Anda di halaman 1dari 8

FOTO RONTGEN

1
1. PERINTAH MELAKUKAN FOTO RONTGEN EKSTREMITAS ATAS
DAN BAWAH

Membuat perintah foto rontgen penting bagi dokter sebagai rujukan kepada
radiologi dimana tempat yang akan dilakukan penyinaran. Perintah foto rontgen
terdiri atas tiga komponen yaitu regio tulang tubuh atau tubuh, posisi, dan sisi.
Regio tulang atau tubuh dapat ditulis menggunakan penamaan anatomis atau
bahasa Inggris. Posisi proyeksi penyinaran bisa anteroposterior (AP),
posterioanterior (PA), lateral, tangensial, axial, oblique, dan decubitus. Biasanya
semua foto rontgen terdiri atas proyeksi AP dan lateral, kecuali manus, yang
diproyeksikan PA dan oblique. Untuk sisi bisa dextra atau sinistra. Perintah sesuai
kasus ini diinterpretasikan pada gambar 1 dan 2 (Sandstrom S, 2004).

Gambar 1. Perintah foto femur dextra Gambar 2. Perintah foto femur dextra
posisi AP posisi Lateral

Identifikasi perintah foto rontgen pada penugasan kami adalah:

a) Regio : femur (thigh bone)


b) Sisi : Dextra (Right)
c) Posisi : AP dan Lateral

Sehingga perintah rontgen kami adalah “femur dextra AP/Lateral”

2
2. KRITERIA KELAYAKAN FOTO RONTGEN
1. Identitas Registrasi
 Nama : AI, An
 Umur : 6 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Nomor RM : 037417
 Tanggal foto : 18 Februari 2019
2. Identitas Sisi
Terdapat marker berupa R yang menunjukkan bagian kanan.
3. Kualitas Sinar X
Cukup. Tidak terlalu opaque dan lusen.
4. Rule of Two
 Two views
Foto rontgen menggunakan posisi AP dan Lateral.
 Two joints
Hanya terdapat sendi artikulasio coxae pada bagian proksimal dan
hanya terdapat sendi artikulasio genu pada bagian distal.
 Two limbs
Tidak ada, seharusnya dibandingkan kanan dan kiri karena pasien
masih anak-anak.
 Two occasions
Tidak ada, hanya dilakukan pada satu kesempatan.
5. Foto tidak terpotong
Foto cukup, tetapi terpotong.

3
3. INTERPRETASI FOTO RONTGEN
1. Struktur dan trabekulasi tulang
Trabekulasi tampak. Bagian korteks dan medulla tulang terlihat dengan
jelas.
2. Soft Tissue
 Irregularitas soft tissue : Tidak tampak adanya perlukaan
 Soft tissue swelling : Tidak terdapat pembengkakan pada
area fraktur
 Emfisema subkutis : Tidak ada emfisema subkutis
 Kalsifikasi : Tidak terlihat adanya kalsifikasi
 Korpal : Tidak terlihat adanya benda asing
3. Joint
Tidak terdapat adanya pergeseran pada sendi bagian proksimal maupun
distal.
4. Fraktur
 Lokasi fraktur : ossa femur
 Regio : 1/3 distal os. femur
 Jenis fraktur : tertutup dan komplit
 Tipe fraktur : oblique
 Fraktur displaced :
a. alignment kurang baik
b. angulation positif
c. posisi overlapping
 Fraktur baru

4
LITERATURE REVIEW FRAKTUR FEMUR

1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis


dan luasnya). Fraktur merupakan salah satu gangguan atau masalah yang
terjadi pada sistem muskuloskeletaal yang menyebabkan perubahan bentuk
dari tulang maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di
berbagai tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun tulang itu
sendiri. Salah satu contoh fraktur adalah yang terjadi pada tulang femur
(Brunner dan Suddarth, 2013).

Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang
pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan
kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008).
Fraktur femur terbagi menjadi :

1) Fraktur batang femur


Fraktur femur mempunyai insiden yang cukup tinggi, diantara jenis-
jenis patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3
tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan, atau kecelakaan (Mansjoer, 2000).
2) Fraktur kolum femur
Fraktur kolum femur dapat terjadi langsung ketika pasien terjatuh
dengan posisi miring dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda
keras seperti jalan. Pada trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi
karena gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan
fraktur ini terjadi pada wanita tua yang tulangnya sudah mengalami
osteoporosis (Mansjoer, 2000).
2. Prevalensi Kasus
Fraktur femur mempunyai insidensi yang tinggi diantara fraktur tulang jenis
lain. Setiap tahunnya fraktur femur terjadi pada 1 dari 10.000 orang. Fraktur

5
batang femur tertutup termasuk dalam cedera yang besar menurut Injury
Severity Score. Lokasi fraktur femur paling sering terjadi pada bagian batang
femur 1/3 tengah (Towsend, Beauchamp, Evers, Mattox, 2012).
Fraktur ini lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun.(Mansjoer, 2000) Selain itu, dalam studi lapangan
Sagaran dkk, distribusi fraktur femur yang dirawat di Rumah Sakit
Dr.M.Djamil, Padang menunjukkan mayoritas fraktur femur terjadi pada laki-
laki yang berusia 17-25 tahun dan penyebab terbanyak adalah cedera traumatik
seperti kecelakaan. Lokasi fraktur femur banyak terjadi di bagian medial femur
dan merupakan fraktur tertutup (Djamil, Sagaran, Manjas, Rasyid, 2014).
3. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor resiko untuk fraktur femur. Orang-orang dengan resiko
tersebut harus berhati hati, berikut adalah beberapa faktor resikonya:

1. Memiliki kanker yang sudah bermetastasis

2. Menyetir dengan kondisi meminum obat

3. Tidak mengenakan sabuk pengaman di kendaraan

4. Menyetir dengan kecepatan tinggi secara tidak hati-hati

5. Memiliki osteoporosis

6. Merupakan penggemar olahraga ekstrim

Faktor resiko fraktur femur banyak ditemukan pada collum femur. Dalam
studi yang dilakukan Fahry di RS Sardjito Yogyakarta, faktor resiko yang
dominan dan harus di perhatikan dan diawasi pada fraktur collum femur
meliputi: penggunaan kortikosteroid yang tidak tepat, konsumsi kopi yang
berlebihan, penurunan daya lihat pada usia lanjut, frekuensi aktivitas olah raga
dan pemakaian alas kaki dalam kehidupan sehari hari terutama saat dirumah.
Faktor faktor ini terbukti memiliki hubungan yang bermakna (Djamil, Sagaran,
Manjas, Rasyid, 2014)

6
4. Pemeriksaan Look
Inspeksi pada regio femoralis dilakukan jika terdapat kecurigaan adanya
fraktur femur. Inspeksi pada lokasi tersebut, untuk mengetahui ada tidaknya
bengkak (swelling), deformitas, edema, spasme, perubahan warna kulit,
jaringan parut, dan atrofi otot. Deformitas dapat ditemukan jika terdapat
deviasi pada femur (Alsop, 2013).
5. Pemeriksaan Feel
Palpasi pada region femoralis harus dilakukan di seluruh ekstremitas dari
proksimal hingga distal termasuk sendi di proksimal maupun distal dari cedera
untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan
ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama. Palpasi
pada arteri femoralis juga dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pulsasi
pada bagian tersebut. Pemeriksaan sirkulasi juga dilakukan dengan cara
memeriksa capillary refill time pada ujung jari kemudian membandingkan sisi
yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan
pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas (Alsop, 2013).
Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut
nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan
trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang
memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial. Pemeriksaan
neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera muskuloskeletal
juga dapat menyebabkan cedera serabut saraf dan iskemia sel saraf.
Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap saraf perifer
yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik
(American College of Surgeons Comitte on Trauma, 2008)
6. Pemeriksaan Move
Penilaian move atau lingkup gerak dilakukan untuk mengetahui ROM
(Range of Motion). Pencatatan lingkup gerak ini perlu agardapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) untuk

7
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan
yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (American College of Surgeons
Comitte on Trauma, 2008).
7. Imobilisasi sebelum dilakukan tindakan lanjut
Tujuan imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada
daerah fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian
bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi
nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus
mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan
imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint menarik bagian
distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint
didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan
pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma
adalah dengan tungkai sebelahnya (American College of Surgeons Comitte on
Trauma, 2008).

Anda mungkin juga menyukai