memenuhi kriteria diagnos
is serangan asma sedang (PDPI, 2003).
C. Tata Laksana Farmakologi
Pengobatan awal serangan asma yaitu oksigenasi, inhalasi agonis beta-2
kerja singkat (nebulasi) setiap 20 menit dalam 1 jam, dan kortikosteroid
sistemik. Pada serangan asma oksigen diberikan untuk mencapai kadar
saturasi oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri (PDPI, 2003). Agonis
beta-2 kerja singkat dapat diberikan salbutamol dengan sediaan obat nebules
2,5 mg/2ml setiap 20 menit kemudian dilakukan penilaian ulang setelah 1

5
jam. Kortikosteroid sistemik diberikan dalam per oral, dapat diresepkan
metilprednisolon dengan sediaan tablet 16 mg dikonsumsi 2 tablet sekali
sehari selama 5 hari. Monitoring tekanan darah, nadi, dan respirasi juga
dilakukan.
D. Tata Laksana Nonfarmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi teknik relaksasi dan
pernapasan terkontrol, hal ini membantu menghilangkan kepanikan dan
kecemasan yang memperburuk kesulitan bernapas (Grossman & Porth, 2014).
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus sangat penting untuk
dilakukan (PDPI, 2003). Berdasarkan anamnesis pasien mengeluhkan sesak
timbul saat cuaca dingin dan terkena debu. Pengendalian pencetus dapat
dilakukan dengan menghindari sumber alergi seperti tempat yang berdebu, m
enggunakan masker, dan memakai pakaian tebal saat cuaca dingin. Pasien
juga diminta untuk menerapkan pola hidup sehat antara lain meningkatkan
kebugaran fisik dengan olahraga dan istirahat yang cukup.
E. Edukasi
Pasien perlu diberikan edukasi mengenai obat yang diberikan, terutama
efek samping obat. Salbutamol memiliki efek samping mual, muntah, tremor,
takikardi, palpitasi, hipokalemia, dan aritmia (Brunton et al., 2018).
Sedangkan metilprednisolon dapat menyebabkan reaksi anafilaksis.
Metilprednisolon yang merupakan golongan kortikosteroid memiliki efek
samping batuk, insomnia, perubahan perilaku (terutama hipomania), dan
tukak lambung akut yang dapat muncul setelah hanya beberapa hari
perawatan (Katzung, 2018).

6
BAB III
PEMBAHASAN

A. Analisis Data Identitas


Pasien Ny. N berjenis kelamin perempuan dengan usia 33 tahun yang
beralamat di Umbulharjo, sudah menikah dan merupakan seorang ibu rumah
tangga. Pasien mempunyai riwayat asma sewaktu kecil, ibu dan adiknya juga
mengalami hal yang serupa. Pada kasus berikut, diagnosis dokter pada pasien
adalah serangan asma sedang.
B. Analisis RPS, RPD, dan RPK
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 6 jam yang lalu.
Sebelumnya pasien sudah merasa sesak 2 hari yang lalu, sesak timbul
saat cuaca dingin dan ketika terkena debu. Pasien mengalami mengi dan
batuk berdahak berwarna putih encer, tidak ada darah dan tidak
mengalami demam. Sebelumnya pasien sudah meminum obat tablet
salbutamol dan ambroksol yang ada di rumahnya namun belum
membaik. Pasien tidak mengalami nyeri kepala, nyeri abdomen, buang
air besar dan buang air kecil seperti biasa. Menurut O’Byrne et al. (2010)
menyatakan gambaran gejala klasik asma terdiri dari sesak nafas, batuk
dan mengi. Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, adanya
produksi sputum, penurunan aktivitas pasien, nyeri yang terjadi pada
tenggorokan, dan pada asma yang terjadi karena alergi dapat disertai
pilek atau bersin. Gejala yang timbul dapat bervariasi menurut waktu,
berat tidaknya asma, dan intensitas.
b. Riwayat Penyakit Dahulu

7
Pasien menyampaikan bahwa sejak kecil mengalami asma dan
kambuh 2-3 bulan sekali. Saat dewasa sudah mulai jarang kambuh.
Pasien juga menyampaikan jika mempunyai alergi terhadap debu.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien, ditemukan adanya penyakit asma yang
diderita oleh ibu dan adik pasien.
C. Analisis Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Penyakit asma sendiri merupakan proses inflamasi dan hiperaktivitas
saluran nafas yang nantinya akan menyebabkan lebih mudah terjadi obstruksi
jalan napas. Sehingga diperlukan pemeriksaan yang digunakan untuk
diagnosis.
a. Pemeriksaan Fisik
Temuan dari pemeriksaan fisik dan hasil anamnesis membantu
menyingkirkan diagnosis banding.
a) Keadaan umum pasien saat datang tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis.
b) Hasil pemeriksaan vital sign pasien didapatkan suhu 37,3 oC, denyut
nadi 108x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas
32x/menit cepat dan dangkal, tekanan darah 110/70 mmHg.
c) Pada inspeksi kepala tidak terdapat anemis pada konjungtiva, sklera
juga tidak ikterik. Mulut tidak terjadi sianosis serta lidah yang tidak
kotor. Pada leher JVP 2 cm dan limfonodi tidak membesar.
d) Pada pemeriksaan thorax dan paru statis simetris kanan dan kiri,
dinamis simetris kanan dan kiridan terdapat retraksi dinding dada.
Saat palpasi stemfremitus kanan dan kiri sama. Perkusi sonor pada
kedua lapang paru. Pada aukskultasi terdengar vesikuler ekspirasi
memanjang, tidak terdapat ronkhi, namun terdapat wheezing
ekspirasi pada kedua lapang paru.
e) Pada pemeriksaan jantung ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
batas kanan linea sternalis dekstra, batas kiri linea midclavicularis

8
sinistra ICS V, batas atas ICS II, HR 108 x/menit tidak ada murmur
maupun gallop.
f) Pada pemeriksaan abdomen lemas, tidak ada nyeri tekan hepar dan
lien tidak teraba, perkusi timpani dan tidak terdapat shifting
dullness. Bising usus 8x/meit, tes undulasi negatif,
g) Pada pemeriksaan ekstremitas dalam batas normal tidak ada palmar,
nyeri sendi, maupun clubbing finger.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dan kimia klinik didapatkan angka leukosit 9.200/uL, limfosit
18% netrofil 72% monosit 4%, eosinophil 6% mengalami peningkatan,
basophil 0%, HB 12,5%, HMT 38%, MCH 33,8 pg, MCHC 34,7g/dL,
MCV 97,2 fl, AT 182.000/uL.
D. Analisis Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru
terutama reversibilitas kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
Riwayat Penyakit atau gejala bersifat episodik, seringkali reversibel
dengan atau tanpa pengobatan, gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di
dada dan berdahak, gejala timbul atau memburuk terutama saat malam hari
atau dini hari, diawali dengan faktor pencetus yang berbeda beda setiap
invidu, respon terhadap pemberian bronkodilator.
Hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam riwayat
penyakit, seperti riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi atau atopi, penyakit
lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan. Dalam hal
ini dapat dilihat jika pada kasus mempunyai riwayat keluarga ibu dan adiknya
yang menderita asma, riwayat alergi terhadap debu dan dingin.

9
Gejala asma yang bervariasi sepanjang hari sehingga terkadang
pemeriksaan jasmani normal. Kelainan jasmani yang sering ditemukan adalah
mengi saat auskultasi dalam kasus juga pasien mengalami mengi, namun bisa
juga tidak terdengar mengi tetapi sudah terjadi penyempitan jalan nafas. Pada
saat serangan, terjadi konstraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi mukosa yang dapat menyumbat saluran napas, setelah itu akan
terjadi kompensasi yaitu dengan bernapas pada volume paru yang lebih besar.
Hal tersebut menyebabkan sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada
serangan ringan mengi hanya terdengar ekspirasi paksa. Bila mengi tidak
terdengar (silent chest) tetapi disertai sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu nafas, tidak menutup kemungkinan
untuk terjadinya serangan berat.
Pemeriksaan faal paru sangat penting dalam mendiagnosis asma, karena
dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispenia dan mengi sehingga dokter
membutuhkan pemeriksaan yang objektif yaitu faal paru. Dengan demikian
pemeriksaan faal paru digunakan untuk menilai, obstruksi jalan nafas,
reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiperesponsif jalan nafas.
Alat yang biasanya dipakai untuk menilai faal paru adalah spirometri,
yang dapat didapatkan penilaian seperti pengukuran volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP). Pemeriksaan ini
dilakukan bergantung pada kemampuan penderita sehingga membutuhkan
intruksi opertayor yang jelas dan kooperasi penderita. Nilai tertinggi dari 2-3
nilai diambil agar mendapatkan nilai yang akurat reproducible dan
acceptable.
Penggunaan pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma mempunyai
manfaat sebagai berikut :
a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP<75% atau
VEP1<80% nilai prediksi.
b. Reversibiliti, yaitu dimana ada perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan,
atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), setelah

10
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau pemberian
kortikosteroid 2 minggu.
c. Menilai derajat seberapa berat asma.
Dalam pemeriksaan faal paru juga memerika APE yang diperoleh juga
dari pemeriksaan spirometry atau pemeriksaan yang lebih sederhana dengan
alat peak expiratory flow meter (PEE meter, alat ini jauh lebih mudah dan
sederhana sehingga dapat digunakan oleh pasien di rumah agar dapat
memantu kondisi asmanya.
Berikut merupakan manfaat dari APE dalam diagnosis asma :

a. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi


bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu).
b. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan
menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi).
Namun dalam kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan paru, sehingga
seharusnya dilakukan pemeriksaan faal paru agar lebih tegak diagnosisnya.
Selain itu juga bias digunakan permeriksaan lain untuk diagnosis, seperti uji
provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Dalam tes alergi biasa
digunakan uji tes kulit untuk mendiagnosis status alergi/atopi, biasanya
menggunakan prick test.
Pengklasifikasian menurut etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit sangat
penting bagi pengobatan dan perancanan penatalaksanaan jangka panjang.

11
Gambar 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(Sebelum Pengobatan)

12
Gambar 2. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam
pengobatan

E. Analisis terapi

13
Pada pasien yang datang ke rumah sakit, pertama dilakukan penilaian
jika sudah tegak diagnosis seperti pada kasus yaitu seranga asma sedang.
Penatalaksanaan awal yang diberikan adalah oksigenasi, lalu inhalasi agonis
beta-2 singakat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam atau agonis beta-
2 injeksi (terbutatin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan. Dilakukan
penialaian ulang setelah satu jam dan melihat respon ketika respon baik dan
stabil dalam 60 menit, pemeriksaan fisis normal APE>70% prediksi nilai
terbaik dan saturasi oksigen >90% (95% pada anak). Lalu dapat dipulangkan
dan

14
dianjurkan melanjutkan pengobatan inhalasi agonis beta 2, kortikosteroid
oral. Ketika respon tidak sempurna setelah penilaian awal seperti risiko tinggi
distress, pemeriksaan fisis gejala ringan sampai sedang, APE > 50% tetapi <
70%, saturasi oksigen tidak ada perbaikan lalu masih tetap dirawat di rumah
sakit dengan pemberian inhalasi agonis beta-2 dengan atau tanpa dua
antikolinergik, pemberian kortikosteroid sistemik, aminofilin drip, terapi
oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi, lalu dinilai ada
perbaikan atau tidak jika ada perbaikan bisa dipulangkan sedangkan kalau
tidak ada perbaikan dirawat di ICU. Ketika respon buruk dalam satu jam yaitu
seperti risiko tinggi distress pemeriksaan fisis berat gelisah dan kesadaran
menurun APE kurang dari 30% PaCO2 > 45 mmHg PaO2<60 mmHg, lalu
langsung dirawat ke ICU.
Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan asma di rumah sakit

Sedangkan untuk penatalaksanaan di rumah kemampuan pasien dalam


mendeteksi asmanya sangat penting dalam keberhasilan penangan serangan
akut. Idealnya penderita mencatat gejala, kebutuhan bronkodilator dan faal
paru (APE) dalam kartu harian (pelangi asma).

15
Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan asma di rumah

Gambar 5. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan


dan tempat pengobatan

16
Dalam kasus dikategorikan atau didiagnosis serangan asma
sedang , maka diberi nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam, oksigen dan
kombinasi kotikosteroid sistemik oral yaitu metilprednisolon. Dilanjutkan
sesuai keadaan yang tertera pada alogaritma di atas.
F. Analisis prognosis
Prognosis umumnya bonam bila ditangani secara benar, terkontol dan
menghindari pencetus asma (Hadiarto et al, 2006., Mahrita, 2018).

17
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di
seluruh dunia. Menurut Depkes RI, di Indonesia angka kasus asma masih
cukup tinggi. Provinsi yang menduduki prevelensi tinggi adalah Provinsi
Sulawesi Tengah dan Jawa tengah. Di beberapa negara telah terjadi
peningkatan kematian akibat asma termasuk pada anak-anak. Faktor risiko
berhubungan dengan peningkatan terjadinya alergi lain seperti dermatitis dan
rhinitis, riwayat atopi keluarga, dan beberapa hal lainnya.
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 6 jam yang lalu yang bertambah
berat. Pasien sudah merasakan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu, sesak
timbul saat cuaca dingin dan terkena debu, tidak dipengaruhi oleh aktivitas,
posisi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi napas 32 kali/menit, nadi
108 kali/menit, terdapat wheezing saat ekspirasi pada kedua lapang paru.
Berdasarkan klasifikasi berat serangan asma akut pada PDPI, pasien
memenuhi kriteria diagnosis serangan asma sedang.
Pasien sudah mencoba minum obat salbutamol dan ambroksol yang ada
di rumah namun keluhan belum membaik. Dikarenakan pasien didiagnosis
serangan asma sedang, maka tatalaksana farmakologi yang tepat untuk pasien
di rumah sakit yaitu oksigenasi, inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulasi)
dan kortikosteroid sistemik. Pada serangan asma sedang , bronkodialtor saja
tidak cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya terjadi
bronkospasme tapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena itu
mutlak dibutuhkan kortikosteroid. Tatalaksana non farmakologi pada pasien
meliputi teknik relaksasi dan pernapasan terkontrol serta pengendalian
pencetus dengan menghindari sumber alergi.

18
B. Saran
Pasien perlu melakukan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan faal
paru dan lainnya untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan fisik pasien
didapatkan frekuensi napas 32 kali/menit, yang mana frekuensi nafas tersebut
termasuk klasifikasi asma serangan berat. Maka dari itu perlunya
pemeriksaan lanjutan pada pasien agar diagnosis pasien dapat tegak.
Pemberian obat pada pasien perlu untuk disampaikan faktor yang
dapat memperburuk dan mempercepat penyembuhan penyakit. Selain itu,
pasien perlu diberikan edukasi mengenai efek samping dari masing-masing
obat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.


Riset Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Brunton, L., Hilal-Dandan, R., & Knollmann, B. 2018. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics 13th Edition. McGraw-Hill
Education.
Gullach, A. J. et al. (2015) ‘Sudden death in young persons with uncontrolled
asthma - a nationwide cohort study in Denmark’, ??? ???, pp. 1–8. doi:
10.1186/s12890-015-0033-z.
Grossman, S & Porth, C. 2014. Porth's Pathophysiology Concepts of Altered Heal
th States. Ninth Edition. Wolters Kluwer Health│Lippincott Williams & Wi
lkins. Philadelphia.
Hadiarto, M., Adji, W., Dianiati, K. S., Faisal Yunus, P., Eddy Surjanto, T. S., &
Wiwien, H. W. (2006). Asma. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Holzinger, F. et al. (2014) ‘The Diagnosis and Treatment of Acute Cough in


Adults’, pp. 356–363. doi: 10.3238/arztebl.2014.0356.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku ajar respirologi. Edisi ke-2. Badan
Penerbit IDAI. Jakarta.
Katzung, B. 2018. Basic & Clinical Pharmacology 14th Edition. McGraw-Hill
Education. San Francisco.
Mahrita, M. L. Asuhan Keperawatan Pasien Asma Bronkial Pada Ny. M dan Ny.
T Dengan Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Di
RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2018.

National Center for Health Statistics. Ambulatory Health Care Data: Estimation
procedures. Diakses tanggal 30 Mei 2020.
(http://www.cdc.gov/nchs/ahcd_estimation_ procedures.htm)

20
O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al.
(2010), Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma
Management and Prevention, Ontario Canada.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis &


Penatalaksanaan Asma di Indonesia.
Stapleton, M. et al. (2011) ‘Smoking and Asthma’, 38119, pp. 313–322. doi:
10.3122/jabfm.2011.03.100180.sss
Tavacol, H. et al. (2015) ‘A cross-sectional study of prevalence and risk factors
for childhood asthma in Ahvaz city, Iran’, pp. 268–273. doi:
10.5114/pdia.2015.53322.
Xu, D. et al. (2016) ‘Prevalence and risk factors for asthma among children aged
0 – 14 years in Hangzhou : a cross-sectional survey’, Respiratory Research.
Respiratory Research, pp. 1–8. doi: 10.1186/s12931-016-0439-z.
WHO (World Health Organization, 2011). Fact about Asthma. Diakses tanggal 31
Mei 2020 (http://www.who.int/mediacentre/factsheets /fs307/en/index.html)

21

Anda mungkin juga menyukai