Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Foot drop, atau juga disebut “drop foot”, adalah ketidakmampuan untuk mengangkat
bagian depan kaki. Hal ini menyebabkan jari kaki menyeret di tanah saat berjalan. Untuk
menghindari menyeret jari-jari kaki, orang dengan foot drop akan mengangkat lutut lebih
tinggi. Atau mereka mungkin mengayunkan kaki mereka dengan lebih lebar. Foot drop
dapat terjadi pada satu kaki atau kedua kaki pada waktu yang sama. Hal ini dapat
menyerang pada usia berapa pun. Secara umum, foot drop berasal dari kelemahan atau
kelumpuhan dari otot-otot untuk mengangkat kaki. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor
yang berbeda-beda. Penatalaksanaan untuk foot drop bervariasi sesuai dengan
penyebabnya.1
Drop foot bukanlah penyakit, melainkan gejala dari masalah yang mendasari.
Tergantung pada penyebabnya, drop foot bisa bersifat sementara atau permanen.
Kebanyakan drop foot disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal dalam lumbal tulang
belakang dan sakral. Saraf peroneal adalah sebuah divisi dari saraf sciatic. Saraf peroneal
berjalan di sepanjang bagian luar kaki bagian bawah (di bawah lutut) dan bercabang ke
masing-masing pergelangan kaki, kaki, dan jari pertama dan kedua. Saraf ini berinervasi
atau mentransmisikan sinyal ke kelompok otot yang bertanggung jawab untuk
pergelangan kaki, kaki, dan gerakan jari kaki dan sensasi jari kaki.2
Drop foot merupakan gejala dari suatu masalah yang mendasari, bisa disebabkan oleh
banyak faktor yang berbeda-beda, penatalaksanaan untuk drop foot juga bervariasi sesuai
dengan penyebabnya. Dari uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui penyebab, cara
mendiagnosis serta penatalaksanaan pada drop foot.

BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Drop Foot

Drop foot merupakan istilah yang sederhana untuk suatu masalah yang kompleks.
Drop foot dapat dihubungkan dengan berbagai keadaan seperti cedera dorsiflexor, cedera
saraf perifer, stroke, neuropati, keracunan obat dan diabetes.1 Penyebab dari drop foot dapat
dibagi menjadi 3 kategori umum yaitu : neurologi, otot dan anatomi. Penyebab ini dapat
saling tumpang tindih. Drop foot dapat didefinisikan sebagai kelemahan yang signifikan pada
pergelangan kaki dan dorsofleksi dari ibu jari kaki. Kaki dan ankle dorsoflexors meliputi
tibialis anterior, extensor hallucis longus dan extensor digitorum longus. 1 Otot-otot ini
membantu tubuh untuk mengontrol plantar fleksi dari kaki. Kelemahan pada kelompok otot
ini menyebabkan deformitas equinovarus. Hal ini terkadang menyebabkan gangguan pada
gaya jalan, karena pasien cenderung untuk berjalan dengan exaggerated fleksi dari pinggul
dan lutut untuk mencegah ibu jari.1,2

Gambar 1. Penampakan klinis Drop Foot1

Drop foot dan foot drop merupakan istilah yang bisa saling menggantikan, istilah ini
digunakan untuk menjelaskan keabnormalan neuromuscular yang mengenai kemampuan
pasien untuk menggerakkan kaki dan ankle. Drop foot dikarakteristikkan dengan
ketidakmampuan untuk kaki melakukan dorsofleksi atau memindahkan kaki pada bagian
ankle de dalam atau keluar. Hal ini menyebabkan dipengaruhinya gaya berjalan yang normal.1

11.2 Epidemiologi Drop Foot

2
Peroneal neuropati disebabkan oleh penekanan pada fibular head atau neuropati compresiv
yang paling sering terjadi di ekstremitas bawah. Drop foot merupakan gejala yang paling
sering ditemui. Semua kelompok usia memiliki peluang yang sama untuk terkena., tapi
biasanya lebih sering terjadi pada wanita (rasio wanita : pria = 2,8 : 1). Sembilan puluh
persen dari lesi peroneal Drop foot menjadi perhatian dari ahli ortopedi sebagai kelumpuhan
saraf peroneal yang biasanya terjadi setelah total knee arthroplasty atau proximal tibial
osteotomy. Iskemia, iritasi mekanis, traksi, crush injury, dan laserasi dapat menyebabkan
cedera intraoperatif pada saraf peroneal. 1

II.3 Etiologi Drop Foot

Drop foot dapat terjadi karena cedera langsung pada dorsiflexor. Pada beberapa kasus
ruptur pada tendon tibialis anterior menyebabkan drop foot dan kecuriganan lumpuh pada
saraf peroneal dilaporkan. Ruptur pada tendon subkutaneus juga terjadi setelah trauma minor
pada kaki.3 Compartment syndrome juga dapat menyebabkan foot drop. Kejadian ini
merupakan kejadian emergency, dan tidak hanya berhubungan dengan fraktur dan trauma
akut. 3,4 Foot drop juga dapat disebabkan karena kombinasi dari disfungsi neurologi, otot dan
anatomi.1,,3

II.4 Patofosiologi Drop Foot

Penyebab neurologi dari foot drop meliputi mononeuropati nervus peroneus yang
sering disebabkan oleh trauma yang terjadi pada kaput fibula. Keluhan yang terjadi berups
drop foot (parsial atau komplit), parestesia pada bagian lateral tungkai bawah atau kedua
gejala motoris dan sensoris tersebut. 1

3
Gambar 2. Nervus peroneal dan distribusi kutaneusnya2

Nervus peroneus berasal dari akar saraf spinal L5-S1, yang kemudian membentuk n.
iskiadikus. Di dalam perjalanannya menuju fosa popliteas, nervus iskiadikus (serabut
peroneal) member cabang untuk m. biseps fomoris kaput brevis, satu-satunya otot yang
berasal dari serabut peroneal di atas level kaput fibula.4 Setinggi fosa poplitea n. iskiadikus
membagi diri menjadi n. tibialis posterior dan n. peroneus komunis. N. peroneus komunis
kemudian berjalan ke sisi lateral tungkai bawah, dan ketika mencapai sisi dorsal kaput fibula
member cabang n. peroneus superfisialis untuk m. peroneus longus dan brevis dan peroneus
profundus untuk m. tibialis anterior, m. ekstensor digitorum brevis dan ekstensor halusis
longus. Ujung akhir n. peroneus profundus akan memberikan persarafan sensoris pada sela
jari I-II.(Petunjuk praktis elektrodiagnostik, Herjanto poernomo, Bagian ilmu penyakit saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya)

Patofisiologi dari kerusakan saraf yang sering menyebabkakn foot drop adalah sebagai
berikut :1,2

- Integritas fungsional dari axon tergantung pada pasokan zat tropic yang disintesis di
perikaryon neuronal yang diangkut menuruni akson dan dikenal sebagai aliran
axoplasmik.
- Laserasi dapat menghentikan aliran ini. Crush injury juga dapat mengehntikan aliran
ini. Double crush terjadi ketika adanya injuri di proksimal dari nerve root sehingga
akan menghambat aliran axoplasmik, sehingga axon rentan mengalami kerusakan.

4
- lesi distal pada axon tersebut dianggap bertanggung jawab atas peningkatan risiko
drop foot, biasanya terjadi pada cedera pinggul pada pasien dengan riwayat stenosis
tulang belakang sebelumnya.

II.5 Diagnosis Drop Foot

Diagnosis yang tepat drop foot sangat dipengaruhi oleh kecermatan dan perhatian ahli
saraf yang berpengalaman. Penegakan diagnosis drop foot harus mencakup hal – hal seperti
riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan klinis yang komprehensif termasuk uji neurologis,
pengujian listrik dan studi pencitraan, seperti sinar – X atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging.1,2 Pemeriksaan dan Pengkajian yang komprehensif tersebut, dibutuhkan untuk
mendiagnosis penyebab atau etiologi dari terjadinya drop foot. Diagnosis drop foot yang tepat
akan sangat berengaruh terhadap rencana perawatan dan pilihan terapi pembedahan.4

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penegakan diagnosis drop foot adalah
permeriksaan:1

5. 1 Studi Laboratorium

Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi laboratorium sampai saat ini
belum menunjukan hasil yang bermakna. Penurunan kaki unilateral spontan secara tiba
tiba dengan keadaan awal yang sehat, memerlukan investigasi lebih lanjut kedalam
penyebab seperti penyebab metabolik, termasuk diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan
paparan racun.

Tes – tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai berikut.

- Gula darah puasa


- Hemoglobin A1C
- Tingkat sedimentasi eritrosit
- C – reaktif protein
- Elektroforesis protein serum atau immunoelectro – osmophoresis
- BUN
- Kreatinin
- Tingkat Vitamin B-12

5.2 Studi Pencitraan

5
Studi pencitraan dalam penegakan drop foot, pencitraan yang dapat dilakukan adalah plain
foto polos, ultrasonografi, magnetic renonance neurography. Adapun penjelasnya adalah
sebagai berikut.

a) Plain Foto Polos

Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni, pasca trauma dan
non trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan dengan plain foto tibia dan fibula serta
pergelangan kaki untuk melihat cedera tulang. Plain foto polos non trauma dilakukan
dengan indikasi kecurigaan adanya disfungsi anatomi misalnya charot. Plain foto yang
dilakukan dalam kasus disfungsi anatomi adalah plain foto polos kaki dan
pergelangan kaki, dimana dari hasilnya nanti dapat memberikan informasi yang
berguna. Selain itu plain foto polos tulang belakang juga diperlukan untuk menilai
jarak intravertebralis dan pedicle untuk mengindikasikan adanya lesi pada saraf yang
disebabkan oleh proses metastase.

b) Ultrasonografi

Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan terjadi pendarahan
pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.

c) Magnetic Resonance Imanging

Magnetic Resonance Imanging (MRI) dilakukan dengan indikasi kecurigaan terhadap


tumor atau massa tekan ke saraf peroneal, dimana dilakukan dengan sistem standar
1,5 Tesla MRI. Magnetic Resonance Imanging digunakan untuk menghasilkan gambar
dengan resolusi tinggi dari saraf perifer, serta intraneural dan ekstraneural terkait lesi
yang terjadi.

Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat gambar anatomi


lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi yanglebiih tinggi, dan dengan
bagian potongan yang lebih tipis. Keunggulan pada MRI ini dapat memberikan
gambar yang mampu menunjukan organisasi fasciculus saraf perifer normal, sehingga
membuat saraf lebih jelas daat dibedakan dari jaringan lain (misalnya, tumor atau
pembuluh darah)

6
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk memungkinkan
susunan bagian aksial dan memotong data di bagian lain. Hal ini bermanfaat dalam
mengetahui batas longitudinal keterlibatan saraf tersebut.

5.3 Elektromyelogram

Gangguan metabolisme sering dijadikan diagnosis banding drop foot seperti yang
diuraikan sebelumnya. Drop foot biasanya juga di diagnosis banding dengan beberapa
keadaan seperti, spastisitas, distonia, penyakit motor neuron, L5 radikulopati, plexopathy
lumbosakral, kelumpuhan saraf siatik, tekan peroneal neuropati, neuropati ferifer dan
beberapa miopati.

Elektromyelogram (EMG) berguna dalam membedakan diagnosa ini. Pemeriksaan ini


dapat mengkonfirmasi jenis neuropati, menetapkan lokasi lesi, memperkirakan luasnya
cedera, dan memberikan prognosis. Selain itu EMG juga berguna sebagai studi sekuensial
yang bertujuan untuk memantau pemulihan lesi akut. Elektromyelogram (EMG) sangat
baik digunakan untuk melokalisasi kepala fibula. Elektromyelogram juga digunakan untuk
mengetahui perlambatan atau penurunan amplitudo ekstensor digitorum brevis di daerah
kompresi pada lesi myelin. Pada perlambatan akann terlihat demyelinasi segmental dan
penurunan amplitudo terlihat dalam blok konduksi.

Elektromyelogram (EMG) juga baik digunakan untuk menentukan prognosis dari


drop foot.

- Pada lesi mielin murni ( konduksi blok), pemulihan dapat terjadi setelah tiga minggu
sampai satu bulan.

- Pada lesi aksonal yang berat, pemulihan dapat berlangsung dari enam bulan sampai satu
tahun.

- Pada lesi campuran, pemulihan dapat berlangsung dari tiga minggu sampaisatu tahun.

Diagnosis banding drop foot dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi, dan protocol
pemeriksaan EMG pada lesi nervus peroneus terlihat pada tabel 01.

7
Tabel 1. Gambaran elektrofisiologi pada drop foot2

KHS n. peroneus
CMAP SNAP*
Lesi Kelainan EMG
jarum
Neuropati n. peroneus Blok-konduksi Normal/menurun m. tibialis anterior
setinggi kaput fibula setinggi kaput fibula m.peroneus
Neuropati n. Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
iskiadikus m.peroneus
m. bisep femoris
Radikulopati L5-S1 Normal/menurun Normal/menurun m. tibialis anterior
m.peroneus
m. bisep femoris
m. gluteus medius
m. gluteus maksimus
m. paraspinal L5-S1

II.6 Penatalaksanaan Drop Foot

Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan
obat-obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi tersebut dapat digunakan
sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau lebih modalitas a. Penatalaksanaan lini
pertama yang biasa dilakukan adalah fisioterapi atau ankle-foot orthosis (AFO)a. Terapi medis
meliputi obat-obat oral seperti baclofen, dantrolene, atau tizanidine. Tindakan pembedahan
untuk penatalaksanaan drop foot meliputi selective tendon release, selective dorsal rhizotomy,
dan intrathecal baclofen pump.1

8
Gambar 3. Siklus gaya jalan (gait) normal6

Gambar 4. Gaya jalan drop foot6

6.1 Penatalaksanaan di Bidang Medis

Penatalaksanaan foot drop diarahkan berdasarkan penyebabnya. Apabila keadaan foot drop
tidak dapat diperbaiki dengan pembedahan maka dapat dianjurkan penggunaan ankle-foot
orthosis (AFO)b. AFO juga dapat digunakan pada masa penyembuhan neurologis atau
penyembuhan setelah operasi. Penggunaan AFO secara spesifik bertujuan untuk memberikan
dorsofleksi jari-jari kaki pada saat fase mengayunkan kaki, stabilitas lateral dan medial pada
saat fase stasis, dan jika perlu juga dapat membantu stimulasi mendorong ke atas pada saat
fase stasis akhir.2 AFO hanya efektif digunakan apabila kaki dapat mencapai posisi
plantigrade ketika berdiri. Keberhasilan penggunaan AFO sebagai alat bantu jalan akan
berkurang apabila terdapat kontraktur equinus.2

AFO yang paling sering digunakan terbuat dari bahan polipropilene dan dimasukkan
ke dalam sepatuc. Jika AFO dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan bagian kaki di
anterior maleoli maka akan menghasilkan suatu imobilisasi yang rigid. 3 Penyesuaian seperti
ini digunakan apabila terdapat masalah instabilitas atau spastisitas pada pergelangan kaki,
misalnya pada pasien dengan lesi upper motor neuron atau stroke.3 AFO yang dibuat sesuai
dengan bagian kaki posterior terhadap maleoli (tipe posterior leaf-spring) memungkinkan
pergerakan plantar fleksi pada tumit dan gerakan mendorong keatas mengembalikan posisi

9
kaki ke netral untuk fase mengayun berikutnya. Alat ini membantu gerakan dorsifleksi pada
drop foot dengan deformitas equinovarus spastic ringan atau flaksid.ada juga orthosis yang
dapat langsung digunakan pada bagian tumit sepatu disebut shoe-clasp orthosis.2

Peroneal nerve stimulation atau disebut juga Functional Electrical Stimulation (FES)
dapat dipertimbangkan pada foot drop yang disebabkan oleh hemiplegia. Tipe stimulasi ini
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1961.4 Nerve stimulation memberikan efektifitas yang
lebih apabila digunakan bersamaan dengan AFO karena nerve stimulation memberikan
koreksi gaya jalan (gait) aktif dan dapat disesuaikan dengan masing masing pasien secara
individual. Peroneal nerve stimulation dilakukan dengan memberikan stimulasi elektrik
durasi pendek pada nervus peronealis diantara fossa poplitea dan kepala fibula. Sebuah saklar
yang dipasang di tumit kaki yang menderita kelemahan akan mengontrol aliran stimulasi
elektrik.5 Stimulator akan diaktivasi pada saat kaki diangkat dan berhenti pada saat kaki
menyentuh lantai. Dengan demikian maka tercapai dorsofleksi dan eversi selama fase
mengayun pada gait.5,6

Nerve stimulator dapat berupa stimulator eksternal, stimulator internal atau stimulator
dengan aktivasi radiofrekuensi.6 Penggunaan stimulasi elektrik pada pasien stroke dengan
hemiplegic spastic dilaporkan dapat berguna pada 2% kasus. Metode ini meningkatkan
kecepatan dan kualitas berjalan, serta dapat berkontribusi terhadap relearning motorik.6

Drop foot merupakan keadaan kronis yang sering mengakibatkan stres psikis pada
penderitanya, oleh karena itu penatalaksanaan foot drop harus memperhatikan kebutuhan
psikologis penderitanya.7 Parestesia yang disertai nyeri kronis pada pasien dengan foot drop
dapat ditangani dengan blok saraf simpatis atau sinovektomi laparoskopi. 7,8 Alternatif lain
yang dapat dipertimbangkan adalah amitriptilin, nortriptilin, pregabalin dan gabapentin.
Anesthesia lokal seperti capsaisin transdermal atau diclofenac dapat mengurangi nyeri.
Penggunaan obat-obat opioid harus diminimalkan walaupun pada keadaan nyeri yang
signifikan. Penatalaksanaan foot drop pada pasien-pasien dengan diabetes mellitus harus
mengutamakan kontrol glukosa yang optimal dan tambahan suplemen vitamin B1, B6 atau
B12 untuk defisiensi vitamin karena dapat membantu mengurangi gejala nyeri kronis.8

Tabel 2. Ankle Foot Orthosis vs Functional Electrical Stimulation9

Ankle Foot Orthosis Functional Electrical Stimulation


alat besar dan berat alat kecil dan ringan
harus menggunakan sepatu khusus yang tidak perlu sepatu khusus

10
disesuaikan dengan AFO
mengoreksi gaya jalan secara pasif melibatkan kontraksi otot secara aktif
tidak dapat merekonstruksi jalur neuronal dapat merekonstruksi jalur neuronal
secara kosmetik dapat mengganggu tidak efektif digunakan pada foot drop karena
penampilan kerusakan saraf tepi
memfiksasi kaki pada posisi 90⁰ terhadap cara jalan lebih terlihat normal
betis
harga lebih murah daripada FES harga lebih mahal

a. Ankle foot orthosis

Ankle foot orthosis (AFO) merupakan modalitas terapi yang paling sering digunakan
untuk unilateral foot drop. Saat ini AFO tersedia dipasaran dalam berbagai material,
plastik, metal serta kulit hewan. AFO yang terbuat dari plastik lebih ringan dari pada
metal namun hanya digunakan untuk jangka pendek. Model AFO dari plastik yang
dibuat secara custom (yaitu sesuai dengan bentuk kaki individu) dapat dipakai untuk
jangka waktu yang lebih lama karena risiko mengiritasi kulit lebih kecil dari pada tipe
standar. AFO yang terbuat dari metal dan kulit hewan lebih berat dari pada AFO
plastik. Kontak dengan kulit harus minimal dengan menggunakan kaos kaki khusus.
AFO metal dan kulit hewan baik dipakai untuk pasien yang sering mengalami edema
dan fluktuasi di kaki10.

Gambar 5. AFO berbahan dasar plastik6

11
Gambar 6. AFO berbahan dasar metal dan kulit6

Gambar 7. AFO berbentuk sepatu6

b. Peroneal nerve stimulation/ Functional Electrical Stimulation

Peroneal nerve stimulation atau dikenal juga dengan Functional Electrical Stimulation
(FES) pertama kali digunakan sebagai terapi foot drop pada tahun 1961. FES
memberikan impuls listrik untuk menstimulasi respon saraf yang diperlukan untuk
melakukan suatu dorsofleksi. FES dapat diprogram secara khusus menyesuaikan
kebutuhan individual. FES memberikan suatu range of movement yang normal kepada
kaki dan pergelangan kaki selama fase berjalan. FES telah terbukti berhasil
memperbaiki gaya jalan pada pasien-pasien stroke dan multiple sclerosis dengan foot
drop. FES dikontraindikasikan pada pasien yang menggunakan pacemaker, pasien
dengan epilepsi tidak terkontrol, pasien dengan kehamilan dan luka pada area
penggunaan FES8.

12
Gambar 8. FES eksternal untuk koreksi gaya jalan drop foot9

c. FES untuk koreksi gaya jalan drop foot

Nervus peroneal mudah distimulasi karena karena terletak tepat dibawah kulit dan
otot-otot kaki bagian bawah umumnya merespon cukup untuk dapat mengangkat kaki
pada titik pergelangan kaki. Daya listrik FES dihasilkan dari alat elektrik kecil
bertenaga baterai. Terdapat dua cara mengirimkan daya listrik ke saraf peroneal:10

Gambar 9. Siklus gaya jalan drop foot dengan koreksi FES eksternal7

- Surface (eksternal) FES

Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan. Elektroda diletakkan diatas
kulit tepat diatas saraf peroneal. FES harus diletakkan diposisi yang benar setiap kali
digunakan untuk menghasilkan gerakan yang tepat. Pasien harus memasang elektroda
sendiri secara akurat atau dapat juga pasien dibantu dengan sebuah gelang karet yang
dipasangkan dibawah lutut sehingga pasien dapat memasang elekroda pada tempat
yang akurat setiap saat. FES akan memberikan sensasi seperti ditusuk jarum saat
digunakan namun penggunanya akan segera terbiasa dengan sensasi tersebut.

13
- Implanted FES

FES tipe implant memerlukan tindakan pembedahan untuk dipasang, dimana


elektroda diletakkan tepat pada saraf dan dikontrol dengan implant kecil yang
diletakkan dibawah kulit. FES akan mengaktifasi implant melalui antenna nirkabel
yang digunakan diluar tubuh. Keuntungan penggunaan implant FES yaitu pasien tidak
perlu melepas dan memasang kembali pada posisi yang akurat setiap kali akan
dipakai. Implant FES juga dapat mengurangi atau menghilangkan sama sekali sensasi
stimulasi elektrik (seperti tertusuk jarum) secara signifikan. Calon pengguna implant
FES harus diuji terlebih dahulu dengan eksternal FES apakah stimulasi elektrik
menghasilkan perbaikan gaya jalan yang signifikan atau tidak.

Untuk dapat meghasilkan gaya jalan yang normal, otot harus distimulasi pada waktu
yang tepat selama proses berjalan. Pemicu stimulasi (stimulation trigger) harus diberikan
ketika beban berat tubuh diangkat dari kaki sampai saatsetelah berat tubuh kembali
dibebankan kepada kaki. Proses ini akan menghasilkan gerakan dorsofleksi pada fase
mengayun dan stabilitas pergelangan kaki saat kaki menginjak lantai. Terdapat dua sistem
trigger yang umum digunakan. Sistem trigger yang pertama berupa saklar kaki yang sensitif
terhadap tekanan, diletakkan pada bagian tumit didalam sepatu. Saklar kaki dan alat FES
dapat dihubungkan dengan kaber ataupun dihubungkan secara nirkabel. Sistem kedua adalah
dari gerakan kaki pengguna yang dideteksi dengan sensor gerakan. Sensor diletakkan didalam
alat FES yang dipasang dengan gelang karet kaki (leg cuff)9.

Tabel 3. Laporan perbandingan penggunaan FES dan AFO untuk drop foot berdasarkan
pengalaman pengguna dan terapis10:

Pengalaman Positif Pengalaman Negatif


FES (eksternal)  dapat melatih pergelangan kaki,  tidak reliable (susah didapat,
mampu meningkatkan tonus otot/ tidak tersedia secara luas,
masa otot mahal)
 kecepatan berjalan lebih cepat,  tidak dapat digunakan pada
mampu mengangkat kaki lebih kondisi tertentu, misalnya dekat
tinggi, jarang tersandung air, jalan becek, hujan, dll
 gaya jalan yang terlihat lebih  beberapa pengguna mengalami
normal kesulitan dalam memasang
 lebih mudah memilih sepatu
alatnya sendiri
 mudah dipakai  sulit memanipulasi bagian

14
 dapat dimatikan apabila sedang bagian sambungan
 reaksi alergi terhadap elektrode
tidak digunakan berjalan
AFO  mudah digunakan untuk keperluan  tidak nyaman, risih, tidak
sehari-hari fleksibel
 menggunakan AFO merupakan  susah mendapatkan sepatu yang
suatu rutinitas sesuai dengan orthosis
 mudah memakainya  tetap harus dipakai ketika
 reliable duduk atau sedang tidak
 sangat berguna untuk kondisi
berjalan (tidak dibutuhkan)
darurat
 dapat digunakan selama perjalanan
udara (tidak menggunakan kabel)
 lebih mudah dipasang sendiri
 dapat digunakan dalam kondisi
dekat air

6.2 Terapi Operatif

Jika kelemahan yang terjadi disebabkan oleh kompresi saraf peroneal, suatu operasi yang
mudah biasanya dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut. Saraf peroneal berjalan
mengelilingi leher dari tulang fibula, persis dibawah lutut. Saraf peroneal kemudian berjalan
dibawah otot yang sering memiliki tepi fasia yang erat (peroneus logus). Tempat dimana saraf
ini melewati dibawah otot ini, area sempit ini dapat dilepaskan dan tekanan dieleminasi.
Sering kali dengan metode operatif ini bisa mengembalikan fungsi kaki.11

Selain itu kelemahan ini dapat disebabkan oleh kompresi saraf ditulang belakang
yakni lumbar. Metode operatif sering kali dilakukan untuk membuka ruangan dimana saraf
tersebut meninggalkan tulang belakang (foramina spinal) dengan mengalihkan diskus yang
mengalami herniasi (microdiscectomy), membuka foramen (foraminotomy) atau pada kasus
yang lebih kompleks, dilakukan kombinasi dari dua tindakan ini, dimana tulang akan di
perbaiki bersama untuk menghilangkan pergerakan yang bermasalah.11,12

Suatu saat tindakan ini tidak cukup untuk mengembalikan fungsi kaki. Pada kasus
seperti ini, pemindahan saraf kadang dilakukan. Tindakan ini meliputi pengambilan saraf
donor yang memiliki fungsi yang kurang bermanfaat ke saraf yang mengalami kerusakan
pada kasus drop foot. Metode ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi saraf yang rusak
agar dapat berfungsi kembali.12

15
Pemindahan saraf untuk memperbaiki drop foot bisa melibatkan cabang dari saraf
tibial, yang mana mempersarafi otot yang bertanggung jawab menarik kaki ke atas. Kedua
cabang saraf tibia yang menginervasi otot flexor ibu jari atau saraf yang berkontribusi dalam
memfleksikan otot paha bisa digunakan sebagai saraf donor.12,13

Setelah tindakan ini, pasien dapat mengaktivasi otot donor mereka, yaitu mereka
masih bisa menggerakan kaki kebawah, tetapi saat mereka memperoleh fungsi dari saraf yang
dipindahkan, mereka juga perlu dilatih untuk menggunakan otot ini untuk menarik kaki
keatas. Otak akan mempelajari trik ini dan pasien akan bisa menggangkat kaki keats dengan
hanya memikirkan tentang mengangkat kaki keatas. Untuk melatih hal tersebut biasanya di
lakukan oleh ahli fisikal.14

Proses penyembuhan fungsi dari saraf yang dipindahkan sangatlah lama. Pasien
biasanya akan mulai melihat proses penyembuhan dalam tiga hingga enam bulan setelah
operasi, tetapi tidak jarang kebanyakan kasus dalam mengembalikan pergerakan memakan
waktu yanglebih lama yakni enam sampai 12 bulan.15

16
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Drop foot bukanlah penyakit, melainkan gejala dari masalah yang mendasari.
Tergantung pada penyebabnya, drop foot bisa bersifat sementara atau permanen.
Kebanyakan drop foot disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal dalam lumbal tulang
belakang dan sakral. Saraf peroneal adalah sebuah divisi dari saraf sciatic. Saraf peroneal
berjalan di sepanjang bagian luar kaki bagian bawah (di bawah lutut) dan bercabang ke
masing-masing pergelangan kaki, kaki, dan jari pertama dan kedua. Saraf ini berinervasi
atau mentransmisikan sinyal ke kelompok otot yang bertanggung jawab untuk
pergelangan kaki, kaki, dan gerakan jari kaki dan sensasi jari kaki.2
Penatalaksanaan foot drop meliputi fisioterapi, alat orthotik, terapi medik dengan
obat-obatan, stimulasi saraf tepi, dan pembedahan. Modalitas terapi tersebut dapat
digunakan sebagai modalitas tunggal atau kombinasi dua atau lebih modalitas a.
Penatalaksanaan lini pertama yang biasa dilakukan adalah fisioterapi atau ankle-foot
orthosis (AFO)a. Terapi medis meliputi obat-obat oral seperti baclofen, dantrolene, atau
tizanidine. Tindakan pembedahan untuk penatalaksanaan drop foot meliputi selective
tendon release, selective dorsal rhizotomy, dan intrathecal baclofen pump.1

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Pritchett JW. Foot drop. Available online at
www.emedicine.medscape.com/article/123407-treatment last updated 17 May 2013.
Diakses pada tanggal 22 Februari 2014
2. Hausdorff JM, Alexander NB. 2005. Gait Disorders Evaluation and Management.
Informa
3. international comitte of the red cross. 2006. Knee-ankle-foot orthosis physical
rehabilitation programme. ICRC Geneva
4. different strokes. 2013. Functional electrical stimulation (FES) to aid walking after
stroke
5. Crisholm A. 2012. Drop foot impairment post stroke: Gait deviation and the
immediate effects of ankle-foot orthosis and functional electrical stimulation.
6. Cameron M. 2010. The walkaide fuctional electrical stimulation system- a novel
therapeutiv approach for foot drop in central nervous system disorders. Current issues:
rehabilitation technology
7. Park, Youngmee. drop foot and treatment. ppt
8. ford C, Grotz RC, Shamp JK. 1986. The Neurophysiological ankle-foot orthosis.
Clinical Prosthetics and Orthotics. 19(1):15-23
9. horsley, William. 2012. Orthotic Functional Electrical Stimulation for Drop foot of
Neurological Origin. NHS: North East Treatment Advisory Group
10. Bulley C, Shiels J, Wilkie K, Salisburry L. 2011. users experiences, preferences and
choices relating to functional electrical stimulation and ankle foot orthosis for foot
drop after stroke. physiotherapy
11. NHS.2012.Drop foot (flooply foot). Avaliable at http://www.nhs.uk/conditions/foot-
drop/Pages/Introduction.aspx diakses pada 28 Februari 2014

18
12. CNIP. 2014. Foot drop. Avaliable at http://nerve.wustl.edu/nd_transfers_foot.php
diakses pada 28 februari 2014
13. Anon.2011. Modul Neuromuskular. Avaliable at
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-952-MODULNeuro.pdf diakses
pada 25 Februari 2014
14. Saanin J. 2012. Kelainan Saraf Tepi (Ilmu Bedah saraf). Ka. SMF Bedah Saraf RSUP
Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang. Avaliable at
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Bawah.html diakses 23 Februari 2014
15. Park Y. 2013. Drop Foot and Treatments. Avaliable at
http://www.mccc.edu/~behrensb/documents/DropFootTreatmentsYPark.pdf diakses
pada 1 Maret 2014

19

Anda mungkin juga menyukai